Di sebuah dermaga seorang penjual kopi sedang duduk melamun.
Ia sudah terbiasa dengan suara deburan ombak, suara desiran angin, atau suara
burung yang memekik di udara dermaga itu. Namun malam itu ia merasakan desiran
angin terdengar lebih mendesir lirih, dan suara deburan ombak seolah memecahkan
kebekuan harinya yang sepi kala itu. Terlebih lagi suara burung yang memekik di
langit dermaga yang terdengar menyayat hati, meneriakkan lantunan sepi.
Setiap sore, Marina berangkat dari rumahnya tuk berjualan
kopi di dermaga. Kulitnya yang sedikit gelap berbeda dengan adiknya, Marini, yang
telah hidup dengan suaminya. Ia sama sekali tak tau mengapa warna kulitnya
berbeda dengan adiknya, juga mendiang ibunya dan ayahnya. Pernah ada kabar yang
tersiar kalau dia dan adiknya berbeda ayah, namun mendiang ibunya tak pernah
menceritakan hal itu. Tapi yang membuatnya melamun kala itu adalah kini ia
tinggal sendiri. Ayahnya meninggal saat ia masih SD, sementara ibunya menyusul
ketika ia lulus sekolah. Dan setahun yang lalu, Marini, adiknya yang berbeda
tiga tahun darinya telah menikah dan tinggal bersama suaminya di Jakarta. Hanya
ia sendiri bertemankan sepi.
Kadang, ketika ia berangkat tuk berjualan kopi, orang-orang
menatapnya lirih. Entah kasihan padanya atau merendahkannya yang hingga kini,
hingga usianya telah menginjak kepala tiga tak ada seorang lelaki pun yang
menikahinya. Mungkin kulit gelapnya yang membuat Marina tak kunjung juga
mendapat jodoh.
Setiap hari ia selalu berharap ada lelaki yang mau
menerimanya apa adanya. Namun hingga kini, penantian itu hanyalah angin semu
yang entah kapan datangnya. Bayang-bayang senja di penantian pun selalu ia
khawatirkan.
Malam itu, seorang lelaki berbadan tegap berseragam putih
menghampirinya.
“Mba, kopinya segelas, mba,” ucap pria itu.
“Oh, iya... mas.” Marina segera tersadar dari lamunannya dan
segera membuatkan segelas kopi.
Sembari membuatkan segelas kopi, Marina sedikit melirik ke
arah pria itu. Dari bajunya, Marina yang setiap hari di dermaga tahu betul
kalau pria itu adalah seorang kapten kapal. Baru kali ini seorang kapten kapal
membeli kopi darinya. Biasanya hanya kuli angkut di dermaga, atau anak buah
kapal yang membeli kopi dari seorang penjual kopi seperti dirinya.
Namun karena melirik sambil mengaduk kopi, air kopi yang
panas itu pun sedikit tumpah dan mengenai tangannya. Marina sontak kepanasan,
“Auu aduhhh....”
“Kamu kenapa, kamu tidak apa-apa?” tanya kapten kapal itu
yang ternyata begitu perhatian.
“Ehh tidak apa-apa mas. Hanya sedikit kena air panas,” jawab
Marina yang sedikit menambahkan air lagi pada segelas kopi itu.
“Ohh hati-hati mba,” ujar kapten kapal itu.
Marina dibuat berdegup dengan sikap perhatian yang
ditunjukkan kapten kapal itu. Terlebih sembari menyeruput kopinya, kapten kapal
itu memulai perbincangan.
“Mba makasih kopinya. Dingin-dingin begini paling enak minum
kopi.”
“Iya... mas, sekarang sudah mulai musim dingin,” ucap Marina
sedikit malu.
“Ehmmm ngomong-ngomong mba siapa namanya?”
“Marina, mas.”
“Ohh saya Supriadi, ehmm mba Marina udah berapa lama jualan
kopi?” tanya pria itu.
“Sudah lama mas, semenjak bapak sama ibu sudah nggak ada,
semenjak lulus sekolah.”
“Ohhh, jadi mba sudah yatim piatu. Terus sekarang tinggal
sama suami?”
Mendengar perkataan itu, Marina menunduk, bibirnya berat tuk
berucap menjawab pertanyaan itu.
“Ehhh.... maaf kalo pertanyaan saya membuat mba sedih,”
desis pria bertubuh tegap itu.
“Ehmmm enggak kok mas. Saya..... saya cuma tinggal sendiri,
saya belum punya suami.”
“Ohh masih sendiri. Pasti mba terlalu pemilih ya?”
“Ahhh memang siapa yang mau sama saya, mas. Udah item,
kampungan,” Marina merendah.
“Hushhh jangan merendah begitu. Setiap orang punya
kelebihannya masing-masing. Mba nggak boleh merasa nggak ada yang mau karena
kulit mba agak hitam atau apa lah. Coba deh Mba Marina lihat kopi yang mba
Marina bikin ini. Kopi ini hitam, tapi kenapa banyak yang suka minum kopi? Itu
karena orang tidak peduli walau kopi itu hitam. Yang orang inginkan hanyalah
kopi yang harum, yang bisa memberikan kehangatan. Kalaupun kopi itu pahit, ada
gula yang larut dalam kopi itu hingga rasanya menjadi manis.”
Ucapan Supriadi membuat Marina tak lagi merasa rendah. Ia
tak peduli walaupun orang-orang menatapnya dengan pandangan yang merendahkan.
Ia tak peduli walau orang-orang mencibir sekalipun. Ia tetap tegar berjalan dan
bersemangat berjualan kopi.
Beberapa hari ini cuaca memang sedang tak bagus. Beberapa
kapal menepi di dermaga itu selama beberapa hari ini untuk menunggu cuaca
membaik. Termasuk kapal yang dibawa Supriadi. Dan hal itu menambah rejeki bagi
Marina dan penjual kopi lainnya. Namun hanya Marina yang selalu menjadi
langganan Supriadi, kapten kapal itu. Langganan untuk membeli secangkir kopi
yang ia jual tentunya. Beberapa hari ini, Marina semakin dekat dengan Supriadi.
Ia tak menyangka, lelaki yang mau berbincang dengannya adalah seorang kapten
kapal. Sementara lelaki lain seolah menjauhinya, memandangnya dengan
memicingkan mata ketika melihat kulitnya yang hitam.
Dan di malam itu, Supriadi membuat Marina berbunga-bunga,
menyingkirkan hari-hari Marina yang sepi di Dermaga ketika kapten kapal itu
mengutarakan cinta padanya. Suara deburan ombak, suara desir angin, suara
klakson kapal, suara burung-burung yang berkicau di atas langit dermaga,
semuanya terasa indah di telinga Marina.
***
Matahari seolah muncul dari dalam lautan dan memancarakan
sinarnya.
Seperti kata Crisye, ‘badai pasti berlalu’. Sejak malam
tadi, badai kesepian yang menerpa Marina selama hidupnya seolah berlalu ketika
seorang kapten kapal mengutarakan cinta padanya. Pagi ini pun cuaca terlihat
sangat cerah. Badai yang melanda lautan nampak telah berlalu. Namun ada
perasaan sedih di hati Marina ketika badai lautan itu telah usai. Karena itu
artinya... Supriadi yang beberapa hari ini menepi di dermaga harus melanjutkan
perjalanannya ke beberapa negara. Ia pun melambaikan tangan padanya yang
beranjak pergi. Kapal yang dibawa Supriadi pun semakin menjauh dan tak terlihat
lagi. Sebelum ia pergi, Supriadi berjanji akan kembali ke tempat itu enam bulan
lagi untuk menikahi Marina. Dari dermaga itu, Marina menatap lautan dengan
tatapan yang nanar. Dermaga itu tempatnya bertemu dengan seorang yang ia nanti
selama bertahun-tahun, namun Dermaga itu juga tempatnya berpisah dengannya. Tapi di Dermaga
itu pula ia akan terus menanti sampai kapten kapal itu kembali tuk menemuinya.
Hari demi hari dilalui Marina di dermaga itu sambil menjual
kopi. Ia merasa ada hal yang berbeda tanpa kehadiran kapten kapal itu yang
membeli kopi darinya. Namun ia tetap bersabar dan menjalani hari seperti biasa.
Enam bulan pun berlalu. Hari ini, seharusnya Supriadi
kembali ke dermaga itu tuk menemui Marina dan menikahinya. Namun hingga malam
kian larut, kapten kapal itu belum datang juga. Keesokan harinya pun seperti
itu. Marina terus menanti di Dermaga dari pagi hingga malam dengan perasaan
yang gundah. Tapi penantian itu hingga kini hanyalah angin semu. Ia mulai dilanda
kecemasan. Takut terjadi apa-apa pada Supriadi. Terkadang pula ia berpikir
kalau Supriadi memang tak berniat untuk menikahinya. Atau di dermaga lain ia
bertemu dengan wanita yang jauh lebih cantk darinya. Namun semua pikiran
negatif itu segera ia singkirkan jauh-jauh. Ia hanya bisa menanti dan berdoa,
berharap lelaki pujaan hatinya itu benar-benar datang menemuinya.
Di kala mentari mulai menaik, sebuah kapal kecil menepi di
dermaga itu. Marina berdiri dari duduknya dan berharap kalau itu adalah kapal
yang dibawa Mas Supriadi.
Kemudian seorang awak kapal turun dari kapal itu dan menemui
Marina.
“Mba... yang bernama Marina, kan? Yang dulu sering saya
lihat mengobrol bersama Pak Supriadi?” tanya pria itu.
Marina mengangguk walau tak mengerti apa maksud pria itu
menemuinya, “I... iya, memangnya ada apa ya, mas?”
“Saya anak buahnya Pak Supriadi. Sa.... saya merasa harus
datang kemari untuk menemui mba Marina,” desis pria itu dengan mimik wajah yang
sedih.
Seketika Marina diliputi perasaan yang tidak enak.
“La.. lalu dimana Mas Supriadi?” tanya Marina yang begitu
cemas.
“Beberapa hari yang lalu kami berangkat menuju dermaga ini.
Waktu itu cuaca sedang tidak bersahabat. Namun Pak Supriadi merasa harus terus
berangkat karena sudah janji pada Mba Marina. Namun naas, di samudra Pasifik
kami diterjang padai, kapal kami pun terbalik dan tenggelam. Saya beserta
beberapa awak kapal lain sempat menyelamatkan diri dengan melompat ke perahu
kecil. Namun Pak Supriadi terus berusaha untuk mengendalikan kapal dan akhirnya
tenggelam bersama kapal itu. Ia lebih mengutamakan keselamatan anak buahnya
dibandingkan dirinya sendiri. Ia tenggelam di laut terdalam, tepatnya di palung
Marina, dekat wilayah Filiphina,” lirih anak buah kapal itu menceritakan
kejadian yang begitu tragis yang dialaminya.
Mendengar kabar itu, Marina tak kuasa membendung air
matanya. Ia seolah tak percaya kalau lelaki yang telah dinantinya itu tak akan pernah
kembali.
“Saya membawakan ini, sebuah buku harian yang ditulis Pak
Supriadi. Semenjak bertemu Mba Marina enam bulan yang lalu, Pak Supriadi selalu
menulis segala sesuatu tentang Mba Marina di buku ini. Saya merasa harus
menyerahkan buku ini pada Mba Marina,” ucap anak buah kapal itu sambil
menyerahkan buku harian itu.
Marina pun menerima buku itu. Tetes air matanya jatuh pada
buku itu. Ia semakin tak kuasa membendung kesedihannya.
......
Di sore hari, di dermaga itu, sembari memandangi lautan dan
matahari yang mulai menurun, Marina membaca apa yang dituliskan Supriadi di
buku hariannya. Supriadi sempat menulis kalau kecintaannya pada Marina sangat
dalam. Sedalam lautan terdalam yang ada di dunia ini. Marina meneteskan air
matanya, mengingat lelaki pujaan hatinya itu yang tenggelam di lautan terdalam,
di Palung Marina di Samudra Pasific dekat wilayah Filiphina, sebuah palung
terdalam yang dalamnya melebihi gunung tertinggi. Entah kebetulan atau tidak,
nama palung terdalam itu sama dengan nama dirinya.
Sore itu suara deburan ombak, suara burung yang memekik, dan
angin yang berdesir, terasa lebih lirih melantunkan nada kesepian yang
dirasakan Marina.
=====================================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014