Senin, 02 Oktober 2017

Cerpen: Antara Dermaga dan Palung Marina


Di sebuah dermaga seorang penjual kopi sedang duduk melamun. Ia sudah terbiasa dengan suara deburan ombak, suara desiran angin, atau suara burung yang memekik di udara dermaga itu. Namun malam itu ia merasakan desiran angin terdengar lebih mendesir lirih, dan suara deburan ombak seolah memecahkan kebekuan harinya yang sepi kala itu. Terlebih lagi suara burung yang memekik di langit dermaga yang terdengar menyayat hati, meneriakkan lantunan sepi.

Setiap sore, Marina berangkat dari rumahnya tuk berjualan kopi di dermaga. Kulitnya yang sedikit gelap berbeda dengan adiknya, Marini, yang telah hidup dengan suaminya. Ia sama sekali tak tau mengapa warna kulitnya berbeda dengan adiknya, juga mendiang ibunya dan ayahnya. Pernah ada kabar yang tersiar kalau dia dan adiknya berbeda ayah, namun mendiang ibunya tak pernah menceritakan hal itu. Tapi yang membuatnya melamun kala itu adalah kini ia tinggal sendiri. Ayahnya meninggal saat ia masih SD, sementara ibunya menyusul ketika ia lulus sekolah. Dan setahun yang lalu, Marini, adiknya yang berbeda tiga tahun darinya telah menikah dan tinggal bersama suaminya di Jakarta. Hanya ia sendiri bertemankan sepi.

Kadang, ketika ia berangkat tuk berjualan kopi, orang-orang menatapnya lirih. Entah kasihan padanya atau merendahkannya yang hingga kini, hingga usianya telah menginjak kepala tiga tak ada seorang lelaki pun yang menikahinya. Mungkin kulit gelapnya yang membuat Marina tak kunjung juga mendapat jodoh.

Setiap hari ia selalu berharap ada lelaki yang mau menerimanya apa adanya. Namun hingga kini, penantian itu hanyalah angin semu yang entah kapan datangnya. Bayang-bayang senja di penantian pun selalu ia khawatirkan.

Malam itu, seorang lelaki berbadan tegap berseragam putih menghampirinya.

“Mba, kopinya segelas, mba,” ucap pria itu.

“Oh, iya... mas.” Marina segera tersadar dari lamunannya dan segera membuatkan segelas kopi.

Sembari membuatkan segelas kopi, Marina sedikit melirik ke arah pria itu. Dari bajunya, Marina yang setiap hari di dermaga tahu betul kalau pria itu adalah seorang kapten kapal. Baru kali ini seorang kapten kapal membeli kopi darinya. Biasanya hanya kuli angkut di dermaga, atau anak buah kapal yang membeli kopi dari seorang penjual kopi seperti dirinya.

Namun karena melirik sambil mengaduk kopi, air kopi yang panas itu pun sedikit tumpah dan mengenai tangannya. Marina sontak kepanasan, “Auu aduhhh....”

“Kamu kenapa, kamu tidak apa-apa?” tanya kapten kapal itu yang ternyata begitu perhatian.

“Ehh tidak apa-apa mas. Hanya sedikit kena air panas,” jawab Marina yang sedikit menambahkan air lagi pada segelas kopi itu.

“Ohh hati-hati mba,” ujar kapten kapal itu.

Marina dibuat berdegup dengan sikap perhatian yang ditunjukkan kapten kapal itu. Terlebih sembari menyeruput kopinya, kapten kapal itu memulai perbincangan.

“Mba makasih kopinya. Dingin-dingin begini paling enak minum kopi.”

“Iya... mas, sekarang sudah mulai musim dingin,” ucap Marina sedikit malu.

“Ehmmm ngomong-ngomong mba siapa namanya?”

“Marina, mas.”

“Ohh saya Supriadi, ehmm mba Marina udah berapa lama jualan kopi?” tanya pria itu.

“Sudah lama mas, semenjak bapak sama ibu sudah nggak ada, semenjak lulus sekolah.”

“Ohhh, jadi mba sudah yatim piatu. Terus sekarang tinggal sama suami?”

Mendengar perkataan itu, Marina menunduk, bibirnya berat tuk berucap menjawab pertanyaan itu.

“Ehhh.... maaf kalo pertanyaan saya membuat mba sedih,” desis pria bertubuh tegap itu.

“Ehmmm enggak kok mas. Saya..... saya cuma tinggal sendiri, saya belum punya suami.”

“Ohh masih sendiri. Pasti mba terlalu pemilih ya?”

“Ahhh memang siapa yang mau sama saya, mas. Udah item, kampungan,” Marina merendah.

“Hushhh jangan merendah begitu. Setiap orang punya kelebihannya masing-masing. Mba nggak boleh merasa nggak ada yang mau karena kulit mba agak hitam atau apa lah. Coba deh Mba Marina lihat kopi yang mba Marina bikin ini. Kopi ini hitam, tapi kenapa banyak yang suka minum kopi? Itu karena orang tidak peduli walau kopi itu hitam. Yang orang inginkan hanyalah kopi yang harum, yang bisa memberikan kehangatan. Kalaupun kopi itu pahit, ada gula yang larut dalam kopi itu hingga rasanya menjadi manis.”

Ucapan Supriadi membuat Marina tak lagi merasa rendah. Ia tak peduli walaupun orang-orang menatapnya dengan pandangan yang merendahkan. Ia tak peduli walau orang-orang mencibir sekalipun. Ia tetap tegar berjalan dan bersemangat berjualan kopi.

Beberapa hari ini cuaca memang sedang tak bagus. Beberapa kapal menepi di dermaga itu selama beberapa hari ini untuk menunggu cuaca membaik. Termasuk kapal yang dibawa Supriadi. Dan hal itu menambah rejeki bagi Marina dan penjual kopi lainnya. Namun hanya Marina yang selalu menjadi langganan Supriadi, kapten kapal itu. Langganan untuk membeli secangkir kopi yang ia jual tentunya. Beberapa hari ini, Marina semakin dekat dengan Supriadi. Ia tak menyangka, lelaki yang mau berbincang dengannya adalah seorang kapten kapal. Sementara lelaki lain seolah menjauhinya, memandangnya dengan memicingkan mata ketika melihat kulitnya yang hitam.

Dan di malam itu, Supriadi membuat Marina berbunga-bunga, menyingkirkan hari-hari Marina yang sepi di Dermaga ketika kapten kapal itu mengutarakan cinta padanya. Suara deburan ombak, suara desir angin, suara klakson kapal, suara burung-burung yang berkicau di atas langit dermaga, semuanya terasa indah di telinga Marina.

***
Matahari seolah muncul dari dalam lautan dan memancarakan sinarnya.

Seperti kata Crisye, ‘badai pasti berlalu’. Sejak malam tadi, badai kesepian yang menerpa Marina selama hidupnya seolah berlalu ketika seorang kapten kapal mengutarakan cinta padanya. Pagi ini pun cuaca terlihat sangat cerah. Badai yang melanda lautan nampak telah berlalu. Namun ada perasaan sedih di hati Marina ketika badai lautan itu telah usai. Karena itu artinya... Supriadi yang beberapa hari ini menepi di dermaga harus melanjutkan perjalanannya ke beberapa negara. Ia pun melambaikan tangan padanya yang beranjak pergi. Kapal yang dibawa Supriadi pun semakin menjauh dan tak terlihat lagi. Sebelum ia pergi, Supriadi berjanji akan kembali ke tempat itu enam bulan lagi untuk menikahi Marina. Dari dermaga itu, Marina menatap lautan dengan tatapan yang nanar. Dermaga itu tempatnya bertemu dengan seorang yang ia nanti selama bertahun-tahun, namun Dermaga itu juga  tempatnya berpisah dengannya. Tapi di Dermaga itu pula ia akan terus menanti sampai kapten kapal itu kembali tuk menemuinya.

Hari demi hari dilalui Marina di dermaga itu sambil menjual kopi. Ia merasa ada hal yang berbeda tanpa kehadiran kapten kapal itu yang membeli kopi darinya. Namun ia tetap bersabar dan menjalani hari seperti biasa.

Enam bulan pun berlalu. Hari ini, seharusnya Supriadi kembali ke dermaga itu tuk menemui Marina dan menikahinya. Namun hingga malam kian larut, kapten kapal itu belum datang juga. Keesokan harinya pun seperti itu. Marina terus menanti di Dermaga dari pagi hingga malam dengan perasaan yang gundah. Tapi penantian itu hingga kini hanyalah angin semu. Ia mulai dilanda kecemasan. Takut terjadi apa-apa pada Supriadi. Terkadang pula ia berpikir kalau Supriadi memang tak berniat untuk menikahinya. Atau di dermaga lain ia bertemu dengan wanita yang jauh lebih cantk darinya. Namun semua pikiran negatif itu segera ia singkirkan jauh-jauh. Ia hanya bisa menanti dan berdoa, berharap lelaki pujaan hatinya itu benar-benar datang menemuinya.

Di kala mentari mulai menaik, sebuah kapal kecil menepi di dermaga itu. Marina berdiri dari duduknya dan berharap kalau itu adalah kapal yang dibawa Mas Supriadi.

Kemudian seorang awak kapal turun dari kapal itu dan menemui Marina.

“Mba... yang bernama Marina, kan? Yang dulu sering saya lihat mengobrol bersama Pak Supriadi?” tanya pria itu.

Marina mengangguk walau tak mengerti apa maksud pria itu menemuinya, “I... iya, memangnya ada apa ya, mas?”

“Saya anak buahnya Pak Supriadi. Sa.... saya merasa harus datang kemari untuk menemui mba Marina,” desis pria itu dengan mimik wajah yang sedih.

Seketika Marina diliputi perasaan yang tidak enak.

“La.. lalu dimana Mas Supriadi?” tanya Marina yang begitu cemas.

“Beberapa hari yang lalu kami berangkat menuju dermaga ini. Waktu itu cuaca sedang tidak bersahabat. Namun Pak Supriadi merasa harus terus berangkat karena sudah janji pada Mba Marina. Namun naas, di samudra Pasifik kami diterjang padai, kapal kami pun terbalik dan tenggelam. Saya beserta beberapa awak kapal lain sempat menyelamatkan diri dengan melompat ke perahu kecil. Namun Pak Supriadi terus berusaha untuk mengendalikan kapal dan akhirnya tenggelam bersama kapal itu. Ia lebih mengutamakan keselamatan anak buahnya dibandingkan dirinya sendiri. Ia tenggelam di laut terdalam, tepatnya di palung Marina, dekat wilayah Filiphina,” lirih anak buah kapal itu menceritakan kejadian yang begitu tragis yang dialaminya.

Mendengar kabar itu, Marina tak kuasa membendung air matanya. Ia seolah tak percaya kalau lelaki yang telah dinantinya itu tak akan pernah kembali.

“Saya membawakan ini, sebuah buku harian yang ditulis Pak Supriadi. Semenjak bertemu Mba Marina enam bulan yang lalu, Pak Supriadi selalu menulis segala sesuatu tentang Mba Marina di buku ini. Saya merasa harus menyerahkan buku ini pada Mba Marina,” ucap anak buah kapal itu sambil menyerahkan buku harian itu.

Marina pun menerima buku itu. Tetes air matanya jatuh pada buku itu. Ia semakin tak kuasa membendung kesedihannya.
......

Di sore hari, di dermaga itu, sembari memandangi lautan dan matahari yang mulai menurun, Marina membaca apa yang dituliskan Supriadi di buku hariannya. Supriadi sempat menulis kalau kecintaannya pada Marina sangat dalam. Sedalam lautan terdalam yang ada di dunia ini. Marina meneteskan air matanya, mengingat lelaki pujaan hatinya itu yang tenggelam di lautan terdalam, di Palung Marina di Samudra Pasific dekat wilayah Filiphina, sebuah palung terdalam yang dalamnya melebihi gunung tertinggi. Entah kebetulan atau tidak, nama palung terdalam itu sama dengan nama dirinya.


Sore itu suara deburan ombak, suara burung yang memekik, dan angin yang berdesir, terasa lebih lirih melantunkan nada kesepian yang dirasakan Marina.

=====================================================================

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014

Cerpen Tentang Impian 15 Tahun yang Lalu


Aku teringat dengan sahabat-sahabatku semasa kecil. Hari ini adalah hari kita berkumpul kembali. Aku ingat betul 15 tahun yang lalu Saat kita baru naik ke kelas 6 SD, kita berkumpul di sini, di tepi sungai di samping pohon kersen di belakang sekolah. Di sini Aku, Yadi, Setyo, Ranin, dan Hari pernah mengubur sebuah gambar yang kita simpan di toples kaca. Gambar itu adalah gambar diri kita masing-masing yang mengenakan pakaian sesuai profesi yang kita impikan. Itu adalah gambar yang kita buat bersama. 

Di gambar itu Yadi berpakaian polisi, pria berkulit sawo matang itu memang ingin sekali menjadi polisi. Sementara Setyo berpakaian seragam coklat seperti yang dikenakan guru-guru kami, ia memang ingin menjadi guru. Ranin yang merupakan perempuan satu-satunya di kelompok kami berpakaian dokter sesuai dengan cita-citanya. Sementara cita-citaku saat itu ingin jadi pemain bola. 

Lalu bagaimana dengan Hari? Akan ku ceritakan nanti kawan. Tak cukup hanya satu kalimat untuk menceritakan anak yang luar biasa itu. Yang pasti kini aku masih menunggu kedatangan mereka di tempat ini. Aku yakin mereka takkan lupa akan janji kita 15 tahun yang lalu. Saat itu kita berjanji akan berkumpul kembali pada tanggal yang kami tentukan, yaitu hari ini. Dan saat itu kita janji pada saat kita berkumpul nanti, kita sudah mencapai impian kita masing-masing dan akan mengenakan pakaian sesuai dengan impian yang telah kita capai.

Sesekali ku lihat jam tangan, sudah cukup lama ku menunggu disini. Tak ada satu pun dari mereka yang datang. “Apakah mereka lupa, apa lebih baik aku pulang saja?” tanyaku dalam hati.  Aku pun bergegas pulang karena janji itu memang telah begitu lama dan pastinya mereka lupa.

Baru keluar dari gerbang sekolah menuju jalan raya, motorku dicegat oleh seorang polisi. Aku tak tau apa salahku. Tapi terlihat polisi itu tersenyum dari balik helmnya yang kemudian ia buka.

“Rei. . . , apa kabar?” sahut polisi itu seraya tersenyum.

Aku bingung kenapa polisi itu mengenaliku. Kurapatkan kedua alisku, ku mencoba menerka wajahnya yang sepertinya aku kenal.

“Ohhh,, Yadiiii. . . .Kamu sudah jadi polisi sekarang ya, hahaha. . .!!” ucapku terkejut.

Ternyata itu Yadi yang sudah menjadi polisi. Ia datang, rupanya ia ingat akan janji kita 15 tahun yang lalu. Tak lama kemudian datang seorang berpakaian dokter, disusul kemudian seorang yang berpakaian guru. Mereka adalah Ranin dan juga Setyo yang ternyata juga masih ingat akan janji kita. Kita pun berkumpul di tempat itu, di tempat kita mengubur gambar impian kita dahulu. Kita saling berbincang tentang masa lalu dan tentang impian kita.

“Wah kalian hebat, ternyata kalian sekarang bisa mencapai impian masing-masing,” ucapku pada mereka yang mengenakan pakaian sesuai profesi masing-masing.

“Ah tapi kamu lebih hebat Rei. . .” ucapan Setyo terhenti.

Ia menatap pakaian yang ku kenakan. Mereka semua pun ikut menatap pakaian yang ku kenakan, kaos Barcelona.

“Rei, kamu sekarang jadi pemain Barcelona?” tanya Yadi terkaget-kaget.

“Hahaha kalian tuh ngeledek ya. Ya enggak lah, enggak mungkin. Eh, tapi ngomong-ngomong Hari mana yah?”

Kami semua terhenyak saling memandang dan mengingat anak itu, Hari, anak yang luar biasa.

Kami pun menggali kembali tempat dimana kami menguburkan gambar itu. Ternyata gambar itu masih ada, tersimpan di sebuah toples kaca yang sudah agak rusak. Kami memandangi gambar yang kami buat bersama 15 tahun yang lalu. Dan disana gambar Hari lah yang paling istimewa. Di gambar itu Hari mengenakan pakaian lab sedang memegang gelas ukur, di depan mejanya ada mickroskop dan berbagai peralatan lain yang secara detail ia gambar. Hari memang bercita-cita menjadi seorang ilmuan. Ia siswa yang paling pintar di kelas. Setiap kali Bu Heni mengajar, ia selalu aktif bertanya dan menjawab pertanyaannya. Sepanjang kami sekelas dengannya, ia selalu menjadi ranking satu. Tak pernah ada yang bisa mengalahkan prestasinya.

Tapi di sisi lain ia adalah anak yang sederhana dan tak pernah sombong. Ia selalu mengajari kami apabila ada pelajaran yang bagi kami sulit. Aku tak tau bagaimana ia bisa secerdas itu, karena ia adalah anak yang tak mampu membeli buku. Ayahnya yang hanya seorang buruh tani tak mampu membelikannya buku. Bahkan untuk menyekolahkannya saja sudah susah payah. Tapi ia anak yang tak kenal menyerah. Seringkali ku lihat usai pulang sekolah ia selalu ke perpustakaan, membaca buku-buku di sana sendiri.

Dan yang paling istimewa darinya adalah matematika. Nilai matematikanya hampir selalu sempurna. Hanya sesekali saja ia mendapat nilai 9, sisanya ia selalu mendapat nilai 10. Jika ia melihat soal matematika, ia hanya memejamkan mata tanpa membuat kotretan. Ia mencoba menghitung dalam pikirannya dan tak lama ia sudah bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang bagi kami sulit. Ia juga anak yang amat riang dan tak pernah sekalipun bersedih hati.

Namun hari itu berbeda, wajah cerianya langsung berubah ketika mendengar kabar ayahnya meninggal. Ayahnya yang sejak seminggu sakit harus menghembuskan nafas terakhirnya. Kemiskinan yang menjerat keluarganya membuat ayahnya tak mampu tuk berobat. Hari pulang dengan wajah tertunduk penuh kesedihan.

Seminggu sejak kejadian itu tak pernah lagi kita lihat wajah cerianya. Ia lebih banyak tertunduk diam dan merenung. Aku mencoba memahami beratnya beban hidupnya. Dan saat itu kami takkan lupa kejadian yang membuat hati kami ibarat gunung es di kutub utara yang runtuh. Luluh lantah seolah tak percaya kalau anak itu, anak sepintar itu, anak sebaik itu, ia tiba-tiba pamit karena tak mampu lagi untuk bersekolah karena masalah biaya. Hati kami berbicara, ingin rasanya membantunya, namun apa daya, keluarga kami pun juga bukan keluarga yang berkecukupan.

Ketika dijemput ibunya waktu itu, ku lihat ibunya menguatkan hatinya. Ia berkata pada Hari kalau ia pasti bisa sukses walaupun saat itu ia harus putus sekolah.

Kami semua takkan lupa saat itu, takkan lupa pada anak yang luar biasa itu, hingga kini.

Hari ini kami pun masih menunggu kedatangan Hari. Namun hingga sore menjelang, Hari belum juga nampak. Kami sama sekali tak tau keberadaannya semenjak 15 tahun yang lalu.

“Rei gimana nih, apa kita masih nunggu disini?” tanya Ranin.

“Atau kita langsung ke rumah makan aja, kayanya si Hari nggak akan datang,” usul Setyo.

“Hmmm, aku nggak tau nin, Yo. Sekarang Hari dimana ya, gimana kalo kita cari facebooknya dulu, siapa tau ada.”

“Wah ide bagus tuh Rei. Namanya kan unik, Hari Cahaya Pagi, pasti gampang dicari,” sahut Yadi.

 Ternyata memang benar, tak sulit untuk menemukan nama itu. Dan ternyata Hari yang kala itu putus sekolah sekarang punya akun facebook. Tapi yang membuat kami benar-benar terkejut adalah pekerjaan ia saat ini yang tercantum di profil facebooknya. Saat ini ternyata ia bekerja di Nara Institute of Science and Technology di Jepang sebagai peneliti. Kami semua terbelalak melihatnya. Bagaimana mungkin anak yang putus sekolah 15 tahun yang lalu kini menjadi seorang peneliti di Jepang. Tak habis-habisnya kami membincangkan anak yang luar biasa itu.

Jika begitu, maka sudah pasti Hari tak akan datang. Kita pun berniat pergi ke warung makan di desa kami. Namun sebuah mobil menghadang jalan kami dan membunyikan klaksonnya tepat di depan gerbang sekolah. Jendela kaca depannya diturunkan secara perlahan dan semakin terkejutlah kami melihat orang yang mengendarai mobil itu. Senyumnya dan wajah cerianya kami masih ingat betul. Ya, ia pasti Hari anak jenius itu. Ia memakai jas laboratorium.

Ternyata benar itu memang Hari. Kami dibuat terkejut dengan kehadirannya. Kita berlima makan bersama di warung makan di desa kami dan saling berbincang.

“Ri, bukannya kamu di Jepang?” tanya Setyo.

“Ia yo aku baru balik ke Indonesia.”

“Liburan?”

“Bukan, aku nggak akan balik lagi ke sana. Aku mau buat sekolah gratis di desa ini. Aku mau buat laboratorium penelitian di desa ini. Aku yakin banyak anak-anak di desa kita yang sebenernya cerdas.”

Jawaban Hari membuat kita terperangah. Ia rela melepas pekerjaannya sebagai peneliti di Jepang yang sudah tentu dengan pendapatan yang amat tinggi untuk kembali ke desa kami. Untuk membangun sekolah dan laboratorium. Sungguh niat yang amat mulia.

“Terus gimana ceritanya kamu bisa jadi peneliti di Jepang Ri?”

“Oh, ini semua berkat ibuku yang selalu menyemagatiku. Dan aku pun yakin nggak ada yang nggak mungkin Rei. Thomas Alva Edison pun dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap dungu. Namun siapa sangka ia bisa jadi salah satu ilmuan paling hebat di dunia. Sementara Aku dan Ibuku sempat menggelandang di Jakarta tuk mengadu nasib. Aku sempat bekerja sebagai buruh. Karena melihat kegigihanku, bosku memberikan beasiswa padaku untuk melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya aku bisa kuliah di Jepang dan menjadi peneliti di sana Rei.”

Kami semua semakin kagum dengan Hari. Dan itulah hari pertemuan kami menuntaskan janji kami 15 tahun yang lalu. Kami semakin percaya kalau impian bukan cuma sekedar uang. Hari yang telah bekerja dengan penghasilan tinggi di Jepang justru kembali ke Indonesia untuk membangun sekolah gratis dan mengembangkan laboratorium di desa kami. Ia tak mau lagi ada anak miskin yang cerdas namun harus putus sekolah. Sementara Ranin yang pernah bekerja di rumah sakit dengan gaji cukup tinggi, kini kembali ke desa kami tuk membuka praktek di desa kami. 

Setiap pasien yang ia tangani hanya membayar semampunya, bagi yang tak mampu tak usah bayar. Ranin tak mau kejadian seperti ayahnya Hari yang tak mampu berobat terulang kembali. Setyo pun pernah mengajar di sekolah elit di Jakarta dengan bayaran tinggi. Namun ia kembali ke desa kami untuk menjadi pengajar di sekolah kita dulu dengan bayaran yang jauh lebih kecil. Sementara Yadi selalu menjadi polisi yang melayani masyarakat. Tak sekali pun ia memanfaatkan profesinya untuk memungut uang dari masyarakat ataupun mencari uang di luar gajinya.

Itulah teman-temanku, sementara aku pun sejak setahun yang lalu telah kembali ke desa ini. Aku memang sempat bekerja di sebuah pertambangan dengan gaji sepuluh juta. Namun aku tak betah dan kembali ke desa ini tuk melatih anak-anak bermain sepakbola. Aku membuat sekolah sepak bola di desa kami. Walaupun impianku tuk menjadi pemain sepak bola telah kandas, namun aku yakin di desa ini suatu saat nanti bakal ada pemain sepak bola yang berbakat yang bisa mengharumkan nama Bangsa.


Bagi kami, cita-cita bukan cuma sekedar mengejar uang. Tapi kami hanya mendengarkan saat hati kami berbicara. Dan mengikuti apa yang diinginkan hati tuk menjalani hidup ini.

==========================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014

Belajar adalah Esensi dalam Hidup


Buat apa sekolah dan kuliah?
Merupakan kata tanya yang sudah seharusnya kita tanya pada diri kita sendiri, pada lubuk yang paling dalam. Dan ketika Anda bertanya pada diri Anda sendiri, jawaban yang keluar dari sanubari Anda mungkin bermacam–macam. Mungkin hati kita akan menjawab sekolah hanya untuk menunaikan kewajiban, atau sekolah hanya untuk mencari teman atau mencari aktivitas, atau mencari gelar semata. Tapi menuntut ilmu dan mengamalkannya adalah jawaban yang paling murni dari sekian banyak jawaban.

Namun menuntut ilmu tak mesti harus di sekolah saja bukan?

Kita telah belajar dari Thomas Alva Edison, bagaimana dia mampu menjadi ilmuan hebat dengan ribuan penemuannya dengan tanpa sekolah. Kita juga telah belajar bagaimana Michael Faraday terus belajar selama bekerja di perpustakaan walau tanpa sekolah dan akhirnya mampu menjadi ilmuan hebat. Kita juga telah belajar dari orang–orang sukses lainnya yang mampu meraih suksesnya walau tanpa sekolah.

Ketika kita menatap tingginya langit, hiasan bintang–bintang, atau hamparan bumi, bukankah kita sedang belajar?

Ketika kita merasakan hembusan angin yang mengalir di setiap nafas kita, bukan kah kita belajar?

Ketika kita membuka lembaran demi lembaran sebuah buku dan menelusuri makna dan informasi di setiap kata yang tertulis, bukan kah kita sedang belajar?

Ketika kita mengalirkan kata–kata penuh makna dari mulut kita dan menghantarkannya pada setiap telinga yang mendengar, bukankah kita sedang belajar?

Ketika kita berada di jurang keterpurukan, didera berbagai masalah, bukankah kita sedang belajar?

Belajar adalah sebuah esensi dalam hidup ini, belajar bukan berarti sekolah, dan sekolah bukan berarti belajar. So......

Bagi yang punya kesempatan untuk sekolah dan kuliah, bersyukurlah. Karena di luar sana banyak orang yang tak memiliki kesempatan itu. Jadikanlah itu sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Jadikanlah setiap kisah sukses orang-orang yang tak lulus sekolah dan kuliah di buku ini sebagai pelecut semangat. Kalau mereka saja bisa, kita yang punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan seharusnya lebih bisa.

Dan bagi yang tak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, tak usah berkecil hati dan merasa terpuruk. Karena banyak yang bernasib serupa dengan kamu bisa meraih kesuksesan

Minggu, 01 Oktober 2017

Ini Betapa Berbahayanya Narkoba


Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan obat–obatan berbahaya. Satu lagi hal yang paling merusak generasi penerus bangsa. Kebanyakan para pelajar yang mengkonsumsi narkoba bermula dari coba–coba yang dipengaruhi dari pergaulan teman–temannya. Tapi setelah itu penggunanya akan terjerat dalam jeratan narkoba dan akan sulit terlepas dari pengaruhnya. Ia akan merasa sangat ketergantungan dengan obat–obatan terlarang tersebut. Jika sudah begitu ia akan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan barang haram itu. Entah mencuri uang orang tua, sampai tindakan kriminal lainnya.

Narkoba sangat berbahaya bagi tubuh penggunanya. Berikut ini adalah bahaya penyalahgunaan Narkoba:

- Depresan: pemakai akan tertidur atau tidak sadarkan diri
- Halusinogen: Pemakai akan berhalusinasi atau dengan kata lain melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
- Stimulan: Mempercepat kerja organ tubuh seperti jantung dan otak sehingga si pemakai akan merasa bertenaga untuk sementara waktu. Namun karena organ–organnya dipaksa bekerja di luar batas normal lama kelamaan saraf–sarafnya bisa rusak.
- Adiktif: Si pemakai akan merasa ketagihan sehingga akan terus mencari cara agar bisa mendapatkan barang haram tersebut. Jika tidak mendapatkannya, tubuhnya akan ada pada kondisi kritis (sakaw).

Sangat disayangkan saat ini justru penyalahgunaan narkoba semakin meluas. Banyak pelajar yang seharusnya generasi penerus bangsa malah terjebak dalam jeratan Narkoba. Bahkan bukan hanya di tingkat SMA, di SMP dan SD pun bahkan cukup banyak yang telah terjerat narkoba. Maka dari itu Anda jangan sampai coba–coba karena kalau sudah terjerat akan sulit keluar.

Ini Betapa Bahayanya Minuman Keras


Tindakan kejahatan kerap kali dipicu oleh minuman beralkohol. Minuman ini bisa menghilangkan kesadaran sehingga orang yang mengkonsumsinya dapat melakukan hal–hal yang di luar nalar mereka. 

Sayangnya banyak pula para pelajar yang terlibat pergaulan yang salah mengkonsumsi minuman beralkohol. Padahal dalam agama tuh sudah jelas kalo minuman yang satu ini HARAAAM. Bahkan bukan cuma yang minumnya aja yang dosa, tapi menurut hadist riwayat At Tirmidzi dan Ibnu majah, yang menjual, yang mengantarkan, yang menuangkan, yang membeli, yang minta dibelikan, pokoknya yang berkaitan dengan minuman keras itu  dapet dosanya.

Si Pengguna biasanya merasa dapat mengendalikan diri dan mengontrol tingkah lakunya. Pada kenyataannya mereka tidak mampu mengendalikan diri. Makanya banyak kecelakaan mobil yang disebabkan karena mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.

Pemabuk atau pengguna alkohol yang berat dapat terancam masalah kesehatan yang serius seperti radang usus, penyakit liver, dan kerusakan otak. Kadang-kadang alkohol digunakan dengan kombinasi obat–obatan berbahaya lainnya, sehingga efeknya jadi berlipat ganda. Bila ini terjadi, efek keracunan dari penggunaan kombinasi akan lebih buruk lagi dan kemungkinan mengalami over dosis akan lebih besar. Bahkan sering terjadi di beberapa daerah, minuman keras oplosan menimbulkan korban jiwa.

Nah, sudah tau kan kenapa minuman keras itu HARAAAM. Namun sayangnya di luar negeri seperti negara–negara Amerika dan Eropa dan negara–negara berkembang lainnya, minuman alkohol sudah menjadi kebiasaan. Mungkin satu–satunya hal yang masih dilarang hanyalah minum minuman tersebut di saat menyetir. Padahal kan mau lagi nyetir ke, mau lagi apa ke, yang namanya minuman yang memabukkan ya ga baik lah. Nah makanya adik-adik jangan coba–coba minum minuman keras. Udah tau keras kok masih di minum. Bahaya loh bahkan sering ada yang tewas gara–gara kebanyakan minum minuman keras.

Ini Betapa Banyaknya Bahaya Merokok


Merokok sudah dianggap sebagai hal yang lumrah di kalangan pelajar, terutama pelajar pria. Bahkan ada anggapan bahwa yang tidak merokok bukan laki–laki sejati. Hmmm.... buat Anda yang tidak merokok tidak usah berkecil hati dianggap seperti itu. Karena banyak juga bencong–bencong di pinggir jalan yang lagi pada mangkal sambil merokok. Jadi jika Anda tidak merokok, maka Anda bukan seperti bencong tersebut.

Di setiap iklan rokok, ataupun di bungkus rokok pasti dicantumkan peringatan ‘merokok dapat menyebabkan penyakit jantung, gangguan napas, impotensi, dan kelainan janin’.  Tapi sadar atau tidak peringatan itu adalah peringatan yang dibuat untuk dilanggar. Jadi kalau Anda tau peringatan itu tapi tetap merokok, maka Anda termasuk salah satunya.

Dari hasil penelitian, ternyata rokok mengandung lebih dari dua ribu zat yang tidak baik bagi kesehatan. 

Zat pada rokok yang paling berbahaya adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida. Tar mengandung kurang lebih empat puluh tiga bahan yang menjadi penyebab kanker atau yang disebut dengan karsinogen. Nikotin  dapat menyebabkan ketagihan, ini yang menyebabkan para pengguna rokok sulit sekali untuk berhenti merokok. Nikotin merupakan zat pada rokok yang berisiko menyebabkan penyakit jantung, 25 persen dari para pengidap penyakit jantung disebabkan oleh kegiatan merokok.

Berikut ini adalah bahaya rokok terhadap kesehatan bagi perokok aktif :

Rokok dapat menyebabkan Kanker pundi kencing, Kanker perut, Kanker usus dan rahim, Kanker mulut, Kanker Esofagus, Kanker tekak, Kanker pankrias, Kanker payudara, Kanker paru-paru, Penyakit saluran pernafasan kronik, Strok, pengkroposan tulang atau yang dikenal dengan osteoporosis, Penyakit jantung, Kemandulan, Putus haid awal, Melahirkan bayi yang cacat, Keguguran bayi, Bronkitis, Batuk, Penyakit ulser peptik, Emfisima, Otot lemah, Penyakit gusi, dan Kerusakan mata.

Ternyata perokok bukan cuma perokok aktif saja yang terkena dampaknya. Perokok pasif pun bisa terkena dampaknya. Berikut dampak rokok bagi perokok pasif :

Meningkatkan risiko kanker paru-paru dan penyakit jantung, Masalah pernafasan termasuk radang paru-paru dan bronkitis, Sakit atau pedih mata, Bersin dan batuk-batuk, Sakit kerongkong, Sakit kepala.

Saya pernah membaca sebuah tulisan di internet. Ada seorang yang sebenarnya tidak merokok. Namun ia satu kosan dengan teman-temannya yang merokok. Setiap hari, ia menghirup asap rokok yang dari teman-temannya yang merokok di kosannya. Suatu ketika ia sakit. Dan ketika diperiksa, ternyata ia mengidap kanker paru-paru, walau ia tak pernah merokok. Ia menjalani kempoterapi beberapa kali. Namun akhirnya beberapa waktu kemudian ia menghembuskan napas yang terakhir. 

Nahhh sudah tau kan banyak keburukannya jadi seperti kata poster yang nempel di dinding, “MATIKAN ROKOK ANDA SEBELUM ROKOK ANDA MEMATIKAN ANDA DAN JUGA ORANG DI SEKITAR ANDA”.

Jauhi Tawuran, Tapi...


Seringkali jika kita melihat berita pagi selalu diawali dengan berita perkelahian atau tauran. Pelakunya mulai dari antar kampung, antar supporter, dan yang paling sering adalah antar pelajar. 

Dalam tawuran seperti ini seringkali menimbulkan korban luka parah hingga meninggal dunia. Sangat disayangkan sekali jika para pelajar yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa justru saling menyerang hanya karena masalah sepele.

Biasanya orang–orang yang suka melakukan tindak kekerasan dipengaruhi oleh keadaan psikologisnya. Misalnya pernah mengalami tindak kekerasan juga sehingga memicu alam bawah sadarnya untuk melakukan tindakan kekerasan juga, atau bisa juga kurangnya perhatian dari orang tua. Atau yang lebih banyak karena pengaruh pergaulan. Mereka seolah didoktrin akan hebat jika bisa melakukan tindakan kekerasan. Padahal kalau kamu ingin merasa hebat, buktikan dengan prestasi, bukan dengan aksi kekerasan.

Budaya Ospek yang Salah


Buat yang pernah kuliah tentu masih ingat dong dengan masa–masa ospek. Masa–masa dimana mahasiswa baru “dikerjai” oleh para senior. Namun sayang, banyak kampus–kampus yang menjadikan ospek sebagai ajang penyiksaan oleh para senior kepada para junior. Senior merasa jauh lebih berkuasa dan junior harus tunduk pada para senior.

Sudah beberapa nyawa melayang akibat penyiksaan dari senior kepada juniornya pada saat ospek di beberapa kampus. Mereka dipukuli, ditendang, dan disiksa secara tidak berprikemanusiaan. 

Yang menjadi pertanyaan apakah sistem Ospek sudah benar?

Apakah dengan menggertak, dan menyiksa junior bisa bikin mental jadi lebih kuat?

Faktanya tradisi tersebut sulit terhenti karena adanya rasa ingin balas “dendam”. Para junior yang dahulu “disiksa” oleh para senior menjadi memiliki rasa ingin membalaskannya pada para junior ketika ia telah senior nantinya. Dan ada banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan saat pelaksanaan OSPEK. Kalau memukul dan menendang sih sudah pasti harusnya tidak ada yang seperti itu. Menampar dan membentak pun seharusnya tidak ada di kegiatan OSPEK.

Kegiatan Ospek seharusnya mampu membuat para junior memiliki keinginan untuk berkembang dan berprestasi. Selain pengetahuan tentang kampus atau sekolah yang baru dijamahnya, tentu seharusnya diisi dengan kegiatan yang menumbuhkan dan mengembangkan karakter dari para mahasiswa baru.

Macam-macam Niat orang Kuliah


Setelah lulus SMA, banyak yang berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebenarnya ada banyak nawaitu alias niat kenapa orang mau meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi walaupun harus mengeluarkan biaya yang muahaal. Berikut diantaranya:

·         MENCARI GELAR,
·         MENCARI KEGIATAN,
·         MENCARI TEMAN ATAU PASANGAN,
·         MENGIKUTI BUDAYA,
·         MENCARI ILMU,

Mencari Gelar
Ada orang–orang tertentu yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena niatnya mencari gelar yang melekat di belakang namanya. Misalkan ST, atau MBA, atau Msc, atau Msg (kalo itu pecin hehehe), atau juga Alm.(lohh... kalo itu almarhum), dan beberapa gelar yang menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang berpendidikan. Berarti orang yang semacam ini lebih mementingkan prestice dibandingkan prestasi.

Tipe semacam ini persentasenya mungkin sangat banyak dibandingkan tipe yang lain. Karena gelar yang melekat menunjukkan setinggi apa tingkat pendidikan orang tersebut. Dan gelar tersebut sering disebut saat pidato, sambutan, ataupun tercantum di berbagai surat, buku,  atau form-form temasuk undangan perkawinan.

Buat yang niatnya mencari gelar, coba deh pikirin lagi buat apa sih gelar? Mungkin kebanyakan bilang buat bekerja. Memang kebanyakan lowongan pekerjaan saat ini menerapkan standardisasi minimal untuk karyawan yang mereka rekrut tergantung dari posisi kerjanya. Ada yang mensyaratkan lulusan diploma, adapula yang mansyaratkan minimum lulusan sarjana. Tapi kalau kita lihat menurut data BPS yang sudah kita bahas di semester pertama, ternyata justru pengangguran paling banyak adalah lulusan diploma dan sarjana. Dan yang terpenting bukanlah ijasah, tapi kinerja dan kapasitas kita.

Mencari kegiatan
Kuliah di perguruan tinggi dijadikannya sebagai suatu kegiatan semata. Dari pada tidak ada kegiatan, kerja belum siap, nganggur di rumah bosen, mending kuliah. Itu yang dipikirkannya.

Biasanya tipe mahasiswa seperti ini untuk memilih jurusan saja bingung. Karena ia tidak tau ke mana bidang yang ingin ia tekuni. Akhirnya setelah kuliah ia merasa jam kuliah amat membosankan. Apalagi jika ia kuliah di jurusan yang tidak ia sukai. Mungkin baginya jadwal kuliah dan belajar di kampus sudah seperti penjara.

Tak ayal beberapa mahasiswa kerap kali lebih asik ngobrol, ataupun nongkrong dan nangkring dibandingkan masuk kuliah dan memetik ilmu. Amplop berisi kertas bertuliskan surat sakit palsu diiringi tanda tangan palsu sering jadi senjata.

Mencari teman atau pasangan
Ada orang yang niat utamanya melanjutkan pendidikan adalah untuk mencari teman semata.

Di kampus ia hanya semangat untuk ngobrol dengan teman, main dengan teman, makan-makan, ngumpul–ngumpul, makan sambil ngumpul, ngumpul sambil makan, makan ngumpul makan ngumpul, ngumpul makan ngumpul makan, ngumpul-ngumpul makanan dan lain sebagainya :D. Bahkan banyak juga yang menjadikan kampus sebagai tempat untuk sekedar mencari pasangan. Ya, kampus sih memang tempat berkumpulnya para kaula muda. Tapi jangan dijadikan sebagai tujuan utama juga seharusnya.

Relasi itu memang penting sebenarnya. Dan kalau niat untuk mencari teman memang bukan hal yang salah juga, justru hal yang baik. Tapi seperti kata pepatah, “kita bergaul dengan tukang sampah ketularan baunya, tapi kalau kita bergaul dengan tukang parfum ketularan wanginya”.

Jadi kalau ada orang yang bilang mencari teman itu jangan pandang bulu itu salah. Justru mencari teman itu kita harus pandang bulu. Eitss itu ungkapan loh yah. Maksudnya kita juga harus memilih dengan siapa kita bergaul. Jangan sampai kita terjerumus dengan pergaulan yang enggak bener. Soalnya yang namanya kenakalan remaja seperti minum minuman keras, tauran, sampai narkoba biasanya dimulai dari pergaulan.

Mengikuti budaya
Sebagaimana kita ketahui kehidupan kebanyakan orang setelah sekolah adalah melanjutkan ke bangku kuliah. Dan ada orang yang melanjutkan kuliah karena kebiasaan banyak orang memang seperti itu. Lantas ia pun mengikuti kebiasaan tersebut. Orang semacam ini memiliki prinsip hidup yang mengalir saja seperti air.

Biasanya orang yang hanya sekedar mengikuti kebiasaan tak punya tujuan jelas dalam hidupnya. Pokoknya orang lewat jalur itu yahhh ikut ajahhh. Biasanya ia milih jurusan yang populer atau yang paling sering dipilih para pelajar yang mau kuliah.

Kalau dipikir–pikir memang banyak banget orang yang hidupnya mengikuti budaya. Pola hidupnya sama–sama aja, sekolah >>>> kuliah >>>> kerja >>>> kawin >>>> punya anak >>>> punya cucu >>>> pensiun >>>> game over. Walaupun memang tidak salah juga karena hidup itu pilihan. Tapi alangkah lebih baik jika hidup lebih bermakna.

Mencari ilmu
Memang tidak semua para pelajar atau mahasiswa memiliki niat yang keliru. Di sisi lain ada pula orang–orang yang meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah benar–benar tujuannya mencari ilmu untuk diamalkan. Niatan–niatan yang lain hanya sampingan belaka dan ia fokus untuk mencari ilmu tanpa memikirkan gelar yang ia dapat, atau reputasi yang ia dapat dalam menuntut ilmu.

Dari saat sekolah orang ini sudah kelihatan niatnya. Biasanya dia meraih ranking di kelas, dan juga prestasi–prestasi akademis lainnya. Dan biasanya orang ini ahli di bidang ilmu pengetahuan tentang apapun bidang yang dikuasainya. Dia nggak terlalu peduli sama nilai. Kalaupun dia mendapat nilai tinggi pasti karena dia belajar bersungguh–sungguh.

Apakah Pendidikan Tinggi menentukan Kesuksesan?


Mungkin kita ingat, program wajib belajar 9 tahun. Artinya wajib belajar minimal sampai SMP. Tapi nampaknya program tersebut tidak bisa dijalankan oleh seluruh warga negara. Untuk kalangan menengah ke atas tentu bisa. Tapi untuk kalangan menengah ke bawah banyak yang berhenti hanya sampai SD, ada pula yang tak mampu sekolah sama sekali. 

Faktanya biaya pendidikan di Indonesia memang tidaklah murah. Untuk menyelesaikan wajib belajar 9 tahun saja atau lulus SD dan SMP rata–rata dari mulai uang pendaftaran, uang pembangunan, uang SPP, seragam, buku, dll, mungkin uang yang harus dikeluarkan mencapai puluhan juta. Apalagi jika meneruskan ke SMA atau ke perguruan tinggi. Mungkin kalau ditotal biayanya mencapai ratusan juta rupiah atau bahkan bisa lebih.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika kita menyelesaikan pendidikan mencapai ke perguruan tinggi kita akan sukses dan kaya raya, atau minimal apakah akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan?

Mungkin sebagian dari Anda akan menjawab ya, tapi mungkin Anda akan tercengang ketika mengetahui fakta bahwa pengangguran terbanyak justru lulusan diploma dan sarjana. Sementara di sisi lain banyak orang yang sukses walau tanpa kuliah atau tidak lulus kuliah