Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Penyesalan


Jarum  telah saling bertemu di angka dua belas, sedangkan yang satu lagi berkeliling menimbulkan suara detak di tengah keheningan malam. Aku sedari tadi telah menutup kelopak mataku laksana deretan roling door yang menutup di tepi jalan di tengah malam. Telah kurebahkan pula tubuhku di atas spring bed yang sangat lembut laksana awan. Namun tak jua kuberanjak dari alam sadarku.

Itulah yang selalu kurasakan di setiap malam – malamku beberapa waktu belakangan ini. Tinggal di rumah yang megah, tidur di kasur yang empuk diiringi hembusan angin AC yang menyejukkan tak membuatku bisa tidur dengan tenang di setiap malam – malamku.

Rasanya ingin kukembali seperti dulu, walau harus tidur beralaskan tikar yang tipis, walau udara dingin menembus bilik – bilik dinding rumahku. Walau sorot lampu yang redup tak cukup menerangi ruang – ruang yang sempit, walau harus berselimut sarung tipis, tapi aku mampu tidur dengan nyenyak dan terbangun di kala suara adzan subuh berkumandang.
***

Namaku Fajar. Dulu, aku hanyalah seorang sopir angkot di desaku di Sukabumi. Di sebuah desa dengan jalan masih berbatu. Jarang sekali angkot yang berlalu lalang di desa ini. Padahal area desa ini cukup luas dan banyak para petani yang menempuh perjalanan jauh untuk menuju lahan garapannya. Ya, itu salah satu hal yang mendorong niatku tuk menjadi sopir angkot disamping dorongan tuk menafkahi keluarga. Aku sangat senang bisa membantu penumpang di desa ini yang membutuhkan transportasi, mengantarkan anak – anak yang sekolah, petani yang mengangkut hasil panen, dan warga desa dengan berbagai aktivitas lain. Yang pasti aku sering bercengkrama dengan warga desa ini ketika di perjalanan.

Aku sangat senang menggeluti profesi itu, walau penghasilanku tak seberapa. Ya, pasalnya aku memang tak punya armada angkutan umum. Aku hanya menjadi sopir yang tiap hari harus nyetor ke pemilik angkot. Tapi aku mensyukuri itu. Asalkan dapur rumahku tetap mengepul.

Pagi – pagi buta disaat matahari baru menampakkan sedikit cahayanya, dan ayam – ayam baru mengumandangkan suaranya, aku telah beranjak tuk bekerja. Kusalami istri dan anakku yang baru berusia 4 tahun. Mereka selalu setia menungguku hingga kukembali ke rumah di kala petang. Ribuan demi ribuan rupiah kukumpulkan tiap harinya. Tak pernah sekalipun istriku mengeluh dengan penghasilanku yang pas – pasan. Ia selalu menyambutku dengan senyum, menyeduhkan secangkir kopi untukku dan memijatiku ketika lelah menerpaku.

Suatu Ketika  aku ditawari kerja oleh salah satu sahabatku yang bekerja di Jakarta. Jafar namanya. Namaku dan namanya memang sepintas hampir mirip dan kami adalah sahabat karib sejak kecil. Sudah setahun ini Jafar bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan. Aku pun ditawari menjadi sopir pribadi bosnya di kantornya. Awalnya memang berat karena harus meninggalkan istri dan anakku yang masih kecil di desa. Tapi karena bayarannya cukup lumayan, akhirnya aku terima tawaran itu.

Besok pagi aku berangkat ke kota bersama Jafar Sahabatku yang sengaja menjemputku ke desa. Kusalami anak dan istriku dan kupeluk mereka. Terlihat wajah haru terpancar dari wajah mereka. Di satu sisi mereka berat dan aku pun berat tuk berpisah, tapi disisi lain mereka mendukung keinginanku tuk mencari penghasilan yang lebih baik di Jakarta. Ini semua kulakukan demi keluargaku.

Seminggu kemudian aku tiba di Ibu Kota. Ternyata seperti ini kota Jakarta, dengan gedung - gedung yang menjulang tinggi, mobil - mobil bisa melayang di udara di atas aspal jalan layang. Hampir kutak melihat pesawahan dan rerumputan seperti yang biasa kulihat di kampung.

Jafar membawaku ke rumah bosnya yang sedang mencari sopir. Rumahnya bagaikan istana yang megah, dengan tiang - tiang yang berdiri kokoh dan pekarangan yang indah. Dibawanya aku bertemu dengan orang kaya itu. Dari tampangnya kelihatan sekali kalau ia adalah seorang pemilik perusahaaan. Ditambah lagi dengan jas yang melekat di tubuhnya dan dasi yang mengikat lehernya. Aku agak segan pertama kali bertemu dengan orang yang berpenampilan elegan itu. Pak Burhan namanya. Ia adalah seorang presiden direktur di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi kabarnya ia tinggal hanya seorang diri. Ia sudah tak memiliki keluarga lagi setelah bercerai dari istrinya. Anaknya pun ikut tinggal bersama ibunya dan ayah barunya. Sementara kedua orang tua Pak Burhan telah meninggal. Aku merasa iba mendengar kondisinya. Tapi aku salut padanya, walaupun banyak masalah yang menerpanya justru ia mampu menjadi orang sesukses itu.
***

Aku mulai bekerja sebagai sopir pribadi Pak Burhan. Hari itu hari pertamaku bekerja dengan orang kaya itu. Aku yang biasanya hanya menyupir angkot butut kini ditugaskan tuk membawa Toyota Alphard warna hitam mengkilap. Aku agak canggung menyetir mobil ini. Dalam benakku terbayang - bayang bagaimana jika mobil ini baret, atau jika spion yang kabarnya seharga motor itu dicuri orang. Tapi Pak Burhan orang yang baik. Ia selalu memerintahkanku dengan begitu sopan, bukan seperti majikan dan bawahan, tapi seperti seorang teman. Bahkan kerapkali di tengah perjalanan kami berbincang, dan kadang pula ia menanyakan kabar keluargaku di kampung.

Semakin lama aku semakin terbiasa menyetir mobil mewah ini, aku semakin nyaman dan semakin nyaman hingga pernah suatu ketika muncul di benakku tuk membawa kabur mobil mewah ini, tapi pikiran busukku segera kusingkirkan jauh – jauh sampai menghilang di langit ke tujuh atau terhisap segitiga bermuda.

Setiap bulan, sebagian besar gajiku kutitipkan pada Jafar untuk disampaikan pada istri dan anakku. Sebagai office boy Jafar memang libur seminggu sekali dan setiap bulan bisa pulang ke kampung halaman. Sementara aku sebagai sopir pribadi harus selalu menemani majikanku ke manapun dia pergi.

Bulan demi bulan berlalu, aku pun semakin akrab dengan Pa Burhan. Nampak bukan lagi seperti majikan dan bawahan. Pak Burhan sering bersenda gurau denganku atau bercerita denganku sepanjang perjalanan. Dan gajiku pun dinaikkannya. Padahal aku baru bekerja beberapa bulan saja. Tapi ada yang mengganjal dalam pikiranku. Setelah gajiku dinaikkan nampak wajah Jafar terlihat dingin saat kutitipi uang gajiku untuk istri dan anakku. Mungkinkah ia iri padaku. Tapi aku rasa ia orang yang selalu mensyukuri apa yang ia dapat.

“Jar, sudah berapa lama kamu nggak pulang kampung?” tanya Pak Burhan

“Sudah hampir setaun pak.” Jawabku

“Yasudah, besok kita ke kampung halamanmu tuk menemui anak istrimu. Bolehkan saya ikut?”

Aku terdiam sejenak seolah tak percaya ucapan atasanku ketika kami berbincang di mobil. Aku tak menyangka ada bos yang sebaik dia.

“Jar. . . .Boleh kan?”

“Oh ia pak tentu saja boleh pak bolehhh. Trimakasih banyak paaa. . .trimakasih.”

Itulah perbincanganku dengan Pa Burhan. Hmmm, aku tak menyangka ia mengijinkanku tuk berjumpa anak dan istriku.
***

Hari itu kami berangkat ke kampung halamanku di Sukabumi. Dari Jakarta kupacu mobil Toyota Alphard milik bosku ini. Sementara di sampingku duduk Pa Burhan yang sepantasnya duduk di belakang. Ia memang bos yang luar biasa, mampu meluangkan waktu hanya untuk mengunjungi keluargaku di kampung.

Aku semakin tak sabar menemui istri dan anakku. Kuinjak pedal gas dalam – dalam di atas beton jalan bebas hambatan ini sembari menyetel musik dari Tape mobil. Sementara Pa Burhan terlihat terlelap. Nampaknya ia kelelahan setelah seminggu penuh menghadapi padatnya rutinitas kantor.

Tapi disaat mobil melaju bak kereta express diiringi musik yang bertempo cepat, tiba – tiba saja ban belakang mobil yang kami tumpangi pecah. Aku mencoba sebisa mungkin mengendalikan mobil yang sedang melaju kencang ini. Kuinjak pedal rem namun sulit di kecepatan tinggi tuk langsung berhenti. Aku panik setengah mati, keringat dingin bercucuran, sementara bosku masih terlelap di tidurnya. Aku semakin panik ketika melihat truk besar pengangkut pasir dihadapanku dari arah berlawanan. Kucoba tuk menginjak pedal rem lebih keras lalu kubanting stir ke kiri. Naasss kami menabrak pembatas jalan, dan aku tak ingat apa – apa lagi saat itu.
***

Pening rasanya kepalaku ini, kubuka perlahan mataku dan aku tak tau berada dimana ini. Sampai kusadari ternyata ini di rumah sakit. Tak ada anak istriku disana, tak juga Pak Burhan. Yang aku lihat hanyalah Mbo Siti pembantunya Pak Burhan dan Pak Mamat tukang kebun di rumah Pak Burhan.

“Pa Mamat saya ini kenapa, Pak Burhan mana ?” aku bertanya tak mengerti

“Pa Fajar ini baru aja kecelakaan di jalan tol, ini di rumah sakit.” Jawab Pak Mamat

“Lalu dimana Pak Burhan, apa dia baik – baik saja ?” tanyaku cemas.

Pak Mamat dan Mbo Siti hanya terdiam dan menunduk lalu saling menatap dengan wajah yang sayu. Sedangkan mulut mereka bungkam tak mampu berkata – kata.

“Dimana Pak Burhan, apa dia baik – baik saja?” tanyaku yang semakin cemas.

Setelah terdiam cukup lama akhirnya Mbo Siti dengan berat hati mengatakan yang sebenarnya.

“Pa Burhan. . . . . ..Pa Burhan udah nda’ ada Pa.”

“Astagfirullah. . . . .!!”

Aku pun tak kuasa membendung air mataku. Antara tangis dan penyesalan berbaur menjadi satu. Aku tak percaya, bos yang sebaik itu harus tiada gara – gara aku yang menyetir gak hati – hati. Aku pun merasa menyesal sekali. Namun Pa Mamat dan Mbo Siti berupaya menenangkanku dan mengatakan bahwa ini sudah suratan takdir.
***

Dua bulan kejadian itu berlalu. Aku masih dirundung kesedihan yang mendalam. Aku masih berjalan menggunakan tongkat usai kecelakaan itu. Hari itu di rumah Pak Burhan diumumkan wasiat yang sempat disampaikan Pak Burhan sebelum beliau meninggal. Beliau tak punya siapa – siapa lagi. Dan pengumuman itu membuatku terkejut, hampir copot jantungku rasanya mendengar pengumuman wasiat itu.

Dikatakan oleh kuasa hukumnya bahwa akulah yang mendapatkan warisan terbesar atas harta kekayaannya. Dahulu aku bercita – cita ingin kaya raya, tapi tak seperti ini. Ini semakin membuat rasa bersalahku semakin besar pada Pak Burhan. Tapi Mbo Siti dan Pa Mamat menyarankanku agar menerima permintaan Pa Burhan untuk mengurus hartanya.
***

Enam bulan berlalu setelah kakiku benar – benar sembuh aku memutuskan tuk kembali ke kampung memberitahukan anak istriku tentang hal ini. Tak terlalu berbeda dengan tahun - tahun sebelumnya, desa ini selalu sejuk. Aku pun berjalan melewati pangkalan angkot tempat kubekerja dulu. Ada Hamid, Dadang, dan kawan kawanku sesama sopir angkot dahulu. Tapi kulihat ada sesuatu yang berbeda dari mereka. Lama tak bertemu, ternyata tak membuat lengkung bibir mereka tersenyum kepadaku sedikitpun. Bahkan mereka memasang muka masam padaku. Aku pun mencoba menyapa mereka

"Hai teman - teman, apa kabar kalian ?" kataku sambil tersenyum pada mereka.

Mereka terdiam tak bergeming, tatapan mereka semakin tajam bak pisau belati. Aku semakin tak mengerti dengan semua ini. Lantas kutanyakan pada mereka,

"Haiii, kalian semua kenapa? Jangan diam saja, aku bawa oleh - oleh untuk kalian." Kataku memancing respon mereka.

Salah satu dari mereka mulai merespon. Namun sayang, bukan respon yang kuinginkan.

"Buat apa kau balik lagi kemari ?" Tanya Dadang, teman sepropesiku dulu.

Ia berdiri dan murka kepadaku. Aku semakin tak mengerti. Mengapa sahabatku ini bersikap seperti itu padaku.

"Dang, kamu ini kenapa, apa salahku ?" aku bertanya dengan penuh kebingunan.

"Kamu tuh enak Jar, naek mobil mewah setiap hari, punya rumah yang besar. Sedangkan kita cuma sopir angkot yang penghasilannya pas pasan. Lebih baik kamu ga usah kemari Jar kalo kamu cuma mau sombong pada kami." jawab Dadang.

"Ya ampun, aku ga maksud gitu sama kalian. Kalian tetep sahabat buatku." jawabku.

"Ahhhh, sudahlah kau balik saja ke kota sanahhh.!!" Katanya sambil melemparkan baju - baju yg rencananya akan kuberikan pada mereka.

Aku sama sekali tak mengerti mengapa niat baikku ini justru ditanggapi negatif oleh mereka.  Aku pun terus berjalan sambil menundukkan kepala dan tak mengerti apa yang terjadi dengan teman - temanku."Ahhh sudahlah, biar kupikirkan nanti, sekarang yang penting aku harus pulang aku sudah kangen pada istriku yang tak bertemu selama setahun lamanya." Pikirku.
***

Lama tak kurapatkan jejakku di tanah ini, tepat di depan rumahku. Nampak halaman ditutupi daun - daun yang berserakan, rerumputan pun telah meninggi. Tak seperti biasanya, apakah istriku malas mengurusi halaman rumah, ahhh. . .aku rasa tidak mungkin. Ia adalah orang yang rajin.

Ku berdiri di depan pintu sembari mengetuki pintu. . .mengetuk pintu. . .dan mengetuk lagi. Namun tak ada yang membukakan pintu. Aku semakin bertanya - tanya dalam batinku ada apakah ini, dimana istriku yang biasanya menyambutku ketika letihnya pulang kerja.

Aku pun mendobrak pintu tersebut dan memanggil - manggilnya. Namun tetap tak ada jawabnya. Sampai kutemukan secarik kertas di atas meja di kamarku. Kubaca pelan - pelan apa maksud yang tersirat di surat itu.

"Mas, mas pasti udah bahagia di sana kan, udah jadi kaya raya, udah punya mobil, rumah mewah. Titi ngerti mas kalo mas ga pernah ngabarin keadaan di sana. Tapi Titi kecewa sama mas, kecewa. Titi ga nyangka mas yang dulu baik ternyata bisa sejahat ini untuk memperoleh kekayaan. Titi harus pergi mas, harus mulai bisa ngelupain mas."

Ada apa dengan semua ini. Mengapa teman - temanku, istriku, semuanya bersikap aneh seolah - olah aku punya kesalahan besar pada mereka. Padahal tak secuilpun dalam benakku untuk mengacuhkan mereka, apalagi memusuhi mereka.

Aku pergi ke tepian sungai. Duduk sendiri di tengah suara gemercik air yang mengalir. Sesekali kulempar batu ke permukaan air. Dan aku bertanya pada diriku sendiri tentang apa yang terjadi. Walau kutak temukan jawabannya.

Besoknya aku bergegas pergi ke Tasik tempat mertuaku tinggal. Siapa tau istriku berada disana. Dan ternyata benar istriku  memang berada disana. Tapi belum sempat aku masuk aku sudah diusirnya. Dan orang tuanya pun turut mengusirku dengan lantang. Aku semakin tak mengerti dengan semua ini. Akhirnya kumenyerah dan kuputuskan tuk kembali ke Jakarta.
***

Aku pun berbaring di kasur yang empuk di kamar yang luas. Ini adalah rumah Pak Burhan yang diwariskan padaku. Semenjak aku tinggal di rumah semegah ini aku tak pernah merasa tenang. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Rasa bersalah pada Pak Burhan, rasa bersalah pada anak istriku di kampung, rasa bersalah pada sahabat – sahabatku di kampung.

Handphone kupun bergetar, kulihat ada sms masuk. Dari Jafar rupanya, isinya begini,

“Hai Fajar sahabat karibku dulu, mungkin kau sudah lupa denganku. Aku hanyalah office boy dan kamu adalah orang kaya raya sekarang. Aku tak menyangka ternyata kau bisa sesombong ini melupakanku, padahal pekerjaanmu yang menghantarkanmu seperti sekarang ini. Dan itu karena jasaku. Tapi tak sedikitpun kamu berterima kasih padaku. Hahahha. . . . bahkan kau tega melupakan keluargamu di kampung dan sahabat – sahabat lamamu. Kini kau rasakan hidup dalam ketidak tenangan Fajar. Akulah yang bilang pada teman-  temanmu dan istrimu bahwa kau telah membunuh bosmu untuk menguasai hartanya. Hahaha ternyata kau sepicik itu Fajar.”

“Astagfirullah Al adzim. . . .. astagfirullah al adzim”

Aku ini manusia yang lupa diri. Aku melupakan sahabatku yang telah membantuku, aku juga telah lama tak mengabari istriku dikampung, juga teman – temanku walaupun sebatas surat sekalipun. Aku juga telah menyebabkan Pa Burhan celaka. Aku menyesal. . .  .aku menyesal.


Malam ini pun demikian. Aku masih mencoba memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku. Walau pikiran – pikiran ini tak mampu kuusik dari ubun – ubunku. Walau setiap detik yang bergulir tak mampu menyingkirkanku dari alam sadarku, dari masalahku, dan dari penyesalanku.

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Gadis Penjual Keong


Hari ini seperti biasanya. Aku berjalan menelusuri jalan-jalan yg berirama. Kadang kurasa jalan ini tertutup kabut dan aku tak tau harus lewat jalan yang mana. Hanya ayalku yang menuntun langkahku. Kadang ku merasa peluh menitik tapak demi tapak jalan ini. Kadang ku ingin terbang setinggi-tingginya hingga ku tak mampu lagi mengepakkan sayap. Tapi aku hanyalah gadis desa yang tak beralaskan kaki menelusuri sawah setiap hari demi membantu ayah mencari keong.

Ayah memang sudah tua, langkahnya tak lagi sekuat dulu, badannya tak lagi setegap dulu. Bahkan beberapa hari ini ia hanya bisa terbaring lantaran penyakit yang menyerangnya. Aku belum bisa membawanya ke dokter karena aku sama sekali tak punya uang untuk biaya pengobatan ayah. Tapi aku akan berusaha untuk ayah yang tiada lelah membesarkanku.

Di pagi hari yang masih redup saat matahari belum menampakan wajahnya aku bergegas bekerja sedini mungkin agar mendapatkan keong yang banyak. Biasanya aku hanya membantu ayah mengumpulkan keong-keong tersebut, namun kali ini aku sendiri yang mengerjakan pekerjaan ini. Pekerjaan yang bagi sebagian besar orang adalah pekerjaan yang menjijikan. Karena harus berbecek-becek menelusuri lumpur dan sawah.

Hari pun berganti hari dan aku masih seperti hari itu mencari keong dari pagi hingga sore dan menjualnya ke pemilik restoran. Rasanya lelah badanku tak berdaya lagi. Ingin rasanya aku berhenti saja mengerjakan pekerjaan ini, pekerjaan yang melelahkan namun Ko Hok Cai si pemilik rumah makan hanya membayar murah dari setiap keong yang aku jual padanya.

Pernah suatu hari aku meminta bayaran lebih padanya tapi ia tak mau membeli keong yang aku jual dengan harga yang sedikit saja lebih manusiawi. Tapi aku tak berhenti di situ, ku mencoba tuk memohon belas kasihannya tapi aku malah dicaci maki, dihina, dengan penampilanku yang seperti ini aku malah dibilang tak jauh beda dengan lumpur yang kotor. Aku hanya terpaku dan terdiam mendengar apa yang diucapkannya padaku. Semakin ia menghinaku semakin aku merasa hina dan lemah. Tapi jauh disisi batinku aku berharap suatu hari nanti kondisi kan berubah dan berbalik.

Hari berikutnya masih seperti biasa, sebelum matahari muncul ku sudah pergi ke sawah tanpa alas kaki. Dan pagi itu ku lihat anak-anak SD yang riang gembira bernyanyi sambil berjalan dan berlari menuju sekolah mereka. Rasanya aku sangat iri sekali pada mereka yang bisa sekolah. Sedangkan aku untuk makan saja sulit. Namun entah kenapa rombongan anak sekolah itu tiba-tiba berhenti dan mengarahkan pandangannya ke arahku. Entah kenapa pula mereka menunjuk ke arahku sambil tertawa-tawa. Lantas mereka mendekatiku sambil tertawa-tawa.

"Hai lihat itu ada manusia lumpur hahahahaha."

"Ia, dia malah maenan lumpur bukannya sekolah kaya kita, hahahahah."

Aku pun mencoba tuk terus sabar menghadapi hinaan-hinaan mereka. Namun rasanya bendungan kesabaranku tak kuat membendung amarahku yang semakin kuat. Lantas aku pun mengambil segenggam lumpur dan melemparkannya ke mereka. Lumpur tersebut mengenai baju seragam sekolah salah satu dari mereka. Namun bukannya mereka kapok, justru mereka berbalik marah padaku. Aku pun di dorong-dorong hingga terjatuh ke lumpur, dan mereka pun pergi sambil mencaci-maki.

Aku hanya terdiam merenungi kejadian ini. Ingin rasanya ku berhenti saja menggeluti pekerjaan ini. Hari itu aku jadi tak semangat lagi mengerjakan pekerjaan ini. Aku hanya duduk sendiri hingga petang menjelang dan memandangi matahari tenggelam.

Sesampainya di rumah ku pandangi rumah kami yang sempit dan terbuat dari bilik-bilik kayu. Ku pandangi ayah yang masih berbaring tak berdaya. Aku pun meneteskan air mata, aku pun kecewa, kecewa pada diriku sendiri. Karena hari itu aku tak mendapatkan uang sepeserpun  lantaran semangatku menghilang karena perlakuan anak-anak SD itu. Harusnya aku tak seperti ini, harusnya aku tak peduli apa yang dikatakan orang. Harusnya aku peduli dan hanya peduli pada ayah yang kini terbaring."Ayah maafkan Alya yah, maaf." Aku pun mendekapnya sambil meminta maaf kala itu.

Ibu yang bekerja di Qatar sebagai TKW pun tak pernah kembali sejak 2 tahun yang lalu, jangankan kiriman uang, bahkan kabar pun tak ada. Hanya sepucuk surat yang ia kirim lebih dari setahun yang lalu. Surat itu selalu ku simpan dan sesekali ku baca ketika rindu padanya."Nak, jaga dirimu baik-baik. Yakinlah pada impianmu, janganlah merasa rendah." Itu kutipan di surat itu yang ku ingat.

Hari berikutnya ku coba tuk mengembalikan semangatku. Ku lihat ayah yang masih terbaring lemah. Ku yakinkah diriku tuk melangkah tuk mulai bekerja lagi tuk bertahan hidup, tuk membeli makan, tuk membeli obat jika aku punya uang nanti.

Aku pun berangkat setelah berpamitan pada ayah yang masih terbaring. Aku semangat menyongsong pagi, aku tak peduli jika hari ini aku mendapat ejekan lagi dari anak-anak SD yang berangkat sekolah. Tapi rupanya hari itu lebih sial dari pada hari kemarin. Ketika aku mencari keong mengusik dedaunan padi rupanya ku rasakan ada sesuatu yang bergerak di antara kakiku. Aku tak tau apa itu. Namun tak lama berselang ku rasakan sengatan yang menyakitkan di kakiku. Aku pun berusaha menahan rasa sakit yang tiada terkira hingga akhirnya aku tak sadarkan lagi dan tak ingat lagi.

Aku baru sadar ketika berada di puskesmas. Aku berbaring dan aku melihat Pak Sobari tetanggaku yang juga bekerja sebagai petani di sawah itu.

"Kamu nggak apa-apa nak ?" tanya pak Sobari

"Me. . .memangnya saya kenapa pak ?"

"Tadi kamu digigit ular, untung saja bisanya tidak terlalu bahaya?"

"Oh begitu pak." jawabku yang tak ingat kejadian itu.

Sawah itu memang kerap kali selalu ada ular. Tapi aku masih beruntung, pasalnya beberapa bulan yang lalu ada petani yang tewas gara-gara digigit ular di sawah tersebut. Beruntung ular yang menggigitku tak terlalu berbahaya.

Hari itu terpaksa aku tak bisa bekerja lagi. Dan terpaksa aku dan ayah harus menerima belas kasihan dari Pak Sobari. Ia memberikan kami makanan untuk makan hari itu. Aku tak mengerti mengapa akhir - akhir ini selalu saja ada halangan bagiku tuk bekerja mencari uang. Kemarin aku dihina oleh anak - anak SD, hari ini lebih parah, aku malah digigit ular. Entah apa yang terjadi esok. Apakah ini hanya ujian? Aku tak tau, yang ku tau aku harus tetap bekerja demi ayah, demi ayah yang saat ini berbaring lemah tak berdaya. Aku harus tetap bekerja dan tak peduli apapun resikonya.

Suatu ketika, ketika ku hendak menjual keong yang ku dapatkan ke rumah makan Ko Hok Cai seorang pria kantoran yang memakai kemeja putih rapih terpeleset di lantai rumah makan itu. Pria itu pun marah - marah lantaran bajunya kotor akibat terpeleset. Rupanya itu karena aku dan aku yang salah. Aku rupanya telah mengotori lantai dengan lumpur yang menempel di kakiku dan itu membuat pria itu terpeleset. "Kurang ajar, ini gimana rumah makan kaya gini lantainya bisa berlumpur." kata pria itu sambil membentak Ko Hok Cai. Ko Hok Cai pun hanya menunduk tak mampu berkata - kata. Lalu pria itu pun pergi dan bersumpah tidak akan makan di rumah makan itu lagi.

Tak lama kemudian Ko Hok Cai menghampiriku dengan wajah yang garang. Kali ini ia amat marah padaku. Dengan logat mandarinnya ia marah - marah padaku. Bahkan tak hanya itu, ia mendorongku, mengusirku dan memperingatkanku agar tak kembali lagi ke rumah makan itu lagi. Aku pun pulang dengan wajah tertunduk lesu. Selama ini aku selalu menjual keong yang ku dapatkan padanya. Tapi semenjak itu aku tak bisa lagi menjual keong itu lagi padanya. Kali ini celakalah aku.

Aku pun pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Lagi - lagi kami harus menerima belas kasihan dari Pak Sobari untuk makan hari itu. Ku lihat ayah meneteskan air mata. Mungkin ia kecewa, atau mungkin ia kasihan padaku.

Semenjak saat itu aku tak pernah lagi datang ke rumah makan itu lagi. Aku tau betul jika Ko Hok Cai marah besar ia benar - benar serius akan perkataannya. Tapi aku tetap seperti hari - hari sebelumnya mencari keong di sawah dan mencoba menjualya sendiri.

Sehari pun berlalu tak ada yang mau membeli keongku. Rasanya aku sudah bersusah payah mencari dan menjual keong ini. Hingga suaraku serak ku keliling kampung dan menawarkan keong ini namun tetap saja tak ada yang mau beli. Kami pun harus menahan lapar hari itu lantaran tak mendapatkan uang sepeserpun.

Hari ini tak seperti sebelumnya, Pak sobari tak datang lagi ke rumah kami untuk mengantarkan makanan. Mungkin ia telah bosan terus menerus mengasihani kami. Tak lama kemudian datanglah mbo Wati yang biasa berjualan jamu. Rumahnya pun tak terlalu jauh dari rumah kami. Ia mengatakan padaku tentang suatu hal.

"Nak Alya, tadi pagi Pak Sobari nitip pesan sama si mbo. Dia bilang kalo dia akan pindah ke kota tinggal sama anaknya. Katanya nak Alya jaga diri baik - baik, jaga juga bapaknya nak Alya."

Mendengar hal tersebut aku semakin merasa sendiri. Aku pun berlari keluar dan menatap bintang - bintang di langit. Aku rindu ibu. . ..aku rindu ibu.

Hari - hari berikutnya aku bekerja seperti biasa, mencari keong dan menjualnya sendiri. Dengan usaha yang keras, pelan - pelan namun tak pasti mulai ada beberapa yang mau membeli keong yang ku jual. Walaupun tak banyak setidaknya kami bisa makan saja sudah cukup kala itu. Begitu dan begitu seterusnya hingga beberapa tahun pun tak terasa berlalu.

15 Tahun Kemudian

Hari ini, aku duduk di ruangan kerjaku sebagai Presiden Direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang restoran khusus makanan yang berasal dari keong. Restoran ini terletak di pesisir pantai. Setiap harinya ratusan orang makan di restoran ini. Kebanyakan mereka adalah para petinggi perusahaan dan juga pengusaha. Tak jarang turis asing pun kerap kali makan di restoran ini.

Kadang ku lihat ke dapur tuk sekedar memantau dan mengawasi karyawanku bekerja. Salah satunya adalah koki yang sudah cukup berumur. Dia adalah seorang keturunan Tionghoa. Ia adalah Ko Hok Cai. Pemilik restoran yang dulu mengusirku lantaran aku mengotori lantainya dan aku sering meminta bayaran lebih kala itu.

Semuanya berubah seiring dengan kerja kerasku selama ini. Semuanya berawal ketika Rumah makan Ko Hok Cai bangkrut. Ketika itu rumah makannya telah tutup dan disegel. Ko Hok Cai pun telah pergi dari tempat itu lantaran diusir. Rupanya ia terlibat utang dan tak mampu membayarnya. Kemudian restoran itu pun beserta lahannya dibeli oleh seorang pengusaha yang kaya. Namanya Pak Ferdi, ia adalah pengusaha yang kaya raya. Kemudian ia membangun bisnisnya disitu. Sebuah rumah makan khas eropa yang dibangun dengan konsep pesisir pantai yang indah. Di lokasi itu pun direnovasi sedemikian rupa, dirombak total hingga bangunan rumah makan itu jauh lebih indah dan berkelas dibandingkan sebelumnya.

Suatu ketika, aku seperti biasa menjual keong – keong yang ku cari ke orang – orang di jalan. “Keong. . . . keongg. . .!!” kataku sambil berjalan.

Tiba – tiba saja sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Di arah berlawanan ada mobil mewah Toyota Alphard berwarna hitam mengkilap. Kemudian Jgerrrrrrr tabrakan itu tak terhindarkan lagi. Aku menutup mataku tak ingin melihat kejadian itu, Darah bercucuran dari korban yang ada di dalam kedua mobil itu. Lokasi jalan begitu sepi, aku pun berteriak, “Tolongg. . . . .tolong. . . .tolong.”

Ada beberapa warga yang menghampiri tuk menolong para korban. Aku yang takut akan kejadian itu pun memaksa diriku untuk ikut menolong korban di dalam mobil itu. Aku menggotong salah seorang di dalam mobil Toyota Alphard itu sekuat tenaga, lalu kucegat mobil yang ada di jalan dan syukurnya pengemudi mobil itu mau membantu mengantarkan ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit rupanya pria itu kehilangan banyak darah. Dan persediaan kantong darah di rumah sakit itu telah habis. Setelah di cek ternyata darahku cocok dengan korban itu. Aku yang takut jarum pun akhirnya mendonorkan darahku untuk bapak itu.

Beberapa hari kemudian Bapak itu sadar, kemudian ia memandangku seolah pernah melihatku.

“Ehh,,, kamu. . . .kamu .”

“Ia kenapa pa, kenapa saya pa ?” tanyaku yang bingung.

“Kamu yang dulu jual keong di rumah makan itu kan ?”

“Oh ia pak.”

Aku pun berpikir sejenak dan mengingat kembali. Rupanya ia orang yang dulu terpeleset di rumah makan Ko Hok cai akibat lumpur yang ada di lantai.

“Sa, , ,saya minta maaf pak atas kejadian waktu itu. Gara – gara saya bapak jadi kepeleset.”

“Ia, saya juga minta maaf udah marah waktu itu. O ia, kamu yang nolong saya kan, kamu yang bawa saya kemari, dan kamu yang mendonorkan darah ?”

Aku hanya menganggukkan kepala

“Trimakasih ya nak, trimakasih.” Ucapnya

Beberapa bulan kemudian aku berjualan dan hanya sekedar iseng ingin melihat kondisi rumah makan Ko Hok Cai yang beberapa waktu yang lalu telah disegel. Rupanya aku takjub tak terkira ketika melihat kondisinya sekarang. Sekarang semuanya telah jauh berubah. Di sana telah berdiri sebuah restoran mewah yang berkelas. Aku pun dengan segenap keraguanku mencoba mendekati restoran itu perlahan.

“Nak Alya. . . . .nak Alya. . . .” Ada suara yang memanggilku dari dalam restoran itu. Tapi mungkin itu hanya halusinasi, mana mungkin di restoran semewah itu ada yang mengenalku.

“Nak Alya. . . .kemari. . .!!” Rupanya itu nyata, seorang bapak – bapak berjas hitam memanggilku dari dalam restoran itu. Owhhh rupanya itu bapak yang aku tolong saat kecelakaan tempo hari. Aku tak menyangka akan bertemu lagi disini.

Namanya Pak Ferdi, rupanya sekarang ia yang memiliki rumah makan mewah ini. Dan yang membuatku kaget adalah aku ditawari kerja di rumah makan mewah itu. Tentu aku mau, apalagi ia menawarkanku gaji yang cukup tinggi. Dan aku akan membawa ayah berobat ke rumah sakit jika mendapat gaji pertama.

Sebulan berlalu dan inilah saatnya ku terima gaji pertama di rumah makan ini. Ayah pasti senang sekali mendengarnya. Aku pun bergegas pulang dan menemui ayah. “Ayah, lihat ini aku baru dapet uang buat pengobatan ayahh.” Kataku sambil menghampiri Ayah.

Namun aku hanya membisu terpaku dan terdiam ketika melihat ayah sudah terkulai tak bernafas lagi. Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada diriku sendiri. Aku benar – benar hancur kala itu, tak tau lagi harus berkata apa. Segala kesedihan terurai dan mengalir tak terbendung lagi.


Dua tahun berselang Pak Ferdi hendak pergi ke luar negeri dan tinggal disana. Ia ingin mengurusi bisnisnya yang di Amerika katanya. Aku berat sekali, aku merasa tak memiliki siapa – siapa lagi. Tapi alangkah kagetnya aku ketika Pak Ferdi menghibahkan restorannya padaku. Ia berpesan jadikan restoran ini sebagai restoran siput terbesar dan termewah di negara ini. Hingga saat ini aku masih tak percaya semua ini terjadi padaku. 

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Mimpi Anak Jalanan


“Duduk di pinggir kolam sambil menikmati nikmatnya jus. Main Playstation sepuasnya, lompat–lompat di kasur yang empuk, lari–lari di halaman rumah, berenang di kolam yang luas. Wah nikmat sekali nampaknya.”

“Hayyy lagi ngapain kamu To, pasti lamu lagi ngelamun jadi orang kaya lagi kan, hahahaha. Inget to kita ini cuman pengamen jalanan. Mana mungkin jadi orang kaya To.” Kata Ina yang melihat Toto sedang melamun. “Eh, kamu na, yah kan segala sesuatu mungkin aja terjadi. Aku sih tetep bersyukur atas semua yang terjadi di hidupku. Tapi kan sedikit berharap ga da salahnya juga heheheh.” Ucap Toto.

Itulah sedikit celotehan Toto dan Ina, mereka adalah pengamen jalanan yang sejak kecil mengamen tuk mempertahankan hidup. Disaat anak–anak lain bisa menikmati sekolah, bermain, dan menikmati fasilitasnya yang diberikan orang tua mereka, justru Toto dan Ina, dan juga anak–anak jalanan lainnya hanya bisa menerima takdir sembari berharap kehidupannya kan berubah walaupun kadang diri mereka sendiri mengingkarinya.

Sejak kecil mereka berdua tidak tau dimana orang tua mereka. Begitu pula dengan beberapa anak jalanan lainnya. Kini mereka tinggal dengan “Bang Rambo” begitu panggilan pria berotot yang kini menaungi anak–anak jalanan. Eitss tunggu dulu lebih tepatnya mungkin mengeksploitasi anak–anak jalanan. Bagaimana tidak, setiap dari anak–anak itu disuruh mengamen dan menyetor uang hasil mengamen padanya. Dan Bang Rambo merasa berjasa telah memberikan tempat tinggal dan makan pada anak–anak jalanan tersebut.

Total ada 10 anak yang tinggal di rumah Bang Rambo. Sebuah rumah yang lebih mirip dengan gudang karena tidak terawat dan tidak banyak peralatan di dalamnya. Bahkan anak–anak pun tidur di bawah beralaskan kardus.

“Woyyyy bangun. . . . . bangunnnnn. . . .kerjaaaa. . . . . .kerjaaa.. . . .udah waktunya kalian kerja. . . . . .!!!!” kata Bang rambo membangunkan anak–anak. Hari itu masih sangat pagi sekali, matahari pun belum nampak, dan ayam pun baru berkokok. Tapi seperti hari biasanya bang Rambo selalu membangunkan anak–anak pagi–pagi sekali. Menyuruh mereka bekerja dan menyetor uang padanya setelah seharian bekerja. Tapi dia sendiri tidak bekerja, setiap malam sehabis menerima setoran kerapkali ia pergi ke tempat–tempat hibuaran, mabuk–mabukan bahkan seringkali berjudi.

Kemudian mereka seperti hari–hari sebelumnya mengamen di jalan–jalan, di lampu merah, di bus–bus, di warung, pokoknya dimanapun asal bisa  menghasilkan uang.

“To kamu lagi ngapain, kita kan harus kerja buat setor ke Bang Rambo ?” tanya udin yang melihat Toto termenung. “Aku lagi mikir din, apa hidup kita bakal kaya gini terus?” jawab Toto. “Yah, mau gimana lagi To, aku juga sempat mikir kaya gitu, sempat mikir mau kabur aja. Tapi kan kamu tau sendiri Bang Rambo itu kaya gimana, kalo ketauan kabur habislah kita.” Ujar Udin. “Ia, kamu betul din, tapi pasti ada cara din. Coba kamu bayangin kita kerja cuma buat dia mabok–mabokan, judi, yah walaupun kita nebeng sama dia tapi ini gak adil din.” Kata Toto. “Ya, aku tau To. Tapi aku ga berani macem–macem ah To.” Kata Udin yang kemudian kembali mengamen.

Di sebuah bis yang penuh dengan penumpang, bahkan banyak penumpang yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Toto pun mengamen di situ, berbekal sebuah gitar kecil ia pun bernyanyi melantunkan lagu pada penumpang menghibur semua penumpang yang ada, yang sedang jenuh karena kepenatan bus kota. Tapi tak lama Toto melantunkan sebuah lagu ia pun berhenti di tengah bait–bait lagunya. Tatapannya tajam menatap sesuatu yang terjadi di depan matanya.

“Copett. . . .hei copet. . .. .!!!” teriak anak polos itu. Lantas sang copet yang kepergok aksinya langsung mengeluarkan pisau lipat dari celananya. Ia membekap Toto sambil marah–marah. “Kurang ajar kamu anak kecil udah bosen hidup yah.” Kata Pencopet itu.

Penumpang yang lain pun ketakutan melihat pisau yang dibawanya. Apalagi Toto, nyawanya kini benar–benar diujung tanduk. Ia tak bisa berbuat apa–apa dan hanya berdoa sembari memikirkan bagaimana caranya lolos dari maut.

“Cepat kalian keluarkan semua harta kalian. . . .!!” teriak si copet pada semua penumpang. Copet yang sudah kepergok kini berubah jadi rampok. Semua penumpang pun mengeluarkan beberapa harta mereka, dompet, jam tangan, dan perhiasan. Si pencopet ehh sekarang perampok mulai mengambil satu per satu harta yang dikeluarkan penumpang. Nah, saat itulah si Toto memanfaatkan celah peluang saat si pencopet lengah. Saat si pencopet mengambil barang berharga milik penumpang lalu dia arahkan sikutnya tepat di perut si perampok. Itu memang tidak membuat si perampok mengalami kesakitan yang cukup berarti, tapi seengganya ia bisa melepaskan diri dari dekapan si perampok. Penumpang yang lain pun mulai berani setelah melihat anak kecil juga berani. Akhirnya perampok yang cuma sendiri itu lompat dari bus yang masih melaju dan berlari takut dikeroyok masa.

Keesokan harinya seperti biasa, Toto mengamen di bus yang penuh sesak dengan penumpang. Ia bernyanyi penuh keikhlasan bukan semata mengharapkan uang belaka dari penumpang. Dan banyak penumpang yang memberikan uangnya karena merasa puas, ataupun ada juga yang sekedar mengurangi beban receh di saku celananya.

Tapi betapa kagetnya ia ketika turun dari bus itu. Tiga orang pria tegap berjaket kulit hitam dan berkacamata langsung menghadangnya. “Hayooo, mau ke mana kamuu?” kata orang itu. Toto pun kebingunngan dan ia tak tau apa maksud ketiga orang itu. Kalau diculik gak mungkin dia kan miskin. Tapi semuanya terjawab ketika salah satu dari mereka membuka kaca mata hitamnya.

Toto pun kaget dan berusaha kabur dari tempat itu setelah melihat wajah orang itu. “Heiiii jangan lari kamuuu. . .. . ..!” Teriak penjahat itu. Toto pun berlari sekuat tenaga meninggalkan gitar kecilnya untuk menghindari penjahat itu. Rupanya penjahat yang mengejarnya adalah pencopet yang tempo hari. Ia dendam pada si Toto yang telah menggagalkan aksinya. Toto melangkahi selokan, melewati pohon – pohon di pinggir jalan, dan melewati kemacetan. Tapi sayangnya untuk seorang anak sekecil itu tak mampu  melawan ketiga orang dewasa. Akhirnya ia pun tertangkap dan menjadi bulan – bulanan ketiga orang itu. Babak belurlah ia dipukul dan ditendang ketiga penjahat itu sebelum akhirnya warga membubarkannya dan ketiga penjahat itu kabur.

Kini ia terkulai tak berdaya di jalanan dengan muka yang memar. Tapi ia tetap berusaha untuk kuat. Ia tak ingin dibawa ke rumah sakit karena ia pun tak punya uang untuk bayarnya dan ia pun tak mau merepotkan warga yang lain. Dengan langkah yang terpincang – pincang ia pun pulang ke rumahnya Bang Rambo.

Hampir tengah malam ia sampai di rumah itu, disana sudah menunggu Bang Rambo di balik pintu. Ketika membuka pintu ia sudah di sambut oleh Bang Rambo, “Dari mana kamu ?” tanya bang Rambo dengan muka ketus “Ehhh. . . ..sa. . . . .saya. . . .” Toto pun tak mampu berkata. “Dari mana. .. ? Jam segini baru pulang. Yang laen udah pada setor kamu belum. Mana setoran kamu ?” tanya Bang Rambo lagi. “Ehhh. . . .sa. . .. .sayaa. . . . .” Toto kembali tak mampu berkata. “Saya. ..saya, mana ada gakkk ?” Bang Rambo makin marah “Gak. . ..gak ada bang .” jawab Toto sambil menundukkan kepala. “Kurang ajarrrrrrr. . … . .”

JEBRETTTTTTTTTT, Bang rambo pun memukul Toto dengan sapu lidi. Sungguh ia tak peduli dengan memar yang ada di mukannya si Toto. Yang ia pentingkan hanyalah setoran, setoran, dan setoran. Toto pun teriak – teriak minta ampun, namun tak digubrisnya. Teman – teman yang lain pun merasa iba padanya namun mereka tak bisa berbuat apa – apa. “Hari ini kamu tidur diluar !” kata Bang Rambo.

Diiringi dengan suara jangkrik, beralaskan kardus di malam yang dingin dan pekat ia pun tidur di luar menghadapi serangan nyamuk di malam hari.

“Heiii kasian juga yah si Toto harus tidur di luar.” Kata Udin “Ia, kita ke luar yuk temenin dia . !” Kata Ina.

Ina, Udin, Agus, Maman, Yusuf, Wati, Asep, dan Hasan pun keluar menemani si Toto yang kesakitan dan kedinginan. “To, emang kamu kenapa sih bisa kaya gini ?” tanya Ina. “Ceritanya begini na. . . .. . . “ kata Toto sambil menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

Mereka semua pun merasa prihatin atas apa yang dialami Toto. Sudah dipukulin preman eh dipukulin Bang Rambo juga. Hal itu menumbuhkan semangat bagi mereka untuk menentang Bang Rambo, untuk kabur saja dari tempat itu. Mereka sudah tak tahan lagi dengan sikap dari Bang Rambo yang seenaknya pada mereka.

Besok Paginya, “Ina, Agus Maman, Toto, hoyyyyy dimana kalian.Jangan kabur kaliannn. . . .!!” teriak Bang Rambo yang mengetahui mereka sudah tak ada di rumah itu. Lantas ia pun menyuruh teman – temannya ikut mencari anak – anak itu. “Awas kalian, kalo ketemu abisss kaliannnn . . .!”kata Bang Rambo dalam hati. Bang Rambo pun beserta teman – temannya mencari mereka ke setiap sudut kota. Jika mereka ketemu maka mereka pasti bakal dipukulin habis – habisan.

Di salah satu sudut kota mereka berjalan mencari tempat berlindung. Mereka mencari tempat yang aman yang tak mungkin ditemukan oleh Bang Rambo. Bertahun – tahun hidup dengan Bang Rambo, tanpa orang tua mereka, mereka adalah orang yang kuat walaupun dalam bati kecil mereka ingin sekali rasanya berkumpul dengan keluarga, ingin sekali rasanya bisa sekolah. Tapi mereka mengubur keinginannya itu dan mencoba realistis atas semua yang mereka jalani. Mereka hanya berusaha menjalani hidup apa adanya.

“Heiii gimana kalo kita tinggal di situ aja ?” Kata Toto sambil menunjuk ke sebuah gudang. “Hmmm, itu kan gudang yang udah ga kepake to.” Ujar Hasan. “Ia kalo ada hantunya gimana ?” tanya Agus. “Heyyy hantu sama Bang Rambo lebih serem mana, Bang Rambo kan.” Kata Ina. “Hahahahhahhahha. . . ..  .” mereka pun tertawa.

Mereka pun masuk ke gudang tua yang sudah tak berpenghuni. Terlihat di dinding – dinding coretan – coretan dan di sudut – sudut ruangan ada sarang laba – laba yang bersarang. Tapi hidup itu kejam bung. Rupanya gudang itu adalah tempat tinggal preman yang memukuli Toto tempo hari. Keluar dari kandang macan masuk kandang buaya.

“Heii, berani – beraninya kalian kemariii.” Kata preman itu. “Kaboooorrrrr. .!!” Teriak toto pada teman – temannya. “Hoiiii jangan lari kaliannnn.” Kata penjahat itu.

Mereka berlari secepat – cepatnya, melintasi bahu jalan, melintasi jalan becek, pepohonan, yang penting jangan sampe ketangkep. “Lewat sini – lewat sini. !” kata Ina. “Ayo, masuk ke rumah ini aja, mereka pasti gak berani.” Ucap Toto. “Ah kamu gila To, itu kan rumah orang kaya.” Kata Udin. “Ini kan kepepet, ayoo. . .!” kata Toto. “Oke ayo cepet.” Kata Ina kepada yang lain. “Wah sialan mereka masuk rumah itu lagiiii.” Kata Penjahat itu dengan kesalnya. Penjahat itu pun lantas pergi dan tak mengejar lagi anak – anak itu.

“Heiiii kalian siapa masuk rumah saya ?” Tanya si pemilik rumah. “Ma. . ..maaf pa kami. . . kami lagi dikejar – kejar penjah trus kepaksa kab kesini.” Jawab Toto. “Ia pa, kalau begitu kami mohon pamit dulu pa.” Ucap Hasan.

“Ehhh mau ke mana kalian ? Kalau di luar penjahatnya masih ada gimana, Kalau begitu kalian disini dulu aja untuk sementara.” Ajak sang pemilik rumah. Mereka saling memandang satu sama lain. Mereka merasa sungkan tapi di sisi lain ada benarnya juga apa yang dikatakan si pemilik rumah.

“Gimana, kok kalian malah bengong ?” tanya si pemilik rumah. “I. .i. .ia pa kami mau pa disini sementara.” Jawab Maman diikuti teman – teman lainnya. “Oke, kalau begitu mari masuk !” ajak si pemilik rumah.

“Wah rumahnya gede sekali.” Kata Udin “Hushhh jangan malu – maluin ah.” Kata Toto. “Kalo yang itu poto siapa pa ?” tanya Toto sambil menunjuk sebuah poto yang ada di dinding. “Oh itu, om, tante sama anak om dan tante waktu masih bai. Sekarang mungkin sudah seusia kamu.” Jawab si pemilik rumah. “Terus sekarang dia mana om ?” tanya Toto.

Pemilik rumah itu hanya menunduk dan terdiam mendengar pertanyaan itu. Sepertinya ada sesuatu yang ia simpan dalam benakanya. Tapi kemudian ia menceritakan perihal yang terjadi pada anaknya itu. “Ehhh. . ..Waktu anak saya masih umur 1 taun, kami membawanya jalan – jalan di taman. Tapi karena kami keasikan ngobrol, kemudian. … kemudian kami nggak tau dimana Rian anak kami.” Kata si Pemilik rumah sambil mengusap air matanya. “Maaf pak, kalo itu bikin bapak sedih.” Ujar Toto. “Oh ia ga apa – apa .” kata si pemilik rumah.

Mereka pun tinggal sementara di rumah yang megah, ada kolam renangnya pula. Di sisi lain Pak Budi dan Bu Rina pun senang kini rumah mereka yang sepi selama bertahun – tahun jadi ramai kembali. Tapi ada satu anak yang mengingatkan mereka pada anaknya yang hilang beberapa tahun silam. Toto, anak itu entah kenapa mengingatkan Pak Budi dan Bu Rina pada anaknya yang hilang.

Walaupun telah disarankan untuk berhenti mengamen oleh Pak Budi dan Bu Rina, namun anak – anak itu tetap mengamen sehabis pulang sekolah. Mereka merasa tak enak jika merepotkan Pak Budi dan Bu Rina, mereka merasa harus tetap bisa mencari uang sendiri.

Tapi apa yang terjadi, sore itu Ina, dan kedelapan teman lainnya berlari – lari ke rumah Pa Budi. Mereka nampak cemas mengkhawatirkan sesuatu. “Loh, ada apa kalian kok lari – lari ?” tanya Pa Budi. “Ehh. . . .eh. . . .Toto pa. . . .Toto.. . .” jawab Udin. “Ia Toto kenapa din ?” tanya Pa Budi cemas. “Toto diculik lagi sama Bang Rambo pa.” Jawab Ina. “Bang Rambo, Bang Rambo itu yang ngejar kalian kemarin ?” Pa Budi pun kaget. “Bukan Pak, kami sebelumnya tinggal dengan Bang Rambo, Bang rambo jahat, kami sering dibentak bahkan dipukuli. Uang hasil ngamen kami pun harus disetor ke Bang Rambo.” Jawab Ina. “Ya udah, kalo gitu kita kesana.” Kata pak Budi.

Mereka pun berangkat menuju rumah Bang Rambo. Sesampainya disana rupanya Bang rambo langsung berteriak pada Pa Budi dan anak – anak jalanan yang mendekat ke rumahnya. “Hai Budi dan kalian anak – anak jalanan jangan berani mendekat rumah ini lagi.” Ancam Bang Rambo.

Pa Budi pun sontak kaget, ternyata Bang rambo tau namanya. “Siapa kamu, tau dari mana kamu nama saya ?” tanya Pa Budi. “Hahahahha Budi. . ..Budi kamu lupa saya Budi. . . .Saya Rama, orang yang dulu kamu pecat.” Jawab Bang Rambo. “Ja. . .jadi kamu disini Ram, terus ngapain kamu nyekap anak itu ?” Tanya Pa Budi. “Hmmmm. . .. .hahahahhahah kalo kamu pingin anak ini saya bebaskan. Kamu harus nyediakan uang 500 juta rupiah, baru anak ini saya bebaskan.” Ujar Bang Rambo. “Apaa, 500 juta kamu gila, memangnya itu anak saya apa.” Kata pa Budi kaget.

Kemudian Pa Budi pun pulang ke rumahnya dan berpikir tentang apa yang dikatakan Bang Rambo. “Sebenarnya apa maksud si Rama itu kok minta tebusan ke saya ?” tanya Pa Budi dalam hatinya. “Pak, sudah kasih saja pa, kalo anak itu kenapa – kenapa gimana !” ujar Bu Rina.

Tiba – tiba suara telephone berdering, kringg. . . . .kring. . . . .“Halo. .. . “ ucap Pa Budi mengangkat telephone. “Halo Budi, gimana 500 jutanya bisa. . .? Jangan bilang engga bisa Budi, kalo gak bisa kamu tau apa yang terjadi dengan anakmu, kamu enggak akan bisa ketemu lagi sama dia.” Kata Bang rambo.“Apa kamu bilang, anakku ?” Pa Budi pun kaget. “Ehh. . . .maksud aku anak ini.” Jawab Bang Rambo.

Bang Rambo alias Rama pun langsung menutup telephone itu. Ia merasa keceplosan telah bilang sesuatu. Sementara Pak Budi memikirkan apa yang diucapkan Bang Rambo itu. “Jangan – jangan si Toto itu anakku yang hilang dulu.” Ucap Pak Budi dalam hati. Tapi pikirannya sendiri menyangkalnya.

Akhirnya Pak Budi membawa uang tebusan itu ke rumah Bang Rambo dan menukarnya dengan Toto si anak jalanan itu. “Hai Rama, keluar kamu. Aku sudah bawa uang tebusannya.” Teriak Pak Budi. “Hahhaha, oke baiklah Budi.” Bang Rambo pun keluar sambil membawa Toto yang mulutnya ditutup. “Lemparkan uang itu dan anak ini akan ku lepas.” Ucap Bang Rambo.

Pak Budi pun melemparkan koper yang berisi uang itu dan Toto pun dilepaskan. Akhirnya Pak Budi dan Toto kembali ke rumahnya. Tapi tunggu dulu, Bang Rambo jangan harap bisa menikmati uang itu. Karena baru sesaat Bang rambo menerima uang langsung polisi yang sudah menyerbu rumah itu menangkapnya.

“Jangan bergerak, anda ditangkap atas kasus mengeiksploitasi anak – anak dan kasus penculikan.” Kata Polisi. “Apa – apaan ini, kurang ajar kamu Budi.” Kata Bang Rambo yang tidak bisa berbuat apa – apa lagi. “Kalau kau ingin bebas, jawab Aku Rama, sebenarnya siapa si Toto ini ?” tanya Pak Budi. Namun Bang Rambo hanya diam menyikapi pertanyaan itu. “Jawab aku Ramaaaa. . .!!” teriak Pak Budi. “Di. . ..dia adalah anakmu yang hilang dulu. Dulu aku menculiknya karena dendam padamu.” Jawab Bang Rambo yang posisinya kian terjepit. “Kurang ajar kauuu. . ..!” Pak Budi pun lantas memukul Bang Rambo setelah mendengar pengakuannya itu. Pak Budi justru semakin benci pada mantan anak buahnya ini. Tak sedetik pun dalam benaknya untuk membebaskannya. Bahkan ia mengharapkan pelaku yang telah menculik anaknya itu dibekam di penjara seumur hidup.

Toto pun kaget ketika mendengar fakta yang sebenarnya. Semenjak saat itu Toto tinggal bersama Pak Budi dan Bu Rina di rumahnya yang megah. Ia tak menyangka kalau dia sebenarnya adalah anak orang yang sangat kaya. Percis seperti apa yang ia bayangkan kini ia bisa renang di kolam renang yang luas, main playstasion, dan tidur di kasur yang empuk.


Anak – anak jalanan lainya pun diangkat sebagai anak angkat. Mereka semua dibiayai sekolahnya dan tinggal bersama di rumah megah itu. Namun mereka masih seperti dulu, terkadang tetap mengamen namun tak meminta uang sepeserpun, hanya untuk menghibur para penumpang di bus kota.

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles