Jarum telah saling bertemu di angka dua belas,
sedangkan yang satu lagi berkeliling menimbulkan suara detak di tengah keheningan
malam. Aku sedari tadi telah menutup kelopak mataku laksana deretan roling door
yang menutup di tepi jalan di tengah malam. Telah kurebahkan pula tubuhku di
atas spring bed yang sangat lembut laksana awan. Namun tak jua kuberanjak dari
alam sadarku.
Itulah
yang selalu kurasakan di setiap malam – malamku beberapa waktu belakangan ini.
Tinggal di rumah yang megah, tidur di kasur yang empuk diiringi hembusan angin
AC yang menyejukkan tak membuatku bisa tidur dengan tenang di setiap malam –
malamku.
Rasanya
ingin kukembali seperti dulu, walau harus tidur beralaskan tikar yang tipis,
walau udara dingin menembus bilik – bilik dinding rumahku. Walau sorot lampu
yang redup tak cukup menerangi ruang – ruang yang sempit, walau harus
berselimut sarung tipis, tapi aku mampu tidur dengan nyenyak dan terbangun di
kala suara adzan subuh berkumandang.
***
Namaku
Fajar. Dulu, aku hanyalah seorang sopir angkot di desaku di Sukabumi. Di sebuah
desa dengan jalan masih berbatu. Jarang sekali angkot yang berlalu lalang di
desa ini. Padahal area desa ini cukup luas dan banyak para petani yang menempuh
perjalanan jauh untuk menuju lahan garapannya. Ya, itu salah satu hal yang
mendorong niatku tuk menjadi sopir angkot disamping dorongan tuk menafkahi
keluarga. Aku sangat senang bisa membantu penumpang di desa ini yang
membutuhkan transportasi, mengantarkan anak – anak yang sekolah, petani yang mengangkut
hasil panen, dan warga desa dengan berbagai aktivitas lain. Yang pasti aku
sering bercengkrama dengan warga desa ini ketika di perjalanan.
Aku
sangat senang menggeluti profesi itu, walau penghasilanku tak seberapa. Ya,
pasalnya aku memang tak punya armada angkutan umum. Aku hanya menjadi sopir
yang tiap hari harus nyetor ke pemilik angkot. Tapi aku mensyukuri itu. Asalkan
dapur rumahku tetap mengepul.
Pagi
– pagi buta disaat matahari baru menampakkan sedikit cahayanya, dan ayam – ayam
baru mengumandangkan suaranya, aku telah beranjak tuk bekerja. Kusalami istri
dan anakku yang baru berusia 4 tahun. Mereka selalu setia menungguku hingga kukembali
ke rumah di kala petang. Ribuan demi ribuan rupiah kukumpulkan tiap harinya.
Tak pernah sekalipun istriku mengeluh dengan penghasilanku yang pas – pasan. Ia
selalu menyambutku dengan senyum, menyeduhkan secangkir kopi untukku dan
memijatiku ketika lelah menerpaku.
Suatu
Ketika aku ditawari kerja oleh salah
satu sahabatku yang bekerja di Jakarta. Jafar namanya. Namaku dan namanya
memang sepintas hampir mirip dan kami adalah sahabat karib sejak kecil. Sudah
setahun ini Jafar bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan. Aku pun
ditawari menjadi sopir pribadi bosnya di kantornya. Awalnya memang berat karena
harus meninggalkan istri dan anakku yang masih kecil di desa. Tapi karena
bayarannya cukup lumayan, akhirnya aku terima tawaran itu.
Besok
pagi aku berangkat ke kota bersama Jafar Sahabatku yang sengaja menjemputku ke
desa. Kusalami anak dan istriku dan kupeluk mereka. Terlihat wajah haru
terpancar dari wajah mereka. Di satu sisi mereka berat dan aku pun berat tuk
berpisah, tapi disisi lain mereka mendukung keinginanku tuk mencari penghasilan
yang lebih baik di Jakarta. Ini semua kulakukan demi keluargaku.
Seminggu
kemudian aku tiba di Ibu Kota. Ternyata seperti ini kota Jakarta, dengan gedung
- gedung yang menjulang tinggi, mobil - mobil bisa melayang di udara di atas
aspal jalan layang. Hampir kutak melihat pesawahan dan rerumputan seperti yang
biasa kulihat di kampung.
Jafar
membawaku ke rumah bosnya yang sedang mencari sopir. Rumahnya bagaikan istana
yang megah, dengan tiang - tiang yang berdiri kokoh dan pekarangan yang indah.
Dibawanya aku bertemu dengan orang kaya itu. Dari tampangnya kelihatan sekali
kalau ia adalah seorang pemilik perusahaaan. Ditambah lagi dengan jas yang
melekat di tubuhnya dan dasi yang mengikat lehernya. Aku agak segan pertama
kali bertemu dengan orang yang berpenampilan elegan itu. Pak Burhan namanya. Ia
adalah seorang presiden direktur di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi kabarnya
ia tinggal hanya seorang diri. Ia sudah tak memiliki keluarga lagi setelah
bercerai dari istrinya. Anaknya pun ikut tinggal bersama ibunya dan ayah
barunya. Sementara kedua orang tua Pak Burhan telah meninggal. Aku merasa iba
mendengar kondisinya. Tapi aku salut padanya, walaupun banyak masalah yang
menerpanya justru ia mampu menjadi orang sesukses itu.
***
Aku
mulai bekerja sebagai sopir pribadi Pak Burhan. Hari itu hari pertamaku bekerja
dengan orang kaya itu. Aku yang biasanya hanya menyupir angkot butut kini
ditugaskan tuk membawa Toyota Alphard warna hitam mengkilap. Aku agak canggung
menyetir mobil ini. Dalam benakku terbayang - bayang bagaimana jika mobil ini
baret, atau jika spion yang kabarnya seharga motor itu dicuri orang. Tapi Pak
Burhan orang yang baik. Ia selalu memerintahkanku dengan begitu sopan, bukan
seperti majikan dan bawahan, tapi seperti seorang teman. Bahkan kerapkali di
tengah perjalanan kami berbincang, dan kadang pula ia menanyakan kabar
keluargaku di kampung.
Semakin
lama aku semakin terbiasa menyetir mobil mewah ini, aku semakin nyaman dan
semakin nyaman hingga pernah suatu ketika muncul di benakku tuk membawa kabur
mobil mewah ini, tapi pikiran busukku segera kusingkirkan jauh – jauh sampai
menghilang di langit ke tujuh atau terhisap segitiga bermuda.
Setiap
bulan, sebagian besar gajiku kutitipkan pada Jafar untuk disampaikan pada istri
dan anakku. Sebagai office boy Jafar memang libur seminggu sekali dan setiap
bulan bisa pulang ke kampung halaman. Sementara aku sebagai sopir pribadi harus
selalu menemani majikanku ke manapun dia pergi.
Bulan
demi bulan berlalu, aku pun semakin akrab dengan Pa Burhan. Nampak bukan lagi
seperti majikan dan bawahan. Pak Burhan sering bersenda gurau denganku atau
bercerita denganku sepanjang perjalanan. Dan gajiku pun dinaikkannya. Padahal
aku baru bekerja beberapa bulan saja. Tapi ada yang mengganjal dalam pikiranku.
Setelah gajiku dinaikkan nampak wajah Jafar terlihat dingin saat kutitipi uang
gajiku untuk istri dan anakku. Mungkinkah ia iri padaku. Tapi aku rasa ia orang
yang selalu mensyukuri apa yang ia dapat.
“Jar,
sudah berapa lama kamu nggak pulang kampung?” tanya Pak Burhan
“Sudah
hampir setaun pak.” Jawabku
“Yasudah,
besok kita ke kampung halamanmu tuk menemui anak istrimu. Bolehkan saya ikut?”
Aku
terdiam sejenak seolah tak percaya ucapan atasanku ketika kami berbincang di
mobil. Aku tak menyangka ada bos yang sebaik dia.
“Jar.
. . .Boleh kan?”
“Oh
ia pak tentu saja boleh pak bolehhh. Trimakasih banyak paaa. . .trimakasih.”
Itulah
perbincanganku dengan Pa Burhan. Hmmm, aku tak menyangka ia mengijinkanku tuk
berjumpa anak dan istriku.
***
Hari
itu kami berangkat ke kampung halamanku di Sukabumi. Dari Jakarta kupacu mobil
Toyota Alphard milik bosku ini. Sementara di sampingku duduk Pa Burhan yang
sepantasnya duduk di belakang. Ia memang bos yang luar biasa, mampu meluangkan
waktu hanya untuk mengunjungi keluargaku di kampung.
Aku
semakin tak sabar menemui istri dan anakku. Kuinjak pedal gas dalam – dalam di
atas beton jalan bebas hambatan ini sembari menyetel musik dari Tape mobil.
Sementara Pa Burhan terlihat terlelap. Nampaknya ia kelelahan setelah seminggu
penuh menghadapi padatnya rutinitas kantor.
Tapi
disaat mobil melaju bak kereta express diiringi musik yang bertempo cepat, tiba
– tiba saja ban belakang mobil yang kami tumpangi pecah. Aku mencoba sebisa
mungkin mengendalikan mobil yang sedang melaju kencang ini. Kuinjak pedal rem
namun sulit di kecepatan tinggi tuk langsung berhenti. Aku panik setengah mati,
keringat dingin bercucuran, sementara bosku masih terlelap di tidurnya. Aku
semakin panik ketika melihat truk besar pengangkut pasir dihadapanku dari arah
berlawanan. Kucoba tuk menginjak pedal rem lebih keras lalu kubanting stir ke
kiri. Naasss kami menabrak pembatas jalan, dan aku tak ingat apa – apa lagi
saat itu.
***
Pening
rasanya kepalaku ini, kubuka perlahan mataku dan aku tak tau berada dimana ini.
Sampai kusadari ternyata ini di rumah sakit. Tak ada anak istriku disana, tak
juga Pak Burhan. Yang aku lihat hanyalah Mbo Siti pembantunya Pak Burhan dan Pak
Mamat tukang kebun di rumah Pak Burhan.
“Pa
Mamat saya ini kenapa, Pak Burhan mana ?” aku bertanya tak mengerti
“Pa
Fajar ini baru aja kecelakaan di jalan tol, ini di rumah sakit.” Jawab Pak
Mamat
“Lalu
dimana Pak Burhan, apa dia baik – baik saja ?” tanyaku cemas.
Pak
Mamat dan Mbo Siti hanya terdiam dan menunduk lalu saling menatap dengan wajah
yang sayu. Sedangkan mulut mereka bungkam tak mampu berkata – kata.
“Dimana
Pak Burhan, apa dia baik – baik saja?” tanyaku yang semakin cemas.
Setelah
terdiam cukup lama akhirnya Mbo Siti dengan berat hati mengatakan yang
sebenarnya.
“Pa
Burhan. . . . . ..Pa Burhan udah nda’ ada Pa.”
“Astagfirullah.
. . . .!!”
Aku
pun tak kuasa membendung air mataku. Antara tangis dan penyesalan berbaur
menjadi satu. Aku tak percaya, bos yang sebaik itu harus tiada gara – gara aku
yang menyetir gak hati – hati. Aku pun merasa menyesal sekali. Namun Pa Mamat
dan Mbo Siti berupaya menenangkanku dan mengatakan bahwa ini sudah suratan
takdir.
***
Dua
bulan kejadian itu berlalu. Aku masih dirundung kesedihan yang mendalam. Aku
masih berjalan menggunakan tongkat usai kecelakaan itu. Hari itu di rumah Pak
Burhan diumumkan wasiat yang sempat disampaikan Pak Burhan sebelum beliau
meninggal. Beliau tak punya siapa – siapa lagi. Dan pengumuman itu membuatku
terkejut, hampir copot jantungku rasanya mendengar pengumuman wasiat itu.
Dikatakan
oleh kuasa hukumnya bahwa akulah yang mendapatkan warisan terbesar atas harta
kekayaannya. Dahulu aku bercita – cita ingin kaya raya, tapi tak seperti ini.
Ini semakin membuat rasa bersalahku semakin besar pada Pak Burhan. Tapi Mbo
Siti dan Pa Mamat menyarankanku agar menerima permintaan Pa Burhan untuk
mengurus hartanya.
***
Enam
bulan berlalu setelah kakiku benar – benar sembuh aku memutuskan tuk kembali ke
kampung memberitahukan anak istriku tentang hal ini. Tak terlalu berbeda dengan
tahun - tahun sebelumnya, desa ini selalu sejuk. Aku pun berjalan melewati
pangkalan angkot tempat kubekerja dulu. Ada Hamid, Dadang, dan kawan kawanku
sesama sopir angkot dahulu. Tapi kulihat ada sesuatu yang berbeda dari mereka.
Lama tak bertemu, ternyata tak membuat lengkung bibir mereka tersenyum kepadaku
sedikitpun. Bahkan mereka memasang muka masam padaku. Aku pun mencoba menyapa
mereka
"Hai
teman - teman, apa kabar kalian ?" kataku sambil tersenyum pada mereka.
Mereka
terdiam tak bergeming, tatapan mereka semakin tajam bak pisau belati. Aku
semakin tak mengerti dengan semua ini. Lantas kutanyakan pada mereka,
"Haiii,
kalian semua kenapa? Jangan diam saja, aku bawa oleh - oleh untuk kalian."
Kataku memancing respon mereka.
Salah
satu dari mereka mulai merespon. Namun sayang, bukan respon yang kuinginkan.
"Buat
apa kau balik lagi kemari ?" Tanya Dadang, teman sepropesiku dulu.
Ia
berdiri dan murka kepadaku. Aku semakin tak mengerti. Mengapa sahabatku ini
bersikap seperti itu padaku.
"Dang,
kamu ini kenapa, apa salahku ?" aku bertanya dengan penuh kebingunan.
"Kamu
tuh enak Jar, naek mobil mewah setiap hari, punya rumah yang besar. Sedangkan
kita cuma sopir angkot yang penghasilannya pas pasan. Lebih baik kamu ga usah
kemari Jar kalo kamu cuma mau sombong pada kami." jawab Dadang.
"Ya
ampun, aku ga maksud gitu sama kalian. Kalian tetep sahabat buatku."
jawabku.
"Ahhhh,
sudahlah kau balik saja ke kota sanahhh.!!" Katanya sambil melemparkan
baju - baju yg rencananya akan kuberikan pada mereka.
Aku
sama sekali tak mengerti mengapa niat baikku ini justru ditanggapi negatif oleh
mereka. Aku pun terus berjalan sambil
menundukkan kepala dan tak mengerti apa yang terjadi dengan teman -
temanku."Ahhh sudahlah, biar kupikirkan nanti, sekarang yang penting aku
harus pulang aku sudah kangen pada istriku yang tak bertemu selama setahun
lamanya." Pikirku.
***
Lama
tak kurapatkan jejakku di tanah ini, tepat di depan rumahku. Nampak halaman
ditutupi daun - daun yang berserakan, rerumputan pun telah meninggi. Tak
seperti biasanya, apakah istriku malas mengurusi halaman rumah, ahhh. . .aku
rasa tidak mungkin. Ia adalah orang yang rajin.
Ku
berdiri di depan pintu sembari mengetuki pintu. . .mengetuk pintu. . .dan
mengetuk lagi. Namun tak ada yang membukakan pintu. Aku semakin bertanya -
tanya dalam batinku ada apakah ini, dimana istriku yang biasanya menyambutku
ketika letihnya pulang kerja.
Aku
pun mendobrak pintu tersebut dan memanggil - manggilnya. Namun tetap tak ada
jawabnya. Sampai kutemukan secarik kertas di atas meja di kamarku. Kubaca pelan
- pelan apa maksud yang tersirat di surat itu.
"Mas, mas pasti
udah bahagia di sana kan, udah jadi kaya raya, udah punya mobil, rumah mewah.
Titi ngerti mas kalo mas ga pernah ngabarin keadaan di sana. Tapi Titi kecewa
sama mas, kecewa. Titi ga nyangka mas yang dulu baik ternyata bisa sejahat ini
untuk memperoleh kekayaan. Titi harus pergi mas, harus mulai bisa ngelupain
mas."
Ada
apa dengan semua ini. Mengapa teman - temanku, istriku, semuanya bersikap aneh
seolah - olah aku punya kesalahan besar pada mereka. Padahal tak secuilpun
dalam benakku untuk mengacuhkan mereka, apalagi memusuhi mereka.
Aku
pergi ke tepian sungai. Duduk sendiri di tengah suara gemercik air yang
mengalir. Sesekali kulempar batu ke permukaan air. Dan aku bertanya pada diriku
sendiri tentang apa yang terjadi. Walau kutak temukan jawabannya.
Besoknya
aku bergegas pergi ke Tasik tempat mertuaku tinggal. Siapa tau istriku berada
disana. Dan ternyata benar istriku
memang berada disana. Tapi belum sempat aku masuk aku sudah diusirnya.
Dan orang tuanya pun turut mengusirku dengan lantang. Aku semakin tak mengerti
dengan semua ini. Akhirnya kumenyerah dan kuputuskan tuk kembali ke Jakarta.
***
Aku
pun berbaring di kasur yang empuk di kamar yang luas. Ini adalah rumah Pak
Burhan yang diwariskan padaku. Semenjak aku tinggal di rumah semegah ini aku
tak pernah merasa tenang. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Rasa bersalah pada
Pak Burhan, rasa bersalah pada anak istriku di kampung, rasa bersalah pada
sahabat – sahabatku di kampung.
Handphone
kupun bergetar, kulihat ada sms masuk. Dari Jafar rupanya, isinya begini,
“Hai Fajar sahabat
karibku dulu, mungkin kau sudah lupa denganku. Aku hanyalah office boy dan kamu
adalah orang kaya raya sekarang. Aku tak menyangka ternyata kau bisa sesombong
ini melupakanku, padahal pekerjaanmu yang menghantarkanmu seperti sekarang ini.
Dan itu karena jasaku. Tapi tak sedikitpun kamu berterima kasih padaku.
Hahahha. . . . bahkan kau tega melupakan keluargamu di kampung dan sahabat –
sahabat lamamu. Kini kau rasakan hidup dalam ketidak tenangan Fajar. Akulah
yang bilang pada teman- temanmu dan
istrimu bahwa kau telah membunuh bosmu untuk menguasai hartanya. Hahaha
ternyata kau sepicik itu Fajar.”
“Astagfirullah
Al adzim. . . .. astagfirullah al adzim”
Aku
ini manusia yang lupa diri. Aku melupakan sahabatku yang telah membantuku, aku
juga telah lama tak mengabari istriku dikampung, juga teman – temanku walaupun
sebatas surat sekalipun. Aku juga telah menyebabkan Pa Burhan celaka. Aku
menyesal. . . .aku menyesal.
Malam
ini pun demikian. Aku masih mencoba memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku.
Walau pikiran – pikiran ini tak mampu kuusik dari ubun – ubunku. Walau setiap
detik yang bergulir tak mampu menyingkirkanku dari alam sadarku, dari
masalahku, dan dari penyesalanku.
***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles