Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Oktober 2017

Belajar adalah Esensi dalam Hidup


Buat apa sekolah dan kuliah?
Merupakan kata tanya yang sudah seharusnya kita tanya pada diri kita sendiri, pada lubuk yang paling dalam. Dan ketika Anda bertanya pada diri Anda sendiri, jawaban yang keluar dari sanubari Anda mungkin bermacam–macam. Mungkin hati kita akan menjawab sekolah hanya untuk menunaikan kewajiban, atau sekolah hanya untuk mencari teman atau mencari aktivitas, atau mencari gelar semata. Tapi menuntut ilmu dan mengamalkannya adalah jawaban yang paling murni dari sekian banyak jawaban.

Namun menuntut ilmu tak mesti harus di sekolah saja bukan?

Kita telah belajar dari Thomas Alva Edison, bagaimana dia mampu menjadi ilmuan hebat dengan ribuan penemuannya dengan tanpa sekolah. Kita juga telah belajar bagaimana Michael Faraday terus belajar selama bekerja di perpustakaan walau tanpa sekolah dan akhirnya mampu menjadi ilmuan hebat. Kita juga telah belajar dari orang–orang sukses lainnya yang mampu meraih suksesnya walau tanpa sekolah.

Ketika kita menatap tingginya langit, hiasan bintang–bintang, atau hamparan bumi, bukankah kita sedang belajar?

Ketika kita merasakan hembusan angin yang mengalir di setiap nafas kita, bukan kah kita belajar?

Ketika kita membuka lembaran demi lembaran sebuah buku dan menelusuri makna dan informasi di setiap kata yang tertulis, bukan kah kita sedang belajar?

Ketika kita mengalirkan kata–kata penuh makna dari mulut kita dan menghantarkannya pada setiap telinga yang mendengar, bukankah kita sedang belajar?

Ketika kita berada di jurang keterpurukan, didera berbagai masalah, bukankah kita sedang belajar?

Belajar adalah sebuah esensi dalam hidup ini, belajar bukan berarti sekolah, dan sekolah bukan berarti belajar. So......

Bagi yang punya kesempatan untuk sekolah dan kuliah, bersyukurlah. Karena di luar sana banyak orang yang tak memiliki kesempatan itu. Jadikanlah itu sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Jadikanlah setiap kisah sukses orang-orang yang tak lulus sekolah dan kuliah di buku ini sebagai pelecut semangat. Kalau mereka saja bisa, kita yang punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan seharusnya lebih bisa.

Dan bagi yang tak punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, tak usah berkecil hati dan merasa terpuruk. Karena banyak yang bernasib serupa dengan kamu bisa meraih kesuksesan

Minggu, 01 Oktober 2017

Budaya Ospek yang Salah


Buat yang pernah kuliah tentu masih ingat dong dengan masa–masa ospek. Masa–masa dimana mahasiswa baru “dikerjai” oleh para senior. Namun sayang, banyak kampus–kampus yang menjadikan ospek sebagai ajang penyiksaan oleh para senior kepada para junior. Senior merasa jauh lebih berkuasa dan junior harus tunduk pada para senior.

Sudah beberapa nyawa melayang akibat penyiksaan dari senior kepada juniornya pada saat ospek di beberapa kampus. Mereka dipukuli, ditendang, dan disiksa secara tidak berprikemanusiaan. 

Yang menjadi pertanyaan apakah sistem Ospek sudah benar?

Apakah dengan menggertak, dan menyiksa junior bisa bikin mental jadi lebih kuat?

Faktanya tradisi tersebut sulit terhenti karena adanya rasa ingin balas “dendam”. Para junior yang dahulu “disiksa” oleh para senior menjadi memiliki rasa ingin membalaskannya pada para junior ketika ia telah senior nantinya. Dan ada banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan saat pelaksanaan OSPEK. Kalau memukul dan menendang sih sudah pasti harusnya tidak ada yang seperti itu. Menampar dan membentak pun seharusnya tidak ada di kegiatan OSPEK.

Kegiatan Ospek seharusnya mampu membuat para junior memiliki keinginan untuk berkembang dan berprestasi. Selain pengetahuan tentang kampus atau sekolah yang baru dijamahnya, tentu seharusnya diisi dengan kegiatan yang menumbuhkan dan mengembangkan karakter dari para mahasiswa baru.

Macam-macam Niat orang Kuliah


Setelah lulus SMA, banyak yang berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebenarnya ada banyak nawaitu alias niat kenapa orang mau meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi walaupun harus mengeluarkan biaya yang muahaal. Berikut diantaranya:

·         MENCARI GELAR,
·         MENCARI KEGIATAN,
·         MENCARI TEMAN ATAU PASANGAN,
·         MENGIKUTI BUDAYA,
·         MENCARI ILMU,

Mencari Gelar
Ada orang–orang tertentu yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena niatnya mencari gelar yang melekat di belakang namanya. Misalkan ST, atau MBA, atau Msc, atau Msg (kalo itu pecin hehehe), atau juga Alm.(lohh... kalo itu almarhum), dan beberapa gelar yang menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang berpendidikan. Berarti orang yang semacam ini lebih mementingkan prestice dibandingkan prestasi.

Tipe semacam ini persentasenya mungkin sangat banyak dibandingkan tipe yang lain. Karena gelar yang melekat menunjukkan setinggi apa tingkat pendidikan orang tersebut. Dan gelar tersebut sering disebut saat pidato, sambutan, ataupun tercantum di berbagai surat, buku,  atau form-form temasuk undangan perkawinan.

Buat yang niatnya mencari gelar, coba deh pikirin lagi buat apa sih gelar? Mungkin kebanyakan bilang buat bekerja. Memang kebanyakan lowongan pekerjaan saat ini menerapkan standardisasi minimal untuk karyawan yang mereka rekrut tergantung dari posisi kerjanya. Ada yang mensyaratkan lulusan diploma, adapula yang mansyaratkan minimum lulusan sarjana. Tapi kalau kita lihat menurut data BPS yang sudah kita bahas di semester pertama, ternyata justru pengangguran paling banyak adalah lulusan diploma dan sarjana. Dan yang terpenting bukanlah ijasah, tapi kinerja dan kapasitas kita.

Mencari kegiatan
Kuliah di perguruan tinggi dijadikannya sebagai suatu kegiatan semata. Dari pada tidak ada kegiatan, kerja belum siap, nganggur di rumah bosen, mending kuliah. Itu yang dipikirkannya.

Biasanya tipe mahasiswa seperti ini untuk memilih jurusan saja bingung. Karena ia tidak tau ke mana bidang yang ingin ia tekuni. Akhirnya setelah kuliah ia merasa jam kuliah amat membosankan. Apalagi jika ia kuliah di jurusan yang tidak ia sukai. Mungkin baginya jadwal kuliah dan belajar di kampus sudah seperti penjara.

Tak ayal beberapa mahasiswa kerap kali lebih asik ngobrol, ataupun nongkrong dan nangkring dibandingkan masuk kuliah dan memetik ilmu. Amplop berisi kertas bertuliskan surat sakit palsu diiringi tanda tangan palsu sering jadi senjata.

Mencari teman atau pasangan
Ada orang yang niat utamanya melanjutkan pendidikan adalah untuk mencari teman semata.

Di kampus ia hanya semangat untuk ngobrol dengan teman, main dengan teman, makan-makan, ngumpul–ngumpul, makan sambil ngumpul, ngumpul sambil makan, makan ngumpul makan ngumpul, ngumpul makan ngumpul makan, ngumpul-ngumpul makanan dan lain sebagainya :D. Bahkan banyak juga yang menjadikan kampus sebagai tempat untuk sekedar mencari pasangan. Ya, kampus sih memang tempat berkumpulnya para kaula muda. Tapi jangan dijadikan sebagai tujuan utama juga seharusnya.

Relasi itu memang penting sebenarnya. Dan kalau niat untuk mencari teman memang bukan hal yang salah juga, justru hal yang baik. Tapi seperti kata pepatah, “kita bergaul dengan tukang sampah ketularan baunya, tapi kalau kita bergaul dengan tukang parfum ketularan wanginya”.

Jadi kalau ada orang yang bilang mencari teman itu jangan pandang bulu itu salah. Justru mencari teman itu kita harus pandang bulu. Eitss itu ungkapan loh yah. Maksudnya kita juga harus memilih dengan siapa kita bergaul. Jangan sampai kita terjerumus dengan pergaulan yang enggak bener. Soalnya yang namanya kenakalan remaja seperti minum minuman keras, tauran, sampai narkoba biasanya dimulai dari pergaulan.

Mengikuti budaya
Sebagaimana kita ketahui kehidupan kebanyakan orang setelah sekolah adalah melanjutkan ke bangku kuliah. Dan ada orang yang melanjutkan kuliah karena kebiasaan banyak orang memang seperti itu. Lantas ia pun mengikuti kebiasaan tersebut. Orang semacam ini memiliki prinsip hidup yang mengalir saja seperti air.

Biasanya orang yang hanya sekedar mengikuti kebiasaan tak punya tujuan jelas dalam hidupnya. Pokoknya orang lewat jalur itu yahhh ikut ajahhh. Biasanya ia milih jurusan yang populer atau yang paling sering dipilih para pelajar yang mau kuliah.

Kalau dipikir–pikir memang banyak banget orang yang hidupnya mengikuti budaya. Pola hidupnya sama–sama aja, sekolah >>>> kuliah >>>> kerja >>>> kawin >>>> punya anak >>>> punya cucu >>>> pensiun >>>> game over. Walaupun memang tidak salah juga karena hidup itu pilihan. Tapi alangkah lebih baik jika hidup lebih bermakna.

Mencari ilmu
Memang tidak semua para pelajar atau mahasiswa memiliki niat yang keliru. Di sisi lain ada pula orang–orang yang meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah benar–benar tujuannya mencari ilmu untuk diamalkan. Niatan–niatan yang lain hanya sampingan belaka dan ia fokus untuk mencari ilmu tanpa memikirkan gelar yang ia dapat, atau reputasi yang ia dapat dalam menuntut ilmu.

Dari saat sekolah orang ini sudah kelihatan niatnya. Biasanya dia meraih ranking di kelas, dan juga prestasi–prestasi akademis lainnya. Dan biasanya orang ini ahli di bidang ilmu pengetahuan tentang apapun bidang yang dikuasainya. Dia nggak terlalu peduli sama nilai. Kalaupun dia mendapat nilai tinggi pasti karena dia belajar bersungguh–sungguh.

Apakah Pendidikan Tinggi menentukan Kesuksesan?


Mungkin kita ingat, program wajib belajar 9 tahun. Artinya wajib belajar minimal sampai SMP. Tapi nampaknya program tersebut tidak bisa dijalankan oleh seluruh warga negara. Untuk kalangan menengah ke atas tentu bisa. Tapi untuk kalangan menengah ke bawah banyak yang berhenti hanya sampai SD, ada pula yang tak mampu sekolah sama sekali. 

Faktanya biaya pendidikan di Indonesia memang tidaklah murah. Untuk menyelesaikan wajib belajar 9 tahun saja atau lulus SD dan SMP rata–rata dari mulai uang pendaftaran, uang pembangunan, uang SPP, seragam, buku, dll, mungkin uang yang harus dikeluarkan mencapai puluhan juta. Apalagi jika meneruskan ke SMA atau ke perguruan tinggi. Mungkin kalau ditotal biayanya mencapai ratusan juta rupiah atau bahkan bisa lebih.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika kita menyelesaikan pendidikan mencapai ke perguruan tinggi kita akan sukses dan kaya raya, atau minimal apakah akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan?

Mungkin sebagian dari Anda akan menjawab ya, tapi mungkin Anda akan tercengang ketika mengetahui fakta bahwa pengangguran terbanyak justru lulusan diploma dan sarjana. Sementara di sisi lain banyak orang yang sukses walau tanpa kuliah atau tidak lulus kuliah

Ketika Tidak Lulus Ujian Nasional


Ketika saya SMA saya hampir selalu meraih rangking di kelas. Saya pernah meraih ranking 1, 2, dan juga rangking 3 . . . wuidihhh somong. Ya, walaupun memang di sebuah SMA swasta di kota Bandung. Selain itu saya juara olimpiade Fisika dan Kimia se-Indonesia. .. .wuidihhhhh sombong lagiiii. . . .!!!.  Kalo yang itu bukan sombong, tapi boong hehehehe :p

Sampai suatu ketika tibalah saatnya ujian nasional yang sangat menentukan kelulusan. Jika ada salah satu nilai yang tidak memenuhi standar yang ditentukan pemerintah, sudah barang tentu siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. 

Saya belajar untuk mempersiapkan ujian tersebut hingga malam kian larut, ditemani gemercik suara jangkrik dan detak jarum jam. 

Di hari pertama pelajaran Bahasa Indonesia, tentu tak begitu sulit dan saya merasa mampu melaluinya. Di hari kedua pelajaran Bahasa Inggris, juga tak terlalu masalah walaupun tak semudah di hari pertama. Tapi di hari ketiga, walaupun saya sudah belajar soal–soal matematika, tapi saya melaluinya dengan penuh kegelisahan. Saat itu saya memikirkan bagaimana kalau tidak lulus, bagaimana kalau tidak lulus. 

Baru di soal pertama saya sudah mendapat kendala, sebenarnya soalnya simpel hanya mencari nilai x, y, dan z dari beberapa persamaan. Tapi beberapa kali saya mencoba menghitung tetap tak ada jawabannya. Saya terus mengutak–atik soal itu dan saya tetap tak menemukan jawabannya di pilihan ganda tersebut. 

Akhirnya saya merasa frustrasi dan melewati soal itu. Tapi di soal–soal berikutnya pun konsentrasi saya sudah buyar dan banyak soal yang tidak bisa saya jawab dengan benar, juga banyak soal yang saya jawab dengan asal–asalan. Apalagi waktu ujian sudah hampir habis. Saya semakin galau, gelisah, gundah gulanah, khawatir, keringat mulai muncul dari dahi. Dan saya keluar dari ruangan ujian tersebut dengan rasa pesimis sambil menundukkan muka, seolah langit ditutupi mendung yang kian gelap, petir menyambar, langit menderu-deru dan memercikkan cahaya kilat di gumpalan–gumpalan awan hitam. Hujan turun begitu derasnya membasahi bumi, ibarat ratusan ribu pasukan yang melepaskan anak panah menghujam tanah.

Dan ternyata benar, begitu menerima hasil ujian nasional, saya dinyatakan tidak lulus pada pelajaran matematika. Sungguh tragis, seorang yang pernah rangking 1, 2, dan 3 justru tidak lulus ujian nasional. Tapi itulah kenyataan, belajar selama 3 tahun ditentukan oleh beberapa jam saja. 

Tapi di sisi lain, banyak yang bisa lulus karena mendapat kunci jawaban soal. Mereka tinggal menyalin saja kunci jawaban yang mereka dapat. 

Lalu apa artinya ujian nasional jika kunci jawabannya sudah menyebar? Lalu apa artinya sekolah jika ujiannya hanya menyalin huruf A, B, C, atau D dan menghitamkan sebuah lingkaran? Lalu apa pentingnya ujian nasional, yang menelan biaya ratusan milyar itu? 

Buat apa sekolah?



Pendidikan,

“Sejauh mana pendidikan mampu mempengaruhi hidup seseorang?”

“Sejauh mana pendidikan mampu mengangkat derajat seseorang?”

“Sejauh mana pendidikan mampu mensejahterakan seseorang?”

“Apa sekolah bisa bikin orang jadi sukses? Apa Kuliah bikin orang jadi sukses?”

“Apa sekolah dan kuliah bisa menjamin masa depan setiap orang?”

“Apa harus menuntut ilmu? Apa salahnya ilmu sampai harus dituntut–tuntut begitu? Hehehe. . .

“Sekolah itu penting gak sih? Kuliah itu penting gak sih?”

“Buat apa sekolah? Buat apa Kuliah?”

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita renungkan dan kita pertanyakan, minimal untuk diri kita sendiri. 

Kadang kita menemui atau pernah membaca tentang kisah–kisah seseorang yang bisa sukses walau hanya dengan tingkat pendidikan yang rendah, bahkan ada beberapa di antara mereka yang tidak lulus sekolah atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Tapi faktanya banyak pula lulusan sarjana yang menambah jumlah angka pengangguran di negara ini. Sering pula kita dengar siswa-siswi juga mahasiswa dan mahasiswi justru berprilaku negatif, mulai dari tawuran, sex bebas, minuman keras, geng motor, sampai terlibat narkoba. Lantas patut kita renungkan, pentingkah sekolah tinggi untuk kita? Buat apa sekolah?

Sabtu, 30 September 2017

Pengangguran di Indonesia Ternyata Kebanyakan Lulusan Sarjana dan Diploma

Faktanya lebih dari 7 juta pengangguran di Indonesia ternyata kebanyakan merupakan lulusan Sarjana dan Diploma. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah lulusan Sarjana dan Diploma yang menganggur berjumlah sekitar 7.5% dan  6.95%, Lulusan SMP 7.80%, SMA 10.34%, SMK  9.51%. Sementara pengangguran lulusan SD ke bawah hanya 3,69%. Nah lohhh... ternyata pengangguran kebanyakan lulusan Diploma dan Sarjana. Justru yang lulusan SD lebih sedikit. 

Dan yang menarik adalah fakta bahwa jumlah penduduk yang bekerja menurut data tahun 2012 adalah 112,8 juta orang, dan dari jumlah tersebut ternyata 55,51 juta orang atau 49.21% dengan kata lain setengahnya merupakan lulusan SD ke bawah, Sekolah Menengah Pertama sebesar 20,29 juta (17,99 persen). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sekitar 10,3 juta orang mencakup 3,12 juta orang (2,77 persen) berpendidikan diploma dan 7,25 juta orang (6,43 persen) berpendidikan universitas. 

Nah, ternyata sekolah tinggi yang mengeluarkan biaya yang sangat BUEEESAARRRR  itu tak menjamin kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Jadi menurutmu, BUAT APA SEKOLAH & KULIAH?