Senin, 02 Oktober 2017

Cerpen Tentang Impian 15 Tahun yang Lalu


Aku teringat dengan sahabat-sahabatku semasa kecil. Hari ini adalah hari kita berkumpul kembali. Aku ingat betul 15 tahun yang lalu Saat kita baru naik ke kelas 6 SD, kita berkumpul di sini, di tepi sungai di samping pohon kersen di belakang sekolah. Di sini Aku, Yadi, Setyo, Ranin, dan Hari pernah mengubur sebuah gambar yang kita simpan di toples kaca. Gambar itu adalah gambar diri kita masing-masing yang mengenakan pakaian sesuai profesi yang kita impikan. Itu adalah gambar yang kita buat bersama. 

Di gambar itu Yadi berpakaian polisi, pria berkulit sawo matang itu memang ingin sekali menjadi polisi. Sementara Setyo berpakaian seragam coklat seperti yang dikenakan guru-guru kami, ia memang ingin menjadi guru. Ranin yang merupakan perempuan satu-satunya di kelompok kami berpakaian dokter sesuai dengan cita-citanya. Sementara cita-citaku saat itu ingin jadi pemain bola. 

Lalu bagaimana dengan Hari? Akan ku ceritakan nanti kawan. Tak cukup hanya satu kalimat untuk menceritakan anak yang luar biasa itu. Yang pasti kini aku masih menunggu kedatangan mereka di tempat ini. Aku yakin mereka takkan lupa akan janji kita 15 tahun yang lalu. Saat itu kita berjanji akan berkumpul kembali pada tanggal yang kami tentukan, yaitu hari ini. Dan saat itu kita janji pada saat kita berkumpul nanti, kita sudah mencapai impian kita masing-masing dan akan mengenakan pakaian sesuai dengan impian yang telah kita capai.

Sesekali ku lihat jam tangan, sudah cukup lama ku menunggu disini. Tak ada satu pun dari mereka yang datang. “Apakah mereka lupa, apa lebih baik aku pulang saja?” tanyaku dalam hati.  Aku pun bergegas pulang karena janji itu memang telah begitu lama dan pastinya mereka lupa.

Baru keluar dari gerbang sekolah menuju jalan raya, motorku dicegat oleh seorang polisi. Aku tak tau apa salahku. Tapi terlihat polisi itu tersenyum dari balik helmnya yang kemudian ia buka.

“Rei. . . , apa kabar?” sahut polisi itu seraya tersenyum.

Aku bingung kenapa polisi itu mengenaliku. Kurapatkan kedua alisku, ku mencoba menerka wajahnya yang sepertinya aku kenal.

“Ohhh,, Yadiiii. . . .Kamu sudah jadi polisi sekarang ya, hahaha. . .!!” ucapku terkejut.

Ternyata itu Yadi yang sudah menjadi polisi. Ia datang, rupanya ia ingat akan janji kita 15 tahun yang lalu. Tak lama kemudian datang seorang berpakaian dokter, disusul kemudian seorang yang berpakaian guru. Mereka adalah Ranin dan juga Setyo yang ternyata juga masih ingat akan janji kita. Kita pun berkumpul di tempat itu, di tempat kita mengubur gambar impian kita dahulu. Kita saling berbincang tentang masa lalu dan tentang impian kita.

“Wah kalian hebat, ternyata kalian sekarang bisa mencapai impian masing-masing,” ucapku pada mereka yang mengenakan pakaian sesuai profesi masing-masing.

“Ah tapi kamu lebih hebat Rei. . .” ucapan Setyo terhenti.

Ia menatap pakaian yang ku kenakan. Mereka semua pun ikut menatap pakaian yang ku kenakan, kaos Barcelona.

“Rei, kamu sekarang jadi pemain Barcelona?” tanya Yadi terkaget-kaget.

“Hahaha kalian tuh ngeledek ya. Ya enggak lah, enggak mungkin. Eh, tapi ngomong-ngomong Hari mana yah?”

Kami semua terhenyak saling memandang dan mengingat anak itu, Hari, anak yang luar biasa.

Kami pun menggali kembali tempat dimana kami menguburkan gambar itu. Ternyata gambar itu masih ada, tersimpan di sebuah toples kaca yang sudah agak rusak. Kami memandangi gambar yang kami buat bersama 15 tahun yang lalu. Dan disana gambar Hari lah yang paling istimewa. Di gambar itu Hari mengenakan pakaian lab sedang memegang gelas ukur, di depan mejanya ada mickroskop dan berbagai peralatan lain yang secara detail ia gambar. Hari memang bercita-cita menjadi seorang ilmuan. Ia siswa yang paling pintar di kelas. Setiap kali Bu Heni mengajar, ia selalu aktif bertanya dan menjawab pertanyaannya. Sepanjang kami sekelas dengannya, ia selalu menjadi ranking satu. Tak pernah ada yang bisa mengalahkan prestasinya.

Tapi di sisi lain ia adalah anak yang sederhana dan tak pernah sombong. Ia selalu mengajari kami apabila ada pelajaran yang bagi kami sulit. Aku tak tau bagaimana ia bisa secerdas itu, karena ia adalah anak yang tak mampu membeli buku. Ayahnya yang hanya seorang buruh tani tak mampu membelikannya buku. Bahkan untuk menyekolahkannya saja sudah susah payah. Tapi ia anak yang tak kenal menyerah. Seringkali ku lihat usai pulang sekolah ia selalu ke perpustakaan, membaca buku-buku di sana sendiri.

Dan yang paling istimewa darinya adalah matematika. Nilai matematikanya hampir selalu sempurna. Hanya sesekali saja ia mendapat nilai 9, sisanya ia selalu mendapat nilai 10. Jika ia melihat soal matematika, ia hanya memejamkan mata tanpa membuat kotretan. Ia mencoba menghitung dalam pikirannya dan tak lama ia sudah bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang bagi kami sulit. Ia juga anak yang amat riang dan tak pernah sekalipun bersedih hati.

Namun hari itu berbeda, wajah cerianya langsung berubah ketika mendengar kabar ayahnya meninggal. Ayahnya yang sejak seminggu sakit harus menghembuskan nafas terakhirnya. Kemiskinan yang menjerat keluarganya membuat ayahnya tak mampu tuk berobat. Hari pulang dengan wajah tertunduk penuh kesedihan.

Seminggu sejak kejadian itu tak pernah lagi kita lihat wajah cerianya. Ia lebih banyak tertunduk diam dan merenung. Aku mencoba memahami beratnya beban hidupnya. Dan saat itu kami takkan lupa kejadian yang membuat hati kami ibarat gunung es di kutub utara yang runtuh. Luluh lantah seolah tak percaya kalau anak itu, anak sepintar itu, anak sebaik itu, ia tiba-tiba pamit karena tak mampu lagi untuk bersekolah karena masalah biaya. Hati kami berbicara, ingin rasanya membantunya, namun apa daya, keluarga kami pun juga bukan keluarga yang berkecukupan.

Ketika dijemput ibunya waktu itu, ku lihat ibunya menguatkan hatinya. Ia berkata pada Hari kalau ia pasti bisa sukses walaupun saat itu ia harus putus sekolah.

Kami semua takkan lupa saat itu, takkan lupa pada anak yang luar biasa itu, hingga kini.

Hari ini kami pun masih menunggu kedatangan Hari. Namun hingga sore menjelang, Hari belum juga nampak. Kami sama sekali tak tau keberadaannya semenjak 15 tahun yang lalu.

“Rei gimana nih, apa kita masih nunggu disini?” tanya Ranin.

“Atau kita langsung ke rumah makan aja, kayanya si Hari nggak akan datang,” usul Setyo.

“Hmmm, aku nggak tau nin, Yo. Sekarang Hari dimana ya, gimana kalo kita cari facebooknya dulu, siapa tau ada.”

“Wah ide bagus tuh Rei. Namanya kan unik, Hari Cahaya Pagi, pasti gampang dicari,” sahut Yadi.

 Ternyata memang benar, tak sulit untuk menemukan nama itu. Dan ternyata Hari yang kala itu putus sekolah sekarang punya akun facebook. Tapi yang membuat kami benar-benar terkejut adalah pekerjaan ia saat ini yang tercantum di profil facebooknya. Saat ini ternyata ia bekerja di Nara Institute of Science and Technology di Jepang sebagai peneliti. Kami semua terbelalak melihatnya. Bagaimana mungkin anak yang putus sekolah 15 tahun yang lalu kini menjadi seorang peneliti di Jepang. Tak habis-habisnya kami membincangkan anak yang luar biasa itu.

Jika begitu, maka sudah pasti Hari tak akan datang. Kita pun berniat pergi ke warung makan di desa kami. Namun sebuah mobil menghadang jalan kami dan membunyikan klaksonnya tepat di depan gerbang sekolah. Jendela kaca depannya diturunkan secara perlahan dan semakin terkejutlah kami melihat orang yang mengendarai mobil itu. Senyumnya dan wajah cerianya kami masih ingat betul. Ya, ia pasti Hari anak jenius itu. Ia memakai jas laboratorium.

Ternyata benar itu memang Hari. Kami dibuat terkejut dengan kehadirannya. Kita berlima makan bersama di warung makan di desa kami dan saling berbincang.

“Ri, bukannya kamu di Jepang?” tanya Setyo.

“Ia yo aku baru balik ke Indonesia.”

“Liburan?”

“Bukan, aku nggak akan balik lagi ke sana. Aku mau buat sekolah gratis di desa ini. Aku mau buat laboratorium penelitian di desa ini. Aku yakin banyak anak-anak di desa kita yang sebenernya cerdas.”

Jawaban Hari membuat kita terperangah. Ia rela melepas pekerjaannya sebagai peneliti di Jepang yang sudah tentu dengan pendapatan yang amat tinggi untuk kembali ke desa kami. Untuk membangun sekolah dan laboratorium. Sungguh niat yang amat mulia.

“Terus gimana ceritanya kamu bisa jadi peneliti di Jepang Ri?”

“Oh, ini semua berkat ibuku yang selalu menyemagatiku. Dan aku pun yakin nggak ada yang nggak mungkin Rei. Thomas Alva Edison pun dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap dungu. Namun siapa sangka ia bisa jadi salah satu ilmuan paling hebat di dunia. Sementara Aku dan Ibuku sempat menggelandang di Jakarta tuk mengadu nasib. Aku sempat bekerja sebagai buruh. Karena melihat kegigihanku, bosku memberikan beasiswa padaku untuk melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya aku bisa kuliah di Jepang dan menjadi peneliti di sana Rei.”

Kami semua semakin kagum dengan Hari. Dan itulah hari pertemuan kami menuntaskan janji kami 15 tahun yang lalu. Kami semakin percaya kalau impian bukan cuma sekedar uang. Hari yang telah bekerja dengan penghasilan tinggi di Jepang justru kembali ke Indonesia untuk membangun sekolah gratis dan mengembangkan laboratorium di desa kami. Ia tak mau lagi ada anak miskin yang cerdas namun harus putus sekolah. Sementara Ranin yang pernah bekerja di rumah sakit dengan gaji cukup tinggi, kini kembali ke desa kami tuk membuka praktek di desa kami. 

Setiap pasien yang ia tangani hanya membayar semampunya, bagi yang tak mampu tak usah bayar. Ranin tak mau kejadian seperti ayahnya Hari yang tak mampu berobat terulang kembali. Setyo pun pernah mengajar di sekolah elit di Jakarta dengan bayaran tinggi. Namun ia kembali ke desa kami untuk menjadi pengajar di sekolah kita dulu dengan bayaran yang jauh lebih kecil. Sementara Yadi selalu menjadi polisi yang melayani masyarakat. Tak sekali pun ia memanfaatkan profesinya untuk memungut uang dari masyarakat ataupun mencari uang di luar gajinya.

Itulah teman-temanku, sementara aku pun sejak setahun yang lalu telah kembali ke desa ini. Aku memang sempat bekerja di sebuah pertambangan dengan gaji sepuluh juta. Namun aku tak betah dan kembali ke desa ini tuk melatih anak-anak bermain sepakbola. Aku membuat sekolah sepak bola di desa kami. Walaupun impianku tuk menjadi pemain sepak bola telah kandas, namun aku yakin di desa ini suatu saat nanti bakal ada pemain sepak bola yang berbakat yang bisa mengharumkan nama Bangsa.


Bagi kami, cita-cita bukan cuma sekedar mengejar uang. Tapi kami hanya mendengarkan saat hati kami berbicara. Dan mengikuti apa yang diinginkan hati tuk menjalani hidup ini.

==========================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014


EmoticonEmoticon