Aku
teringat dengan sahabat-sahabatku semasa kecil. Hari ini adalah hari kita
berkumpul kembali. Aku ingat betul 15 tahun yang lalu Saat kita baru naik ke
kelas 6 SD, kita berkumpul di sini, di tepi sungai di samping pohon kersen di
belakang sekolah. Di sini Aku, Yadi, Setyo, Ranin, dan Hari pernah mengubur
sebuah gambar yang kita simpan di toples kaca. Gambar itu adalah gambar diri
kita masing-masing yang mengenakan pakaian sesuai profesi yang kita impikan.
Itu adalah gambar yang kita buat bersama.
Di gambar itu Yadi berpakaian polisi,
pria berkulit sawo matang itu memang ingin sekali menjadi polisi. Sementara
Setyo berpakaian seragam coklat seperti yang dikenakan guru-guru kami, ia
memang ingin menjadi guru. Ranin yang merupakan perempuan satu-satunya di
kelompok kami berpakaian dokter sesuai dengan cita-citanya. Sementara
cita-citaku saat itu ingin jadi pemain bola.
Lalu bagaimana dengan Hari? Akan
ku ceritakan nanti kawan. Tak cukup hanya satu kalimat untuk menceritakan anak
yang luar biasa itu. Yang pasti kini aku masih menunggu kedatangan mereka di
tempat ini. Aku yakin mereka takkan lupa akan janji kita 15 tahun yang lalu.
Saat itu kita berjanji akan berkumpul kembali pada tanggal yang kami tentukan,
yaitu hari ini. Dan saat itu kita janji pada saat kita berkumpul nanti, kita
sudah mencapai impian kita masing-masing dan akan mengenakan pakaian sesuai
dengan impian yang telah kita capai.
Sesekali
ku lihat jam tangan, sudah cukup lama ku menunggu disini. Tak ada satu pun dari
mereka yang datang. “Apakah mereka lupa, apa lebih baik aku pulang saja?”
tanyaku dalam hati. Aku pun bergegas
pulang karena janji itu memang telah begitu lama dan pastinya mereka lupa.
Baru
keluar dari gerbang sekolah menuju jalan raya, motorku dicegat oleh seorang
polisi. Aku tak tau apa salahku. Tapi terlihat polisi itu tersenyum dari balik
helmnya yang kemudian ia buka.
“Rei.
. . , apa kabar?” sahut polisi itu seraya tersenyum.
Aku
bingung kenapa polisi itu mengenaliku. Kurapatkan kedua alisku, ku mencoba
menerka wajahnya yang sepertinya aku kenal.
“Ohhh,,
Yadiiii. . . .Kamu sudah jadi polisi sekarang ya, hahaha. . .!!” ucapku terkejut.
Ternyata
itu Yadi yang sudah menjadi polisi. Ia datang, rupanya ia ingat akan janji kita
15 tahun yang lalu. Tak lama kemudian datang seorang berpakaian dokter, disusul
kemudian seorang yang berpakaian guru. Mereka adalah Ranin dan juga Setyo yang
ternyata juga masih ingat akan janji kita. Kita pun berkumpul di tempat itu, di
tempat kita mengubur gambar impian kita dahulu. Kita saling berbincang tentang
masa lalu dan tentang impian kita.
“Wah
kalian hebat, ternyata kalian sekarang bisa mencapai impian masing-masing,”
ucapku pada mereka yang mengenakan pakaian sesuai profesi masing-masing.
“Ah
tapi kamu lebih hebat Rei. . .” ucapan Setyo terhenti.
Ia
menatap pakaian yang ku kenakan.
Mereka semua pun ikut menatap pakaian yang ku kenakan,
kaos Barcelona.
“Rei,
kamu sekarang jadi pemain Barcelona?” tanya Yadi terkaget-kaget.
“Hahaha
kalian tuh ngeledek ya. Ya enggak lah,
enggak mungkin. Eh, tapi ngomong-ngomong Hari mana yah?”
Kami
semua terhenyak saling memandang dan mengingat anak itu, Hari, anak yang luar
biasa.
Kami
pun menggali kembali tempat dimana kami
menguburkan gambar itu. Ternyata gambar itu masih ada, tersimpan di sebuah
toples kaca yang sudah agak rusak. Kami memandangi gambar yang kami buat
bersama 15 tahun yang lalu. Dan disana gambar Hari lah yang paling istimewa. Di
gambar itu Hari mengenakan pakaian lab sedang memegang gelas ukur, di depan
mejanya ada mickroskop dan berbagai peralatan lain yang secara detail ia
gambar. Hari memang bercita-cita menjadi seorang ilmuan. Ia siswa yang paling
pintar di kelas. Setiap kali Bu Heni mengajar, ia selalu aktif bertanya dan
menjawab pertanyaannya. Sepanjang kami sekelas dengannya, ia selalu menjadi
ranking satu. Tak pernah ada yang bisa mengalahkan prestasinya.
Tapi
di sisi lain ia adalah anak yang sederhana dan tak pernah sombong. Ia selalu
mengajari kami apabila ada pelajaran yang bagi kami sulit. Aku tak tau
bagaimana ia bisa secerdas itu, karena ia adalah anak yang tak mampu membeli
buku. Ayahnya yang hanya seorang buruh tani tak mampu membelikannya buku.
Bahkan untuk menyekolahkannya saja sudah susah payah. Tapi ia anak yang tak
kenal menyerah. Seringkali ku lihat usai pulang sekolah ia selalu ke
perpustakaan, membaca buku-buku di sana sendiri.
Dan
yang paling istimewa darinya adalah matematika. Nilai matematikanya hampir
selalu sempurna. Hanya sesekali saja ia mendapat nilai 9, sisanya ia selalu
mendapat nilai 10. Jika ia melihat soal matematika, ia hanya memejamkan mata
tanpa membuat kotretan. Ia mencoba menghitung dalam pikirannya dan tak lama ia
sudah bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang bagi kami sulit. Ia juga
anak yang amat riang dan tak pernah sekalipun bersedih hati.
Namun
hari itu berbeda, wajah cerianya langsung berubah ketika mendengar kabar
ayahnya meninggal. Ayahnya yang sejak seminggu sakit harus menghembuskan nafas
terakhirnya. Kemiskinan yang menjerat keluarganya membuat ayahnya tak mampu tuk
berobat. Hari pulang dengan wajah tertunduk penuh kesedihan.
Seminggu
sejak kejadian itu tak pernah lagi kita lihat wajah cerianya. Ia lebih banyak
tertunduk diam dan merenung. Aku mencoba memahami beratnya beban hidupnya. Dan
saat itu kami takkan lupa kejadian yang membuat hati kami ibarat gunung es di
kutub utara yang runtuh. Luluh lantah seolah tak percaya kalau anak itu, anak
sepintar itu, anak sebaik itu, ia tiba-tiba pamit karena tak mampu lagi untuk
bersekolah karena masalah biaya. Hati kami berbicara, ingin rasanya
membantunya, namun apa daya, keluarga kami pun juga bukan keluarga yang
berkecukupan.
Ketika
dijemput ibunya waktu itu, ku lihat ibunya menguatkan hatinya. Ia berkata pada
Hari kalau ia pasti bisa sukses walaupun saat itu ia harus putus sekolah.
Kami
semua takkan lupa saat itu, takkan lupa pada anak yang luar biasa itu, hingga
kini.
Hari
ini kami pun masih menunggu kedatangan Hari. Namun hingga sore menjelang, Hari
belum juga nampak. Kami sama sekali tak tau keberadaannya semenjak 15 tahun
yang lalu.
“Rei
gimana nih, apa kita masih nunggu disini?” tanya Ranin.
“Atau
kita langsung ke rumah makan aja, kayanya si Hari nggak akan datang,” usul
Setyo.
“Hmmm,
aku nggak tau nin, Yo. Sekarang Hari dimana ya, gimana kalo kita cari
facebooknya dulu, siapa tau ada.”
“Wah
ide bagus tuh Rei. Namanya kan unik, ‘Hari
Cahaya Pagi’, pasti gampang dicari,” sahut Yadi.
Ternyata memang benar, tak sulit untuk
menemukan nama itu. Dan ternyata Hari yang kala itu putus sekolah sekarang
punya akun facebook. Tapi yang membuat kami benar-benar terkejut adalah
pekerjaan ia saat ini yang tercantum di profil facebooknya. Saat ini ternyata
ia bekerja di Nara Institute of Science and Technology di Jepang sebagai
peneliti. Kami semua terbelalak melihatnya. Bagaimana mungkin anak yang putus
sekolah 15 tahun yang lalu kini menjadi seorang peneliti di Jepang. Tak
habis-habisnya kami membincangkan anak yang luar biasa itu.
Jika
begitu, maka sudah pasti Hari tak akan datang. Kita pun berniat pergi ke warung makan di desa kami. Namun sebuah mobil menghadang jalan
kami dan membunyikan klaksonnya tepat di depan gerbang sekolah. Jendela kaca
depannya diturunkan secara perlahan dan semakin terkejutlah kami melihat orang
yang mengendarai mobil itu. Senyumnya dan wajah cerianya kami masih ingat
betul. Ya, ia pasti Hari anak jenius itu. Ia memakai jas laboratorium.
Ternyata
benar itu memang Hari. Kami dibuat terkejut dengan kehadirannya. Kita berlima
makan bersama di warung makan di desa kami dan saling
berbincang.
“Ri,
bukannya kamu di Jepang?” tanya Setyo.
“Ia
yo aku baru balik ke Indonesia.”
“Liburan?”
“Bukan,
aku nggak akan balik lagi ke sana. Aku mau buat sekolah gratis di desa ini. Aku
mau buat laboratorium penelitian di desa ini. Aku yakin banyak anak-anak di desa
kita yang sebenernya cerdas.”
Jawaban
Hari membuat kita terperangah. Ia rela melepas pekerjaannya sebagai peneliti di
Jepang yang sudah tentu dengan pendapatan yang amat tinggi untuk kembali ke
desa kami. Untuk membangun sekolah dan laboratorium. Sungguh niat yang amat
mulia.
“Terus
gimana ceritanya kamu bisa jadi peneliti di Jepang Ri?”
“Oh,
ini semua berkat ibuku yang selalu menyemagatiku. Dan aku pun yakin nggak ada
yang nggak mungkin Rei. Thomas Alva Edison pun dikeluarkan dari sekolahnya
karena dianggap dungu. Namun siapa sangka ia bisa jadi salah satu ilmuan paling
hebat di dunia. Sementara Aku dan Ibuku sempat menggelandang di Jakarta tuk
mengadu nasib. Aku sempat bekerja sebagai buruh. Karena melihat kegigihanku,
bosku memberikan beasiswa padaku untuk melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya aku
bisa kuliah di Jepang dan menjadi peneliti di sana Rei.”
Kami
semua semakin kagum dengan Hari. Dan itulah hari pertemuan kami menuntaskan
janji kami 15 tahun yang lalu. Kami semakin percaya kalau impian bukan cuma
sekedar uang. Hari yang telah bekerja dengan penghasilan tinggi di Jepang
justru kembali ke Indonesia untuk membangun sekolah gratis dan mengembangkan
laboratorium di desa kami. Ia tak mau lagi ada anak miskin yang cerdas namun
harus putus sekolah. Sementara Ranin yang pernah bekerja di rumah sakit dengan
gaji cukup tinggi, kini kembali ke desa kami tuk membuka praktek di desa kami.
Setiap pasien yang ia tangani hanya membayar semampunya, bagi yang tak mampu
tak usah bayar. Ranin tak mau kejadian seperti ayahnya Hari yang tak mampu
berobat terulang kembali. Setyo pun pernah mengajar di sekolah elit di Jakarta
dengan bayaran tinggi. Namun ia kembali ke desa kami untuk menjadi pengajar di
sekolah kita dulu dengan bayaran yang jauh lebih kecil. Sementara Yadi selalu
menjadi polisi yang melayani masyarakat. Tak sekali pun ia memanfaatkan
profesinya untuk memungut uang dari masyarakat ataupun mencari uang di luar
gajinya.
Itulah
teman-temanku, sementara aku pun sejak setahun yang lalu telah kembali ke desa
ini. Aku memang sempat bekerja di sebuah pertambangan dengan gaji sepuluh juta.
Namun aku tak betah dan kembali ke desa ini tuk melatih anak-anak bermain
sepakbola. Aku membuat sekolah sepak bola di desa kami. Walaupun impianku tuk
menjadi pemain sepak bola telah kandas, namun aku yakin di desa ini suatu saat
nanti bakal ada pemain sepak bola yang berbakat yang bisa mengharumkan nama
Bangsa.
Bagi
kami, cita-cita bukan cuma sekedar mengejar uang. Tapi kami hanya mendengarkan
saat hati kami berbicara. Dan mengikuti apa yang diinginkan hati tuk menjalani
hidup ini.
==========================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014
EmoticonEmoticon