Di
suatu hutan yang lebat singa menyebut dirinya sebagai raja hutan.Singa merasa
dirinya makhluk terkuat di hutan. Ia meraung begitu gagahnya dan semua makhluk
hutan lainnya takut padanya. Namun ternyata ada yang menentang pengakuan
tersebut. Ada yang merasa bahwa dirinya lebih kuat dari singa.
Mencengkram
tanah tak terlepaskan, disana ia berada. Di tengah kebisuannya, di tengah kediamannya
ternyata ia merasa sebagai yang terkuat di hutan itu, bahkan lebih kuat dari
singa. Ialah batu, yang berda di samping pohon pinus dan telah berada di sana
dari waktu yang lampau.
Si
batu amat sombong, ia sering berkata pada rumput, pohon, ataupun hewan di
sekitarnya bahwa ialah si raja hutan. Namun tentu pasti banyak yang menentang. Kayu pun mencoba
menentangnya, ia menjatuhkan sebagian dari dirinya dan membenturkannya pada si
batu. Namun sayang, ternyata kayu patah oleh kerasnya batu. Batu pun semakin
sombong.
Kesombongan
si batu yang merasa dirinya paling kuat di hutan itu mulai tersiar di seluruh
hutan dan sampai di telinga Sang Singa si raja hutan. Mendengar hal itu, bangsa
singa geram. Mereka berencana untuk mengajak si batu bertarung dan membuktikan
siapa yang kuat.
***
Keesokan
harinya rombongan singa mulai menuju tempat batu besar itu berada. Mereka tak
terima jika ada yang mengklaim sebagai raja hutan. Karena singalah raja hutan
yang sebenarnya. Sesampainya di sana, salah satu singa menantang batu untuk
beradu kekuatan. Si batu dengan sombongnya menyambut tantangan tersebut dengan
tanpa rasa takut sama sekali. Sang batu hanya diam saja dan tak bergerak
sedikitpun, sementara si singa mulai maju dan menunjukkan taring-taringnya yang
begitu tajam. Singa itu pun mencoba tuk menggigit batu dengan taring-taring
yang setajam pisau belati itu. Namun batu terlalu besar dan terlaru keras untuk
digigit. Singa pun menyakar-nyakar batu tersebut, namun apa daya justru kukunya
yang patah. Ia mencoba mundur sejenak, lalu lari secepat mungkin dan menyeruduk
batu itu sekuat tenaga.
Malang,
singa itu pun terjatuh, dari kepalanya meneteskan darah setelah membentur batu
itu. Ia pun tewas. Singa yang lain pun tak ada yang berani melawan batu itu dan
mereka mengakui si batulah yang terkuat. Si batulah raja hutan yang sebenarnya.
***
Bertahun-tahun
berlalu dan sampai saat ini si batu masih diakui sebagai yang terkuat di hutan
itu. Ia semakin sombong saja, siapa saja yang melewatinya selalu direndahkan,
dihina dan ia selalu
menyombongkan dirinya.
Itulah
cerita yang kudengar tentang kesombongan si batu dari pohon, dan juga
hewan-hewan di hutan. Tak ada yang berani menentang kesombongan si batu, karena
ia amat keras dan siapa saja tak mampu menghancurkannya. Semuanya pasrah pada
kesombongan si batu, kecuali,. . . .kecuali ayah.
“Kita
harus bisa menghancurkan kesombongan si batu, kita harus bisa menghancurkan kerasnya
batu ituuuu. . .!!!!” kata
ayah di depan jutaan tetes air.
Ayah
adalah pemimpin di kerajaan air. Aku salut pada semangatnya, walaupun kita ini
bangsa air yang lembek, yang lemah, tapi ayah selalu menyemangati semua tetes
air agar kita harus kuat dan jangan menyerah, bahkan pada si batu yang keras
itu.
Semua
memang tak percaya, tak yakin kalau bangsa air bisa menghancurkan si batu, tak
terkecuali aku. Kami memang setetes air, kami memang jauh lebih lemah dari pada
kerasnya si batu. Tapi ayah, ayah tak sedikitpun gentar. kulihat tangannya
mengepal, dan ekspresinya begitu menggebu saat berdiri di hadapan jutaan tetes
air dan meneriakkan semangat pada kami kalau kami mampu menghancurkan
kesombongan si batu.
Kemudian
ada setetes air yang bertanya pada ayah ,”rajaaa, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan
batu yang keras itu?”
Ayah
pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia
menundukkan mukanya dan berbalik arah. Kasihan ayah, ia punya semangat
yang menggebu namun hingga saat ini belum menemukan caranya untuk mengalahkan
si batu. Aku tau ia tak mudah menyerah, aku tau ia selalu memikirkan hal itu,
aku tau dia, oh ayah.
***
Hingga
malam kian larut ia belum jua tidur. Aku tau ayah memikirkan dan terus
memikirkan bagaimana caranya mengalahkan batu. kulihat ia berjalan ke luar di
tengah gelapnya malam. Diam-diam aku mencoba mengikutinya dari belakang. Aku
hanya ingin tau kemana ayah hendak pergi di tengah malam begini. Kulihat ayah
melihat batu besar itu. Ia menatapnya, dan menghampirinya, sedangkan aku
melihatnya di balik persembunyianku. Ayah begitu berani mendekati batu itu,
entah apa yang hendak dilakukannya. Semakin dekat langkahnya dengan sang batu
aku semakin cemas. kulihat ayah berbincang dengan batu itu, namun kutak tau apa
yang sedang dibicarakannya. Dari kepalan tangannya dan raut wajahnya kulihat
ayah memendam emosi pada batu itu, sementara si batu hanya tersenyum sinis
padanya.
Benar
saja, kulihat ayah semakin tak kuasa menahan emosi. Entah apa yang diucapkan
batu hingga ayah begitu naik pitam. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia
membenturkan dirinya pada si batu dengan begitu keras. Namun si Batu tak
terusik sedikitpun. Aku tak tega melihat ayah seperti itu. Aku pun berteriak
memanggilnya dan menghampirinya, “Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh, sudahlah ayah
sudah. . .!!”
Aku
mencoba menarik ayah, namun ia tetap berusaha melawan si batu itu, “Suahlah
nak, biarkan ayah memberi pelajaran pada batu itu, ayah tidak bisa diam saja, ia telah merendahkan
bangsa air,”
ucap ayah dengan penuh
emosi.
Aku
mencoba menenangkannya dan berusaha menariknya pulang. Ayah pun tak sadarkan
diri karena kelelahan dan akibat benturan keras dengan batu. Kubawanya pulang
dan kurebahkan badannya. Kasihan ayah. “Aku tak mau ayah begini, sudahlah ayah, batu itu memang tak
mungkin kita kalahkan,”
kuberucap padanya yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.
Walaupun
telah terluka ketika melawan si batu, ayah yang merupakan raja dari bangsa air
tak menyerah begitu saja. Semangatnya tak mudah pudar. Namun aku masih tak
mengerti mengapa ayah sebegitu dendamnya pasa si batu. Aku tak percaya jika
ayah sedendam itu hanya karena si batu merasa paling kuat di hutan ini, merasa
sebagai raja hutan. Aku tau ayah bukan ingin menjadi raja hutan, ia bukanlah
orang yang angkuh. Aku yakin ayah menyembunyikan sesuatu tentang dendamnya pada
si batu itu.
Kucoba
tuk menghampiri ayah ketika ia sedang duduk sendiri. Aku bertanya padanya
pelan-pelan,
“Ayah,
kita ini cuma setetes air, mana mungkin kita bisa menghancurkan batu yang
sekeras itu. Memang ada apa yah, kenapa ayah sampai senekat itu? Kenapa ayah sepertinya begitu dendam pada
batu itu?”
Mendengar
pertanyaan itu, ayah hanya terdiam seribu bahasa. Kulihat mulutnya menutup
rapat-rapat, ia tak mau menjelaskan padaku tentang dendamnya pada batu. Ayah
hanya bungkam, sama seperti dahulu kutanyakan tentang ibu, saat kutanyakan
dimana ibu. Mungkinkah keduanya ada kaitannya? Yah, entahlah, aku tak tau.
Mungkin suatu saat ayah akan bicara padaku.
***
Di
depan seluruh rakyatnya ayah kembali berpidato. Kali ini semangatnya semakin
kencang. Ayah sudah seperti pahlawan proklamasi yang menyulut rakyatnya tuk
berjuang melawan penjajah. Ia berbicara begitu menggebu-gebu dan sesekali
menjulurkan kepalan tangannya ke atas. Di depan jutaan tetes air ayah berucap
bahwa kita bukanlah meteri yang lemah. Kita bisa mengalahkan batu jika tekad
kita kuat.
Kini
pidatonya tak terlalu sia-sia, ada Ali, Samsul, dan Mahmud yang juga ikut
berteriak dan percaya kalau kita bisa mengalahkan batu. Kemudain satu per satu
tetes air yang lain pun percaya dan meneriakkan semangatnya. Kulihat mata ayah
berbinar, ia terharu dan ia semakin semangat meneruskan pidatonya.
Di
pidatonya ayah bercerita tentang batu di Jepang. Walaupun batu bisa
menghancurkan gunting, tapi pernah disana batu bisa dikalahkan kertas yang
sepertinya lemah dan mudah sobek. Itu ujar ayah menyemangati rakyatnya. Ayah
juga ingin membuktikan pada dunia kalau di Indonesia ada batu yang bisa
dikalahkan air.
***
Setelah
berpidato hari itu, kudekati ayah yang sedang mengusap keringat di dahinya. kulihat
matanya berkaca-kaca dan senyum terukir di bibirnya. Ia nampak letih usai
membakar semangat rakyatnya. Tapi ia merasa amat senang kini rakyatnya percaya
dan yakin bisa mengalahkan batu. Tapi saat kuhampiri lebih dekat, kudengar ayah
berucap sendiri, “Akan kubalasksan dendamku batu, aku akan menhancurkanmu yang
telah membunuh istriku dan merendahkan bangsa air.” Samar-samar itu yang
kudengar. Aku begitu terkejut mendengar itu.
“Ayah,
apa benar ibu. . . . ibu dibunuh oleh batu itu?” tanyaku
pada ayah dengan suara yang bergetar.
Ayah
pun terkejut melihat kehadiranku, namun ia masih enggan menceritakan padaku
soal itu.
“Sudahlah
nak, tak usah kita bahas,”
kata ayah sambil
memalingkan wajahnya.
“Tapi
ayah, ceritakan padaku ayah, aku berhak tau,”
aku terus mendesaknya
untuk menceritakan hal itu padaku. Sampai akhirnya ia mau menceritakan padaku
soal itu.
Waktu
ayah masih jadi rakyat biasa, dan aku terlalu kecil tuk mengerti sesuatu, Ayah
sedang berjalan-jalan dengan aku dan ibu. Lantas si batu menunjukkan
kesombongannya dengan menghina kami bangsa air. Ia menyebut bangsa air sebagai
bangsa yang lemah, tak seperti batu yang kuat. Lambat laun kesabaran ayah mulai
terkikis. Ia pun menghampiri batu dan berkelahi dengannya. Namun ibu begitu
sayang padaku dan ayah menghalau kami berdua hingga akhirnya ibu yang terlindas
oleh batu itu. Itu yang ayah ceritakan padaku. Dan sejak saat itu ayah bertekad
untuk menjadi raja, untuk membela bangsa air dan menghancurkan batu itu.
***
Saat
kami sedang di rumah, salah seorang pengawal mengetuk pintu istana. Nafasnya
terengah-engah, pengawal itu nampak tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran dari
keningnya.
“Raja.
. .raja. . .raja gawat raja. . ,”
kata pengawal itu.
“Ada
apa, gawat apanya?” kata
ayah bertanya dan ikut cemas.
“Ratusan
tetes air terbunuh saat melewati sekitar batu.
Mendengar
berita itu ayah naik pitam. Hampir-hampir saja urat lehernya keluar. Ayah
bergegas keluar dan menyuruh pengawal untuk mengumpulkan rakyat.
Dengan
semangat menggebu ayah membakar semangat seluruh rakyat. Saat itu ayah
mengatakan bahwa sejak dahulu kita telah berhasil mengalahkan api, dan saat ini
pun kita pasti bisa mengalahkan batu.
“Ayo
kita semua maju menuju batu ituuuu. . .. !!!!” ucap ayah memerintahkan seluruh
rakyatnya dengan penuh semangat.
Kita
semua beserta jutaan tetes air tiba di hadapan batu itu. Namun batu itu nampak
tak gentar menghadapi kami. Ia malah menunjukkan kesombongannya dan menghina
bangsa kami. Batu itu berucap bahwa keinginan air untuk mengalahkan batu
hanyalah mimpi di siang bolong. Hal itu semakin menyulut kemarahan kami.
Ayah
memerintahkan seorang prajurit untuk maju melawan batu. Prajurit yang gagah
berani itu sama sekali tak gentar dan langsung maju mendekati si batu. Ia masuk
melalui akar pohon yang ada di samping batu, lalu naik ke atas melalui batang
pohon itu hingga tiba di ujung ranting. Kemudian di ujung ranting ia melompat
ke bawah dan membenturkan dirinya ke batu sekeras mungkin. Prajurit itu pun
tewas, dan si batu hanya merasa sedikit geli.
Lalu
satu per satu pasukan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan satu per satu
di antara mereka tewas. Mereka mengorbankan nyawa mereka demi membela bangsa
air.
“Ayah,
sudahlah ayah ini sia-sia, ini pengorbanan yang sia-sia.” Aku memohon pada ayah
tuk menghentikan semua ini.
Tetes
demi tetes air tewas, nyawa demi nyawa melayang. Tapi ayah tak menggubris
perkataanku. Kemudian ayah melangkahkan kakinya kedepan dan mendekati batu itu.
Sempat terdengar perkataan terakhirnya, “Maafkan ayah nak.” Dan kemudian ayah
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan prajuritnya, membenturkan dirinya
pada batu dengan titik yang sama. Aku pun tak kuasa melihat ayah meluncur dari
ujung ranting dan membenturkan dirinya pada batu yang keras. Akupun tak kuasa
membendung air mata.
Namun
pengorbanan ayah menyulut semangat seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya satu
per satu maju dan melakukan hal yang sama. Mereaka pun tewas satu per satu. Aku
pun merasa tersulut dengan pengorbanan ayah, dan juga pengorbanan seluruh
rakayat air. Dengan semangat, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini giliranku.”
Dengan
penuh keyakinan aku berjalan mendekati batu itu, kemudian masuk ke tanah dan
menelusuri akar pohon, merasupi batang mealalui xilem, dan aku telah tiba di
ujung ranting. kulihat batu di bawah sana, aku pun berteriak,
“Ayahhhhhhhhhhhhh. . . . Ibuuuuuuu. . . .!!!!!!” Aku meneriakkan nama mereka berdua. Aku pun meluncur ke bawah
dengan kecepatan gravitasi. Lalu berbenturan dengan batu yang keras itu. Sempat
kudengar batu mulai berteriak kesakitan. Dan sampai disinilah aku bisa
menceritakan perjuanganku, perjuangan ayah, dan semua bangsa air. Semoga
perjuangan kami tak sia-sia.
***
Tahun
demi tahun berlalu, puluhan tahun, dan ratusan tahun kemudian seluruh keturunan
bangsa air meneruskan perjuangan meraka. Mereka pun melakukan hal yang sama
dengan mengorabankan nyawa mereka. Dan setelah ratusan tahun berlalu, selama
itu juga batu itu dijatuhi air pada titik yang sama. Akhirnya batu itu pun
hancur, hancur bersama kesombongannya. Dan sejak saat itu tak ada lagi
kesombongan di hutan itu. Namun bangsa air menolak dinobatkan sebagai raja
hutan. Sehingga mahkota raja hutan kembali diberikan pada singa.
=======================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles