Minggu, 01 Oktober 2017

Budaya Ospek yang Salah


Buat yang pernah kuliah tentu masih ingat dong dengan masa–masa ospek. Masa–masa dimana mahasiswa baru “dikerjai” oleh para senior. Namun sayang, banyak kampus–kampus yang menjadikan ospek sebagai ajang penyiksaan oleh para senior kepada para junior. Senior merasa jauh lebih berkuasa dan junior harus tunduk pada para senior.

Sudah beberapa nyawa melayang akibat penyiksaan dari senior kepada juniornya pada saat ospek di beberapa kampus. Mereka dipukuli, ditendang, dan disiksa secara tidak berprikemanusiaan. 

Yang menjadi pertanyaan apakah sistem Ospek sudah benar?

Apakah dengan menggertak, dan menyiksa junior bisa bikin mental jadi lebih kuat?

Faktanya tradisi tersebut sulit terhenti karena adanya rasa ingin balas “dendam”. Para junior yang dahulu “disiksa” oleh para senior menjadi memiliki rasa ingin membalaskannya pada para junior ketika ia telah senior nantinya. Dan ada banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan saat pelaksanaan OSPEK. Kalau memukul dan menendang sih sudah pasti harusnya tidak ada yang seperti itu. Menampar dan membentak pun seharusnya tidak ada di kegiatan OSPEK.

Kegiatan Ospek seharusnya mampu membuat para junior memiliki keinginan untuk berkembang dan berprestasi. Selain pengetahuan tentang kampus atau sekolah yang baru dijamahnya, tentu seharusnya diisi dengan kegiatan yang menumbuhkan dan mengembangkan karakter dari para mahasiswa baru.

Macam-macam Niat orang Kuliah


Setelah lulus SMA, banyak yang berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Sebenarnya ada banyak nawaitu alias niat kenapa orang mau meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi walaupun harus mengeluarkan biaya yang muahaal. Berikut diantaranya:

·         MENCARI GELAR,
·         MENCARI KEGIATAN,
·         MENCARI TEMAN ATAU PASANGAN,
·         MENGIKUTI BUDAYA,
·         MENCARI ILMU,

Mencari Gelar
Ada orang–orang tertentu yang melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena niatnya mencari gelar yang melekat di belakang namanya. Misalkan ST, atau MBA, atau Msc, atau Msg (kalo itu pecin hehehe), atau juga Alm.(lohh... kalo itu almarhum), dan beberapa gelar yang menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang berpendidikan. Berarti orang yang semacam ini lebih mementingkan prestice dibandingkan prestasi.

Tipe semacam ini persentasenya mungkin sangat banyak dibandingkan tipe yang lain. Karena gelar yang melekat menunjukkan setinggi apa tingkat pendidikan orang tersebut. Dan gelar tersebut sering disebut saat pidato, sambutan, ataupun tercantum di berbagai surat, buku,  atau form-form temasuk undangan perkawinan.

Buat yang niatnya mencari gelar, coba deh pikirin lagi buat apa sih gelar? Mungkin kebanyakan bilang buat bekerja. Memang kebanyakan lowongan pekerjaan saat ini menerapkan standardisasi minimal untuk karyawan yang mereka rekrut tergantung dari posisi kerjanya. Ada yang mensyaratkan lulusan diploma, adapula yang mansyaratkan minimum lulusan sarjana. Tapi kalau kita lihat menurut data BPS yang sudah kita bahas di semester pertama, ternyata justru pengangguran paling banyak adalah lulusan diploma dan sarjana. Dan yang terpenting bukanlah ijasah, tapi kinerja dan kapasitas kita.

Mencari kegiatan
Kuliah di perguruan tinggi dijadikannya sebagai suatu kegiatan semata. Dari pada tidak ada kegiatan, kerja belum siap, nganggur di rumah bosen, mending kuliah. Itu yang dipikirkannya.

Biasanya tipe mahasiswa seperti ini untuk memilih jurusan saja bingung. Karena ia tidak tau ke mana bidang yang ingin ia tekuni. Akhirnya setelah kuliah ia merasa jam kuliah amat membosankan. Apalagi jika ia kuliah di jurusan yang tidak ia sukai. Mungkin baginya jadwal kuliah dan belajar di kampus sudah seperti penjara.

Tak ayal beberapa mahasiswa kerap kali lebih asik ngobrol, ataupun nongkrong dan nangkring dibandingkan masuk kuliah dan memetik ilmu. Amplop berisi kertas bertuliskan surat sakit palsu diiringi tanda tangan palsu sering jadi senjata.

Mencari teman atau pasangan
Ada orang yang niat utamanya melanjutkan pendidikan adalah untuk mencari teman semata.

Di kampus ia hanya semangat untuk ngobrol dengan teman, main dengan teman, makan-makan, ngumpul–ngumpul, makan sambil ngumpul, ngumpul sambil makan, makan ngumpul makan ngumpul, ngumpul makan ngumpul makan, ngumpul-ngumpul makanan dan lain sebagainya :D. Bahkan banyak juga yang menjadikan kampus sebagai tempat untuk sekedar mencari pasangan. Ya, kampus sih memang tempat berkumpulnya para kaula muda. Tapi jangan dijadikan sebagai tujuan utama juga seharusnya.

Relasi itu memang penting sebenarnya. Dan kalau niat untuk mencari teman memang bukan hal yang salah juga, justru hal yang baik. Tapi seperti kata pepatah, “kita bergaul dengan tukang sampah ketularan baunya, tapi kalau kita bergaul dengan tukang parfum ketularan wanginya”.

Jadi kalau ada orang yang bilang mencari teman itu jangan pandang bulu itu salah. Justru mencari teman itu kita harus pandang bulu. Eitss itu ungkapan loh yah. Maksudnya kita juga harus memilih dengan siapa kita bergaul. Jangan sampai kita terjerumus dengan pergaulan yang enggak bener. Soalnya yang namanya kenakalan remaja seperti minum minuman keras, tauran, sampai narkoba biasanya dimulai dari pergaulan.

Mengikuti budaya
Sebagaimana kita ketahui kehidupan kebanyakan orang setelah sekolah adalah melanjutkan ke bangku kuliah. Dan ada orang yang melanjutkan kuliah karena kebiasaan banyak orang memang seperti itu. Lantas ia pun mengikuti kebiasaan tersebut. Orang semacam ini memiliki prinsip hidup yang mengalir saja seperti air.

Biasanya orang yang hanya sekedar mengikuti kebiasaan tak punya tujuan jelas dalam hidupnya. Pokoknya orang lewat jalur itu yahhh ikut ajahhh. Biasanya ia milih jurusan yang populer atau yang paling sering dipilih para pelajar yang mau kuliah.

Kalau dipikir–pikir memang banyak banget orang yang hidupnya mengikuti budaya. Pola hidupnya sama–sama aja, sekolah >>>> kuliah >>>> kerja >>>> kawin >>>> punya anak >>>> punya cucu >>>> pensiun >>>> game over. Walaupun memang tidak salah juga karena hidup itu pilihan. Tapi alangkah lebih baik jika hidup lebih bermakna.

Mencari ilmu
Memang tidak semua para pelajar atau mahasiswa memiliki niat yang keliru. Di sisi lain ada pula orang–orang yang meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi adalah benar–benar tujuannya mencari ilmu untuk diamalkan. Niatan–niatan yang lain hanya sampingan belaka dan ia fokus untuk mencari ilmu tanpa memikirkan gelar yang ia dapat, atau reputasi yang ia dapat dalam menuntut ilmu.

Dari saat sekolah orang ini sudah kelihatan niatnya. Biasanya dia meraih ranking di kelas, dan juga prestasi–prestasi akademis lainnya. Dan biasanya orang ini ahli di bidang ilmu pengetahuan tentang apapun bidang yang dikuasainya. Dia nggak terlalu peduli sama nilai. Kalaupun dia mendapat nilai tinggi pasti karena dia belajar bersungguh–sungguh.

Apakah Pendidikan Tinggi menentukan Kesuksesan?


Mungkin kita ingat, program wajib belajar 9 tahun. Artinya wajib belajar minimal sampai SMP. Tapi nampaknya program tersebut tidak bisa dijalankan oleh seluruh warga negara. Untuk kalangan menengah ke atas tentu bisa. Tapi untuk kalangan menengah ke bawah banyak yang berhenti hanya sampai SD, ada pula yang tak mampu sekolah sama sekali. 

Faktanya biaya pendidikan di Indonesia memang tidaklah murah. Untuk menyelesaikan wajib belajar 9 tahun saja atau lulus SD dan SMP rata–rata dari mulai uang pendaftaran, uang pembangunan, uang SPP, seragam, buku, dll, mungkin uang yang harus dikeluarkan mencapai puluhan juta. Apalagi jika meneruskan ke SMA atau ke perguruan tinggi. Mungkin kalau ditotal biayanya mencapai ratusan juta rupiah atau bahkan bisa lebih.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika kita menyelesaikan pendidikan mencapai ke perguruan tinggi kita akan sukses dan kaya raya, atau minimal apakah akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan?

Mungkin sebagian dari Anda akan menjawab ya, tapi mungkin Anda akan tercengang ketika mengetahui fakta bahwa pengangguran terbanyak justru lulusan diploma dan sarjana. Sementara di sisi lain banyak orang yang sukses walau tanpa kuliah atau tidak lulus kuliah

Ketika Tidak Lulus Ujian Nasional


Ketika saya SMA saya hampir selalu meraih rangking di kelas. Saya pernah meraih ranking 1, 2, dan juga rangking 3 . . . wuidihhh somong. Ya, walaupun memang di sebuah SMA swasta di kota Bandung. Selain itu saya juara olimpiade Fisika dan Kimia se-Indonesia. .. .wuidihhhhh sombong lagiiii. . . .!!!.  Kalo yang itu bukan sombong, tapi boong hehehehe :p

Sampai suatu ketika tibalah saatnya ujian nasional yang sangat menentukan kelulusan. Jika ada salah satu nilai yang tidak memenuhi standar yang ditentukan pemerintah, sudah barang tentu siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. 

Saya belajar untuk mempersiapkan ujian tersebut hingga malam kian larut, ditemani gemercik suara jangkrik dan detak jarum jam. 

Di hari pertama pelajaran Bahasa Indonesia, tentu tak begitu sulit dan saya merasa mampu melaluinya. Di hari kedua pelajaran Bahasa Inggris, juga tak terlalu masalah walaupun tak semudah di hari pertama. Tapi di hari ketiga, walaupun saya sudah belajar soal–soal matematika, tapi saya melaluinya dengan penuh kegelisahan. Saat itu saya memikirkan bagaimana kalau tidak lulus, bagaimana kalau tidak lulus. 

Baru di soal pertama saya sudah mendapat kendala, sebenarnya soalnya simpel hanya mencari nilai x, y, dan z dari beberapa persamaan. Tapi beberapa kali saya mencoba menghitung tetap tak ada jawabannya. Saya terus mengutak–atik soal itu dan saya tetap tak menemukan jawabannya di pilihan ganda tersebut. 

Akhirnya saya merasa frustrasi dan melewati soal itu. Tapi di soal–soal berikutnya pun konsentrasi saya sudah buyar dan banyak soal yang tidak bisa saya jawab dengan benar, juga banyak soal yang saya jawab dengan asal–asalan. Apalagi waktu ujian sudah hampir habis. Saya semakin galau, gelisah, gundah gulanah, khawatir, keringat mulai muncul dari dahi. Dan saya keluar dari ruangan ujian tersebut dengan rasa pesimis sambil menundukkan muka, seolah langit ditutupi mendung yang kian gelap, petir menyambar, langit menderu-deru dan memercikkan cahaya kilat di gumpalan–gumpalan awan hitam. Hujan turun begitu derasnya membasahi bumi, ibarat ratusan ribu pasukan yang melepaskan anak panah menghujam tanah.

Dan ternyata benar, begitu menerima hasil ujian nasional, saya dinyatakan tidak lulus pada pelajaran matematika. Sungguh tragis, seorang yang pernah rangking 1, 2, dan 3 justru tidak lulus ujian nasional. Tapi itulah kenyataan, belajar selama 3 tahun ditentukan oleh beberapa jam saja. 

Tapi di sisi lain, banyak yang bisa lulus karena mendapat kunci jawaban soal. Mereka tinggal menyalin saja kunci jawaban yang mereka dapat. 

Lalu apa artinya ujian nasional jika kunci jawabannya sudah menyebar? Lalu apa artinya sekolah jika ujiannya hanya menyalin huruf A, B, C, atau D dan menghitamkan sebuah lingkaran? Lalu apa pentingnya ujian nasional, yang menelan biaya ratusan milyar itu? 

Buat apa sekolah?



Pendidikan,

“Sejauh mana pendidikan mampu mempengaruhi hidup seseorang?”

“Sejauh mana pendidikan mampu mengangkat derajat seseorang?”

“Sejauh mana pendidikan mampu mensejahterakan seseorang?”

“Apa sekolah bisa bikin orang jadi sukses? Apa Kuliah bikin orang jadi sukses?”

“Apa sekolah dan kuliah bisa menjamin masa depan setiap orang?”

“Apa harus menuntut ilmu? Apa salahnya ilmu sampai harus dituntut–tuntut begitu? Hehehe. . .

“Sekolah itu penting gak sih? Kuliah itu penting gak sih?”

“Buat apa sekolah? Buat apa Kuliah?”

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita renungkan dan kita pertanyakan, minimal untuk diri kita sendiri. 

Kadang kita menemui atau pernah membaca tentang kisah–kisah seseorang yang bisa sukses walau hanya dengan tingkat pendidikan yang rendah, bahkan ada beberapa di antara mereka yang tidak lulus sekolah atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Tapi faktanya banyak pula lulusan sarjana yang menambah jumlah angka pengangguran di negara ini. Sering pula kita dengar siswa-siswi juga mahasiswa dan mahasiswi justru berprilaku negatif, mulai dari tawuran, sex bebas, minuman keras, geng motor, sampai terlibat narkoba. Lantas patut kita renungkan, pentingkah sekolah tinggi untuk kita? Buat apa sekolah?

Sabtu, 30 September 2017

Pengangguran di Indonesia Ternyata Kebanyakan Lulusan Sarjana dan Diploma

Faktanya lebih dari 7 juta pengangguran di Indonesia ternyata kebanyakan merupakan lulusan Sarjana dan Diploma. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah lulusan Sarjana dan Diploma yang menganggur berjumlah sekitar 7.5% dan  6.95%, Lulusan SMP 7.80%, SMA 10.34%, SMK  9.51%. Sementara pengangguran lulusan SD ke bawah hanya 3,69%. Nah lohhh... ternyata pengangguran kebanyakan lulusan Diploma dan Sarjana. Justru yang lulusan SD lebih sedikit. 

Dan yang menarik adalah fakta bahwa jumlah penduduk yang bekerja menurut data tahun 2012 adalah 112,8 juta orang, dan dari jumlah tersebut ternyata 55,51 juta orang atau 49.21% dengan kata lain setengahnya merupakan lulusan SD ke bawah, Sekolah Menengah Pertama sebesar 20,29 juta (17,99 persen). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sekitar 10,3 juta orang mencakup 3,12 juta orang (2,77 persen) berpendidikan diploma dan 7,25 juta orang (6,43 persen) berpendidikan universitas. 

Nah, ternyata sekolah tinggi yang mengeluarkan biaya yang sangat BUEEESAARRRR  itu tak menjamin kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Jadi menurutmu, BUAT APA SEKOLAH & KULIAH?

Tipe-tipe Mahasiswa Berdasarkan Aktivitasnya

Dari niat akan berimbas pada prilaku atau aktivitas. Berdasarkan aktivitasnya, tipe mahasiswa itu sebenarnya ada empat macam:

TIPE KUPU-KUPU,
TIPE KUNANG-KUNANG,
TIPE KURA-KURA,
TIPE KUTU KUMPRET.

Yang pertama TIPE KUPU-KUPU, tipe kupu–kupu maksudnya adalah kuliah pulang–kuliah pulang. Mahasiswa ini adalah mahasiswa yang kuliahnya rajin dan langsung pulang ketika kuliah selesai. Orang tipe ini sebenarnya termasuk anak baik–baik, tidak banyak macam–macam, dan biasanya menghindari perbuatan–perbuatan negatif yang banyak dilakukan oleh para pelajar. Tapi Good is not enaugh, baik saja tidak cukup,  bukan? 

Tipe kupu–kupu biasanya cenderung lebih sering sendiri. Dia menganggap belajar saat pelajaranlah yang terpenting, sementara kegiatan–kegiatan di luar pelajaran seperti organisasi, kegiatan kemahasiswaan, kegiatan himpunan, ataupun sekedar ngobrol dengan teman di luar jam pelajaran tidaklah penting.

Nah, itu dia kelemahannya mahasiswa tipe kupu–kupu. Biasanya kurang bergaul bahkan cenderung autis. 

Yang kedua TIPE KUNANG-KUNANG, tipe kunang–kunang berarti kuliah nangkring–kuliah nangkring. Tipe mahasiswa ini adalah mahasiswa yang sehabis kuliah selalu nangkring, entah itu di kantin, di depan kampus, atau dimanapun. Tapi ada juga mahasiswa yang rajin nangkring di perpustakaan. 

Jadi tipe orang semacam ini bisa negatif bisa juga positif, tergantung dimana dan ngapain dia nangkring.  Pokoknya tergantung nawaitu-nya lah. Tapi kebanyakan negatif. Soalnya banyak banget kan tuh yang nangkring di kantin gak jelas, di pinggir–pinggir jalan, di mal–mal. Dan jarang banget yang nangkringnya di masjid, di perpustakaan, ataupun di tempat–tempat kegiatan positif lainnya.

Yang ketiga, TIPE KURA-KURA. Ini adalah tipe mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan. Kura–kura artinya kuliah rapat–kuliah rapat. Biasanya mahasiswa tipe ini menjadi aktivis di lingkungan kampus seperti kegiatan himpunan dan badan eksekutif mahasiswa, atau unit kegiatan mahasiswa lainnya. Tipe mahasiswa macam ini terbiasa aktif di organisasi. Dan itu memungkinkan mereka memiliki kemampuan organisasi dan kepemimpinan.

Di organisasi banyak banget yang bisa didapat. Misalnya kepemimpinan, kerjasama tim, ataupun hal–hal lain. Karena yang namanya di dunia kerja tuh kita gak lepas dari yang namanya organisasi, tul ga?

Cuma harus hati–hati juga buat tipe mahasiswa ini. Jangan sampai kesibukan berorganisasi mengganggu belajarnya kamu Ok ^_*. Lalu selain itu juga, jangan sampai kelompok organisasinya kamu justru malah membuat perselisihan dengan kelompok lain.

Nah, tipe yang keempat adalah tipe yang tak patut dicontoh. Tipe yang keempat adalah mahasiswa KUTU KUMPRET atau kepanjangannya kuliah tumben kudu di kepret. Ini adalah tipe mahasiswa yang kuliahnya saja sudah tumben belum lagi segala tingkah lakunya yang benar–benar membuatnya kudu di kepret. 

Tipe mahasiswa ini biasanya nilainya pas–pasan atau bahkan amat jelek, belum lagi dari segi absensinya yang buruk yang memungkinkan mereka dikenakan surat peringatan atau bahkan di-drop out. Adapula yang berprilaku negatif seperti minum minuman keras, tawuran, dan kenakalan–kenakalan anak muda lainnya. Yang pasti tipe mahasiswa ini bener–bener kudu di kepret.

Minggu, 24 September 2017

Sulap, Uang keluar dari Dompet


Ini sulap seolah-olah uang terlihat keluar sendir dari dompet. Yang pertama keluar adalah uang 20 ribuan, lalu uang 50 ribuan, dan yang terakhir uang 50 ribuan.

Senin, 04 September 2017

Jika pujangga berujar, Abstrak...

Hidup ibarat roda yang mengalir...
Ada suara gemercik air yang berkicau...
Di kala burung-burung sedang berhembus...
Saat Matahari pun mengalir...
Dan air berkembang...
Serta bunga-bunga ikut bersinar....
Begitulah jika pujangga berujar,
Kadang ia berujar merasa sepi di tengah keramaian...
atau kadang ia Merasa menggigil kedinginan di tengah gurun pasir yang tandus.
Begitulah jika pujangga berujar,
Abstrak...

SEBUAH CERITA DI PENGHUJUNG TAHUN, TENTANG AKU ... DAN RESIGN


31 Desember 2013, di penghujung tahun, 2 tahun yang lalu. Aku melangkah menjauh. Dari pekerjaan yang selama itu kutekuni.

Ya, hari itu ... adalah hari terakhir sebagai karyawan. Aku resign. Bukan sebuah keputusan yang mudah, memang. Menelusuri hari demi hari berbalut keraguan.

Sampai suatu ketika ... sebuah perkataan yang kubaca begitu menghentakku,

“Anda harus menemukan apa yang anda sukai. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup anda, dan kepuasan sejati hanya bisa diraih dengan melakukan sesuatu yang hebat. Dan anda hanya bisa hebat dengan melakukan apa yang anda sukai.Hati anda akan mengatakannya jika anda telah menemukannya.
Waktu hidup terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan anda sehingga tidak mendengar kata hati anda, maka anda pun akan sampai pada apa yang anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomer dua.”
- Steve Jobs -
Yang kemudian kucantumkan dalam surat resignku.

Saat itu, bukan resign yang pertama. Tapi kali itu berbeda, sebuah keputusan yang mengubah jalan hidupku. Sebuah keputusan yang membuatku harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia konstruksi, pada RAB, pada besi beton, pada bekisting, pada cut & fill, excavator, tiang pancang, pondasi, pedestal, plat baja, bowplank, bata ringan, atap zincalum, kusen alumunium, analisa harga satuan, ahhhh..... dan lain sebagainya.

Aku berjalan di hari yang baru, di jalan yang baru. Dan mulai menjalaninya.

Berjalan mengikuti ke mana hati ingin melangkah. Walau di tengah perjalannya tidaklah mudah. Yang terkadang seperti berjalan di antara labirin-labirin di ruang yang gelap.

Namun perlahan, seiring dengan bergulirnya waktu, secercah cahaya mulai terlihat. Seutas jalan mulai nampak. Walau mungkin juga memang tak mudah.