Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Kegigihan Air Mengalahkan Batu


Di suatu hutan yang lebat singa menyebut dirinya sebagai raja hutan.Singa merasa dirinya makhluk terkuat di hutan. Ia meraung begitu gagahnya dan semua makhluk hutan lainnya takut padanya. Namun ternyata ada yang menentang pengakuan tersebut. Ada yang merasa bahwa dirinya lebih kuat dari singa.

Mencengkram tanah tak terlepaskan, disana ia berada. Di tengah kebisuannya, di tengah kediamannya ternyata ia merasa sebagai yang terkuat di hutan itu, bahkan lebih kuat dari singa. Ialah batu, yang berda di samping pohon pinus dan telah berada di sana dari waktu yang lampau.

Si batu amat sombong, ia sering berkata pada rumput, pohon, ataupun hewan di sekitarnya bahwa ialah si raja hutan. Namun tentu  pasti banyak yang menentang. Kayu pun mencoba menentangnya, ia menjatuhkan sebagian dari dirinya dan membenturkannya pada si batu. Namun sayang, ternyata kayu patah oleh kerasnya batu. Batu pun semakin sombong.

Kesombongan si batu yang merasa dirinya paling kuat di hutan itu mulai tersiar di seluruh hutan dan sampai di telinga Sang Singa si raja hutan. Mendengar hal itu, bangsa singa geram. Mereka berencana untuk mengajak si batu bertarung dan membuktikan siapa yang kuat.
***

Keesokan harinya rombongan singa mulai menuju tempat batu besar itu berada. Mereka tak terima jika ada yang mengklaim sebagai raja hutan. Karena singalah raja hutan yang sebenarnya. Sesampainya di sana, salah satu singa menantang batu untuk beradu kekuatan. Si batu dengan sombongnya menyambut tantangan tersebut dengan tanpa rasa takut sama sekali. Sang batu hanya diam saja dan tak bergerak sedikitpun, sementara si singa mulai maju dan menunjukkan taring-taringnya yang begitu tajam. Singa itu pun mencoba tuk menggigit batu dengan taring-taring yang setajam pisau belati itu. Namun batu terlalu besar dan terlaru keras untuk digigit. Singa pun menyakar-nyakar batu tersebut, namun apa daya justru kukunya yang patah. Ia mencoba mundur sejenak, lalu lari secepat mungkin dan menyeruduk batu itu sekuat tenaga.

Malang, singa itu pun terjatuh, dari kepalanya meneteskan darah setelah membentur batu itu. Ia pun tewas. Singa yang lain pun tak ada yang berani melawan batu itu dan mereka mengakui si batulah yang terkuat. Si batulah raja hutan yang sebenarnya.
***

Bertahun-tahun berlalu dan sampai saat ini si batu masih diakui sebagai yang terkuat di hutan itu. Ia semakin sombong saja, siapa saja yang melewatinya selalu direndahkan, dihina dan ia selalu menyombongkan dirinya.

Itulah cerita yang kudengar tentang kesombongan si batu dari pohon, dan juga hewan-hewan di hutan. Tak ada yang berani menentang kesombongan si batu, karena ia amat keras dan siapa saja tak mampu menghancurkannya. Semuanya pasrah pada kesombongan si batu, kecuali,. . . .kecuali ayah.

“Kita harus bisa menghancurkan kesombongan si batu, kita harus bisa menghancurkan kerasnya batu ituuuu. . .!!!!” kata ayah di depan jutaan tetes air.

Ayah adalah pemimpin di kerajaan air. Aku salut pada semangatnya, walaupun kita ini bangsa air yang lembek, yang lemah, tapi ayah selalu menyemangati semua tetes air agar kita harus kuat dan jangan menyerah, bahkan pada si batu yang keras itu.

Semua memang tak percaya, tak yakin kalau bangsa air bisa menghancurkan si batu, tak terkecuali aku. Kami memang setetes air, kami memang jauh lebih lemah dari pada kerasnya si batu. Tapi ayah, ayah tak sedikitpun gentar. kulihat tangannya mengepal, dan ekspresinya begitu menggebu saat berdiri di hadapan jutaan tetes air dan meneriakkan semangat pada kami kalau kami mampu menghancurkan kesombongan si batu.

Kemudian ada setetes air yang bertanya pada ayah ,”rajaaa, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan batu yang keras itu?”

Ayah pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia  menundukkan mukanya dan berbalik arah. Kasihan ayah, ia punya semangat yang menggebu namun hingga saat ini belum menemukan caranya untuk mengalahkan si batu. Aku tau ia tak mudah menyerah, aku tau ia selalu memikirkan hal itu, aku tau dia, oh ayah.
***

Hingga malam kian larut ia belum jua tidur. Aku tau ayah memikirkan dan terus memikirkan bagaimana caranya mengalahkan batu. kulihat ia berjalan ke luar di tengah gelapnya malam. Diam-diam aku mencoba mengikutinya dari belakang. Aku hanya ingin tau kemana ayah hendak pergi di tengah malam begini. Kulihat ayah melihat batu besar itu. Ia menatapnya, dan menghampirinya, sedangkan aku melihatnya di balik persembunyianku. Ayah begitu berani mendekati batu itu, entah apa yang hendak dilakukannya. Semakin dekat langkahnya dengan sang batu aku semakin cemas. kulihat ayah berbincang dengan batu itu, namun kutak tau apa yang sedang dibicarakannya. Dari kepalan tangannya dan raut wajahnya kulihat ayah memendam emosi pada batu itu, sementara si batu hanya tersenyum sinis padanya.

Benar saja, kulihat ayah semakin tak kuasa menahan emosi. Entah apa yang diucapkan batu hingga ayah begitu naik pitam. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia membenturkan dirinya pada si batu dengan begitu keras. Namun si Batu tak terusik sedikitpun. Aku tak tega melihat ayah seperti itu. Aku pun berteriak memanggilnya dan menghampirinya, “Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh, sudahlah ayah sudah. . .!!”

Aku mencoba menarik ayah, namun ia tetap berusaha melawan si batu itu, “Suahlah nak, biarkan ayah memberi pelajaran pada batu itu, ayah tidak bisa diam saja, ia telah merendahkan bangsa air,ucap ayah dengan penuh emosi.

Aku mencoba menenangkannya dan berusaha menariknya pulang. Ayah pun tak sadarkan diri karena kelelahan dan akibat benturan keras dengan batu. Kubawanya pulang dan kurebahkan badannya. Kasihan ayah. “Aku tak mau ayah begini, sudahlah ayah, batu itu memang tak mungkin kita kalahkan,” kuberucap padanya yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.

Walaupun telah terluka ketika melawan si batu, ayah yang merupakan raja dari bangsa air tak menyerah begitu saja. Semangatnya tak mudah pudar. Namun aku masih tak mengerti mengapa ayah sebegitu dendamnya pasa si batu. Aku tak percaya jika ayah sedendam itu hanya karena si batu merasa paling kuat di hutan ini, merasa sebagai raja hutan. Aku tau ayah bukan ingin menjadi raja hutan, ia bukanlah orang yang angkuh. Aku yakin ayah menyembunyikan sesuatu tentang dendamnya pada si batu itu.

Kucoba tuk menghampiri ayah ketika ia sedang duduk sendiri. Aku bertanya padanya pelan-pelan,

“Ayah, kita ini cuma setetes air, mana mungkin kita bisa menghancurkan batu yang sekeras itu. Memang ada apa yah, kenapa ayah sampai senekat itu? Kenapa ayah sepertinya begitu dendam pada batu itu?”

Mendengar pertanyaan itu, ayah hanya terdiam seribu bahasa. Kulihat mulutnya menutup rapat-rapat, ia tak mau menjelaskan padaku tentang dendamnya pada batu. Ayah hanya bungkam, sama seperti dahulu kutanyakan tentang ibu, saat kutanyakan dimana ibu. Mungkinkah keduanya ada kaitannya? Yah, entahlah, aku tak tau. Mungkin suatu saat ayah akan bicara padaku.
***

Di depan seluruh rakyatnya ayah kembali berpidato. Kali ini semangatnya semakin kencang. Ayah sudah seperti pahlawan proklamasi yang menyulut rakyatnya tuk berjuang melawan penjajah. Ia berbicara begitu menggebu-gebu dan sesekali menjulurkan kepalan tangannya ke atas. Di depan jutaan tetes air ayah berucap bahwa kita bukanlah meteri yang lemah. Kita bisa mengalahkan batu jika tekad kita kuat.

Kini pidatonya tak terlalu sia-sia, ada Ali, Samsul, dan Mahmud yang juga ikut berteriak dan percaya kalau kita bisa mengalahkan batu. Kemudain satu per satu tetes air yang lain pun percaya dan meneriakkan semangatnya. Kulihat mata ayah berbinar, ia terharu dan ia semakin semangat meneruskan pidatonya.

Di pidatonya ayah bercerita tentang batu di Jepang. Walaupun batu bisa menghancurkan gunting, tapi pernah disana batu bisa dikalahkan kertas yang sepertinya lemah dan mudah sobek. Itu ujar ayah menyemangati rakyatnya. Ayah juga ingin membuktikan pada dunia kalau di Indonesia ada batu yang bisa dikalahkan air.
***

Setelah berpidato hari itu, kudekati ayah yang sedang mengusap keringat di dahinya. kulihat matanya berkaca-kaca dan senyum terukir di bibirnya. Ia nampak letih usai membakar semangat rakyatnya. Tapi ia merasa amat senang kini rakyatnya percaya dan yakin bisa mengalahkan batu. Tapi saat kuhampiri lebih dekat, kudengar ayah berucap sendiri, “Akan kubalasksan dendamku batu, aku akan menhancurkanmu yang telah membunuh istriku dan merendahkan bangsa air.” Samar-samar itu yang kudengar. Aku begitu terkejut mendengar itu.

“Ayah, apa benar ibu. . . . ibu dibunuh oleh batu itu?tanyaku pada ayah dengan suara yang bergetar.

Ayah pun terkejut melihat kehadiranku, namun ia masih enggan menceritakan padaku soal itu.

“Sudahlah nak, tak usah kita bahas,kata ayah sambil memalingkan wajahnya.

“Tapi ayah, ceritakan padaku ayah, aku berhak tau,aku terus mendesaknya untuk menceritakan hal itu padaku. Sampai akhirnya ia mau menceritakan padaku soal itu.

Waktu ayah masih jadi rakyat biasa, dan aku terlalu kecil tuk mengerti sesuatu, Ayah sedang berjalan-jalan dengan aku dan ibu. Lantas si batu menunjukkan kesombongannya dengan menghina kami bangsa air. Ia menyebut bangsa air sebagai bangsa yang lemah, tak seperti batu yang kuat. Lambat laun kesabaran ayah mulai terkikis. Ia pun menghampiri batu dan berkelahi dengannya. Namun ibu begitu sayang padaku dan ayah menghalau kami berdua hingga akhirnya ibu yang terlindas oleh batu itu. Itu yang ayah ceritakan padaku. Dan sejak saat itu ayah bertekad untuk menjadi raja, untuk membela bangsa air dan menghancurkan batu itu.
***

Saat kami sedang di rumah, salah seorang pengawal mengetuk pintu istana. Nafasnya terengah-engah, pengawal itu nampak tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran dari keningnya.

“Raja. . .raja. . .raja gawat raja. . ,kata pengawal itu.

“Ada apa, gawat apanya?” kata ayah bertanya dan ikut cemas.

“Ratusan tetes air terbunuh saat melewati sekitar batu.

Mendengar berita itu ayah naik pitam. Hampir-hampir saja urat lehernya keluar. Ayah bergegas keluar dan menyuruh pengawal untuk mengumpulkan rakyat.

Dengan semangat menggebu ayah membakar semangat seluruh rakyat. Saat itu ayah mengatakan bahwa sejak dahulu kita telah berhasil mengalahkan api, dan saat ini pun kita pasti bisa mengalahkan batu.

“Ayo kita semua maju menuju batu ituuuu. . .. !!!!” ucap ayah memerintahkan seluruh rakyatnya dengan penuh semangat.

Kita semua beserta jutaan tetes air tiba di hadapan batu itu. Namun batu itu nampak tak gentar menghadapi kami. Ia malah menunjukkan kesombongannya dan menghina bangsa kami. Batu itu berucap bahwa keinginan air untuk mengalahkan batu hanyalah mimpi di siang bolong. Hal itu semakin menyulut kemarahan kami.

Ayah memerintahkan seorang prajurit untuk maju melawan batu. Prajurit yang gagah berani itu sama sekali tak gentar dan langsung maju mendekati si batu. Ia masuk melalui akar pohon yang ada di samping batu, lalu naik ke atas melalui batang pohon itu hingga tiba di ujung ranting. Kemudian di ujung ranting ia melompat ke bawah dan membenturkan dirinya ke batu sekeras mungkin. Prajurit itu pun tewas, dan si batu hanya merasa sedikit geli.

Lalu satu per satu pasukan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan satu per satu di antara mereka tewas. Mereka mengorbankan nyawa mereka demi membela bangsa air.

“Ayah, sudahlah ayah ini sia-sia, ini pengorbanan yang sia-sia.” Aku memohon pada ayah tuk menghentikan semua ini.

Tetes demi tetes air tewas, nyawa demi nyawa melayang. Tapi ayah tak menggubris perkataanku. Kemudian ayah melangkahkan kakinya kedepan dan mendekati batu itu. Sempat terdengar perkataan terakhirnya, “Maafkan ayah nak.” Dan kemudian ayah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan prajuritnya, membenturkan dirinya pada batu dengan titik yang sama. Aku pun tak kuasa melihat ayah meluncur dari ujung ranting dan membenturkan dirinya pada batu yang keras. Akupun tak kuasa membendung air mata.

Namun pengorbanan ayah menyulut semangat seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya satu per satu maju dan melakukan hal yang sama. Mereaka pun tewas satu per satu. Aku pun merasa tersulut dengan pengorbanan ayah, dan juga pengorbanan seluruh rakayat air. Dengan semangat, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini giliranku.”

Dengan penuh keyakinan aku berjalan mendekati batu itu, kemudian masuk ke tanah dan menelusuri akar pohon, merasupi batang mealalui xilem, dan aku telah tiba di ujung ranting. kulihat batu di bawah sana, aku pun berteriak, “Ayahhhhhhhhhhhhh. . . . Ibuuuuuuu. . . .!!!!!!” Aku meneriakkan nama mereka berdua. Aku pun meluncur ke bawah dengan kecepatan gravitasi. Lalu berbenturan dengan batu yang keras itu. Sempat kudengar batu mulai berteriak kesakitan. Dan sampai disinilah aku bisa menceritakan perjuanganku, perjuangan ayah, dan semua bangsa air. Semoga perjuangan kami tak sia-sia.
***


Tahun demi tahun berlalu, puluhan tahun, dan ratusan tahun kemudian seluruh keturunan bangsa air meneruskan perjuangan meraka. Mereka pun melakukan hal yang sama dengan mengorabankan nyawa mereka. Dan setelah ratusan tahun berlalu, selama itu juga batu itu dijatuhi air pada titik yang sama. Akhirnya batu itu pun hancur, hancur bersama kesombongannya. Dan sejak saat itu tak ada lagi kesombongan di hutan itu. Namun bangsa air menolak dinobatkan sebagai raja hutan. Sehingga mahkota raja hutan kembali diberikan pada singa.

=======================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Penuntut Ilmu

“Kami kumpulkan sodara–sodara disini untuk mengetahui sebuah penemuan baru di abad ini. Sebuah penemuan yang fenomenal yang belum pernah ditemukan di belahan dunia manapun. Seiring dengan kerja keras saya dan tim, akhirnya inilah dia penemuan tercanggih abad iniiiiiiiiiii. . . . . , ucap Ilham menggebu–gebu.

“Ilhaaaaaaaaaaaaaaaam. . . . . .Kamu liat sisir ibu nak?” Teriakan sang ibu yang mencari sisir membuat Ilham menghentikan pidatonya.

“Oooopppssss, ia bu ini Ilham pakee heheheh maap bu,jawab Ilham yang berdiri di depan lemari kaca dengan tertunduk malu.

“Ohh, ya sudah kamu ini ada–ada saja yah, masa sisir ibu kamu jadiin mickrofon hahaha.”

“Ia bu, Ilham lagi ngebayangin jadi ilmuwan bu heheheh,ujar Ilham tertawa malu.

“Oh gitu ya, ya ibu doakan yah semoga cita–citamu itu tercapai nak,kata sang ibu sambil mengelus–ngelus rambut anaknya.

Bu Nurhayati, ibu dari anak itu pun tersenyum melihat semangat anaknya yang bercita–cita ingin menjadi ilmuwan hebat. Tapi sesaat senyumnya perlahan pudar. Ia amat mendukung cita–cita anaknya, tapi di sisi lain keyakinannya memudar ketika ia berpikir tentang kondisi ekonominya. Ia hanyalah buruh cuci yang tiap hari keliling kampung menawarkan jasanya. Ya,  bisa dibilang Laundry tradisional. Seharian ia keliling kampung kadang tak seberapa pakaian yang ia terima untuk dicuci. Maklum saja, warga desa kampung tersebut memang secara ekonomi kondisinya sebelas dua belas dengan Bu Nurhayati.

Diantara bilik–bilik kayu, ngiungan pesawat tempur penghisap darah, dan redupnya bohlam Thomas Alfa Edison, Ilham tertidur pulas. Hmmmm. . . .ia memang anak yang periang dan penuh semangat, serta selalu mensyukuri bagaimana pun kondisi hidupnya saat ini. Cita–citanya ia gantungkan di langit tertinggi jauh di atas awan–awan yang bergumul. Ia hanya tinggal dengan ibunya di RSSSSS alias Rumah Sangat Sederhana Sumpek Sempit Sekali.

Lalu dimanakah sosok sang ayah yang biasanya menafkahi setiap keluarga. Ilham sama–sekali tak tau tentang ayahnya. Ibunya tak banyak cerita tentang sosok ayahnya. Ia hanya bilang bahwa ayahnya adalah sosok yang berani dan gagah, selebihnya Ilham tak tau apa–apa soal ayahnya. Bukan tak pernah Ilham menanyakan tentang sosok ayahnya. Namun setiap kali ia menanyakan soal ayahnya, sang ibu hanya tertunduk dan meneteskan air mata, atau kadang pula marah padanya. Sejak saat itu Ilham tak berani lagi menanyakan tentang sosok ayahnya pada ibunya.
***

Sebelum matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, Ilham tengah menelusuri rerumputan menapaki jejak demi jejak menuju Pasar sejauh 5 KM dari rumahnya tuk menitipkan kue yang dibuat ibunya ke warung di pasar. Anak itu merasa berkewajiban membantu ibunya mencari uang tuk kebutuhan hidup mereka. Setelah itu ia langsung bergegas ke sekolah dengan riang sambil berlari penuh irama dan mengayunkan tangan.

“Anak–anak, hari ini kita akan belajar pelajaran IPA, siapa diantara kalian yang tau tentang tanaman singkong?” Tanya bu guru pada murid sekelas.

Seorang murid mengacungkan tangannya,

“Ya kamu Budi, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?” tanya bu guru pada anak yang mengacungkan tangannya.

“Tanaman singkong adalah tanaman yang ada di belakang rumahku, kadang–kadang ayah mencabut singkong, lalu ibu memasaknya bisa menjadi songkong goreng, comro, misro, dan makanan lainnya. Pokonya aku suka deh bu singkong,ujar Budi

“Huahahhahahahhahah.” Seluruh kelas pun tertawa mendengar penjelasan Budi yang berbadan agak gemuk tersebut. Sementara Budi dengan tampang begonya tak mengerti apa yang ditertawakan temannya. Ia merasa tak ada yang salah dengan jawabannya.

Kemudian Bu Dini, guru mereka bertanya lagi, “Siapa yang bisa menjelaskan tentang tanaman singkong?”

“Saya bu. ,jawab Ilham sambil mengacungkan tangannya.

“Ya, silakan Ilham apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?”

“Tanaman singkong memiliki nama latin manihot utilissima. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.”

“Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin,ucap Ilham diiringi tepuk tangan yang meriah dari seluruh isi kelas.

Begitulah Ilham, seorang anak yang luar biasa. Ia menjawab pertanyaan tersebut di luar ekspektasi seluruh teman–temannya bahkan gurunya. Walaupun miskin, namun tak menghalangi niatnya tuk belajar. Seringkali anak itu pergi ke SMP atau SMA, tujuannya hanya untuk membaca buku di perpustakaan. Walau kerap kali tak diijinkan tapi ia tak menyerah tuk memohon pada penjaga perpustakaan tersebut. Anak itu memang luar biasa, walau masih duduk di kelas 5 SD, tapi pengetahuannya sudah jauh melampaui teman–teman sebayanya atau bahkan murid SMP dan SMA sekalipun.

Setiap pelajaran Ilham selalu menjadi murid yang paling menonjol diantara yang lain. Kadang Ia bisa tau hal–hal yang tidak diketahui Bu Dini sekalipun. Hal itulah yang membuat Bu Dini sering memberinya kesempatan untuk mengajar di depan pada murid–murid yang lain. Begitupun pada hari itu, ketika mereka sedang belajar tentang gaya gravitasi.

“Gaya gravitasi bumi atau arti gaya tarik bumi adalah suatu gaya tarik-menarik yang terjadi pada semua partikel yang mempunyai massa. Jika di bumi, gaya gravitasi bumi disebabkan karena bumi yang berukuran besar memiliki massa yang juga besar sehingga dapat menarik semua benda yang berada di atasnya,ucap Ilham yang menjelaskan tentang gravitasi pada teman–temannya.

Ketika itu tiba–tiba terdengar suara ketukan pintu kelas dan dibukanya pintu kelas itu. Seluruh pandangan menuju ke arah pintu. Rupanya kepala sekolah yang berkumis tebal yang datang ke kelas itu.

“Ilham, bisa ikut ke ruangan bapak!” kata kepala sekolah pada anak jenius itu.

Ilham pun berjalan mengikuti kepala sekolah ke ruangannya. Detak jantungnya semakin cepat ketika itu. Ia tak tau apa maksud kepala sekolah memanggilnya ke ruangannya.

“Duduk ham. . .!” ujar Kepala sekolah menyuruhnya duduk.

Detak jantung Ilham kian cepat, kadang menyusul detak jarum jam di ruangan tersebut. Keringat dingin pun mulai keluar dari  keningnya. Kepalanya tertunduk seoalah ia telah melakukan kesalahan.

Lalu kepala sekolah yang galak itu pun berkata,

“Ham, kamu sudah berapa bulan nggak bayar SPP?” tanya Pak Kepala sekolah dengan pandangan yang tajam.

“E. . . empat bulan pak,jawab Ilham dengan bicara tersendat–sendat.

“Hmm, Ilham. . .. Ilham kamu inget bulan kemaren, trus bulan kemarennya lagi, katanya kamu bakal lunasin bulan ini. Tapi bulan ini pun kamu belum bayar sama sekali. Saya udah berapa kali ngasih pengunduran waktu sama kamu. Tapi kamu gak bayar juga,ucap Kepala sekolah dengan nada tinggi.

“Ma. . . .maaf pak,kata Ilham sambil menundukkan muka.

Lantas Pak kepala sekolah memberikannya secarik amplop yang berisi sebuah surat. Ia tak tau surat apakah itu. Pak Kepala sekolah ingin agar surat tersebut sampai di tangan orang tuanya.
***

Bu Nurhayati mendekap anak satu–satunya itu sambil menangis tersedu–sedu. Telah dibuka amplop yang berisi surat dari kepala sekolah itu. Sang ibu terkejut setelah membaca kata demi kata dalam surat itu. Diiringi tetesan hujan yang turun siang itu kesedihan terpancar dari wajahnya. Dari wajah seorang ibu yang amat menyayangi anaknya. Harus menerima kenyataan bahwa putra satu – satunya yang memiliki cita–cita amat tinggi, cita–cita ingin menjadi ilmuwan harus dikeluarkan dari sekolah lantaran tak mampu membayar uang SPP.

“Nak, maaifin ibu nak, maaf nak. Ibu gak mampu membiayai uang sekolah kamu,kata sang ibu sambil menangis tersedu- sedu.

“Sudahlah bu gak usah nangis lagi bu. Ini memang sudah takdir, tapi aku tetap percaya bu kalau aku bisa jadi ilmuwan hebat bu.”

“Ia nak, ibu juga percaya nak. Ibu percaya, ibu akan selalu mendukung kamu nak.”

Hujan pun perlahan berhenti dan mendung pun perlahan memudar. Langit biru pun perlahan mulai muncul kembali dari balik awan. Terlihat beberapa burung berterbangan dan cahaya matahari kembali menghangatkan bumi.

Ilham terduduk sendiri di depan rumahnya. Dalam benaknya ia ingin sekolah, belajar bersama teman–temannya dan menggapai impiannya di langit tertinggi. Ia menatap birunya langit dan bertanya pada dirinya apakah mampu menggapainya.

Namun ia teringat kisah Thomas Alfa Edison yang pernah ia baca di perpustakaan. Jauh sebelum Edison menjadi penemu yang sangat hebat dahulu ia pernah dikeluarkan dari sekolah. Bahkan dianggap dungu oleh gurunya sendiri. Tapi ia membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi ilmuwan hebat yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.

Semangat Ilham kembali membara. Walau ia tak lagi sekolah tapi semangatnya untuk belajar tak pernah berhenti. Cita–citanya tak pernah padam.

Ia semakin sering datang ke perpustakaan SMA Garuda Bangsa walau harus menempuh jarak beberapa kilometer dari rumahnya. Di dalam perpustakaan tersebut ia melihat beberapa buku mulai berdebu dan beberapa lainnya tak teratur pada tempatnya. Ia pun memberanikan diri menghadap kepala sekolah SMA tersebut.

“Pak, saya lihat perpustakaan di sekolah ini agak tak terurus, a. . .apa boleh saya bekerja disini untuk merapihkan dan membereskan perpustakaan di sini?” tanya Ilham walau sedikit gugup.

Kepala sekolah terdiam dan berpikir sejenak lalu berkata, “Hmmmm, oke kamu benar juga sepertinya memang harus ada orang yang mengurusi perpustakaan ini.”

Ilham menyambut ucapan kepala sekolah tersebut dengan gembira. Karena dengan begitu ia semakin sering punya kesempatan tuk belajar, apalagi belajar sambil bekerja dan meringankan beban ekonomi yang ditanggung sang ibu.

Setiap hari, anak yang seharusnya duduk di bangku SD tersebut pergi ke SMA Garuda Bangsa untuk bekerja merapihkan buku dan membersihkan buku–buku di perpustakaan. Sembari merapihkan buku ia melahap buku–buku yang ada di perpustakaan tersebut mulai dari buku Fisika, Biologi, dan Kimia yang seharusnya belum dipelajari oleh anak seusianya.

Hari berganti berlalu, perlahan ia sudah bisa menghasilkan uang dari hasil bekerjanya di perpustakaan. Ilmu yang ia pelajari pun semakin banyak saja. Dan begitu seterusnya hingga bulan demi bulan berlalu, dan tahun demi tahun berlalu.

Lima Tahun kemudian

Pagi itu siswa siswi kelas 1A SMA Garuda Bangsa belajar di perpustakaan. Tepatnya pelajaran Kimia. Sang guru Bu Dewi mengajak anak muridnya ke perpustakaan untuk merasakan suasana belajar yang berbeda. Dan juga agar murid–muridnya terdorong agar gemar membaca. Saat itu Bu Dewi bertanya pada murid–muridnya.

“Nah hari ini di awal semester ini kita akan belajar tentang atom. Sebelum ibu jelaskan tentang atom. Apakah ada di antara kalian yang bisa menjelaskan apapun tentang atom?”

Murid–muridnya hanya terdiam sembari berpikir. Ada juga beberapa diantarnya tidak berani mengacungkan tangan. Sementara Bu Dewi mengulangi pertanyaannya. Namun tetap saja tak ada yang mengacungkan tangan. Bu Dewi pun mengulangi sekali lagi pertanyaannya. Dan kali ini ada seorang yang mengacungkan tangan. Tapi bukan salah seorang dari muridnya. Orang itu berdiri di samping salah satu rak buku di belakang sana. Orang itu adalah Ilham si petugas perpustakaan. Bu Dewi terkejut, namun memberinya kesempatan tuk menjawab pertanyaan itu.

“Atom adalah suatu satuan dasar materi, yang terdiri atas inti atom serta elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan positif, dan neutron yang bermuatan netral (kecuali pada inti atom Hidrogen-1, yang tidak memiliki neutron). Elektron-elektron pada sebuah atom terikat pada inti atom oleh gaya elektromagnetik. Sekumpulan atom demikian pula dapat berikatan satu sama lainnya, dan membentuk sebuah molekul. Atom yang mengandung jumlah proton dan elektron yang sama bersifat netral, sedangkan yang mengandung jumlah proton dan elektron yang berbeda bersifat positif atau negatif dan disebut sebagai ion. Atom dikelompokkan berdasarkan jumlah proton dan neutron yang terdapat pada inti atom tersebut. Jumlah proton pada atom menentukan unsur kimia atom tersebut, dan jumlah neutron menentukan isotop unsur tersebut.”

Seluruh siswa beserta Bu Dewi terdiam tak bekutik ketika mendengar penjelasan pengurus perpustakaan tersebut. Sebuah jawaban yang rinci dan begitu ilmiah dikeluarkan oleh Ilham si pengurus perpustakaan. Seluruh siswa siswi dan Bu Dewi pun menaruh decak kagum padanya.

Tak lama kabar tentang kecerdasan pengurus perpustakaan tersebut menyeruak ke seantero sekolah ibarat virus. Siswa–siswi dan para guru seringkali membicarakan tentang kecerdasan Ilham. Sampai suatu ketika Kepala sekolah memanggil anak itu ke ruangannya.

Ilham masuk ke ruangan kepala sekolah dengan gemetar. Ia sadar kalau ia hanyalah petugas perpustakaan. Jantungnya semakin berdebar ketika Pak Kepala sekolah menyuruhnya duduk di hadapannya. Perasaan yang sama seperti yang ia rasakan saat dipanggil kepala sekolah saat duduk di bangku sekolah dasar 5 tahun silam.

Pak Kepala sekolah pun bertanya padanya, “Ham, kapan terakhir kali kamu sekolah?”

“Sampai kelas 5 SD pak?” jawab Ilham.

“Lalu bagaimana kamu bisa punya pengetahuan melebihi anak SMA?” tanya kepala sekolah.

“Sa.. .saya tiap hari belajar pak. Saya bekerja di perpustakaan sambil belajar pak. Tiap hari saya baca buku–buku di perpustakaan,jawab Ilham sambil tertunduk dan merasa bersalah.

“Oh, kalau begitu bagaimana kalau kamu sekalian saja sekolah di sini?”

“Ta. . . .tapi pak saya kan cuma pagawai perpustakaan yang sempat sekolah hanya sampai kelas 5 SD, jawab Ilham gugup.

“Kamu akan di tes dulu, kalau kamu lolos kamu bisa sekolah disini dengan dana beasiswa.”

Ilham terkejut dan mengucapkan trimakasih pada Kepala sekolah. Ia berjanji akan belajar lebih giat lagi agar bisa diterima di sekolah itu.

Tanpa kesulitan berarti Ilham pun melewati ujian tersebut dan diterima masuk sekolah di SMA Garuda Bangsa dengan biaya ditanggung dari dana beasiswa. Kepala sekolah pun kini berdecak kagum pada kepandaiannya. Dan ia berharap anak itu dapat mengharumkan nama sekolah.
***

Setahun Kemudian

Bu Nurhayati memeluk dengan erat anak sematang wayangnya sambil menitikkan air mata. Ilham pun turut menitikkan air mata kala ibunya menangis sambil memeluknya. Percis seperti kejadian enam tahun silam ketika Ilham dikeluarkan dari SD tempatnya belajar.

Tapi tidak dengan kali ini. Sang ibu menitikkan air mata tanda bahagia. Ia begitu terharu ketika Ilham pulang ke rumah menunjukkan sebuah medali yang mengalung di lehernya. Itu adalah medali emas, tepatnya medali emas olimpiade science antar SMA Se-Indonesia. Ilham telah mempersembahkan medali itu untuk dirinya, sekolahnya, dan yang lebih penting baginya untuk ibunya tercinta yang selalu mendoakannya siang dan malam.

Suara tepuk tangan pun bergemuruh ketika sang ibu mendekap anaknya dan terharu bahagia. Teman–teman Ilham dan para guru–guru beserta kepala sekolah mengantarkannya sampai ke rumah kala itu sebagai bentuk penghargaan telah mengharumkan nama sekolah. Sebuah sekolah yang hanya terletak di sebuah desa yang jauh dari teknologi kota.

Bu Nurhayati pun mengucap rasa syukur yang sebesar–besarnya karena sebagian doanya telah terkabul. Dan ia semakin percaya suatu saat kelak anaknya bisa menjadi ilmuan yang sukses. Bukan hanya mengharumkan nama sekolah, tapi juga nama bangsa dan negara.

***

Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Cinta Sebuah Sisir


Ini pertama kalinya aku datang ke rumah itu. Ke sebuah rumah yang sangat asing bagiku.

“Alisa, ini sisir untukmu nak. Mamah sudah belikan di supermarket. Rajin-rajinlah menyisir rambutmu nak, agar tak kusut seperti biasanya.” Aku dengar ucapan itu dari seorang ibu pada anaknya.

“Ia mah,” anak itu berucap dengan wajah yang agak cemberut.

Aku tau, Alisa adalah anak yang malas menyisir rambut. Ia tak sekalipun memegangku sejak aku disimpan ibunya di sebuah meja di kamarnya. Ia hanya menatapku dari kejauhan.

“Buat apa sih mamah membelikanku sisir,” ucapnya bicara sendiri.
Ku lihat ia anak yang penyendiri, jarang sekali ia keluar dari kamarnya. Dan ia sama sekali tak pernah menyisir rambutnya. Sudah beberapa hari berlalu ia masih tak memegangku sama sekali. Ingin rasanya aku bilang padanya bahwa kau akan terlihat cantik sekali jika kau menyisir rambutmu. Namun apa daya, aku hanyalah sebuah sisir yang tak mampu berucap.

Suatu ketika Alisa dipanggil ibunya untuk ke ruang tamu,

“Alisa, keluarlah sebentar, ada pamanmu. Ia baru pulang dari Amerika.”

Alisa keluar dari kamarnya dengan bibir cemberut dan rambut dibiarkan kusut. Mereka sekeluarga berbincang di ruang tamu. Namun setelah pamannya pulang, kulihat Alisa ke kamar beserta ibunya.

“Alisa, sudah mamah bilang, sisir rambutmu. Setiap kali ada tamu rambutmu selalu kusut!”

Alisa hanya menunduk terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin ia memang tak suka menyisir rambut, tapi di sisi lain kulihat ia memikirkan apa yang dikatakan ibunya.

Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menyetel musik dari tape recorder di kamarnya. Ia menyetel musik yang sendu dan terlihat menghayati hatinya yang sedang sedih. Ia menatap dirinya di cermin, menatap wajahnya dan rambut kusutnya.

Ia menoleh sesaat padaku, dan tanpa kuduga ia mendekatiku kemudian perlahan mengambilku. Lalu ia menggenggamku dengan kedua tangannya sembari menatap wajahnya di cermin. Ia mendekatkan diriku pada bibirnya. Aku dibuatnya sungguh gerogi. Kemudian perlahan ia berucap mengikuti irama dan lirik lagu yang diputarnya dari tape recorder. Ia bernyanyi dan seolah menjadikan diriku sebagai sebuah microfon. Hari itu aku baru tau kalau gadis penyendiri ini memiliki suara yang indah. Dan aku rasa seharusnya ia layak jadi seorang penyanyi.

Usai bernyanyi sendiri, kulihat ia jauh lebih lega dari sebelumnya. Ia mulai tersenyum tipis dan tanpa kuduga berkata sesuatu padaku.

“Hmmm, sisir biru muda.” Ya, hanya itu yang ia ucapkan. Tapi aku senang bukan main. Ia seolah menganggapku hidup. Ia seolah menyapaku tuk berkenalan sebagai teman barunya.
Alisa mulai berdiri. Ia mengambil handuk dan pakaian. Langkahnya menuju kamar mandi. Aku juga masih ada di genggamannya. Di setiap langkahnya aku semakin gerogi. Namun sebelum masuk kamar mandi ia teringat masih membawaku. Ia segera menyimpanku di meja di kamarnya sebelum ia ke kamar mandi. Ya, untunglah -__-!

Sesudah mandi kulihat rambutnya basah dan masih agak kusut. Terlihat ia baru saja keramas. Tanpa kuduga ia melihatku yang terkapar di meja. Ia mengambilku dan menatap dirinya di cermin. Kemudian perlahan ia menyisir rambutnya. Kurasakan rambut hitamnya yang halus dari akar hingga ujungnya. Aku tau, sebenarnya rambut anak ini indah sekali jika di sisir. Dan hari itu pertama kalinya ia menyisir rambutnya semenjak aku dibeli oleh ibunya untuknya. Aku girang bukan main. Ingin rasanya kumelompat-lompat kegirangan. Namun aku sadar, aku hanyalah sebuah sisir. Sebuah benda mati yang tak mungkin bergerak.
Kemudian ia duduk dan berkata padaku,

”Sisir, aku cantik nggak yah?” ucapnya sembari tersenyum.

Aku menjawab dengan cepat,

“Ya, tentu kau cantik sekali.” Namun tentu saja ia tak mendengar apa yang kuucapkan. Aku hanyalah sebuah sisir.

Tapi sejak saat itu aku seolah dianggapnya hidup. Ia kerap kali berbicara padaku. Ia menceritakan padaku impiannya, kebahagiaannya, kesedihannya, dan semua hal tentang kehidupannya. Sejak itu aku menjadi teman curhatnya. Walau aku tak bisa berucap padanya. Tapi aku girang bukan main. Ini pertama kalinya dalam hidupku ada seseorang yang mengganggapku sebagai teman. Ia juga seringkali menggenggamku saat bernyanyi sendiri di depan cermin dan memintaku mengomentari penampilannya saat bernyanyi. Walau ia pun tau aku hanyalah sebuah sisir.

Sejak hari itu, setiap hari ia selalu menyisir rambutnya. Aku seolah membelai rambutnya yang indah. Aku selalu menjadi teman berbincang bagi gadis penyendiri ini. Ia kelihatannya lebih nyaman berbincang pada sebuah sisir dari pada manusia lainnya. Dan aku mulai jatuh cinta padanya. walaupun aku sadar aku hanya sebuah sisir. Aku tak tau apakah benda lain bisa merasakan hal yang sama sepertiku. Aku juga tak tau apakah dirinya bisa merasakan hal yang sama pada sebuah benda sepertiku. Aku tak tau.

Hari demi hari berlalu. Perlahan ia tak lagi menjadi gadis penyendiri. Setelah setiap hari menyisir rambutnya, ia seringkali keluar dari kamarnya tuk berbincang pada ibunya. Atau bahkan sesekali ia pergi bersama teman-temannya. Dan aku selalu ikut bersamanya di sebuah tas yang ia bawa. Dan di saat sendiri di kamarnya, ia masih selalu berbincang denganku. Masih selalu berlatih bernyanyi bersamaku.
***

Suatu hari aku dibawanya pergi ke suatu tempat. Sebuah tempat yang tak kuduga sebelumnya. Sebuah ruang audisi. Ia mengikuti audisi sebuah kontes bernyanyi. Gadis penyendiri itu kini berusaha mengejar impiannya tuk menjadi penyanyi. Aku senang bukan main. Ia menggenggamku di depan pintu audisi.

“Sisir, doakan aku yah semoga berhasil,” ucapnya sebelum masuk ruang audisi sembari menggenggamku sesaat dan memasukkanku kembali ke tasnya.

Aku selalu mendoakannya supaya berhasil mengejar impiannya tuk menjadi penyanyi. kudengar suaranya mengalun lembut di depan para juri audisi. Aku yakin sekali ia lolos audisi ini.

Dan rupanya benar, ia keluar ruang audisi dengan girang gembira sekali. Ia lolos audisi. Ia mengeluarkanku dari tasnya dan berkata, “Aku lolos, aku lolos yeeeee. . . .!!!” ucapnya girang sekali.
***

Waktu terus bergulir. Aku dibawanya ke Jakarta tuk mengikuti kontes bernyanyi itu. Kerap kali, sebelum bernyanyi ia menyisir rambutnya dengan diriku. Ia menggenggamku dan berlatih bernyanyi di depan cermin. Ia selalu berusaha tuk mengejar impiannya. Dan aku senang, aku menjadi bagian dari teman yang selalu ada saat ia sendiri dan saat berusaha ia mengejar impiannya.

Dan dengan perjuangannya, Alisa menjuarai kontes itu. Ia girang bukan main, begitu pun orang tuanya. Dan pastinya aku juga ikut bangga padanya. Aku hampir saja menangis terharu jika aku bukanlah hanya sebuah sisir.
***

Setahun telah berlalu. Alisa kini telah menjadi artis yang sangat dikenal di negeri ini. Ia manggung dari kota ke kota. Ia telah punya album dan banyak fans. Ia bukan lagi gadis penyendiri yang sering mengurung dirinya di kamarnya. Di satu sisi aku bangga padanya, aku senang. Tapi di sisi lain ia semakin jarang berbincang denganku. Hanya sesekali saja menyisir rambutnya denganku.

Kini ia tak lagi sendiri. kulihat ia seringkali jalan dengan seorang pria. Aku sadar, ia memang pantas mendapatkan pria tampan itu. Walau aku sedikit kecewa. Tapi di sisi lain aku pun sadar, aku hanyalah sebuah sisir, sebuah benda yang tak bisa berbicara. Dan aku tak sakit hati jika ia bersama pria lain.

Tapi semakin hari ia semakin jarang berbincang denganku. Bahkan hanya untuk menyentuhku pun tidak. Aku dibiarkannya tergeletak di meja di sudut ruang kamarnya. Tak sekalipun ia menoleh padaku. Dan yang membuat hatiku hancur adalah kini ia sudah punya sisir baru. Sisir baru yang tentu jauh lebih bagus dariku.

Aku tak pernah lagi dipakainya. Tapi suatu hari, saat ia hendak pergi, ia menghampiriku. Namun rupanya bukan untuk mengambilku. Ia menyimpan tas di mejanya yang tanpa ia sadari menyenggol diriku dan membuat diriku terjatuh dari atas meja ke sebuah sudut yang sempit antara meja dan dinding. Gelap sekali. Ia pergi tanpa pernah tau aku terjatuh ke celah sempit yang gelap ini.


Hari terus berlalu dan aku merasa semakin ditinggalkan. Debu-debu mulai menempel pada tubuhku. Dan aku tak tau kapan ia akan menemukanku. Atau mungkin takkan pernah. Aku sadar, aku hanyalah sebuah sisir, sebuah benda mati yang tak mungkin berbicara padanya. Sebuah benda mati yang suatu saat akan usang dan ditinggalkan. Aku sadar itu. Tapi apakah semua benda sepertiku bisa merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Jatuh cinta pada manusia? Pada makhluk yang sama sekali aku tak bisa berbicara padanya? Pada makhluk yang sama sekali tak bisa bersamaku? Aku tak pernah tau. 

Yang pasti aku senang pernah menjadi temannya di saat ia sendiri. Pernah menjadi temannya saat ia memperjuangkan impiannya hingga ia sukses seperti sekarang. Walau kini mungkin aku takkan bisa lagi bernyanyi bersamanya, takkan bisa lagi mendengarkan curhatnya, takkan bisa lagi membelai rambutnya, dan takkan bisa lagi melihatnya, dari sudut yang begitu gelap ini, dengan berselimutkan debu.

=====================================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


Cerpen: "Maafkan Ibu, Nak!"


Di sebuah malam, Lasmi masih belum tidur. Ia melihat anaknya yang baru masuk SD telah tertidur lelap di kamarnya. “Sabar ya nak,” ucapnya dalam hati seraya menangis meneteskan air mata.

Di depan pintu, ia menanti kedatangan suaminya dengan emosi yang bercampur aduk, antara ingin menangis dan ingin marah. Telah beberapa minggu ini, Bram suaminya, selalu pulang lewat tengah malam. Bahkan ia seringkali pulang dalam kondisi mabuk.  Bram memang selalu memberikan nafkah untuknya dan anaknya. Namun sikapnya yang hampir selalu pulang dalam kondisi mabuk dan selalu marah-marah ketika dinasehati membuat kesabarannya hampir habis. Mereka kerap kali bertengkar.

Bahkan puncaknya malam itu. Bercak merah berbentuk bibir di baju suaminya membuat Lasmi semakin naik pitam.

“Ini apa mas, mas dari mana aja mas. . . .!!!” teriak Lasmi dengan penuh emosi.

“Udah lah terserah, aku mau ngapain aja, kamu diem aja. . .!!!” ucap Bram yang tengah mabuk.

Malam itu lagi-lagi terjadi pertengkaran di antara mereka berdua. Bahkan Bram menampar istrinya yang tak terima dengan kelakuannya. Saat itu Bayu, anaknya yang masih SD terbangun dan mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia amat sedih dan takut melihat pertengkaran kedua orang tuanya itu. Lasmi yang telah habis kesabarannya pun menuntut cerai. Dan mereka pun berpisah setelah sidang perceraian beberapa waktu kemudian.
***

Setelah perceraian itu tak sekalipun Bram menunjungi Lasmi dan anaknya. Bahkan tak sepeserpun ia memberikan uangnya untuk mantan istri dan anaknya bertahan hidup. Tapi Lasmi bertekad untuk berusaha menghidupi dirinya dan anaknya, apapun caranya.

“Bapak kemana bu?” tanya Bayu yang tak ingin mereka berpisah.

Lasmi tak kuasa menjawabnya. Ia hanya memeluk dan mengelus rambut anaknya sembari meneteskan air mata.

Keesokan harinya ia mencari pekerjaan di pabrik-pabrik. Namun ia tak mendapat pekerjaan. Ia hanya lulusan SMP. Itu pun ijasahnya entah kemana. Akhirnya ia bekerja sebagai buruh cuci. Ia keliling-keliling untuk menawarkan jasa cuci baju pada warga sekitar. Namun tak banyak yang ia dapatkan. Bahkan untuk makan sehari-hari saja sulit.  

Semua barang-barang berharganya ia jual untuk makan sehari-hari. Mulai dari mas kawin, dan peralatan rumah tangga. Namun beberapa bulan kemudian ia harus memutar otak lagi. Pekerjaan sebagai buruh cuci tak cukup untuk menghidupinya dan anaknya. Ia terpaksa harus berutang pada tetangga-tetangganya untuk kebutuhan sehari-hari.

Sudah tiga bulan ini Bayu tak membayar uang sekolah. Ia sudah diperingatkan dari pihak sekolah untuk membayar uang iuran sekolah. Jika tidak, maka Bayu akan dikeluarkan dari sekolah. Lasmi pun menghadap ke kepala sekolah untuk memberikannya waktu satu atau dua bulan lagi agar anaknya tak dikeluarkan dari sekolah. Baginya, pendidikan anaknya adalah yang terpenting. Kepala sekolah pun hanya memberikan batas hingga satu bulan ke depan, jika tidak, maka anaknya akan dikeluarkan dari sekolah.

Dalam kondisi tertekan, belum lagi tetangga-tetangganya managih hutang yang tak kunjung terbayar, ia bingung dan merasa amat depresi. Ia merasa menyesal menuntut cerai pada suaminya, walau kelakuan suaminya yang kerap mabuk dan bersenang-senang dengan wanita lain benar-benar membuatnya naik pitam.

Tekanan itu rupanya membuatnya gelap mata. Ia berjalan seorang diri di gelapnya malam. Di bawah temaram lampu-lampu jalan ia berjalan menuju sebuah gang tanpa membawa lentera hati yang telah padam oleh tekanan ekonomi. Gang Dodol namanya, gang yang sudah amat terkenal sebagai tempat lokalisasi terbesar di negeri ini. Ia mendatangi sebuah wisma dan bertemu dengan seorang ibu-ibu paruh baya. Dengan hati menangis ia mendaftar sebagai PSK di wisma tersebut. Ia tak ingin melakukan semua ini. Namun di satu sisi ia merasa terpaksa karena tekanan ekonomi yang mendera.

Di hari-hari berikutnya, ketika anaknya telah tertidur lelap. Ia berangkat ke luar tuk bekerja di gang tersebut. Dengan berpakaian ketat ia berdiri di pinggir jalan. Membawa lelaki-lelaki hidung belang tuk membeli tubuhnya. Awalnya ia takut, namun lambat laun ia mulai terbiasa dengan pekerjaan terkutuk itu. Hingga ia sama sekali tak merasa berdosa.

Setelah Lasmi melakukan pekerjaan itu, Bayu tak jadi dikeluarkan dari sekolahnya. Lasmi telah membayarkan uang sekolah anaknya. Ia juga telah membayar hutang-hutangnya pada tetangga-tetangganya. Secara perekonomian, hidupnya semakin meningkat. Walau Bayu sama sekali tak tau perbuatan ibunya.

“Ibu sekarang sudah punya uang, dari mana bu?” tanya Bayu yang masih polos penasaran.
Lasmi terdiam sejenak dan menunduk, “Ibu bekerja nak, untuk Bayu,” ucapnya menahan tangis.

Namun tentu cibiran dari tetangga-tetangganya yang melihatnya selalu keluar malam dan pulang menjelang subuh sudah mulai terdengar. Bahkan anaknya yang menjadi korban. Setiap kali pulang sekolah, tetangganya selalu menatap anak itu dengan tatapan yang aneh. Terkadang pula terdengar cibiran-cibiran tentang ibunya yang Bayu sendiri masih belum mengerti.

“Bu, mereka membicarakan ibu, memangnya ada apa bu?” tanya Bayu.

“Oh, ehmmm. Tidak tau nak. Sudah lah biarkan saja,” ucap ibunya.
***

Sudah beberapa bulan ini Lasmi bekerja sebagai PSK di gang Dodol. Kehidupanya mulai mapan lantaran ia wanita favorit para lelaki hidung belang disana. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam untuk meluangkan malam bersama Lasmi. Kini Lasmi bahkan sudah bisa membeli handphone, TV, bahkan perhiasan.

Cibiran dari tetangganya semakin terdengar. Namun Lasmi kini telah berubah. Ia bukan lagi melakukan hal itu hanya untuk kebutuhan ekonomi. Mata hatinya telah dibutakan. Bahkan tak peduli walau setiap malam Lasmi harus meninggalkan anaknya sendirian di rumah.

Malam itu, ketika berdiri di pinggir jalan tuk mencari lelaki hidung belang, tiba-tiba seorang lelaki hidung belang mendekatinya dari belakang.

“Hai. . . .” sapa lelaki itu.

Lasmi membalikkan wajahnya. Namun sontak Lasmi terkejut, begitupun lelaki itu. Rupanya itu adalah Bram, mantan suaminya yang memang adalah seorang lelaki hidung belang. Ia berlari sekuat tenaga menghindari lelaki itu.

“Lasmi. . . .Lasmi tunggu kau Lasmi. . .!!!” teriak Bram yang mengejarnya.

Malam itu rupanya bukan hanya bertemu dengan Bram yang membuatnya sontak terkejut. Malam itu sebuah cahaya terang dan asap mengepul terlihat di langit. Mobil pemadam kebakaran mengiung-ngiung mendekati sumber api. Lasmi berlari sekuat tenaga ke tempat itu dengan perasaan amat khawatir.
***

Enam bulan kemudian

Lasmi melihat sepasang suami istri yang sedang mengais sampah,

“Ayo semangat bu, kita harus nyari uang buat anak kita,” ucap pemulung itu.

Lasmi menitikkan air matanya yang menetes ke sebuah gundukan tanah. Bram merangkulnya tuk menenangkan hatinya.

“Harusnya saya nggak pernah bekerja seperti itu mas, nggak pernah. Seharusnya saya nggak pernah ninggalin Bayu sendiri malam hari mas, nggak pernah,” ucap Lasmi sembari menangis menyesali perbuatannya.

“Hmmm ya, saya juga seharusnya nggak bersikap seperti dulu. Saya juga seharusnya nggak pernah pulang malam hanya untuk mabuk-mabukan dan bersenang-senang,” ucap Bram yang juga amat menyesal.

Siang itu mereka menabur bunga di makam anaknya. Enam bulan yang lalu Bayu meninggal karena rumahnya kebakaran. Saat kejadian, Bayu sedang tertidur, seluruh pintu dan jendela rumahnya terkunci. Selain itu api cepat sekali menjalar. Tetangganya tak mampu menyelamatkannya.

Lasmi menyadari bahwa perbuatannya amatlah salah. Jika Bayu tau apa yang dilakukannya ia pasti kecewa sekali pada ibunya. Lasmi menyadari kalau setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Termasuk masalah ekonomi yang waktu itu menderanya. Ia seharusnya bekerja keras, bukannya menyerah dan pasrah pada nasib lalu berbuat sesuatu yang terkutuk hanya untuk uang. Ia seharusnya tak pernah mendatangi gang itu ketika ditekan masalah ekonomi, ia seharusnya datang pada Tuhannya dan bersujud di kala malam dan meminta kemudahan. Bram pun menyesal dengan perbuatannya. 

Kini Lasmi dan Bram kembali bersama lagi, walau tanpa Bayu anak mereka satu-satunya. Walaupun Bayu takkan pernah kembali. Tapi mereka ingin memulai lagi dari awal, bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Lasmi tak ingin ada Lasmi-Lasmi yang lain, yang mengatasnamakan untuk keluarga dengan mencari rejeki seperti itu. Padahal keluarga lah yang menjadi korban. Ia berharap lokalisasi itu segera ditutup oleh pemerintah setempat.

~***~

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles