Ini pertama kalinya aku datang ke rumah itu. Ke sebuah rumah
yang sangat asing bagiku.
“Alisa, ini sisir untukmu nak. Mamah sudah belikan di
supermarket. Rajin-rajinlah menyisir rambutmu nak, agar tak kusut seperti
biasanya.” Aku dengar ucapan itu dari seorang ibu pada anaknya.
“Ia mah,” anak itu berucap dengan wajah yang agak cemberut.
Aku tau, Alisa adalah anak yang malas menyisir rambut. Ia
tak sekalipun memegangku sejak aku disimpan ibunya di sebuah meja di kamarnya.
Ia hanya menatapku dari kejauhan.
“Buat apa sih mamah membelikanku sisir,” ucapnya bicara
sendiri.
Ku lihat ia anak yang penyendiri, jarang sekali ia keluar
dari kamarnya. Dan ia sama sekali tak pernah menyisir rambutnya. Sudah beberapa
hari berlalu ia masih tak memegangku sama sekali. Ingin rasanya aku bilang
padanya bahwa kau akan terlihat cantik sekali jika kau menyisir rambutmu. Namun
apa daya, aku hanyalah sebuah sisir yang tak mampu berucap.
Suatu ketika Alisa dipanggil ibunya untuk ke ruang tamu,
“Alisa, keluarlah sebentar, ada pamanmu. Ia baru pulang dari
Amerika.”
Alisa keluar dari kamarnya dengan bibir cemberut dan rambut
dibiarkan kusut. Mereka sekeluarga berbincang di ruang tamu. Namun setelah pamannya
pulang, kulihat Alisa ke kamar beserta ibunya.
“Alisa, sudah mamah bilang, sisir rambutmu. Setiap kali ada
tamu rambutmu selalu kusut!”
Alisa hanya menunduk terdiam. Entah apa yang ada
dipikirannya. Mungkin ia memang tak suka menyisir rambut, tapi di sisi lain kulihat
ia memikirkan apa yang dikatakan ibunya.
Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menyetel musik
dari tape recorder di kamarnya. Ia menyetel musik yang sendu dan terlihat
menghayati hatinya yang sedang sedih. Ia menatap dirinya di cermin, menatap
wajahnya dan rambut kusutnya.
Ia menoleh sesaat padaku, dan tanpa kuduga ia mendekatiku
kemudian perlahan mengambilku. Lalu ia menggenggamku dengan kedua tangannya
sembari menatap wajahnya di cermin. Ia mendekatkan diriku pada bibirnya. Aku
dibuatnya sungguh gerogi. Kemudian perlahan ia berucap mengikuti irama dan
lirik lagu yang diputarnya dari tape recorder. Ia bernyanyi dan seolah
menjadikan diriku sebagai sebuah microfon. Hari itu aku baru tau kalau gadis
penyendiri ini memiliki suara yang indah. Dan aku rasa seharusnya ia layak jadi
seorang penyanyi.
Usai bernyanyi sendiri, kulihat ia jauh lebih lega dari
sebelumnya. Ia mulai tersenyum tipis dan tanpa kuduga berkata sesuatu padaku.
“Hmmm, sisir biru muda.” Ya, hanya itu yang ia ucapkan. Tapi
aku senang bukan main. Ia seolah menganggapku hidup. Ia seolah menyapaku tuk
berkenalan sebagai teman barunya.
Alisa mulai berdiri. Ia mengambil handuk dan pakaian.
Langkahnya menuju kamar mandi. Aku juga masih ada di genggamannya. Di setiap
langkahnya aku semakin gerogi. Namun sebelum masuk kamar mandi ia teringat
masih membawaku. Ia segera menyimpanku di meja di kamarnya sebelum ia ke kamar
mandi. Ya, untunglah -__-!
Sesudah mandi kulihat rambutnya basah dan masih agak kusut.
Terlihat ia baru saja keramas. Tanpa kuduga ia melihatku yang terkapar di meja.
Ia mengambilku dan menatap dirinya di cermin. Kemudian perlahan ia menyisir
rambutnya. Kurasakan rambut hitamnya yang halus dari akar hingga ujungnya. Aku
tau, sebenarnya rambut anak ini indah sekali jika di sisir. Dan hari itu
pertama kalinya ia menyisir rambutnya semenjak aku dibeli oleh ibunya untuknya.
Aku girang bukan main. Ingin rasanya kumelompat-lompat kegirangan. Namun aku
sadar, aku hanyalah sebuah sisir. Sebuah benda mati yang tak mungkin bergerak.
Kemudian ia duduk dan berkata padaku,
”Sisir, aku cantik nggak yah?” ucapnya sembari tersenyum.
Aku menjawab dengan cepat,
“Ya, tentu kau cantik sekali.” Namun tentu saja ia tak
mendengar apa yang kuucapkan. Aku hanyalah sebuah sisir.
Tapi sejak saat itu aku seolah dianggapnya hidup. Ia kerap
kali berbicara padaku. Ia menceritakan padaku impiannya, kebahagiaannya,
kesedihannya, dan semua hal tentang kehidupannya. Sejak itu aku menjadi teman
curhatnya. Walau aku tak bisa berucap padanya. Tapi aku girang bukan main. Ini
pertama kalinya dalam hidupku ada seseorang yang mengganggapku sebagai teman.
Ia juga seringkali menggenggamku saat bernyanyi sendiri di depan cermin dan
memintaku mengomentari penampilannya saat bernyanyi. Walau ia pun tau aku
hanyalah sebuah sisir.
Sejak hari itu, setiap hari ia selalu menyisir rambutnya.
Aku seolah membelai rambutnya yang indah. Aku selalu menjadi teman berbincang
bagi gadis penyendiri ini. Ia kelihatannya lebih nyaman berbincang pada sebuah
sisir dari pada manusia lainnya. Dan aku mulai jatuh cinta padanya. walaupun
aku sadar aku hanya sebuah sisir. Aku tak tau apakah benda lain bisa merasakan
hal yang sama sepertiku. Aku juga tak tau apakah dirinya bisa merasakan hal
yang sama pada sebuah benda sepertiku. Aku tak tau.
Hari demi hari berlalu. Perlahan ia tak lagi menjadi gadis
penyendiri. Setelah setiap hari menyisir rambutnya, ia seringkali keluar dari
kamarnya tuk berbincang pada ibunya. Atau bahkan sesekali ia pergi bersama
teman-temannya. Dan aku selalu ikut bersamanya di sebuah tas yang ia bawa. Dan
di saat sendiri di kamarnya, ia masih selalu berbincang denganku. Masih selalu
berlatih bernyanyi bersamaku.
***
Suatu hari aku dibawanya pergi ke suatu tempat. Sebuah
tempat yang tak kuduga sebelumnya. Sebuah ruang audisi. Ia mengikuti audisi
sebuah kontes bernyanyi. Gadis penyendiri itu kini berusaha mengejar impiannya
tuk menjadi penyanyi. Aku senang bukan main. Ia menggenggamku di depan pintu
audisi.
“Sisir, doakan aku yah semoga berhasil,” ucapnya sebelum
masuk ruang audisi sembari menggenggamku sesaat dan memasukkanku kembali ke
tasnya.
Aku selalu mendoakannya supaya berhasil mengejar impiannya
tuk menjadi penyanyi. kudengar suaranya mengalun lembut di depan para juri
audisi. Aku yakin sekali ia lolos audisi ini.
Dan rupanya benar, ia keluar ruang audisi dengan girang gembira
sekali. Ia lolos audisi. Ia mengeluarkanku dari tasnya dan berkata, “Aku lolos,
aku lolos yeeeee. . . .!!!” ucapnya girang sekali.
***
Waktu terus bergulir. Aku dibawanya ke Jakarta tuk mengikuti
kontes bernyanyi itu. Kerap kali, sebelum bernyanyi ia menyisir rambutnya
dengan diriku. Ia menggenggamku dan berlatih bernyanyi di depan cermin. Ia
selalu berusaha tuk mengejar impiannya. Dan aku senang, aku menjadi bagian dari
teman yang selalu ada saat ia sendiri dan saat berusaha ia mengejar impiannya.
Dan dengan perjuangannya, Alisa menjuarai kontes itu. Ia
girang bukan main, begitu pun orang tuanya. Dan pastinya aku juga ikut bangga
padanya. Aku hampir saja menangis terharu jika aku bukanlah hanya sebuah sisir.
***
Setahun telah berlalu. Alisa kini telah menjadi artis yang
sangat dikenal di negeri ini. Ia manggung dari kota ke kota. Ia telah punya
album dan banyak fans. Ia bukan lagi gadis penyendiri yang sering mengurung
dirinya di kamarnya. Di satu sisi aku bangga padanya, aku senang. Tapi di sisi lain
ia semakin jarang berbincang denganku. Hanya sesekali saja menyisir rambutnya
denganku.
Kini ia tak lagi sendiri. kulihat ia seringkali jalan dengan
seorang pria. Aku sadar, ia memang pantas mendapatkan pria tampan itu. Walau
aku sedikit kecewa. Tapi di sisi lain aku pun sadar, aku hanyalah sebuah sisir,
sebuah benda yang tak bisa berbicara. Dan aku tak sakit hati jika ia bersama
pria lain.
Tapi semakin hari ia semakin jarang berbincang denganku.
Bahkan hanya untuk menyentuhku pun tidak. Aku dibiarkannya tergeletak di meja
di sudut ruang kamarnya. Tak sekalipun ia menoleh padaku. Dan yang membuat
hatiku hancur adalah kini ia sudah punya sisir baru. Sisir baru yang tentu jauh
lebih bagus dariku.
Aku tak pernah lagi dipakainya. Tapi suatu hari, saat ia hendak
pergi, ia menghampiriku. Namun rupanya bukan untuk mengambilku. Ia menyimpan
tas di mejanya yang tanpa ia sadari menyenggol diriku dan membuat diriku
terjatuh dari atas meja ke sebuah sudut yang sempit antara meja dan dinding.
Gelap sekali. Ia pergi tanpa pernah tau aku terjatuh ke celah sempit yang gelap
ini.
Hari terus berlalu dan aku merasa semakin ditinggalkan. Debu-debu
mulai menempel pada tubuhku. Dan aku tak tau kapan ia akan menemukanku. Atau
mungkin takkan pernah. Aku sadar, aku hanyalah sebuah sisir, sebuah benda mati
yang tak mungkin berbicara padanya. Sebuah benda mati yang suatu saat akan
usang dan ditinggalkan. Aku sadar itu. Tapi apakah semua benda sepertiku bisa
merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Jatuh cinta pada manusia? Pada
makhluk yang sama sekali aku tak bisa berbicara padanya? Pada makhluk yang sama
sekali tak bisa bersamaku? Aku tak pernah tau.
Yang pasti aku senang pernah
menjadi temannya di saat ia sendiri. Pernah menjadi temannya saat ia
memperjuangkan impiannya hingga ia sukses seperti sekarang. Walau kini mungkin
aku takkan bisa lagi bernyanyi bersamanya, takkan bisa lagi mendengarkan
curhatnya, takkan bisa lagi membelai rambutnya, dan takkan bisa lagi
melihatnya, dari sudut yang begitu gelap ini, dengan berselimutkan debu.
=====================================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon