Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Cinta Sebuah Sisir


Ini pertama kalinya aku datang ke rumah itu. Ke sebuah rumah yang sangat asing bagiku.

“Alisa, ini sisir untukmu nak. Mamah sudah belikan di supermarket. Rajin-rajinlah menyisir rambutmu nak, agar tak kusut seperti biasanya.” Aku dengar ucapan itu dari seorang ibu pada anaknya.

“Ia mah,” anak itu berucap dengan wajah yang agak cemberut.

Aku tau, Alisa adalah anak yang malas menyisir rambut. Ia tak sekalipun memegangku sejak aku disimpan ibunya di sebuah meja di kamarnya. Ia hanya menatapku dari kejauhan.

“Buat apa sih mamah membelikanku sisir,” ucapnya bicara sendiri.
Ku lihat ia anak yang penyendiri, jarang sekali ia keluar dari kamarnya. Dan ia sama sekali tak pernah menyisir rambutnya. Sudah beberapa hari berlalu ia masih tak memegangku sama sekali. Ingin rasanya aku bilang padanya bahwa kau akan terlihat cantik sekali jika kau menyisir rambutmu. Namun apa daya, aku hanyalah sebuah sisir yang tak mampu berucap.

Suatu ketika Alisa dipanggil ibunya untuk ke ruang tamu,

“Alisa, keluarlah sebentar, ada pamanmu. Ia baru pulang dari Amerika.”

Alisa keluar dari kamarnya dengan bibir cemberut dan rambut dibiarkan kusut. Mereka sekeluarga berbincang di ruang tamu. Namun setelah pamannya pulang, kulihat Alisa ke kamar beserta ibunya.

“Alisa, sudah mamah bilang, sisir rambutmu. Setiap kali ada tamu rambutmu selalu kusut!”

Alisa hanya menunduk terdiam. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin ia memang tak suka menyisir rambut, tapi di sisi lain kulihat ia memikirkan apa yang dikatakan ibunya.

Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menyetel musik dari tape recorder di kamarnya. Ia menyetel musik yang sendu dan terlihat menghayati hatinya yang sedang sedih. Ia menatap dirinya di cermin, menatap wajahnya dan rambut kusutnya.

Ia menoleh sesaat padaku, dan tanpa kuduga ia mendekatiku kemudian perlahan mengambilku. Lalu ia menggenggamku dengan kedua tangannya sembari menatap wajahnya di cermin. Ia mendekatkan diriku pada bibirnya. Aku dibuatnya sungguh gerogi. Kemudian perlahan ia berucap mengikuti irama dan lirik lagu yang diputarnya dari tape recorder. Ia bernyanyi dan seolah menjadikan diriku sebagai sebuah microfon. Hari itu aku baru tau kalau gadis penyendiri ini memiliki suara yang indah. Dan aku rasa seharusnya ia layak jadi seorang penyanyi.

Usai bernyanyi sendiri, kulihat ia jauh lebih lega dari sebelumnya. Ia mulai tersenyum tipis dan tanpa kuduga berkata sesuatu padaku.

“Hmmm, sisir biru muda.” Ya, hanya itu yang ia ucapkan. Tapi aku senang bukan main. Ia seolah menganggapku hidup. Ia seolah menyapaku tuk berkenalan sebagai teman barunya.
Alisa mulai berdiri. Ia mengambil handuk dan pakaian. Langkahnya menuju kamar mandi. Aku juga masih ada di genggamannya. Di setiap langkahnya aku semakin gerogi. Namun sebelum masuk kamar mandi ia teringat masih membawaku. Ia segera menyimpanku di meja di kamarnya sebelum ia ke kamar mandi. Ya, untunglah -__-!

Sesudah mandi kulihat rambutnya basah dan masih agak kusut. Terlihat ia baru saja keramas. Tanpa kuduga ia melihatku yang terkapar di meja. Ia mengambilku dan menatap dirinya di cermin. Kemudian perlahan ia menyisir rambutnya. Kurasakan rambut hitamnya yang halus dari akar hingga ujungnya. Aku tau, sebenarnya rambut anak ini indah sekali jika di sisir. Dan hari itu pertama kalinya ia menyisir rambutnya semenjak aku dibeli oleh ibunya untuknya. Aku girang bukan main. Ingin rasanya kumelompat-lompat kegirangan. Namun aku sadar, aku hanyalah sebuah sisir. Sebuah benda mati yang tak mungkin bergerak.
Kemudian ia duduk dan berkata padaku,

”Sisir, aku cantik nggak yah?” ucapnya sembari tersenyum.

Aku menjawab dengan cepat,

“Ya, tentu kau cantik sekali.” Namun tentu saja ia tak mendengar apa yang kuucapkan. Aku hanyalah sebuah sisir.

Tapi sejak saat itu aku seolah dianggapnya hidup. Ia kerap kali berbicara padaku. Ia menceritakan padaku impiannya, kebahagiaannya, kesedihannya, dan semua hal tentang kehidupannya. Sejak itu aku menjadi teman curhatnya. Walau aku tak bisa berucap padanya. Tapi aku girang bukan main. Ini pertama kalinya dalam hidupku ada seseorang yang mengganggapku sebagai teman. Ia juga seringkali menggenggamku saat bernyanyi sendiri di depan cermin dan memintaku mengomentari penampilannya saat bernyanyi. Walau ia pun tau aku hanyalah sebuah sisir.

Sejak hari itu, setiap hari ia selalu menyisir rambutnya. Aku seolah membelai rambutnya yang indah. Aku selalu menjadi teman berbincang bagi gadis penyendiri ini. Ia kelihatannya lebih nyaman berbincang pada sebuah sisir dari pada manusia lainnya. Dan aku mulai jatuh cinta padanya. walaupun aku sadar aku hanya sebuah sisir. Aku tak tau apakah benda lain bisa merasakan hal yang sama sepertiku. Aku juga tak tau apakah dirinya bisa merasakan hal yang sama pada sebuah benda sepertiku. Aku tak tau.

Hari demi hari berlalu. Perlahan ia tak lagi menjadi gadis penyendiri. Setelah setiap hari menyisir rambutnya, ia seringkali keluar dari kamarnya tuk berbincang pada ibunya. Atau bahkan sesekali ia pergi bersama teman-temannya. Dan aku selalu ikut bersamanya di sebuah tas yang ia bawa. Dan di saat sendiri di kamarnya, ia masih selalu berbincang denganku. Masih selalu berlatih bernyanyi bersamaku.
***

Suatu hari aku dibawanya pergi ke suatu tempat. Sebuah tempat yang tak kuduga sebelumnya. Sebuah ruang audisi. Ia mengikuti audisi sebuah kontes bernyanyi. Gadis penyendiri itu kini berusaha mengejar impiannya tuk menjadi penyanyi. Aku senang bukan main. Ia menggenggamku di depan pintu audisi.

“Sisir, doakan aku yah semoga berhasil,” ucapnya sebelum masuk ruang audisi sembari menggenggamku sesaat dan memasukkanku kembali ke tasnya.

Aku selalu mendoakannya supaya berhasil mengejar impiannya tuk menjadi penyanyi. kudengar suaranya mengalun lembut di depan para juri audisi. Aku yakin sekali ia lolos audisi ini.

Dan rupanya benar, ia keluar ruang audisi dengan girang gembira sekali. Ia lolos audisi. Ia mengeluarkanku dari tasnya dan berkata, “Aku lolos, aku lolos yeeeee. . . .!!!” ucapnya girang sekali.
***

Waktu terus bergulir. Aku dibawanya ke Jakarta tuk mengikuti kontes bernyanyi itu. Kerap kali, sebelum bernyanyi ia menyisir rambutnya dengan diriku. Ia menggenggamku dan berlatih bernyanyi di depan cermin. Ia selalu berusaha tuk mengejar impiannya. Dan aku senang, aku menjadi bagian dari teman yang selalu ada saat ia sendiri dan saat berusaha ia mengejar impiannya.

Dan dengan perjuangannya, Alisa menjuarai kontes itu. Ia girang bukan main, begitu pun orang tuanya. Dan pastinya aku juga ikut bangga padanya. Aku hampir saja menangis terharu jika aku bukanlah hanya sebuah sisir.
***

Setahun telah berlalu. Alisa kini telah menjadi artis yang sangat dikenal di negeri ini. Ia manggung dari kota ke kota. Ia telah punya album dan banyak fans. Ia bukan lagi gadis penyendiri yang sering mengurung dirinya di kamarnya. Di satu sisi aku bangga padanya, aku senang. Tapi di sisi lain ia semakin jarang berbincang denganku. Hanya sesekali saja menyisir rambutnya denganku.

Kini ia tak lagi sendiri. kulihat ia seringkali jalan dengan seorang pria. Aku sadar, ia memang pantas mendapatkan pria tampan itu. Walau aku sedikit kecewa. Tapi di sisi lain aku pun sadar, aku hanyalah sebuah sisir, sebuah benda yang tak bisa berbicara. Dan aku tak sakit hati jika ia bersama pria lain.

Tapi semakin hari ia semakin jarang berbincang denganku. Bahkan hanya untuk menyentuhku pun tidak. Aku dibiarkannya tergeletak di meja di sudut ruang kamarnya. Tak sekalipun ia menoleh padaku. Dan yang membuat hatiku hancur adalah kini ia sudah punya sisir baru. Sisir baru yang tentu jauh lebih bagus dariku.

Aku tak pernah lagi dipakainya. Tapi suatu hari, saat ia hendak pergi, ia menghampiriku. Namun rupanya bukan untuk mengambilku. Ia menyimpan tas di mejanya yang tanpa ia sadari menyenggol diriku dan membuat diriku terjatuh dari atas meja ke sebuah sudut yang sempit antara meja dan dinding. Gelap sekali. Ia pergi tanpa pernah tau aku terjatuh ke celah sempit yang gelap ini.


Hari terus berlalu dan aku merasa semakin ditinggalkan. Debu-debu mulai menempel pada tubuhku. Dan aku tak tau kapan ia akan menemukanku. Atau mungkin takkan pernah. Aku sadar, aku hanyalah sebuah sisir, sebuah benda mati yang tak mungkin berbicara padanya. Sebuah benda mati yang suatu saat akan usang dan ditinggalkan. Aku sadar itu. Tapi apakah semua benda sepertiku bisa merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Jatuh cinta pada manusia? Pada makhluk yang sama sekali aku tak bisa berbicara padanya? Pada makhluk yang sama sekali tak bisa bersamaku? Aku tak pernah tau. 

Yang pasti aku senang pernah menjadi temannya di saat ia sendiri. Pernah menjadi temannya saat ia memperjuangkan impiannya hingga ia sukses seperti sekarang. Walau kini mungkin aku takkan bisa lagi bernyanyi bersamanya, takkan bisa lagi mendengarkan curhatnya, takkan bisa lagi membelai rambutnya, dan takkan bisa lagi melihatnya, dari sudut yang begitu gelap ini, dengan berselimutkan debu.

=====================================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles



EmoticonEmoticon