Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Penuntut Ilmu

“Kami kumpulkan sodara–sodara disini untuk mengetahui sebuah penemuan baru di abad ini. Sebuah penemuan yang fenomenal yang belum pernah ditemukan di belahan dunia manapun. Seiring dengan kerja keras saya dan tim, akhirnya inilah dia penemuan tercanggih abad iniiiiiiiiiii. . . . . , ucap Ilham menggebu–gebu.

“Ilhaaaaaaaaaaaaaaaam. . . . . .Kamu liat sisir ibu nak?” Teriakan sang ibu yang mencari sisir membuat Ilham menghentikan pidatonya.

“Oooopppssss, ia bu ini Ilham pakee heheheh maap bu,jawab Ilham yang berdiri di depan lemari kaca dengan tertunduk malu.

“Ohh, ya sudah kamu ini ada–ada saja yah, masa sisir ibu kamu jadiin mickrofon hahaha.”

“Ia bu, Ilham lagi ngebayangin jadi ilmuwan bu heheheh,ujar Ilham tertawa malu.

“Oh gitu ya, ya ibu doakan yah semoga cita–citamu itu tercapai nak,kata sang ibu sambil mengelus–ngelus rambut anaknya.

Bu Nurhayati, ibu dari anak itu pun tersenyum melihat semangat anaknya yang bercita–cita ingin menjadi ilmuwan hebat. Tapi sesaat senyumnya perlahan pudar. Ia amat mendukung cita–cita anaknya, tapi di sisi lain keyakinannya memudar ketika ia berpikir tentang kondisi ekonominya. Ia hanyalah buruh cuci yang tiap hari keliling kampung menawarkan jasanya. Ya,  bisa dibilang Laundry tradisional. Seharian ia keliling kampung kadang tak seberapa pakaian yang ia terima untuk dicuci. Maklum saja, warga desa kampung tersebut memang secara ekonomi kondisinya sebelas dua belas dengan Bu Nurhayati.

Diantara bilik–bilik kayu, ngiungan pesawat tempur penghisap darah, dan redupnya bohlam Thomas Alfa Edison, Ilham tertidur pulas. Hmmmm. . . .ia memang anak yang periang dan penuh semangat, serta selalu mensyukuri bagaimana pun kondisi hidupnya saat ini. Cita–citanya ia gantungkan di langit tertinggi jauh di atas awan–awan yang bergumul. Ia hanya tinggal dengan ibunya di RSSSSS alias Rumah Sangat Sederhana Sumpek Sempit Sekali.

Lalu dimanakah sosok sang ayah yang biasanya menafkahi setiap keluarga. Ilham sama–sekali tak tau tentang ayahnya. Ibunya tak banyak cerita tentang sosok ayahnya. Ia hanya bilang bahwa ayahnya adalah sosok yang berani dan gagah, selebihnya Ilham tak tau apa–apa soal ayahnya. Bukan tak pernah Ilham menanyakan tentang sosok ayahnya. Namun setiap kali ia menanyakan soal ayahnya, sang ibu hanya tertunduk dan meneteskan air mata, atau kadang pula marah padanya. Sejak saat itu Ilham tak berani lagi menanyakan tentang sosok ayahnya pada ibunya.
***

Sebelum matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, Ilham tengah menelusuri rerumputan menapaki jejak demi jejak menuju Pasar sejauh 5 KM dari rumahnya tuk menitipkan kue yang dibuat ibunya ke warung di pasar. Anak itu merasa berkewajiban membantu ibunya mencari uang tuk kebutuhan hidup mereka. Setelah itu ia langsung bergegas ke sekolah dengan riang sambil berlari penuh irama dan mengayunkan tangan.

“Anak–anak, hari ini kita akan belajar pelajaran IPA, siapa diantara kalian yang tau tentang tanaman singkong?” Tanya bu guru pada murid sekelas.

Seorang murid mengacungkan tangannya,

“Ya kamu Budi, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?” tanya bu guru pada anak yang mengacungkan tangannya.

“Tanaman singkong adalah tanaman yang ada di belakang rumahku, kadang–kadang ayah mencabut singkong, lalu ibu memasaknya bisa menjadi songkong goreng, comro, misro, dan makanan lainnya. Pokonya aku suka deh bu singkong,ujar Budi

“Huahahhahahahhahah.” Seluruh kelas pun tertawa mendengar penjelasan Budi yang berbadan agak gemuk tersebut. Sementara Budi dengan tampang begonya tak mengerti apa yang ditertawakan temannya. Ia merasa tak ada yang salah dengan jawabannya.

Kemudian Bu Dini, guru mereka bertanya lagi, “Siapa yang bisa menjelaskan tentang tanaman singkong?”

“Saya bu. ,jawab Ilham sambil mengacungkan tangannya.

“Ya, silakan Ilham apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?”

“Tanaman singkong memiliki nama latin manihot utilissima. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.”

“Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin,ucap Ilham diiringi tepuk tangan yang meriah dari seluruh isi kelas.

Begitulah Ilham, seorang anak yang luar biasa. Ia menjawab pertanyaan tersebut di luar ekspektasi seluruh teman–temannya bahkan gurunya. Walaupun miskin, namun tak menghalangi niatnya tuk belajar. Seringkali anak itu pergi ke SMP atau SMA, tujuannya hanya untuk membaca buku di perpustakaan. Walau kerap kali tak diijinkan tapi ia tak menyerah tuk memohon pada penjaga perpustakaan tersebut. Anak itu memang luar biasa, walau masih duduk di kelas 5 SD, tapi pengetahuannya sudah jauh melampaui teman–teman sebayanya atau bahkan murid SMP dan SMA sekalipun.

Setiap pelajaran Ilham selalu menjadi murid yang paling menonjol diantara yang lain. Kadang Ia bisa tau hal–hal yang tidak diketahui Bu Dini sekalipun. Hal itulah yang membuat Bu Dini sering memberinya kesempatan untuk mengajar di depan pada murid–murid yang lain. Begitupun pada hari itu, ketika mereka sedang belajar tentang gaya gravitasi.

“Gaya gravitasi bumi atau arti gaya tarik bumi adalah suatu gaya tarik-menarik yang terjadi pada semua partikel yang mempunyai massa. Jika di bumi, gaya gravitasi bumi disebabkan karena bumi yang berukuran besar memiliki massa yang juga besar sehingga dapat menarik semua benda yang berada di atasnya,ucap Ilham yang menjelaskan tentang gravitasi pada teman–temannya.

Ketika itu tiba–tiba terdengar suara ketukan pintu kelas dan dibukanya pintu kelas itu. Seluruh pandangan menuju ke arah pintu. Rupanya kepala sekolah yang berkumis tebal yang datang ke kelas itu.

“Ilham, bisa ikut ke ruangan bapak!” kata kepala sekolah pada anak jenius itu.

Ilham pun berjalan mengikuti kepala sekolah ke ruangannya. Detak jantungnya semakin cepat ketika itu. Ia tak tau apa maksud kepala sekolah memanggilnya ke ruangannya.

“Duduk ham. . .!” ujar Kepala sekolah menyuruhnya duduk.

Detak jantung Ilham kian cepat, kadang menyusul detak jarum jam di ruangan tersebut. Keringat dingin pun mulai keluar dari  keningnya. Kepalanya tertunduk seoalah ia telah melakukan kesalahan.

Lalu kepala sekolah yang galak itu pun berkata,

“Ham, kamu sudah berapa bulan nggak bayar SPP?” tanya Pak Kepala sekolah dengan pandangan yang tajam.

“E. . . empat bulan pak,jawab Ilham dengan bicara tersendat–sendat.

“Hmm, Ilham. . .. Ilham kamu inget bulan kemaren, trus bulan kemarennya lagi, katanya kamu bakal lunasin bulan ini. Tapi bulan ini pun kamu belum bayar sama sekali. Saya udah berapa kali ngasih pengunduran waktu sama kamu. Tapi kamu gak bayar juga,ucap Kepala sekolah dengan nada tinggi.

“Ma. . . .maaf pak,kata Ilham sambil menundukkan muka.

Lantas Pak kepala sekolah memberikannya secarik amplop yang berisi sebuah surat. Ia tak tau surat apakah itu. Pak Kepala sekolah ingin agar surat tersebut sampai di tangan orang tuanya.
***

Bu Nurhayati mendekap anak satu–satunya itu sambil menangis tersedu–sedu. Telah dibuka amplop yang berisi surat dari kepala sekolah itu. Sang ibu terkejut setelah membaca kata demi kata dalam surat itu. Diiringi tetesan hujan yang turun siang itu kesedihan terpancar dari wajahnya. Dari wajah seorang ibu yang amat menyayangi anaknya. Harus menerima kenyataan bahwa putra satu – satunya yang memiliki cita–cita amat tinggi, cita–cita ingin menjadi ilmuwan harus dikeluarkan dari sekolah lantaran tak mampu membayar uang SPP.

“Nak, maaifin ibu nak, maaf nak. Ibu gak mampu membiayai uang sekolah kamu,kata sang ibu sambil menangis tersedu- sedu.

“Sudahlah bu gak usah nangis lagi bu. Ini memang sudah takdir, tapi aku tetap percaya bu kalau aku bisa jadi ilmuwan hebat bu.”

“Ia nak, ibu juga percaya nak. Ibu percaya, ibu akan selalu mendukung kamu nak.”

Hujan pun perlahan berhenti dan mendung pun perlahan memudar. Langit biru pun perlahan mulai muncul kembali dari balik awan. Terlihat beberapa burung berterbangan dan cahaya matahari kembali menghangatkan bumi.

Ilham terduduk sendiri di depan rumahnya. Dalam benaknya ia ingin sekolah, belajar bersama teman–temannya dan menggapai impiannya di langit tertinggi. Ia menatap birunya langit dan bertanya pada dirinya apakah mampu menggapainya.

Namun ia teringat kisah Thomas Alfa Edison yang pernah ia baca di perpustakaan. Jauh sebelum Edison menjadi penemu yang sangat hebat dahulu ia pernah dikeluarkan dari sekolah. Bahkan dianggap dungu oleh gurunya sendiri. Tapi ia membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi ilmuwan hebat yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.

Semangat Ilham kembali membara. Walau ia tak lagi sekolah tapi semangatnya untuk belajar tak pernah berhenti. Cita–citanya tak pernah padam.

Ia semakin sering datang ke perpustakaan SMA Garuda Bangsa walau harus menempuh jarak beberapa kilometer dari rumahnya. Di dalam perpustakaan tersebut ia melihat beberapa buku mulai berdebu dan beberapa lainnya tak teratur pada tempatnya. Ia pun memberanikan diri menghadap kepala sekolah SMA tersebut.

“Pak, saya lihat perpustakaan di sekolah ini agak tak terurus, a. . .apa boleh saya bekerja disini untuk merapihkan dan membereskan perpustakaan di sini?” tanya Ilham walau sedikit gugup.

Kepala sekolah terdiam dan berpikir sejenak lalu berkata, “Hmmmm, oke kamu benar juga sepertinya memang harus ada orang yang mengurusi perpustakaan ini.”

Ilham menyambut ucapan kepala sekolah tersebut dengan gembira. Karena dengan begitu ia semakin sering punya kesempatan tuk belajar, apalagi belajar sambil bekerja dan meringankan beban ekonomi yang ditanggung sang ibu.

Setiap hari, anak yang seharusnya duduk di bangku SD tersebut pergi ke SMA Garuda Bangsa untuk bekerja merapihkan buku dan membersihkan buku–buku di perpustakaan. Sembari merapihkan buku ia melahap buku–buku yang ada di perpustakaan tersebut mulai dari buku Fisika, Biologi, dan Kimia yang seharusnya belum dipelajari oleh anak seusianya.

Hari berganti berlalu, perlahan ia sudah bisa menghasilkan uang dari hasil bekerjanya di perpustakaan. Ilmu yang ia pelajari pun semakin banyak saja. Dan begitu seterusnya hingga bulan demi bulan berlalu, dan tahun demi tahun berlalu.

Lima Tahun kemudian

Pagi itu siswa siswi kelas 1A SMA Garuda Bangsa belajar di perpustakaan. Tepatnya pelajaran Kimia. Sang guru Bu Dewi mengajak anak muridnya ke perpustakaan untuk merasakan suasana belajar yang berbeda. Dan juga agar murid–muridnya terdorong agar gemar membaca. Saat itu Bu Dewi bertanya pada murid–muridnya.

“Nah hari ini di awal semester ini kita akan belajar tentang atom. Sebelum ibu jelaskan tentang atom. Apakah ada di antara kalian yang bisa menjelaskan apapun tentang atom?”

Murid–muridnya hanya terdiam sembari berpikir. Ada juga beberapa diantarnya tidak berani mengacungkan tangan. Sementara Bu Dewi mengulangi pertanyaannya. Namun tetap saja tak ada yang mengacungkan tangan. Bu Dewi pun mengulangi sekali lagi pertanyaannya. Dan kali ini ada seorang yang mengacungkan tangan. Tapi bukan salah seorang dari muridnya. Orang itu berdiri di samping salah satu rak buku di belakang sana. Orang itu adalah Ilham si petugas perpustakaan. Bu Dewi terkejut, namun memberinya kesempatan tuk menjawab pertanyaan itu.

“Atom adalah suatu satuan dasar materi, yang terdiri atas inti atom serta elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan positif, dan neutron yang bermuatan netral (kecuali pada inti atom Hidrogen-1, yang tidak memiliki neutron). Elektron-elektron pada sebuah atom terikat pada inti atom oleh gaya elektromagnetik. Sekumpulan atom demikian pula dapat berikatan satu sama lainnya, dan membentuk sebuah molekul. Atom yang mengandung jumlah proton dan elektron yang sama bersifat netral, sedangkan yang mengandung jumlah proton dan elektron yang berbeda bersifat positif atau negatif dan disebut sebagai ion. Atom dikelompokkan berdasarkan jumlah proton dan neutron yang terdapat pada inti atom tersebut. Jumlah proton pada atom menentukan unsur kimia atom tersebut, dan jumlah neutron menentukan isotop unsur tersebut.”

Seluruh siswa beserta Bu Dewi terdiam tak bekutik ketika mendengar penjelasan pengurus perpustakaan tersebut. Sebuah jawaban yang rinci dan begitu ilmiah dikeluarkan oleh Ilham si pengurus perpustakaan. Seluruh siswa siswi dan Bu Dewi pun menaruh decak kagum padanya.

Tak lama kabar tentang kecerdasan pengurus perpustakaan tersebut menyeruak ke seantero sekolah ibarat virus. Siswa–siswi dan para guru seringkali membicarakan tentang kecerdasan Ilham. Sampai suatu ketika Kepala sekolah memanggil anak itu ke ruangannya.

Ilham masuk ke ruangan kepala sekolah dengan gemetar. Ia sadar kalau ia hanyalah petugas perpustakaan. Jantungnya semakin berdebar ketika Pak Kepala sekolah menyuruhnya duduk di hadapannya. Perasaan yang sama seperti yang ia rasakan saat dipanggil kepala sekolah saat duduk di bangku sekolah dasar 5 tahun silam.

Pak Kepala sekolah pun bertanya padanya, “Ham, kapan terakhir kali kamu sekolah?”

“Sampai kelas 5 SD pak?” jawab Ilham.

“Lalu bagaimana kamu bisa punya pengetahuan melebihi anak SMA?” tanya kepala sekolah.

“Sa.. .saya tiap hari belajar pak. Saya bekerja di perpustakaan sambil belajar pak. Tiap hari saya baca buku–buku di perpustakaan,jawab Ilham sambil tertunduk dan merasa bersalah.

“Oh, kalau begitu bagaimana kalau kamu sekalian saja sekolah di sini?”

“Ta. . . .tapi pak saya kan cuma pagawai perpustakaan yang sempat sekolah hanya sampai kelas 5 SD, jawab Ilham gugup.

“Kamu akan di tes dulu, kalau kamu lolos kamu bisa sekolah disini dengan dana beasiswa.”

Ilham terkejut dan mengucapkan trimakasih pada Kepala sekolah. Ia berjanji akan belajar lebih giat lagi agar bisa diterima di sekolah itu.

Tanpa kesulitan berarti Ilham pun melewati ujian tersebut dan diterima masuk sekolah di SMA Garuda Bangsa dengan biaya ditanggung dari dana beasiswa. Kepala sekolah pun kini berdecak kagum pada kepandaiannya. Dan ia berharap anak itu dapat mengharumkan nama sekolah.
***

Setahun Kemudian

Bu Nurhayati memeluk dengan erat anak sematang wayangnya sambil menitikkan air mata. Ilham pun turut menitikkan air mata kala ibunya menangis sambil memeluknya. Percis seperti kejadian enam tahun silam ketika Ilham dikeluarkan dari SD tempatnya belajar.

Tapi tidak dengan kali ini. Sang ibu menitikkan air mata tanda bahagia. Ia begitu terharu ketika Ilham pulang ke rumah menunjukkan sebuah medali yang mengalung di lehernya. Itu adalah medali emas, tepatnya medali emas olimpiade science antar SMA Se-Indonesia. Ilham telah mempersembahkan medali itu untuk dirinya, sekolahnya, dan yang lebih penting baginya untuk ibunya tercinta yang selalu mendoakannya siang dan malam.

Suara tepuk tangan pun bergemuruh ketika sang ibu mendekap anaknya dan terharu bahagia. Teman–teman Ilham dan para guru–guru beserta kepala sekolah mengantarkannya sampai ke rumah kala itu sebagai bentuk penghargaan telah mengharumkan nama sekolah. Sebuah sekolah yang hanya terletak di sebuah desa yang jauh dari teknologi kota.

Bu Nurhayati pun mengucap rasa syukur yang sebesar–besarnya karena sebagian doanya telah terkabul. Dan ia semakin percaya suatu saat kelak anaknya bisa menjadi ilmuan yang sukses. Bukan hanya mengharumkan nama sekolah, tapi juga nama bangsa dan negara.

***

Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon