“Kami
kumpulkan sodara–sodara disini untuk mengetahui sebuah penemuan baru di abad
ini. Sebuah penemuan yang fenomenal yang belum pernah ditemukan di belahan
dunia manapun. Seiring dengan kerja keras saya dan tim, akhirnya inilah dia
penemuan tercanggih abad iniiiiiiiiiii. . . . . , “ ucap
Ilham menggebu–gebu.
“Ilhaaaaaaaaaaaaaaaam.
. . . . .Kamu liat sisir ibu nak?” Teriakan sang ibu yang mencari sisir membuat
Ilham menghentikan pidatonya.
“Oooopppssss,
ia bu ini Ilham pakee heheheh maap bu,”
jawab Ilham yang berdiri
di depan lemari kaca dengan tertunduk malu.
“Ohh,
ya sudah
kamu ini ada–ada saja yah, masa sisir ibu kamu jadiin mickrofon hahaha.”
“Ia
bu, Ilham lagi ngebayangin jadi ilmuwan
bu heheheh,”
ujar Ilham tertawa malu.
“Oh
gitu ya, ya ibu doakan yah semoga cita–citamu itu tercapai nak,” kata sang ibu sambil
mengelus–ngelus rambut anaknya.
Bu
Nurhayati, ibu dari anak itu pun tersenyum melihat semangat anaknya yang
bercita–cita ingin menjadi ilmuwan
hebat. Tapi sesaat senyumnya perlahan pudar. Ia amat mendukung cita–cita
anaknya, tapi di sisi lain keyakinannya memudar ketika ia berpikir tentang
kondisi ekonominya. Ia hanyalah buruh cuci yang tiap hari keliling kampung
menawarkan jasanya. Ya, bisa dibilang Laundry tradisional. Seharian ia
keliling kampung kadang tak seberapa pakaian yang ia terima untuk dicuci.
Maklum saja, warga desa kampung tersebut memang secara ekonomi kondisinya
sebelas dua belas dengan Bu
Nurhayati.
Diantara
bilik–bilik kayu, ngiungan pesawat tempur penghisap darah, dan redupnya bohlam
Thomas Alfa Edison, Ilham tertidur pulas. Hmmmm. . . .ia memang anak yang
periang dan penuh semangat, serta selalu mensyukuri bagaimana pun kondisi
hidupnya saat ini. Cita–citanya ia gantungkan di langit tertinggi jauh di atas
awan–awan yang bergumul. Ia hanya tinggal dengan ibunya di RSSSSS alias Rumah
Sangat Sederhana Sumpek Sempit Sekali.
Lalu
dimanakah sosok sang ayah yang biasanya menafkahi setiap keluarga. Ilham sama–sekali
tak tau tentang ayahnya. Ibunya tak banyak cerita tentang sosok ayahnya. Ia
hanya bilang bahwa ayahnya adalah sosok yang berani dan gagah, selebihnya Ilham
tak tau apa–apa soal ayahnya. Bukan tak pernah Ilham menanyakan tentang sosok
ayahnya. Namun setiap kali ia menanyakan soal ayahnya, sang ibu hanya tertunduk
dan meneteskan air mata, atau kadang pula marah padanya. Sejak saat itu Ilham
tak berani lagi menanyakan tentang sosok ayahnya pada ibunya.
***
Sebelum
matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, Ilham tengah menelusuri rerumputan
menapaki jejak demi jejak menuju Pasar sejauh 5 KM dari rumahnya tuk menitipkan
kue yang dibuat ibunya ke warung di pasar. Anak itu merasa berkewajiban
membantu ibunya mencari uang tuk kebutuhan hidup mereka. Setelah itu ia
langsung bergegas ke sekolah dengan riang sambil berlari penuh irama dan
mengayunkan tangan.
“Anak–anak,
hari ini kita akan belajar pelajaran IPA, siapa diantara kalian yang tau
tentang tanaman singkong?” Tanya bu guru pada murid sekelas.
Seorang
murid mengacungkan tangannya,
“Ya
kamu Budi, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?” tanya
bu guru pada anak yang mengacungkan tangannya.
“Tanaman
singkong adalah tanaman yang ada di belakang rumahku, kadang–kadang ayah
mencabut singkong, lalu ibu memasaknya bisa menjadi songkong goreng, comro,
misro, dan makanan lainnya. Pokonya aku suka deh bu singkong,” ujar Budi
“Huahahhahahahhahah.”
Seluruh kelas pun tertawa mendengar penjelasan Budi yang berbadan agak gemuk
tersebut. Sementara Budi dengan tampang begonya tak mengerti apa yang
ditertawakan temannya. Ia merasa tak ada yang salah dengan jawabannya.
Kemudian
Bu Dini, guru mereka bertanya lagi, “Siapa yang bisa menjelaskan tentang
tanaman singkong?”
“Saya
bu. , “ jawab Ilham sambil
mengacungkan tangannya.
“Ya,
silakan Ilham apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?”
“Tanaman singkong memiliki nama
latin manihot utilissima. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang
dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung
dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau
kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di
lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat
terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.”
“Umbi singkong merupakan sumber
energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang
bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin,” ucap Ilham diiringi tepuk
tangan yang meriah dari seluruh isi kelas.
Begitulah Ilham, seorang anak
yang luar biasa. Ia menjawab pertanyaan tersebut di luar ekspektasi seluruh
teman–temannya bahkan gurunya. Walaupun miskin, namun tak menghalangi niatnya tuk
belajar. Seringkali anak itu pergi ke SMP atau SMA, tujuannya hanya untuk
membaca buku di perpustakaan. Walau kerap kali tak diijinkan tapi ia tak
menyerah tuk memohon pada penjaga perpustakaan tersebut. Anak itu memang luar
biasa, walau masih duduk di kelas 5 SD, tapi pengetahuannya sudah jauh
melampaui teman–teman sebayanya atau bahkan murid SMP dan SMA sekalipun.
Setiap pelajaran Ilham selalu
menjadi murid yang paling menonjol diantara yang lain. Kadang Ia bisa tau hal–hal
yang tidak diketahui Bu Dini sekalipun. Hal itulah yang membuat Bu Dini sering
memberinya kesempatan untuk mengajar di depan pada murid–murid yang lain.
Begitupun pada hari itu, ketika mereka sedang belajar tentang gaya gravitasi.
“Gaya gravitasi bumi atau arti
gaya tarik bumi adalah suatu gaya tarik-menarik yang terjadi pada semua
partikel yang mempunyai massa. Jika di bumi, gaya gravitasi bumi disebabkan
karena bumi yang berukuran besar memiliki massa yang juga besar sehingga dapat
menarik semua benda yang berada di atasnya,” ucap Ilham yang menjelaskan tentang gravitasi pada teman–temannya.
Ketika itu tiba–tiba terdengar
suara ketukan pintu kelas dan dibukanya pintu kelas itu. Seluruh pandangan
menuju ke arah pintu. Rupanya kepala sekolah yang berkumis tebal yang datang ke
kelas itu.
“Ilham, bisa ikut ke ruangan
bapak!” kata
kepala sekolah pada anak jenius itu.
Ilham pun berjalan mengikuti
kepala sekolah ke ruangannya. Detak jantungnya semakin cepat ketika itu. Ia tak
tau apa maksud kepala sekolah memanggilnya ke ruangannya.
“Duduk ham. . .!” ujar Kepala sekolah
menyuruhnya duduk.
Detak jantung Ilham kian cepat,
kadang menyusul detak jarum jam di ruangan tersebut. Keringat dingin pun mulai
keluar dari keningnya. Kepalanya
tertunduk seoalah ia telah melakukan kesalahan.
Lalu kepala sekolah yang galak
itu pun berkata,
“Ham, kamu sudah berapa bulan nggak bayar SPP?” tanya
Pak Kepala sekolah dengan pandangan yang tajam.
“E. . . empat bulan pak,” jawab Ilham dengan bicara
tersendat–sendat.
“Hmm, Ilham. . .. Ilham kamu
inget bulan kemaren, trus bulan kemarennya lagi, katanya kamu bakal lunasin
bulan ini. Tapi bulan ini pun kamu belum bayar sama sekali. Saya udah berapa
kali ngasih pengunduran waktu sama kamu. Tapi kamu gak bayar juga,” ucap Kepala sekolah dengan
nada tinggi.
“Ma. . . .maaf pak,” kata Ilham sambil
menundukkan muka.
Lantas Pak kepala sekolah
memberikannya secarik amplop yang berisi sebuah surat. Ia tak tau surat apakah
itu. Pak Kepala sekolah ingin agar surat tersebut sampai di tangan orang
tuanya.
***
Bu Nurhayati mendekap anak satu–satunya
itu sambil menangis tersedu–sedu. Telah dibuka amplop yang berisi surat dari
kepala sekolah itu. Sang ibu terkejut setelah membaca kata demi kata dalam
surat itu. Diiringi tetesan hujan yang turun siang itu kesedihan terpancar dari
wajahnya. Dari wajah seorang ibu yang amat menyayangi anaknya. Harus menerima
kenyataan bahwa putra satu – satunya yang memiliki cita–cita amat tinggi, cita–cita
ingin menjadi ilmuwan harus dikeluarkan dari sekolah lantaran tak mampu membayar uang
SPP.
“Nak, maaifin ibu nak, maaf nak.
Ibu gak mampu membiayai uang sekolah kamu,” kata sang ibu sambil menangis tersedu- sedu.
“Sudahlah bu gak usah nangis
lagi bu. Ini memang sudah takdir, tapi aku tetap percaya bu kalau aku bisa jadi ilmuwan hebat bu.”
“Ia nak, ibu juga percaya nak.
Ibu percaya, ibu akan selalu mendukung kamu nak.”
Hujan pun perlahan berhenti dan
mendung pun perlahan memudar. Langit biru pun perlahan mulai muncul kembali
dari balik awan. Terlihat beberapa burung berterbangan dan cahaya matahari
kembali menghangatkan bumi.
Ilham terduduk sendiri di depan
rumahnya. Dalam benaknya ia ingin sekolah, belajar bersama teman–temannya dan
menggapai impiannya di langit tertinggi. Ia menatap birunya langit dan bertanya
pada dirinya apakah mampu menggapainya.
Namun ia teringat kisah Thomas
Alfa Edison yang pernah ia baca di perpustakaan. Jauh sebelum Edison menjadi
penemu yang sangat hebat dahulu ia pernah dikeluarkan dari sekolah. Bahkan
dianggap dungu oleh gurunya sendiri. Tapi ia membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi
ilmuwan hebat
yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.
Semangat Ilham kembali membara.
Walau ia tak lagi sekolah tapi semangatnya untuk belajar tak pernah berhenti.
Cita–citanya tak pernah padam.
Ia semakin sering datang ke
perpustakaan SMA Garuda Bangsa walau harus menempuh jarak beberapa kilometer
dari rumahnya. Di dalam perpustakaan tersebut ia melihat beberapa buku mulai
berdebu dan beberapa lainnya tak teratur pada tempatnya. Ia pun memberanikan
diri menghadap kepala sekolah SMA tersebut.
“Pak, saya lihat perpustakaan di
sekolah ini agak tak terurus, a. . .apa boleh saya bekerja disini untuk
merapihkan dan membereskan perpustakaan di sini?” tanya Ilham walau sedikit
gugup.
Kepala sekolah terdiam dan
berpikir sejenak lalu berkata, “Hmmmm, oke kamu benar juga sepertinya memang
harus ada orang yang mengurusi perpustakaan ini.”
Ilham menyambut ucapan kepala
sekolah tersebut dengan gembira. Karena dengan begitu ia semakin sering punya
kesempatan tuk belajar, apalagi belajar sambil bekerja dan meringankan beban
ekonomi yang ditanggung sang ibu.
Setiap hari, anak yang
seharusnya duduk di bangku SD tersebut pergi ke SMA Garuda Bangsa untuk bekerja
merapihkan buku dan membersihkan buku–buku di perpustakaan. Sembari merapihkan
buku ia melahap buku–buku yang ada di perpustakaan tersebut mulai dari buku
Fisika, Biologi, dan Kimia yang seharusnya belum dipelajari oleh anak
seusianya.
Hari berganti berlalu, perlahan
ia sudah bisa menghasilkan uang dari hasil bekerjanya di perpustakaan. Ilmu
yang ia pelajari pun semakin banyak saja. Dan begitu seterusnya hingga bulan
demi bulan berlalu, dan tahun demi tahun berlalu.
Lima Tahun kemudian
Pagi itu siswa siswi kelas 1A
SMA Garuda Bangsa belajar di perpustakaan. Tepatnya pelajaran Kimia. Sang guru
Bu Dewi mengajak anak muridnya ke perpustakaan untuk merasakan suasana belajar
yang berbeda. Dan juga agar murid–muridnya terdorong agar gemar membaca. Saat itu
Bu Dewi bertanya pada murid–muridnya.
“Nah hari ini di awal semester
ini kita akan belajar tentang atom. Sebelum ibu jelaskan tentang atom. Apakah
ada di antara kalian yang bisa menjelaskan apapun tentang atom?”
Murid–muridnya hanya terdiam
sembari berpikir. Ada juga beberapa diantarnya tidak berani mengacungkan
tangan. Sementara Bu Dewi mengulangi pertanyaannya. Namun tetap saja tak ada
yang mengacungkan tangan. Bu Dewi pun mengulangi sekali lagi pertanyaannya. Dan
kali ini ada seorang yang mengacungkan tangan. Tapi bukan salah seorang dari
muridnya. Orang itu berdiri di samping salah satu rak buku di belakang sana.
Orang itu adalah Ilham si petugas perpustakaan. Bu Dewi terkejut, namun
memberinya kesempatan tuk menjawab pertanyaan itu.
“Atom adalah suatu satuan dasar materi, yang terdiri
atas inti atom serta elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom
terdiri atas proton yang bermuatan positif, dan neutron yang bermuatan netral
(kecuali pada inti atom Hidrogen-1, yang tidak memiliki neutron).
Elektron-elektron pada sebuah atom terikat pada inti atom oleh gaya
elektromagnetik. Sekumpulan atom demikian pula dapat berikatan satu sama
lainnya, dan membentuk sebuah molekul. Atom yang mengandung jumlah proton dan
elektron yang sama bersifat netral, sedangkan yang mengandung jumlah proton dan
elektron yang berbeda bersifat positif atau negatif dan disebut sebagai ion.
Atom dikelompokkan berdasarkan jumlah proton dan neutron yang terdapat pada
inti atom tersebut. Jumlah proton pada atom menentukan unsur kimia atom
tersebut, dan jumlah neutron menentukan isotop unsur tersebut.”
Seluruh siswa beserta Bu Dewi
terdiam tak bekutik ketika mendengar penjelasan pengurus perpustakaan tersebut.
Sebuah jawaban yang rinci dan begitu ilmiah dikeluarkan oleh Ilham si pengurus
perpustakaan. Seluruh siswa siswi dan Bu Dewi pun menaruh decak kagum padanya.
Tak lama kabar tentang
kecerdasan pengurus perpustakaan tersebut menyeruak ke seantero sekolah ibarat
virus. Siswa–siswi dan para guru seringkali membicarakan tentang kecerdasan
Ilham. Sampai suatu ketika Kepala sekolah memanggil anak itu ke ruangannya.
Ilham masuk ke ruangan kepala
sekolah dengan gemetar. Ia sadar kalau ia hanyalah petugas perpustakaan.
Jantungnya semakin berdebar ketika Pak Kepala sekolah menyuruhnya duduk di
hadapannya. Perasaan yang sama seperti yang ia rasakan saat dipanggil kepala
sekolah saat duduk di bangku sekolah dasar 5 tahun silam.
Pak Kepala sekolah pun bertanya
padanya, “Ham, kapan terakhir kali kamu sekolah?”
“Sampai kelas 5 SD pak?” jawab Ilham.
“Lalu bagaimana kamu bisa punya
pengetahuan melebihi anak SMA?” tanya kepala sekolah.
“Sa.. .saya tiap hari belajar
pak. Saya bekerja di perpustakaan sambil belajar pak. Tiap hari saya baca
buku–buku di perpustakaan,” jawab Ilham sambil tertunduk dan merasa bersalah.
“Oh, kalau begitu bagaimana
kalau kamu sekalian saja sekolah di sini?”
“Ta. . . .tapi pak saya kan cuma
pagawai perpustakaan yang sempat sekolah hanya sampai kelas 5 SD,” jawab Ilham gugup.
“Kamu akan di tes dulu, kalau
kamu lolos kamu bisa sekolah disini dengan dana beasiswa.”
Ilham terkejut dan mengucapkan
trimakasih pada Kepala sekolah. Ia berjanji akan belajar lebih giat lagi agar
bisa diterima di sekolah itu.
Tanpa kesulitan berarti Ilham
pun melewati ujian tersebut dan diterima masuk sekolah di SMA Garuda Bangsa
dengan biaya ditanggung dari dana beasiswa. Kepala sekolah pun kini berdecak
kagum pada kepandaiannya. Dan ia berharap anak itu dapat mengharumkan nama
sekolah.
***
Setahun Kemudian
Bu Nurhayati memeluk dengan erat
anak sematang wayangnya sambil menitikkan air mata. Ilham pun turut menitikkan
air mata kala ibunya menangis sambil memeluknya. Percis seperti kejadian enam
tahun silam ketika Ilham dikeluarkan dari SD tempatnya belajar.
Tapi tidak dengan kali ini. Sang
ibu menitikkan air mata tanda bahagia. Ia begitu terharu ketika Ilham pulang ke
rumah menunjukkan sebuah medali yang mengalung di lehernya. Itu adalah medali
emas, tepatnya medali emas olimpiade science
antar SMA Se-Indonesia. Ilham telah mempersembahkan medali itu untuk dirinya,
sekolahnya, dan yang lebih penting baginya untuk ibunya tercinta yang selalu
mendoakannya siang dan malam.
Suara tepuk tangan pun
bergemuruh ketika sang ibu mendekap anaknya dan terharu bahagia. Teman–teman
Ilham dan para guru–guru beserta kepala sekolah mengantarkannya sampai ke rumah
kala itu sebagai bentuk penghargaan telah mengharumkan nama sekolah. Sebuah
sekolah yang hanya terletak di sebuah desa yang jauh dari teknologi kota.
Bu Nurhayati pun mengucap rasa
syukur yang sebesar–besarnya karena sebagian doanya telah terkabul. Dan ia
semakin percaya suatu saat kelak anaknya bisa menjadi ilmuan yang sukses. Bukan
hanya mengharumkan nama sekolah, tapi juga nama bangsa dan negara.
***
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon