Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: "Maafkan Ibu, Nak!"


Di sebuah malam, Lasmi masih belum tidur. Ia melihat anaknya yang baru masuk SD telah tertidur lelap di kamarnya. “Sabar ya nak,” ucapnya dalam hati seraya menangis meneteskan air mata.

Di depan pintu, ia menanti kedatangan suaminya dengan emosi yang bercampur aduk, antara ingin menangis dan ingin marah. Telah beberapa minggu ini, Bram suaminya, selalu pulang lewat tengah malam. Bahkan ia seringkali pulang dalam kondisi mabuk.  Bram memang selalu memberikan nafkah untuknya dan anaknya. Namun sikapnya yang hampir selalu pulang dalam kondisi mabuk dan selalu marah-marah ketika dinasehati membuat kesabarannya hampir habis. Mereka kerap kali bertengkar.

Bahkan puncaknya malam itu. Bercak merah berbentuk bibir di baju suaminya membuat Lasmi semakin naik pitam.

“Ini apa mas, mas dari mana aja mas. . . .!!!” teriak Lasmi dengan penuh emosi.

“Udah lah terserah, aku mau ngapain aja, kamu diem aja. . .!!!” ucap Bram yang tengah mabuk.

Malam itu lagi-lagi terjadi pertengkaran di antara mereka berdua. Bahkan Bram menampar istrinya yang tak terima dengan kelakuannya. Saat itu Bayu, anaknya yang masih SD terbangun dan mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia amat sedih dan takut melihat pertengkaran kedua orang tuanya itu. Lasmi yang telah habis kesabarannya pun menuntut cerai. Dan mereka pun berpisah setelah sidang perceraian beberapa waktu kemudian.
***

Setelah perceraian itu tak sekalipun Bram menunjungi Lasmi dan anaknya. Bahkan tak sepeserpun ia memberikan uangnya untuk mantan istri dan anaknya bertahan hidup. Tapi Lasmi bertekad untuk berusaha menghidupi dirinya dan anaknya, apapun caranya.

“Bapak kemana bu?” tanya Bayu yang tak ingin mereka berpisah.

Lasmi tak kuasa menjawabnya. Ia hanya memeluk dan mengelus rambut anaknya sembari meneteskan air mata.

Keesokan harinya ia mencari pekerjaan di pabrik-pabrik. Namun ia tak mendapat pekerjaan. Ia hanya lulusan SMP. Itu pun ijasahnya entah kemana. Akhirnya ia bekerja sebagai buruh cuci. Ia keliling-keliling untuk menawarkan jasa cuci baju pada warga sekitar. Namun tak banyak yang ia dapatkan. Bahkan untuk makan sehari-hari saja sulit.  

Semua barang-barang berharganya ia jual untuk makan sehari-hari. Mulai dari mas kawin, dan peralatan rumah tangga. Namun beberapa bulan kemudian ia harus memutar otak lagi. Pekerjaan sebagai buruh cuci tak cukup untuk menghidupinya dan anaknya. Ia terpaksa harus berutang pada tetangga-tetangganya untuk kebutuhan sehari-hari.

Sudah tiga bulan ini Bayu tak membayar uang sekolah. Ia sudah diperingatkan dari pihak sekolah untuk membayar uang iuran sekolah. Jika tidak, maka Bayu akan dikeluarkan dari sekolah. Lasmi pun menghadap ke kepala sekolah untuk memberikannya waktu satu atau dua bulan lagi agar anaknya tak dikeluarkan dari sekolah. Baginya, pendidikan anaknya adalah yang terpenting. Kepala sekolah pun hanya memberikan batas hingga satu bulan ke depan, jika tidak, maka anaknya akan dikeluarkan dari sekolah.

Dalam kondisi tertekan, belum lagi tetangga-tetangganya managih hutang yang tak kunjung terbayar, ia bingung dan merasa amat depresi. Ia merasa menyesal menuntut cerai pada suaminya, walau kelakuan suaminya yang kerap mabuk dan bersenang-senang dengan wanita lain benar-benar membuatnya naik pitam.

Tekanan itu rupanya membuatnya gelap mata. Ia berjalan seorang diri di gelapnya malam. Di bawah temaram lampu-lampu jalan ia berjalan menuju sebuah gang tanpa membawa lentera hati yang telah padam oleh tekanan ekonomi. Gang Dodol namanya, gang yang sudah amat terkenal sebagai tempat lokalisasi terbesar di negeri ini. Ia mendatangi sebuah wisma dan bertemu dengan seorang ibu-ibu paruh baya. Dengan hati menangis ia mendaftar sebagai PSK di wisma tersebut. Ia tak ingin melakukan semua ini. Namun di satu sisi ia merasa terpaksa karena tekanan ekonomi yang mendera.

Di hari-hari berikutnya, ketika anaknya telah tertidur lelap. Ia berangkat ke luar tuk bekerja di gang tersebut. Dengan berpakaian ketat ia berdiri di pinggir jalan. Membawa lelaki-lelaki hidung belang tuk membeli tubuhnya. Awalnya ia takut, namun lambat laun ia mulai terbiasa dengan pekerjaan terkutuk itu. Hingga ia sama sekali tak merasa berdosa.

Setelah Lasmi melakukan pekerjaan itu, Bayu tak jadi dikeluarkan dari sekolahnya. Lasmi telah membayarkan uang sekolah anaknya. Ia juga telah membayar hutang-hutangnya pada tetangga-tetangganya. Secara perekonomian, hidupnya semakin meningkat. Walau Bayu sama sekali tak tau perbuatan ibunya.

“Ibu sekarang sudah punya uang, dari mana bu?” tanya Bayu yang masih polos penasaran.
Lasmi terdiam sejenak dan menunduk, “Ibu bekerja nak, untuk Bayu,” ucapnya menahan tangis.

Namun tentu cibiran dari tetangga-tetangganya yang melihatnya selalu keluar malam dan pulang menjelang subuh sudah mulai terdengar. Bahkan anaknya yang menjadi korban. Setiap kali pulang sekolah, tetangganya selalu menatap anak itu dengan tatapan yang aneh. Terkadang pula terdengar cibiran-cibiran tentang ibunya yang Bayu sendiri masih belum mengerti.

“Bu, mereka membicarakan ibu, memangnya ada apa bu?” tanya Bayu.

“Oh, ehmmm. Tidak tau nak. Sudah lah biarkan saja,” ucap ibunya.
***

Sudah beberapa bulan ini Lasmi bekerja sebagai PSK di gang Dodol. Kehidupanya mulai mapan lantaran ia wanita favorit para lelaki hidung belang disana. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam untuk meluangkan malam bersama Lasmi. Kini Lasmi bahkan sudah bisa membeli handphone, TV, bahkan perhiasan.

Cibiran dari tetangganya semakin terdengar. Namun Lasmi kini telah berubah. Ia bukan lagi melakukan hal itu hanya untuk kebutuhan ekonomi. Mata hatinya telah dibutakan. Bahkan tak peduli walau setiap malam Lasmi harus meninggalkan anaknya sendirian di rumah.

Malam itu, ketika berdiri di pinggir jalan tuk mencari lelaki hidung belang, tiba-tiba seorang lelaki hidung belang mendekatinya dari belakang.

“Hai. . . .” sapa lelaki itu.

Lasmi membalikkan wajahnya. Namun sontak Lasmi terkejut, begitupun lelaki itu. Rupanya itu adalah Bram, mantan suaminya yang memang adalah seorang lelaki hidung belang. Ia berlari sekuat tenaga menghindari lelaki itu.

“Lasmi. . . .Lasmi tunggu kau Lasmi. . .!!!” teriak Bram yang mengejarnya.

Malam itu rupanya bukan hanya bertemu dengan Bram yang membuatnya sontak terkejut. Malam itu sebuah cahaya terang dan asap mengepul terlihat di langit. Mobil pemadam kebakaran mengiung-ngiung mendekati sumber api. Lasmi berlari sekuat tenaga ke tempat itu dengan perasaan amat khawatir.
***

Enam bulan kemudian

Lasmi melihat sepasang suami istri yang sedang mengais sampah,

“Ayo semangat bu, kita harus nyari uang buat anak kita,” ucap pemulung itu.

Lasmi menitikkan air matanya yang menetes ke sebuah gundukan tanah. Bram merangkulnya tuk menenangkan hatinya.

“Harusnya saya nggak pernah bekerja seperti itu mas, nggak pernah. Seharusnya saya nggak pernah ninggalin Bayu sendiri malam hari mas, nggak pernah,” ucap Lasmi sembari menangis menyesali perbuatannya.

“Hmmm ya, saya juga seharusnya nggak bersikap seperti dulu. Saya juga seharusnya nggak pernah pulang malam hanya untuk mabuk-mabukan dan bersenang-senang,” ucap Bram yang juga amat menyesal.

Siang itu mereka menabur bunga di makam anaknya. Enam bulan yang lalu Bayu meninggal karena rumahnya kebakaran. Saat kejadian, Bayu sedang tertidur, seluruh pintu dan jendela rumahnya terkunci. Selain itu api cepat sekali menjalar. Tetangganya tak mampu menyelamatkannya.

Lasmi menyadari bahwa perbuatannya amatlah salah. Jika Bayu tau apa yang dilakukannya ia pasti kecewa sekali pada ibunya. Lasmi menyadari kalau setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Termasuk masalah ekonomi yang waktu itu menderanya. Ia seharusnya bekerja keras, bukannya menyerah dan pasrah pada nasib lalu berbuat sesuatu yang terkutuk hanya untuk uang. Ia seharusnya tak pernah mendatangi gang itu ketika ditekan masalah ekonomi, ia seharusnya datang pada Tuhannya dan bersujud di kala malam dan meminta kemudahan. Bram pun menyesal dengan perbuatannya. 

Kini Lasmi dan Bram kembali bersama lagi, walau tanpa Bayu anak mereka satu-satunya. Walaupun Bayu takkan pernah kembali. Tapi mereka ingin memulai lagi dari awal, bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Lasmi tak ingin ada Lasmi-Lasmi yang lain, yang mengatasnamakan untuk keluarga dengan mencari rejeki seperti itu. Padahal keluarga lah yang menjadi korban. Ia berharap lokalisasi itu segera ditutup oleh pemerintah setempat.

~***~

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon