Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Kegigihan Air Mengalahkan Batu


Di suatu hutan yang lebat singa menyebut dirinya sebagai raja hutan.Singa merasa dirinya makhluk terkuat di hutan. Ia meraung begitu gagahnya dan semua makhluk hutan lainnya takut padanya. Namun ternyata ada yang menentang pengakuan tersebut. Ada yang merasa bahwa dirinya lebih kuat dari singa.

Mencengkram tanah tak terlepaskan, disana ia berada. Di tengah kebisuannya, di tengah kediamannya ternyata ia merasa sebagai yang terkuat di hutan itu, bahkan lebih kuat dari singa. Ialah batu, yang berda di samping pohon pinus dan telah berada di sana dari waktu yang lampau.

Si batu amat sombong, ia sering berkata pada rumput, pohon, ataupun hewan di sekitarnya bahwa ialah si raja hutan. Namun tentu  pasti banyak yang menentang. Kayu pun mencoba menentangnya, ia menjatuhkan sebagian dari dirinya dan membenturkannya pada si batu. Namun sayang, ternyata kayu patah oleh kerasnya batu. Batu pun semakin sombong.

Kesombongan si batu yang merasa dirinya paling kuat di hutan itu mulai tersiar di seluruh hutan dan sampai di telinga Sang Singa si raja hutan. Mendengar hal itu, bangsa singa geram. Mereka berencana untuk mengajak si batu bertarung dan membuktikan siapa yang kuat.
***

Keesokan harinya rombongan singa mulai menuju tempat batu besar itu berada. Mereka tak terima jika ada yang mengklaim sebagai raja hutan. Karena singalah raja hutan yang sebenarnya. Sesampainya di sana, salah satu singa menantang batu untuk beradu kekuatan. Si batu dengan sombongnya menyambut tantangan tersebut dengan tanpa rasa takut sama sekali. Sang batu hanya diam saja dan tak bergerak sedikitpun, sementara si singa mulai maju dan menunjukkan taring-taringnya yang begitu tajam. Singa itu pun mencoba tuk menggigit batu dengan taring-taring yang setajam pisau belati itu. Namun batu terlalu besar dan terlaru keras untuk digigit. Singa pun menyakar-nyakar batu tersebut, namun apa daya justru kukunya yang patah. Ia mencoba mundur sejenak, lalu lari secepat mungkin dan menyeruduk batu itu sekuat tenaga.

Malang, singa itu pun terjatuh, dari kepalanya meneteskan darah setelah membentur batu itu. Ia pun tewas. Singa yang lain pun tak ada yang berani melawan batu itu dan mereka mengakui si batulah yang terkuat. Si batulah raja hutan yang sebenarnya.
***

Bertahun-tahun berlalu dan sampai saat ini si batu masih diakui sebagai yang terkuat di hutan itu. Ia semakin sombong saja, siapa saja yang melewatinya selalu direndahkan, dihina dan ia selalu menyombongkan dirinya.

Itulah cerita yang kudengar tentang kesombongan si batu dari pohon, dan juga hewan-hewan di hutan. Tak ada yang berani menentang kesombongan si batu, karena ia amat keras dan siapa saja tak mampu menghancurkannya. Semuanya pasrah pada kesombongan si batu, kecuali,. . . .kecuali ayah.

“Kita harus bisa menghancurkan kesombongan si batu, kita harus bisa menghancurkan kerasnya batu ituuuu. . .!!!!” kata ayah di depan jutaan tetes air.

Ayah adalah pemimpin di kerajaan air. Aku salut pada semangatnya, walaupun kita ini bangsa air yang lembek, yang lemah, tapi ayah selalu menyemangati semua tetes air agar kita harus kuat dan jangan menyerah, bahkan pada si batu yang keras itu.

Semua memang tak percaya, tak yakin kalau bangsa air bisa menghancurkan si batu, tak terkecuali aku. Kami memang setetes air, kami memang jauh lebih lemah dari pada kerasnya si batu. Tapi ayah, ayah tak sedikitpun gentar. kulihat tangannya mengepal, dan ekspresinya begitu menggebu saat berdiri di hadapan jutaan tetes air dan meneriakkan semangat pada kami kalau kami mampu menghancurkan kesombongan si batu.

Kemudian ada setetes air yang bertanya pada ayah ,”rajaaa, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan batu yang keras itu?”

Ayah pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia  menundukkan mukanya dan berbalik arah. Kasihan ayah, ia punya semangat yang menggebu namun hingga saat ini belum menemukan caranya untuk mengalahkan si batu. Aku tau ia tak mudah menyerah, aku tau ia selalu memikirkan hal itu, aku tau dia, oh ayah.
***

Hingga malam kian larut ia belum jua tidur. Aku tau ayah memikirkan dan terus memikirkan bagaimana caranya mengalahkan batu. kulihat ia berjalan ke luar di tengah gelapnya malam. Diam-diam aku mencoba mengikutinya dari belakang. Aku hanya ingin tau kemana ayah hendak pergi di tengah malam begini. Kulihat ayah melihat batu besar itu. Ia menatapnya, dan menghampirinya, sedangkan aku melihatnya di balik persembunyianku. Ayah begitu berani mendekati batu itu, entah apa yang hendak dilakukannya. Semakin dekat langkahnya dengan sang batu aku semakin cemas. kulihat ayah berbincang dengan batu itu, namun kutak tau apa yang sedang dibicarakannya. Dari kepalan tangannya dan raut wajahnya kulihat ayah memendam emosi pada batu itu, sementara si batu hanya tersenyum sinis padanya.

Benar saja, kulihat ayah semakin tak kuasa menahan emosi. Entah apa yang diucapkan batu hingga ayah begitu naik pitam. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia membenturkan dirinya pada si batu dengan begitu keras. Namun si Batu tak terusik sedikitpun. Aku tak tega melihat ayah seperti itu. Aku pun berteriak memanggilnya dan menghampirinya, “Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh, sudahlah ayah sudah. . .!!”

Aku mencoba menarik ayah, namun ia tetap berusaha melawan si batu itu, “Suahlah nak, biarkan ayah memberi pelajaran pada batu itu, ayah tidak bisa diam saja, ia telah merendahkan bangsa air,ucap ayah dengan penuh emosi.

Aku mencoba menenangkannya dan berusaha menariknya pulang. Ayah pun tak sadarkan diri karena kelelahan dan akibat benturan keras dengan batu. Kubawanya pulang dan kurebahkan badannya. Kasihan ayah. “Aku tak mau ayah begini, sudahlah ayah, batu itu memang tak mungkin kita kalahkan,” kuberucap padanya yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.

Walaupun telah terluka ketika melawan si batu, ayah yang merupakan raja dari bangsa air tak menyerah begitu saja. Semangatnya tak mudah pudar. Namun aku masih tak mengerti mengapa ayah sebegitu dendamnya pasa si batu. Aku tak percaya jika ayah sedendam itu hanya karena si batu merasa paling kuat di hutan ini, merasa sebagai raja hutan. Aku tau ayah bukan ingin menjadi raja hutan, ia bukanlah orang yang angkuh. Aku yakin ayah menyembunyikan sesuatu tentang dendamnya pada si batu itu.

Kucoba tuk menghampiri ayah ketika ia sedang duduk sendiri. Aku bertanya padanya pelan-pelan,

“Ayah, kita ini cuma setetes air, mana mungkin kita bisa menghancurkan batu yang sekeras itu. Memang ada apa yah, kenapa ayah sampai senekat itu? Kenapa ayah sepertinya begitu dendam pada batu itu?”

Mendengar pertanyaan itu, ayah hanya terdiam seribu bahasa. Kulihat mulutnya menutup rapat-rapat, ia tak mau menjelaskan padaku tentang dendamnya pada batu. Ayah hanya bungkam, sama seperti dahulu kutanyakan tentang ibu, saat kutanyakan dimana ibu. Mungkinkah keduanya ada kaitannya? Yah, entahlah, aku tak tau. Mungkin suatu saat ayah akan bicara padaku.
***

Di depan seluruh rakyatnya ayah kembali berpidato. Kali ini semangatnya semakin kencang. Ayah sudah seperti pahlawan proklamasi yang menyulut rakyatnya tuk berjuang melawan penjajah. Ia berbicara begitu menggebu-gebu dan sesekali menjulurkan kepalan tangannya ke atas. Di depan jutaan tetes air ayah berucap bahwa kita bukanlah meteri yang lemah. Kita bisa mengalahkan batu jika tekad kita kuat.

Kini pidatonya tak terlalu sia-sia, ada Ali, Samsul, dan Mahmud yang juga ikut berteriak dan percaya kalau kita bisa mengalahkan batu. Kemudain satu per satu tetes air yang lain pun percaya dan meneriakkan semangatnya. Kulihat mata ayah berbinar, ia terharu dan ia semakin semangat meneruskan pidatonya.

Di pidatonya ayah bercerita tentang batu di Jepang. Walaupun batu bisa menghancurkan gunting, tapi pernah disana batu bisa dikalahkan kertas yang sepertinya lemah dan mudah sobek. Itu ujar ayah menyemangati rakyatnya. Ayah juga ingin membuktikan pada dunia kalau di Indonesia ada batu yang bisa dikalahkan air.
***

Setelah berpidato hari itu, kudekati ayah yang sedang mengusap keringat di dahinya. kulihat matanya berkaca-kaca dan senyum terukir di bibirnya. Ia nampak letih usai membakar semangat rakyatnya. Tapi ia merasa amat senang kini rakyatnya percaya dan yakin bisa mengalahkan batu. Tapi saat kuhampiri lebih dekat, kudengar ayah berucap sendiri, “Akan kubalasksan dendamku batu, aku akan menhancurkanmu yang telah membunuh istriku dan merendahkan bangsa air.” Samar-samar itu yang kudengar. Aku begitu terkejut mendengar itu.

“Ayah, apa benar ibu. . . . ibu dibunuh oleh batu itu?tanyaku pada ayah dengan suara yang bergetar.

Ayah pun terkejut melihat kehadiranku, namun ia masih enggan menceritakan padaku soal itu.

“Sudahlah nak, tak usah kita bahas,kata ayah sambil memalingkan wajahnya.

“Tapi ayah, ceritakan padaku ayah, aku berhak tau,aku terus mendesaknya untuk menceritakan hal itu padaku. Sampai akhirnya ia mau menceritakan padaku soal itu.

Waktu ayah masih jadi rakyat biasa, dan aku terlalu kecil tuk mengerti sesuatu, Ayah sedang berjalan-jalan dengan aku dan ibu. Lantas si batu menunjukkan kesombongannya dengan menghina kami bangsa air. Ia menyebut bangsa air sebagai bangsa yang lemah, tak seperti batu yang kuat. Lambat laun kesabaran ayah mulai terkikis. Ia pun menghampiri batu dan berkelahi dengannya. Namun ibu begitu sayang padaku dan ayah menghalau kami berdua hingga akhirnya ibu yang terlindas oleh batu itu. Itu yang ayah ceritakan padaku. Dan sejak saat itu ayah bertekad untuk menjadi raja, untuk membela bangsa air dan menghancurkan batu itu.
***

Saat kami sedang di rumah, salah seorang pengawal mengetuk pintu istana. Nafasnya terengah-engah, pengawal itu nampak tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran dari keningnya.

“Raja. . .raja. . .raja gawat raja. . ,kata pengawal itu.

“Ada apa, gawat apanya?” kata ayah bertanya dan ikut cemas.

“Ratusan tetes air terbunuh saat melewati sekitar batu.

Mendengar berita itu ayah naik pitam. Hampir-hampir saja urat lehernya keluar. Ayah bergegas keluar dan menyuruh pengawal untuk mengumpulkan rakyat.

Dengan semangat menggebu ayah membakar semangat seluruh rakyat. Saat itu ayah mengatakan bahwa sejak dahulu kita telah berhasil mengalahkan api, dan saat ini pun kita pasti bisa mengalahkan batu.

“Ayo kita semua maju menuju batu ituuuu. . .. !!!!” ucap ayah memerintahkan seluruh rakyatnya dengan penuh semangat.

Kita semua beserta jutaan tetes air tiba di hadapan batu itu. Namun batu itu nampak tak gentar menghadapi kami. Ia malah menunjukkan kesombongannya dan menghina bangsa kami. Batu itu berucap bahwa keinginan air untuk mengalahkan batu hanyalah mimpi di siang bolong. Hal itu semakin menyulut kemarahan kami.

Ayah memerintahkan seorang prajurit untuk maju melawan batu. Prajurit yang gagah berani itu sama sekali tak gentar dan langsung maju mendekati si batu. Ia masuk melalui akar pohon yang ada di samping batu, lalu naik ke atas melalui batang pohon itu hingga tiba di ujung ranting. Kemudian di ujung ranting ia melompat ke bawah dan membenturkan dirinya ke batu sekeras mungkin. Prajurit itu pun tewas, dan si batu hanya merasa sedikit geli.

Lalu satu per satu pasukan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan satu per satu di antara mereka tewas. Mereka mengorbankan nyawa mereka demi membela bangsa air.

“Ayah, sudahlah ayah ini sia-sia, ini pengorbanan yang sia-sia.” Aku memohon pada ayah tuk menghentikan semua ini.

Tetes demi tetes air tewas, nyawa demi nyawa melayang. Tapi ayah tak menggubris perkataanku. Kemudian ayah melangkahkan kakinya kedepan dan mendekati batu itu. Sempat terdengar perkataan terakhirnya, “Maafkan ayah nak.” Dan kemudian ayah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan prajuritnya, membenturkan dirinya pada batu dengan titik yang sama. Aku pun tak kuasa melihat ayah meluncur dari ujung ranting dan membenturkan dirinya pada batu yang keras. Akupun tak kuasa membendung air mata.

Namun pengorbanan ayah menyulut semangat seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya satu per satu maju dan melakukan hal yang sama. Mereaka pun tewas satu per satu. Aku pun merasa tersulut dengan pengorbanan ayah, dan juga pengorbanan seluruh rakayat air. Dengan semangat, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini giliranku.”

Dengan penuh keyakinan aku berjalan mendekati batu itu, kemudian masuk ke tanah dan menelusuri akar pohon, merasupi batang mealalui xilem, dan aku telah tiba di ujung ranting. kulihat batu di bawah sana, aku pun berteriak, “Ayahhhhhhhhhhhhh. . . . Ibuuuuuuu. . . .!!!!!!” Aku meneriakkan nama mereka berdua. Aku pun meluncur ke bawah dengan kecepatan gravitasi. Lalu berbenturan dengan batu yang keras itu. Sempat kudengar batu mulai berteriak kesakitan. Dan sampai disinilah aku bisa menceritakan perjuanganku, perjuangan ayah, dan semua bangsa air. Semoga perjuangan kami tak sia-sia.
***


Tahun demi tahun berlalu, puluhan tahun, dan ratusan tahun kemudian seluruh keturunan bangsa air meneruskan perjuangan meraka. Mereka pun melakukan hal yang sama dengan mengorabankan nyawa mereka. Dan setelah ratusan tahun berlalu, selama itu juga batu itu dijatuhi air pada titik yang sama. Akhirnya batu itu pun hancur, hancur bersama kesombongannya. Dan sejak saat itu tak ada lagi kesombongan di hutan itu. Namun bangsa air menolak dinobatkan sebagai raja hutan. Sehingga mahkota raja hutan kembali diberikan pada singa.

=======================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon