Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Pintu Ajaib Ali


Seorang pria bertubuh kurus sedang duduk mengetam kayu yang akan ia jadikan kusen sambil melamun dengan tatapan yang nanar. Malam ini ia kerja sampai malam untuk membuat pintu di bengkel kayu kecil miliknya yang baru beberapa bulan ini ia rintis. Dalam lamunan, ia mengingat kembali perkataan istrinya malam kemarin yang secara keras menghardiknya.

“Mas, mas kenapa sih pake keluar segala dari pekerjaan? Mending kalo usaha mas sekarang bisa menghasilkan, jangankan untuk jalan-jalan kaya dulu, sekarang buat makan aja susah mas...!!” tegas Marni, isrinya.

Ali menunduk, kemudian mendekati istrinya dan mengusap pundaknya dengan tenang, 

“Sabar ya, Aku akan usaha sekeras mungkin buat kamu,” ucapnya tenang.

“Sabar... sabar sampai kapan mas...?! Dulu waktu mas masih kerja jadi pegawai, seenggaknya kita bisa liburan ke Pangandaran atau ke Jogja. Nah sekarang gak pernah sekalipun mas .. gak pernah, untuk makan saja sulit.”

“Aku janji sama kamu, suatu saat kita bakal bisa jalan-jalan lagi kemanapun. Ya, kemanapun, bahkan keluar negeri sekalipun.”

“Ahh nggak usah mimpi deh mas. Mas pikir dengan bekerja bikin pintu setiap hari bisa bikin kita kaya?!!!!” teriak istrinya menggema ke ruangan rumahnya yang mungil.

Mengingat ucapan itu, hari ini Ali bekerja keras membanting tulang untuk berusaha membereskan pekerjaan membuat kusen dan pintu. Bukan pesanan orang, tapi untuk mengganti pintu rumahnya yang telah rusak dimakan rayap. Ia mengerjakan itu karena hari ini sedang tak ada pesanan. Dan ia pun tahu kalau apa yang ia lakukan mungkin memang takkan membuatnya kaya dan bisa membawa istrinya jalan-jalan sampai ke luar negeri. Tapi ia akan membuat pintu yang terbaik agar setidaknya sedikit menyenangkan hati istrinya yang sering kesal lantaran pintu rumahnya sudah rusak.

Ia pun menyelesaikan kusen dan pintu tersebut setelah lewat tengah malam. Hari ini ia tak pulang ke rumah. Selain karena malam telah larut, ia pun tahu, istrinya pasti akan marah-marah lagi seperti malam kemarin jika ia pulang tanpa membawa uang. Di bengkel kayu yang mungil itu, ia terlelap diantara serbuk-serbuk kayu hasil mengetam.

Dalam tidurnya, ia bermimpi aneh sekali. Sebuah mimpi yang sama sekali tak pernah ia sangka. Dalam mimpinya itu, ia bertemu dengan doraemon. Doraemon mengeluarkan pintu ajaib dari kantongnya dan memberikannya pada Ali. Ali yang tak mengerti menerima pintu ajaib itu.

Seketika, ketika subuh telah tiba, Ali terbangun dari tidurnya. Keringat bercucuran dari keningnya seolah habis bermimpi dikejar setan. Mimpinya memang aneh dan kedengarannya lucu. Ia sendiri tak mengerti bagaimana ia bisa bermimpi bertemu doraemon, sementara ia tak pernah menonton doraemon di televisi kecuali saat ia masih kecil.

Setelah pagi tiba, ia pulang ke rumah dengan membawa pintu yang sudah jadi itu dengan sebuah gerobak. Tergopoh-gopoh Ali mendorong gerobak, dahinya bercucuran keringat. Istrinya yang cantik telah menunggunya di teras depan rumah sambil menyapu-nyapu teras. Bukan untuk menyambutnya, tapi dari ekspresinya ia terlihat kesal dan akan meluapkan emosinya ketika Ali datang.

“Kemana aja pagi baru pulang??!!!” bentak istrinya.

“Membereskan pekerjaan ini,” jawab Ali pelan sambil menunjuk pintu yang dibawanya di gerobak.

“Buat apa bawa pintu, bawa duit nggak??!! Kalo mas nggak bawa duit terus kita mau makan apa massss??!!! Mau makan pintu???!!!” tegas Marni.

Ali hanya menjawab pelan, “Sabar ya mah, mudah-mudahan nanti ada rezeki. Pintu ini buat ngeganti pintu depan rumah kita yang mulai dimakan rayap,” ucap Ali sambil mengangkat pintu dari gerobak.

“Ahhhh buat apa pintu kaya begini!!!” tukas istinya sembari mendorong pintu yang diangkat Ali dari gerobak hingga pintu itu jatuh keras.

Ali menatap istrinya tajam, seolah mulai naik pitam. Sadar keributan itu mulai dilihat warga, istrinya segera masuk ke rumah. Ali pun membendung emosinya. Ia menundukkan tubuhnya dan melihat kondisi pintu yang dibuatnya. Ada bagian yang belah di kayu bagian bawah pintu. Pintu ini tak bisa digunakan lagi, kerja kerasnya beberapa hari kemarin hingga larut malam tadi sia-sia. Ali pun membawa pintu itu ke belakang rumahnya dan menyandarkannya di dinding. Menatap pintu itu sembari menghembuskan nafas panjang.

Ketika malam tiba, istrinya telah tertidur lelap dan mengunci pintu kamarnya, sementara Ali tidur di ruang tamu beralaskan tikar. Ia berbaring menatap langit-langit rumahnya yang berlubang di beberapa bagian. Kemudian ia terlelap.
***

Pagi itu, ia dikejutkan ketika melihat istrinya keluar dari kamarnya dengan menenteng tas besar.

“Kamu mau kemana?” tanya Ali bingung.

“Aku mau pergi mas. Aku udah nggak tahan hidup sama kamu. Aku udah nggak tahan hidup miskin. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku mas,” jawab istrinya sambil melenggang keluar.

“Lebih baik kita selesaikan masalah ini. Jangan pergi begitu. Percaya sama aku, aku bisa bahagiain kamu, aku bisa ngajak kamu berlibur lagi kemanapun kamu mau suatu saat nanti.”

“Udah lah mas, nggak usah membual. Kesabaranku udah habis mas. Untuk makan saja sulit. Utang kita pada tetangga sudah menumpuk mas. Aku malu masss!!!” Marni pun pergi dan Ali tak mampu menahan kepergiannya. Ali hanya termenung dengan mata yang mulai membasah.

Ali pun melangkah ke belakang rumah. Menatap pintu yang menyandar di dinding belakang rumahnya. Pintu yang telah ia buat dengan hasil jerih payahnya. Ia mencoba merenungi apakah pekerjaannya membuat pintu suatu saat nanti bisa membahagiakan istrinya. Tapi ia selalu berusaha dan yakin akan impiannya.

Ketika itu, Ali membayangkan istrinya. Dalam pikirannya ia ingin mengajak istrinya kembali ke rumah. Namun ia tak tahu bagaimana caranya. Nampaknya istrinya sudah amat marah. Ali kemudian menyentuh handle pintu yang ia buat itu dan menariknya. Terkejutlah ia ketika apa yang ia lihat bukanlah dinding belakang rumahnya, tapi menembus ke jalan beberapa puluh meter di depan rumahnya. Dan tiba-tiba saja istrinya yang baru saja pergi dari rumah berada di hadapannya. Istrinya pun terkejut bukan main ketika melihat sebuah pintu yang dibuka Ali tiba-tiba muncul di tengah jalan.

Ali segera menarik istrinya masuk melalui pintu ajaib itu.

“Mas.... sebenernya ini apa sih mas....??!!” tanya istrinya heran.

“Aku juga nggak tau. Pintu ini tiba-tiba seperti pintu ajaib. Saat aku membayangkanmu tiba-tiba ketika pintu ini dibuka tepat berada dihadapan kamu.”

“I.... ini pin... pintu ajaib..?!!” istrinya tercengang.

“Ya, tapi yang penting kamu sekarang kembali. Sudahlah jangan pergi lagi!” pinta Ali pada istrinya.

“Mas... kalau ini pintu ajaib, itu artinya kita bisa pergi kemana saja?”

“Aku nggak tau, tapi mungkin saja.”

“Kalau begitu kita coba mas,” sahut istrinya yang tiba-tiba saja kemarahannya pada suaminya memudar.

Mereka berdua pun sepakat mencoba membayangkan sebuah pantai yang indah namun tak ada pengunjung lain. Kemudian mereka membuka pintu itu secara bersamaan. Terkejutlah mereka ketika melihat sebuah pantai yang indah dan sepi. Butiran-butiran pasir putih dan ombak serta desir angin mereka rasakan. Mereka pun melangkah beberapa langkah ke depan, menikmati suasana pantai yang indah. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua, hanya mereka berdua. Mereka menikmati suasana pantai sambil saling tersenyum dan tertawa. Padahal baru kemarin mereka bertengkar. Namun rasa marah dan emosi itu seketika meleleh menjadi rasa bahagia yang tiada terkira.

“Mas, ternyata benar ini pintu ajaib yang bisa membawa kita kemanapun.”

“Ya, ternyata benar.”

Kemudian mereka pun mencoba ke tempat yang lain, ke hutan, ke pegunungan, ke gurun,  dan ternyata memang benar, pintu itu bisa membawa ke tempat yang dipikirkan oleh yang membuka pintu itu. Setelah puas mencoba, mereka pun kembali ke rumah.

“Mas, kalau begini, kita bisa kaya mas. Kita bilang saja pada orang sekampung kalau mereka bisa pergi ke manapun. Dan mereka bisa membayar pada kita mas.”

“I.. ia tapi....,” jawab Ali agak ragu.

“Ya sudah mas, aku akan bilang sama orang sekampung,” tukas istrinya yang langsung pergi.
.....

Satu per satu warga kampung berdatangan. Semakin hari semakin banyak saja yang ingin mencoba pergi ke tempat yang mereka inginkan melalui pintu ajaib itu. Berita dari mulut ke mulut cepat menyebar bahkan hingga ke kampung lain. Ibarat bulir-bulir kapas yang tertiup angin. Ali dan istrinya pun kebanjiran banyak rejeki dari pungutan biaya para warga kampung yang ingin memakai pintu ajaib itu. Antrian semakin panjang saja, sementara istrinya Ali sibuk memunguti bayaran dari mereka. Bahkan hingga larut malam, dan setelah lewat tengah malam, mereka harus memaksa warga yang masih mengantre untuk pulang.

“Bapak-bapak... ibu-ibu.... hari ini tutup. Dilanjutkan keesokan hari!!” ucap istrinya Ali setengah berteriak.

Semua warga pun pulang ke rumah masing-masing walau diantara mereka banyak yang kecewa.

“Mas..... kita kaya mas.... kita kaya....!!!!” girang istrinya yang memegang segepok uang setelah semua warga pulang.

Ali hanya menatapnya dengan nanar. Ali hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tak ingin menjadikan istrinya gila harta. Ada sedikit rasa penyesalan walau kini istrinya sudah bahagia dan tak marah lagi padanya.
***

Keesokan harinya, di pagi hari sudah mengantre para warga yang ingin mencoba pintu ajaib itu. Marni segera sibuk untuk menagih bayaran dari orang-orang yang mengantre itu. Matahari semakin meninggi hingga turun kembali saat sore hari. Namun antrean warga kelihatannya semakin mengular. Berita adanya pintu ajaib di rumah Ali segera menyebar hingga ke desa lain. Dan warga desa lain yang letaknya jauh pun berdatangan ke tempat itu. Ali hanya geleng-geleng kepala melihat istrinya yang sibuk menagih uang dari orang yang mengantre dari pagi hingga sore ini. Ia melihat istrinya telah dibutakan oleh uang hingga ia melupakan segalanya, lupa sholat, lupa makan, lupa memasak. Ali merenung dan berharap semoga saja pintu itu menjadi pintu biasa saja seperti semula.

Keesokan harinya, di saat matahari baru menyapa dunia, antrean sudah memanjang. Sebelum istrinya menagih uang dari mereka, Ali segera menarik tangan istrinya.

“Kamu kenapa sih mas?!” kaget istrinya yang tangannya ditarik.

“Aku nggak ingin hidup kita seperti ini. Karena uang kamu jadi lupa segalanya, lupa kewajiban kamu untuk beribadah, lupa kewajiban kamu sebagai istri.”

“Mas.... ini kesempatan kita jadi orang kaya mas. Aku cuma nagih uang dari mereka. Aku bosen hidup miskin terus mas....!!!” tukas istrinya meninggikan suaranya.

“Kalau jadinya seperti ini lebih baik kita hidup sederhana saja!” ujar Ali pada istrinya. Namun istrinya tak menggubrisnya dan langsung melenggang untuk membuka pagar rumahnya dan menagih uang pada orang-orang yang telah mengantre.

Dari pagi hingga siang hari antrean tak putus-putus. Warga yang ingin pergi ke tempat yang mereka inginkan dan kembali beberapa waktu kemudian semakin banyak saja. Siang itu, Ali menyuruh istrinya untuk berhenti sejenak untuk sholat Dzuhur dan makan siang. Namun istrinya yang asyik mengumpulkan uang tak menggubrisnya. Bahkan ia menyuruh suaminya untuk mengambilkan makanan untuk ia makan di dekat pintu ajaib itu sambil terus menagih uang pada orang yang mengantre. Ali hanya mengelus dada, mencoba untuk bersabar dan menuruti kemauan istrinya. Namun ketika sore hari, Ali menyuruh istrinya untuk sholat Ashar, istrinya tetap tak menggubrisnya. Ali pun naik pitam. Kesabarannya sudah tak mampu lagi dibendungnya.

“Cukup Marni...!!! Jika sikapmu seperti itu lebih baik pintu ini aku rusak saja...!!” sertak Ali sambil mendorong pintu itu hingga terjungkal dan retak di bagian bawahnya.

Istrinya tercengang kaget, begitupun seluruh warga yang mengantre.

“Mas ini apa-apaan sih...!!” teriak Marni.

“Sudahhhh... bubar semua...!!!” tegas Ali pada semua warga yang mengantre. Semua warga pun bubar dengan menggerutu.

“Mass.... mas kenapa sih mas??” tanya Marni yang sudah merendahkan suaranya.

“Aku cuma nggak mau kamu dibutakan uang. Karena uang kamu lupa semuanya. Kamu harusnya bisa mengatur waktu,” jawab Aku yang mulai meredakan amarahnya.

“Tapi pintunya gimana mas?”

“Nanti malam aku perbaiki. Sudahlah, segera ambil wudhu dan sholat Ashar!” perintah Ali pada istrinya dengan lembut.
***

Malam itu, Ali menghela nafas sejenak. Dihadapannya ada pintu ajaib yang telah ia banting. Pintu ini adalah hasil jerih payahnya di bengkel kayu. Namun dengan emosi, dia sendiri yang membantingnya. Ada sedikit penyesalan telah membanting pintu itu sore tadi. Namun di sisi lain, ada juga penyesalan kalau ia telah membuat pintu yang menjadikan istrinya lupa diri dan gila harta.

Setelah dibanting keras sore tadi, pintu itu agak susah untuk dibuka dari kusennya. Ali mencoba membukanya dengan paksa, tetap tak bisa. Ia berhenti sejenak. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat ketika pertama kali ia menikahi istrinya. Ketika itu, ia masih punya penghasilan tetap yang cukup besar dari perusahaan tempatnya bekerja. Saat itu mereka hidup bahagia dimana canda dan tawa selalu terpancar. Sambil membayangkan masa-masa itu, Ali memegang handle pintu ajaib yang ada dihadapannya itu. Ia pun terkejut karena tiba-tiba saja pintunya dengan mudah dapat dibuka. Namun yang membuatnya lebih terkejut adalah, dihadapannya tampak sebuah ruangan di rumahnya di masa lalu. Saat beberapa tahun yang lalu ia dan istrinya saling bercengkrama. Ali melihat dirinya di masa lalu sedang duduk berdua dengan istrinya. Nampaknya mereka tidak menyadari kehadiran Ali yang melihat dari pintu ajaib itu. Rupanya pintu ajaib itu kini bukan hanya bisa membawa orang untuk pergi ke tempat yang berbeda, tapi juga ke masa yang berbeda.

“Marni, aku bahagia sekali sama kamu,” ucap Ali di masa lalu.

“Ia mas, aku juga bahagia sekali sama kamu. Apalagi kalo kita nanti jadi orang kayaaaaaa banget,” ujar istrinya sembari menyandar di pundaknya.

“Ya... semoga aja ya. Tapi jangan sampe kita diperbudak sama harta. Dan tetap bersyukur dengan kondisi kita sekarang!” nasehat Ali pada istrinya.

“Ia deh mas hehehe...,” tutur istrinya sembari tertawa senang.

Ali segera menutup pintu ajaib itu. Ketika melihat masa lalunya, ia merenung, mengapa kondisi seperti itu tak lagi ada pada kehidupannya dan istrinya. Mereka justru kerap bertengkar, baik saat sulit, maupun saat kebanyakan uang seperti saat ini.

Ali kembali ke kamarnya. Ia berbaring di kasur. Di sampingnya, istrinya telah tertidur pulas sambil tetap memegang beberapa gepok uang yang diperolehnya dari hasil menagih pada warga yang memakai pintu ajaib itu. Ali memandangi istrinya yang tertidur di sampingnya. Entah kenapa, istrinya yang sekarang lebih cinta terhadap uang. Bahkan karena tidak ada uang, ia rela pergi dari rumah dan meninggalkan Ali. Hal itu membuatnya penasaran akan masa depan mereka. Sekejap terlintas di benaknya untuk menggunakan pintu ajaib yang kini bisa ke masa yang berbeda itu untuk melihat masa depan hidupnya dan istrinya.

Ali berdiri di hadapan pintu ajaib itu. Dengan perlahan dibukanya pintu ajaib itu sambil memikirkan bagaimana masa depannya nanti. Sekejab, dari pintu yang dibuka itu terlihat jalanan kota Jakarta yang padat. Dan di hadapannya ada seorang pengemis sedang terduduk di pinggir jalan. Wajahnya tertutup oleh topi. Kakinya hanya satu, pakaiannya compang-camping. Dengan memelas, ia menengadahkan tangannya pada siapa saja yang melintas.

Ali merasa terenyuh dengan pengemis itu. Ia mencoba mendekatinya. Namun baru beberapa langkah mendekat, pengemis itu membuka topinya. Ali menghentikan langkahnya. Dan terkejutlah Ali ketika melihat wajah pengemis itu. Ternyata pengemis itu adalah dirinya sendiri.

“Kenapa aku bisa jadi pengemis?? Kenapa kakiku hanya satu???” tanyanya ketika melihat dirinya di masa depan.

Segera saja ia menutup pintu ajaib itu dengan segudang kata tanya dan raut wajah yang mengkerut. Kemudian ia membayangkan bagaimana masa depan istrinya. Ia pun membuka lagi pintu ajaib itu. Nampak sebuah ruangan di rumah yang megah. Ali melihat ke sekeliling ruangan di rumah itu. Disana ada Marni, istrinya, sedang duduk di sofa di ruang tamunya. Ia tak mengerti bagaimana dirinya di masa depan menjadi pengemis, justru istrinya menjadi orang yang tinggal di rumah semegah ini.

Tak lama kemudian Ali dibuat terkejut ketika seorang pria berkemeja datang tanpa permisi dan menemui istrinya. Ali tak tau siapa dia.

“Sayang pokoknya sekarang nggak ada lagi yang ganggu kita. Pengemis itu sudah aku tabrak, sepertinya kakinya patah dan ia tak bisa lagi datang kesini tuk menganggu kita,” ucap lelaki itu.

Ali tercengang mendengar ucapan lelaki itu.

“Ohhh kacian mantan suamiku yang gembel itu hahahaha,” sahut Marni sambil tertawa.
Mendengar ucapan itu, Ali sangat terkejut dan amat terpukul. “Nggak mungkin, nggak mungkin Marni setega itu padaku,” pekik Ali dalam hati yang tak menduga kalau istrinya bersekongkol dengan lelaki itu untuk mencelakainya dan membuatnya menjadi gelandangan. Ia segera menutup pintu ajaibnya dan membantingnya.


Di malam itu, ia berlari menjauh dari rumahnya, meninggalkan istrinya yang tengah tertidur pulas. 

====================================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Setetes Air


Bulan ini musim kemarau, sudah beberapa bulan hujan tak turun membasahi  butiran tanah di negeri ini. Sungai pun telah mengering hampir tak menyisakah air sama sekali, semuanya tak ada. Kecuali aku yang bersembunyi di balik batu. Bersembunyi dari panasnya pancaran sinar matahari.

Aku hanya setetes air. Aku sendiri yang tersisa. Aku merasa sepi. Semua telah menghilang seiring datangnya musim kemarau di wilayah kami. Aku pun kasihan pada ikan-ikan yang mati, tergelepak tanpa air hingga tubuhnya tak mampu bergerak lagi. Juga pada diriku yang sepi dan hanya sendiri.

“Hai, kamu kenapa, kenapa kamu bersembunyi di balik tubuhku?” kata sang Batu.

“A,,, aku takut sinar matahari, aku takut kalau sinar matahari juga akan melenyapkan diriku seperti keluargaku, dan sahabat-sahabatku yang lain. Aku juga takut kalau pasir yang kering juga akan menelan diriku.” Jawabku gugup.

“Kalau kau terus bersembunyi seperti itu kau akan terus merasa sepi, kau akan sendiri,” Kata Batu menasehatiku.

“Lantas aku harus bagaimana?”

“Pergilah ke lautan, tempat sesamamu berada,ucap Si Batu.

“Lalu bagaimana aku bisa pergi ke laut, laut itu kan sangat jauh?” tanyaku yang tak mengerti bagaimana caranya.

“Pergilah bersama awan,jawab Si Batu padaku.

Aku hanya terpaku mendengar ucapan itu. Aku tak tau kenapa, mendadak aku merasa nyaman ketika mendengar ucapan itu, awan. kucoba menatap ke atas, kupandangi gumpalan putih nan halus yang terbang beriringan. Dengan anggunnya ia terbang menelusuri angkasa. Meneduhkan bumi yang gersang di musim kemarau. Walau kutau ia akan berlalu dan melintas ke daerah lain.

Sejak saat itu, aku yang hanya setetes air ini merasa terpana pada awan. Aku hanya bisa menatapnya, walau kutau dia tak kan menatapku yang hanya setetes air yang bersembunyi di balik batu. Ingin rasanya aku terbang bersama awan. Namun siapakah aku? Aku hanyalah setetes air yang untuk melompat pun aku tak mampu. Bahkan untuk berjalan ke tempat yang sedikit lebih tinggi aku pun tak mampu, ya aku tak mampu. Lalu bagaimana aku bisa menuju padanya dan terbang menelusuri langit?
***

Malam ini begitu dingin. Aku bersembunyi di balik batu yang tengah terlelap dalam tidurnya. kulihat tanaman-tanaman yang telah kering kerontang pun tengah tertidur, juga kadal yang kehausan. Hanya aku yang masih berada di alam sadarku di malam yang sunyi ini, bahkan suara jangkrik pun tak ada.

Aku tak sabar menunggu pagi datang. Bukan cahaya matahari yang aku tunggu karena aku takut cahaya matahari. Tapi awan yang menari di atas sana yang begitu mempesona.

Aku pun tak tertidur hingga datangnya pagi. kulihat matahari mulai memancarkan sinarnya. Juga burung-burung yang mulai bernyanyi di atas tangkai yang kering. Namun tak kulihat awan segumpal pun di atas sana. Yang ada hanyalah langit yang semakin membiru terang. Dan cahaya matahari yang semakin menyengat. Aku hanya bersabar menanti datangnya awan sembari bersembunyi di balik batu.

Namun rupanya hari ini kemarau telah mencapai puncaknya hingga awan pun enggan menampakkan dirinya. Matahari semakin ganas menyengat dan mampu merobohkan beberapa dahan pohon yang telah rapuh. Aku pun tak melihat awan hingga datangnya senja.

Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang melenyapkan seluruh keluargaku dan sahabatku, dan semua bangsa air. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang mengeringkan pohon, mematikan rerumputan. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang membuat ikan-ikan tergelepak dan mati tak berdaya. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang amat menyengat hingga awan pun tak mau datang. Aku benciiiiiiiii. . . .!!!!!!
***

Kemarin awan tak menampakkan pesonanya. Pagi ini matahari kembali muncul memancarkan sinarnya yang menyegatkan pasanasnya. Semakin lama semakin meninggi dan semakin panas. Ia begitu tepat di atas langit sana. Aku mulai tak tahan dibuatnya. Aku tak tahan menahan gelombang panasnya, sungguh tak tahan.

Namun tubuhku mulai terangkat kesana seolah panas itu yang menarikku ke atas. Aku pun berteriak sekencang-kencangnya, meminta tolong pada batu. Namun sang batu pun terlihat mengeluarkan sedikit asap tanda kalau ia juga tak tahan akan panasnya.  Aku tak tau lagi harus minta tolong pada siapa. Aku hanya pasrahkan diriku terus naik ke atas terbawa gelombang panas sinar matahari sembari menahan panasnya.

Sampai suatu ketika aku tak lagi merasakan panas yang teramat panas lagi. Di sekitarku pun demikian, tiba-tiba terasa teduh dan amat nyaman. Lalu kulihat ke atasku, rupanya gumpalan putih itu yang meneduhkanku, awan, awan yang melindungiku dari panas matahari yang menyengat. Ia seolah melambaikan tangannya padaku dan mengajakku tuk menghampirinya. Dan tubuhku pun seolah terus naik terkena medan magnet dan menghampirinya.

Akhirnya aku pun sampai pada dirinya. Aku seperti tak percaya, ternyata panas yang menyengatku membuat diriku bisa bersama awan nan mempesona. Aku yang hanya setetes air ini, yang tak bisa berjalan ke arah yang lebih tinggi ternyata mampu terbawa sinar matahari menuju ke tempat yang menyejukkan ini.

Ternyata awanlah yang mampu mengobati kesepianku selama ini, dialah yang mampu membuatku merasa nyaman bersamanya. Kami pun bersama menelusuri angkasa. Sesekali kulihat ke bawah, disana terhampar bumi tempat kutinggal. Semuanya terlihat indah dari atas sini. kurasakan angin sepoi-sepoi yang dihembuskannya. Dan itu membuatku merasa di puncak kedamaian. Ketika malam datang, kulihat gemerlap bintang di atas sana dan kulihat gemerlap cahaya kota di bawah sana. Rasanya inilah hal terindah sepanjang hidupku yang hanya setetes air.
***

Hari itu pun beralalu begitu indah. Sampai tak terasa pagi pun telah datang kembali. Ketika itu awan berkata padaku bahwa kemarau telah usai. Mendengar hal itu aku sangat senang, karena aku benci kemarau. Aku benci kemarau yang membuat sahabatku dan saudaraku sesama setetes air menghilang. Aku juga benci kemarau yang membuat pohon-pohon mengering dan ikan-ikan mati tak berdaya. Yang ada di pikiranku bila kemarau telah usai berarti bangsa air akan berkumpul kembali, pohon-pohon akan segar kembali.

Namun seketika itu juga sikapnya berubah padaku. Aku sungguh tak mengerti apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Tiba-tiba awan berkata bahwa ia ingin aku pergi darinya. Perkataan itu sontak membuatku pilu, membuat hatiku terkoyak hancur mendengarnya. Aku mencoba bertanya apa salahku, mengapa ia bersikap seperti ini? Namun ia hanya bisu seribu bahasa. Ia begitu bersikap dingin padaku seolah aku telah melakukan kesalahan besar padanya. Ia tak memberi penjelasan walau hanya sepatah kata.

Kemudian ia hanya berkata bahawa ia tak ingin lagi bersamaku. Lalu ia pun mulai murka kepadaku. Tubuhnya berubah menjadi hitam pekat dan menggelapkan bumi. Ia pun mengeluarkan cambuk cahayanya yang biasa kusebut halilintar dan seiring dengan itu pun gemuruhnya begitu membahana menggelegar.

Aku pun tak sampai hati melihatnya yang teramat marah padaku. Walau aku sama sekali tak mengerti mengapa ia seperti itu. Aku tak menyangka gumpalan putih itu yang tadinya anggun, putih, halus, membuat nyaman, namun ternyata bisa berubah seperti itu menjadi sosok yang teramat marah. Ia pun terus menggunjang-guncangkan dirinya supaya aku jatuh dan pergi darinya. Namun aku tak mau pergi darinya. Aku berusaha untuk berpegangan. Beberapa kali ia menyuruhku pergi dengan nada marah, dan ia juga bilang dia amat jenuh padaku. Seketika itu juga aku tak kuat lagi untuk berpegangan. Dan aku pun jatuh terhempas menuju ke bumi.

Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. Ia yang mengajakku terbang menelusuri angkasa bersama dirinya. Namun ia pula yang menghempaskanku darinya. Aku pun hancur dibuatnya. kulihat ia semakin jauh dariku yang terus jatuh ke bawah. Sementara ia terus terbang menelusuri angkasa bersama sang Angin. Aku pun semakin kencang jatuh ke bawah sampai akhirnya menghujam bumi, dan aku tak sadar lagi.
***

Aku tak ingat telah berapa lama aku tak sadarkan diri semenjak jatuh menghujam bumi. Tapi aku mulai sadar dan mencoba membuka kelopak mataku secara perlahan. Saat itu terdengar suara-suara yang berkata, “trimakasih. . . . .trimakasihhh. . . . .trimakasih air.”  Rupanya suara itu berasal dari pohon-pohon yang sudah kembali rindang, dari ikan-ikan yang senang bisa berenang dengan leluasa, dari serangga, dan hewan-hewan lainnya. Aku juga lihat tanah sudah tak lagi gersang. Rerumputan dan ilalang sudah mulai bisa tumbuh disana. Dan danau itu. . . .danau itu yang telah lama mengering. Itu mereka, mereka sahabat-sahabatku, keluargaku, dan semua bangsa air telah berkumpul disana.

Oh, hari ini aku senang sekali karena kami bisa berkumpul kembali. Pohon, dan hewan-hewan pun berterimakasih pada kami, berterima kasih padaku yang hanya setetes air ini. Setetes air yang kecil, yang tak dianggap, dan dihempaskan oleh sang awan. Tapi aku merasa senang karena aku bukanlah setetes air yang tak berguna.


Perlahan kumulai bisa melupakan obsesiku bersama awan. Walau aku tak tau apakah ada secuil rasa sesal dari sang awan yang telah menghempaskanku, yang telah memandangku dengan sebelah mata. Tapi aku tetap berharap awan kan terus terbang menelusuri angkasa bersama sang angin. Biarlah ia terbang bebas, dan aku disini.

========================================================

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Senin, 02 Oktober 2017

Cerpen: Antara Dermaga dan Palung Marina


Di sebuah dermaga seorang penjual kopi sedang duduk melamun. Ia sudah terbiasa dengan suara deburan ombak, suara desiran angin, atau suara burung yang memekik di udara dermaga itu. Namun malam itu ia merasakan desiran angin terdengar lebih mendesir lirih, dan suara deburan ombak seolah memecahkan kebekuan harinya yang sepi kala itu. Terlebih lagi suara burung yang memekik di langit dermaga yang terdengar menyayat hati, meneriakkan lantunan sepi.

Setiap sore, Marina berangkat dari rumahnya tuk berjualan kopi di dermaga. Kulitnya yang sedikit gelap berbeda dengan adiknya, Marini, yang telah hidup dengan suaminya. Ia sama sekali tak tau mengapa warna kulitnya berbeda dengan adiknya, juga mendiang ibunya dan ayahnya. Pernah ada kabar yang tersiar kalau dia dan adiknya berbeda ayah, namun mendiang ibunya tak pernah menceritakan hal itu. Tapi yang membuatnya melamun kala itu adalah kini ia tinggal sendiri. Ayahnya meninggal saat ia masih SD, sementara ibunya menyusul ketika ia lulus sekolah. Dan setahun yang lalu, Marini, adiknya yang berbeda tiga tahun darinya telah menikah dan tinggal bersama suaminya di Jakarta. Hanya ia sendiri bertemankan sepi.

Kadang, ketika ia berangkat tuk berjualan kopi, orang-orang menatapnya lirih. Entah kasihan padanya atau merendahkannya yang hingga kini, hingga usianya telah menginjak kepala tiga tak ada seorang lelaki pun yang menikahinya. Mungkin kulit gelapnya yang membuat Marina tak kunjung juga mendapat jodoh.

Setiap hari ia selalu berharap ada lelaki yang mau menerimanya apa adanya. Namun hingga kini, penantian itu hanyalah angin semu yang entah kapan datangnya. Bayang-bayang senja di penantian pun selalu ia khawatirkan.

Malam itu, seorang lelaki berbadan tegap berseragam putih menghampirinya.

“Mba, kopinya segelas, mba,” ucap pria itu.

“Oh, iya... mas.” Marina segera tersadar dari lamunannya dan segera membuatkan segelas kopi.

Sembari membuatkan segelas kopi, Marina sedikit melirik ke arah pria itu. Dari bajunya, Marina yang setiap hari di dermaga tahu betul kalau pria itu adalah seorang kapten kapal. Baru kali ini seorang kapten kapal membeli kopi darinya. Biasanya hanya kuli angkut di dermaga, atau anak buah kapal yang membeli kopi dari seorang penjual kopi seperti dirinya.

Namun karena melirik sambil mengaduk kopi, air kopi yang panas itu pun sedikit tumpah dan mengenai tangannya. Marina sontak kepanasan, “Auu aduhhh....”

“Kamu kenapa, kamu tidak apa-apa?” tanya kapten kapal itu yang ternyata begitu perhatian.

“Ehh tidak apa-apa mas. Hanya sedikit kena air panas,” jawab Marina yang sedikit menambahkan air lagi pada segelas kopi itu.

“Ohh hati-hati mba,” ujar kapten kapal itu.

Marina dibuat berdegup dengan sikap perhatian yang ditunjukkan kapten kapal itu. Terlebih sembari menyeruput kopinya, kapten kapal itu memulai perbincangan.

“Mba makasih kopinya. Dingin-dingin begini paling enak minum kopi.”

“Iya... mas, sekarang sudah mulai musim dingin,” ucap Marina sedikit malu.

“Ehmmm ngomong-ngomong mba siapa namanya?”

“Marina, mas.”

“Ohh saya Supriadi, ehmm mba Marina udah berapa lama jualan kopi?” tanya pria itu.

“Sudah lama mas, semenjak bapak sama ibu sudah nggak ada, semenjak lulus sekolah.”

“Ohhh, jadi mba sudah yatim piatu. Terus sekarang tinggal sama suami?”

Mendengar perkataan itu, Marina menunduk, bibirnya berat tuk berucap menjawab pertanyaan itu.

“Ehhh.... maaf kalo pertanyaan saya membuat mba sedih,” desis pria bertubuh tegap itu.

“Ehmmm enggak kok mas. Saya..... saya cuma tinggal sendiri, saya belum punya suami.”

“Ohh masih sendiri. Pasti mba terlalu pemilih ya?”

“Ahhh memang siapa yang mau sama saya, mas. Udah item, kampungan,” Marina merendah.

“Hushhh jangan merendah begitu. Setiap orang punya kelebihannya masing-masing. Mba nggak boleh merasa nggak ada yang mau karena kulit mba agak hitam atau apa lah. Coba deh Mba Marina lihat kopi yang mba Marina bikin ini. Kopi ini hitam, tapi kenapa banyak yang suka minum kopi? Itu karena orang tidak peduli walau kopi itu hitam. Yang orang inginkan hanyalah kopi yang harum, yang bisa memberikan kehangatan. Kalaupun kopi itu pahit, ada gula yang larut dalam kopi itu hingga rasanya menjadi manis.”

Ucapan Supriadi membuat Marina tak lagi merasa rendah. Ia tak peduli walaupun orang-orang menatapnya dengan pandangan yang merendahkan. Ia tak peduli walau orang-orang mencibir sekalipun. Ia tetap tegar berjalan dan bersemangat berjualan kopi.

Beberapa hari ini cuaca memang sedang tak bagus. Beberapa kapal menepi di dermaga itu selama beberapa hari ini untuk menunggu cuaca membaik. Termasuk kapal yang dibawa Supriadi. Dan hal itu menambah rejeki bagi Marina dan penjual kopi lainnya. Namun hanya Marina yang selalu menjadi langganan Supriadi, kapten kapal itu. Langganan untuk membeli secangkir kopi yang ia jual tentunya. Beberapa hari ini, Marina semakin dekat dengan Supriadi. Ia tak menyangka, lelaki yang mau berbincang dengannya adalah seorang kapten kapal. Sementara lelaki lain seolah menjauhinya, memandangnya dengan memicingkan mata ketika melihat kulitnya yang hitam.

Dan di malam itu, Supriadi membuat Marina berbunga-bunga, menyingkirkan hari-hari Marina yang sepi di Dermaga ketika kapten kapal itu mengutarakan cinta padanya. Suara deburan ombak, suara desir angin, suara klakson kapal, suara burung-burung yang berkicau di atas langit dermaga, semuanya terasa indah di telinga Marina.

***
Matahari seolah muncul dari dalam lautan dan memancarakan sinarnya.

Seperti kata Crisye, ‘badai pasti berlalu’. Sejak malam tadi, badai kesepian yang menerpa Marina selama hidupnya seolah berlalu ketika seorang kapten kapal mengutarakan cinta padanya. Pagi ini pun cuaca terlihat sangat cerah. Badai yang melanda lautan nampak telah berlalu. Namun ada perasaan sedih di hati Marina ketika badai lautan itu telah usai. Karena itu artinya... Supriadi yang beberapa hari ini menepi di dermaga harus melanjutkan perjalanannya ke beberapa negara. Ia pun melambaikan tangan padanya yang beranjak pergi. Kapal yang dibawa Supriadi pun semakin menjauh dan tak terlihat lagi. Sebelum ia pergi, Supriadi berjanji akan kembali ke tempat itu enam bulan lagi untuk menikahi Marina. Dari dermaga itu, Marina menatap lautan dengan tatapan yang nanar. Dermaga itu tempatnya bertemu dengan seorang yang ia nanti selama bertahun-tahun, namun Dermaga itu juga  tempatnya berpisah dengannya. Tapi di Dermaga itu pula ia akan terus menanti sampai kapten kapal itu kembali tuk menemuinya.

Hari demi hari dilalui Marina di dermaga itu sambil menjual kopi. Ia merasa ada hal yang berbeda tanpa kehadiran kapten kapal itu yang membeli kopi darinya. Namun ia tetap bersabar dan menjalani hari seperti biasa.

Enam bulan pun berlalu. Hari ini, seharusnya Supriadi kembali ke dermaga itu tuk menemui Marina dan menikahinya. Namun hingga malam kian larut, kapten kapal itu belum datang juga. Keesokan harinya pun seperti itu. Marina terus menanti di Dermaga dari pagi hingga malam dengan perasaan yang gundah. Tapi penantian itu hingga kini hanyalah angin semu. Ia mulai dilanda kecemasan. Takut terjadi apa-apa pada Supriadi. Terkadang pula ia berpikir kalau Supriadi memang tak berniat untuk menikahinya. Atau di dermaga lain ia bertemu dengan wanita yang jauh lebih cantk darinya. Namun semua pikiran negatif itu segera ia singkirkan jauh-jauh. Ia hanya bisa menanti dan berdoa, berharap lelaki pujaan hatinya itu benar-benar datang menemuinya.

Di kala mentari mulai menaik, sebuah kapal kecil menepi di dermaga itu. Marina berdiri dari duduknya dan berharap kalau itu adalah kapal yang dibawa Mas Supriadi.

Kemudian seorang awak kapal turun dari kapal itu dan menemui Marina.

“Mba... yang bernama Marina, kan? Yang dulu sering saya lihat mengobrol bersama Pak Supriadi?” tanya pria itu.

Marina mengangguk walau tak mengerti apa maksud pria itu menemuinya, “I... iya, memangnya ada apa ya, mas?”

“Saya anak buahnya Pak Supriadi. Sa.... saya merasa harus datang kemari untuk menemui mba Marina,” desis pria itu dengan mimik wajah yang sedih.

Seketika Marina diliputi perasaan yang tidak enak.

“La.. lalu dimana Mas Supriadi?” tanya Marina yang begitu cemas.

“Beberapa hari yang lalu kami berangkat menuju dermaga ini. Waktu itu cuaca sedang tidak bersahabat. Namun Pak Supriadi merasa harus terus berangkat karena sudah janji pada Mba Marina. Namun naas, di samudra Pasifik kami diterjang padai, kapal kami pun terbalik dan tenggelam. Saya beserta beberapa awak kapal lain sempat menyelamatkan diri dengan melompat ke perahu kecil. Namun Pak Supriadi terus berusaha untuk mengendalikan kapal dan akhirnya tenggelam bersama kapal itu. Ia lebih mengutamakan keselamatan anak buahnya dibandingkan dirinya sendiri. Ia tenggelam di laut terdalam, tepatnya di palung Marina, dekat wilayah Filiphina,” lirih anak buah kapal itu menceritakan kejadian yang begitu tragis yang dialaminya.

Mendengar kabar itu, Marina tak kuasa membendung air matanya. Ia seolah tak percaya kalau lelaki yang telah dinantinya itu tak akan pernah kembali.

“Saya membawakan ini, sebuah buku harian yang ditulis Pak Supriadi. Semenjak bertemu Mba Marina enam bulan yang lalu, Pak Supriadi selalu menulis segala sesuatu tentang Mba Marina di buku ini. Saya merasa harus menyerahkan buku ini pada Mba Marina,” ucap anak buah kapal itu sambil menyerahkan buku harian itu.

Marina pun menerima buku itu. Tetes air matanya jatuh pada buku itu. Ia semakin tak kuasa membendung kesedihannya.
......

Di sore hari, di dermaga itu, sembari memandangi lautan dan matahari yang mulai menurun, Marina membaca apa yang dituliskan Supriadi di buku hariannya. Supriadi sempat menulis kalau kecintaannya pada Marina sangat dalam. Sedalam lautan terdalam yang ada di dunia ini. Marina meneteskan air matanya, mengingat lelaki pujaan hatinya itu yang tenggelam di lautan terdalam, di Palung Marina di Samudra Pasific dekat wilayah Filiphina, sebuah palung terdalam yang dalamnya melebihi gunung tertinggi. Entah kebetulan atau tidak, nama palung terdalam itu sama dengan nama dirinya.


Sore itu suara deburan ombak, suara burung yang memekik, dan angin yang berdesir, terasa lebih lirih melantunkan nada kesepian yang dirasakan Marina.

=====================================================================

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014

Cerpen Tentang Impian 15 Tahun yang Lalu


Aku teringat dengan sahabat-sahabatku semasa kecil. Hari ini adalah hari kita berkumpul kembali. Aku ingat betul 15 tahun yang lalu Saat kita baru naik ke kelas 6 SD, kita berkumpul di sini, di tepi sungai di samping pohon kersen di belakang sekolah. Di sini Aku, Yadi, Setyo, Ranin, dan Hari pernah mengubur sebuah gambar yang kita simpan di toples kaca. Gambar itu adalah gambar diri kita masing-masing yang mengenakan pakaian sesuai profesi yang kita impikan. Itu adalah gambar yang kita buat bersama. 

Di gambar itu Yadi berpakaian polisi, pria berkulit sawo matang itu memang ingin sekali menjadi polisi. Sementara Setyo berpakaian seragam coklat seperti yang dikenakan guru-guru kami, ia memang ingin menjadi guru. Ranin yang merupakan perempuan satu-satunya di kelompok kami berpakaian dokter sesuai dengan cita-citanya. Sementara cita-citaku saat itu ingin jadi pemain bola. 

Lalu bagaimana dengan Hari? Akan ku ceritakan nanti kawan. Tak cukup hanya satu kalimat untuk menceritakan anak yang luar biasa itu. Yang pasti kini aku masih menunggu kedatangan mereka di tempat ini. Aku yakin mereka takkan lupa akan janji kita 15 tahun yang lalu. Saat itu kita berjanji akan berkumpul kembali pada tanggal yang kami tentukan, yaitu hari ini. Dan saat itu kita janji pada saat kita berkumpul nanti, kita sudah mencapai impian kita masing-masing dan akan mengenakan pakaian sesuai dengan impian yang telah kita capai.

Sesekali ku lihat jam tangan, sudah cukup lama ku menunggu disini. Tak ada satu pun dari mereka yang datang. “Apakah mereka lupa, apa lebih baik aku pulang saja?” tanyaku dalam hati.  Aku pun bergegas pulang karena janji itu memang telah begitu lama dan pastinya mereka lupa.

Baru keluar dari gerbang sekolah menuju jalan raya, motorku dicegat oleh seorang polisi. Aku tak tau apa salahku. Tapi terlihat polisi itu tersenyum dari balik helmnya yang kemudian ia buka.

“Rei. . . , apa kabar?” sahut polisi itu seraya tersenyum.

Aku bingung kenapa polisi itu mengenaliku. Kurapatkan kedua alisku, ku mencoba menerka wajahnya yang sepertinya aku kenal.

“Ohhh,, Yadiiii. . . .Kamu sudah jadi polisi sekarang ya, hahaha. . .!!” ucapku terkejut.

Ternyata itu Yadi yang sudah menjadi polisi. Ia datang, rupanya ia ingat akan janji kita 15 tahun yang lalu. Tak lama kemudian datang seorang berpakaian dokter, disusul kemudian seorang yang berpakaian guru. Mereka adalah Ranin dan juga Setyo yang ternyata juga masih ingat akan janji kita. Kita pun berkumpul di tempat itu, di tempat kita mengubur gambar impian kita dahulu. Kita saling berbincang tentang masa lalu dan tentang impian kita.

“Wah kalian hebat, ternyata kalian sekarang bisa mencapai impian masing-masing,” ucapku pada mereka yang mengenakan pakaian sesuai profesi masing-masing.

“Ah tapi kamu lebih hebat Rei. . .” ucapan Setyo terhenti.

Ia menatap pakaian yang ku kenakan. Mereka semua pun ikut menatap pakaian yang ku kenakan, kaos Barcelona.

“Rei, kamu sekarang jadi pemain Barcelona?” tanya Yadi terkaget-kaget.

“Hahaha kalian tuh ngeledek ya. Ya enggak lah, enggak mungkin. Eh, tapi ngomong-ngomong Hari mana yah?”

Kami semua terhenyak saling memandang dan mengingat anak itu, Hari, anak yang luar biasa.

Kami pun menggali kembali tempat dimana kami menguburkan gambar itu. Ternyata gambar itu masih ada, tersimpan di sebuah toples kaca yang sudah agak rusak. Kami memandangi gambar yang kami buat bersama 15 tahun yang lalu. Dan disana gambar Hari lah yang paling istimewa. Di gambar itu Hari mengenakan pakaian lab sedang memegang gelas ukur, di depan mejanya ada mickroskop dan berbagai peralatan lain yang secara detail ia gambar. Hari memang bercita-cita menjadi seorang ilmuan. Ia siswa yang paling pintar di kelas. Setiap kali Bu Heni mengajar, ia selalu aktif bertanya dan menjawab pertanyaannya. Sepanjang kami sekelas dengannya, ia selalu menjadi ranking satu. Tak pernah ada yang bisa mengalahkan prestasinya.

Tapi di sisi lain ia adalah anak yang sederhana dan tak pernah sombong. Ia selalu mengajari kami apabila ada pelajaran yang bagi kami sulit. Aku tak tau bagaimana ia bisa secerdas itu, karena ia adalah anak yang tak mampu membeli buku. Ayahnya yang hanya seorang buruh tani tak mampu membelikannya buku. Bahkan untuk menyekolahkannya saja sudah susah payah. Tapi ia anak yang tak kenal menyerah. Seringkali ku lihat usai pulang sekolah ia selalu ke perpustakaan, membaca buku-buku di sana sendiri.

Dan yang paling istimewa darinya adalah matematika. Nilai matematikanya hampir selalu sempurna. Hanya sesekali saja ia mendapat nilai 9, sisanya ia selalu mendapat nilai 10. Jika ia melihat soal matematika, ia hanya memejamkan mata tanpa membuat kotretan. Ia mencoba menghitung dalam pikirannya dan tak lama ia sudah bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang bagi kami sulit. Ia juga anak yang amat riang dan tak pernah sekalipun bersedih hati.

Namun hari itu berbeda, wajah cerianya langsung berubah ketika mendengar kabar ayahnya meninggal. Ayahnya yang sejak seminggu sakit harus menghembuskan nafas terakhirnya. Kemiskinan yang menjerat keluarganya membuat ayahnya tak mampu tuk berobat. Hari pulang dengan wajah tertunduk penuh kesedihan.

Seminggu sejak kejadian itu tak pernah lagi kita lihat wajah cerianya. Ia lebih banyak tertunduk diam dan merenung. Aku mencoba memahami beratnya beban hidupnya. Dan saat itu kami takkan lupa kejadian yang membuat hati kami ibarat gunung es di kutub utara yang runtuh. Luluh lantah seolah tak percaya kalau anak itu, anak sepintar itu, anak sebaik itu, ia tiba-tiba pamit karena tak mampu lagi untuk bersekolah karena masalah biaya. Hati kami berbicara, ingin rasanya membantunya, namun apa daya, keluarga kami pun juga bukan keluarga yang berkecukupan.

Ketika dijemput ibunya waktu itu, ku lihat ibunya menguatkan hatinya. Ia berkata pada Hari kalau ia pasti bisa sukses walaupun saat itu ia harus putus sekolah.

Kami semua takkan lupa saat itu, takkan lupa pada anak yang luar biasa itu, hingga kini.

Hari ini kami pun masih menunggu kedatangan Hari. Namun hingga sore menjelang, Hari belum juga nampak. Kami sama sekali tak tau keberadaannya semenjak 15 tahun yang lalu.

“Rei gimana nih, apa kita masih nunggu disini?” tanya Ranin.

“Atau kita langsung ke rumah makan aja, kayanya si Hari nggak akan datang,” usul Setyo.

“Hmmm, aku nggak tau nin, Yo. Sekarang Hari dimana ya, gimana kalo kita cari facebooknya dulu, siapa tau ada.”

“Wah ide bagus tuh Rei. Namanya kan unik, Hari Cahaya Pagi, pasti gampang dicari,” sahut Yadi.

 Ternyata memang benar, tak sulit untuk menemukan nama itu. Dan ternyata Hari yang kala itu putus sekolah sekarang punya akun facebook. Tapi yang membuat kami benar-benar terkejut adalah pekerjaan ia saat ini yang tercantum di profil facebooknya. Saat ini ternyata ia bekerja di Nara Institute of Science and Technology di Jepang sebagai peneliti. Kami semua terbelalak melihatnya. Bagaimana mungkin anak yang putus sekolah 15 tahun yang lalu kini menjadi seorang peneliti di Jepang. Tak habis-habisnya kami membincangkan anak yang luar biasa itu.

Jika begitu, maka sudah pasti Hari tak akan datang. Kita pun berniat pergi ke warung makan di desa kami. Namun sebuah mobil menghadang jalan kami dan membunyikan klaksonnya tepat di depan gerbang sekolah. Jendela kaca depannya diturunkan secara perlahan dan semakin terkejutlah kami melihat orang yang mengendarai mobil itu. Senyumnya dan wajah cerianya kami masih ingat betul. Ya, ia pasti Hari anak jenius itu. Ia memakai jas laboratorium.

Ternyata benar itu memang Hari. Kami dibuat terkejut dengan kehadirannya. Kita berlima makan bersama di warung makan di desa kami dan saling berbincang.

“Ri, bukannya kamu di Jepang?” tanya Setyo.

“Ia yo aku baru balik ke Indonesia.”

“Liburan?”

“Bukan, aku nggak akan balik lagi ke sana. Aku mau buat sekolah gratis di desa ini. Aku mau buat laboratorium penelitian di desa ini. Aku yakin banyak anak-anak di desa kita yang sebenernya cerdas.”

Jawaban Hari membuat kita terperangah. Ia rela melepas pekerjaannya sebagai peneliti di Jepang yang sudah tentu dengan pendapatan yang amat tinggi untuk kembali ke desa kami. Untuk membangun sekolah dan laboratorium. Sungguh niat yang amat mulia.

“Terus gimana ceritanya kamu bisa jadi peneliti di Jepang Ri?”

“Oh, ini semua berkat ibuku yang selalu menyemagatiku. Dan aku pun yakin nggak ada yang nggak mungkin Rei. Thomas Alva Edison pun dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap dungu. Namun siapa sangka ia bisa jadi salah satu ilmuan paling hebat di dunia. Sementara Aku dan Ibuku sempat menggelandang di Jakarta tuk mengadu nasib. Aku sempat bekerja sebagai buruh. Karena melihat kegigihanku, bosku memberikan beasiswa padaku untuk melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya aku bisa kuliah di Jepang dan menjadi peneliti di sana Rei.”

Kami semua semakin kagum dengan Hari. Dan itulah hari pertemuan kami menuntaskan janji kami 15 tahun yang lalu. Kami semakin percaya kalau impian bukan cuma sekedar uang. Hari yang telah bekerja dengan penghasilan tinggi di Jepang justru kembali ke Indonesia untuk membangun sekolah gratis dan mengembangkan laboratorium di desa kami. Ia tak mau lagi ada anak miskin yang cerdas namun harus putus sekolah. Sementara Ranin yang pernah bekerja di rumah sakit dengan gaji cukup tinggi, kini kembali ke desa kami tuk membuka praktek di desa kami. 

Setiap pasien yang ia tangani hanya membayar semampunya, bagi yang tak mampu tak usah bayar. Ranin tak mau kejadian seperti ayahnya Hari yang tak mampu berobat terulang kembali. Setyo pun pernah mengajar di sekolah elit di Jakarta dengan bayaran tinggi. Namun ia kembali ke desa kami untuk menjadi pengajar di sekolah kita dulu dengan bayaran yang jauh lebih kecil. Sementara Yadi selalu menjadi polisi yang melayani masyarakat. Tak sekali pun ia memanfaatkan profesinya untuk memungut uang dari masyarakat ataupun mencari uang di luar gajinya.

Itulah teman-temanku, sementara aku pun sejak setahun yang lalu telah kembali ke desa ini. Aku memang sempat bekerja di sebuah pertambangan dengan gaji sepuluh juta. Namun aku tak betah dan kembali ke desa ini tuk melatih anak-anak bermain sepakbola. Aku membuat sekolah sepak bola di desa kami. Walaupun impianku tuk menjadi pemain sepak bola telah kandas, namun aku yakin di desa ini suatu saat nanti bakal ada pemain sepak bola yang berbakat yang bisa mengharumkan nama Bangsa.


Bagi kami, cita-cita bukan cuma sekedar mengejar uang. Tapi kami hanya mendengarkan saat hati kami berbicara. Dan mengikuti apa yang diinginkan hati tuk menjalani hidup ini.

==========================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014