Bulan ini musim kemarau, sudah beberapa bulan hujan tak turun membasahi butiran tanah di negeri ini. Sungai pun telah mengering hampir tak menyisakah air sama sekali, semuanya tak ada. Kecuali aku yang bersembunyi di balik batu. Bersembunyi dari panasnya pancaran sinar matahari.
Aku
hanya setetes air. Aku sendiri yang tersisa. Aku merasa sepi. Semua telah
menghilang seiring datangnya musim kemarau di wilayah kami. Aku pun kasihan
pada ikan-ikan yang mati, tergelepak tanpa air hingga tubuhnya tak mampu
bergerak lagi. Juga pada diriku yang sepi dan hanya sendiri.
“Hai,
kamu kenapa, kenapa kamu bersembunyi di balik tubuhku?” kata sang Batu.
“A,,,
aku takut sinar matahari, aku takut kalau sinar matahari juga akan melenyapkan
diriku seperti keluargaku, dan sahabat-sahabatku yang lain. Aku juga takut
kalau pasir yang kering juga akan menelan diriku.” Jawabku gugup.
“Kalau
kau terus bersembunyi seperti itu kau akan terus merasa sepi, kau akan sendiri,” Kata Batu menasehatiku.
“Lantas
aku harus bagaimana?”
“Pergilah
ke lautan, tempat sesamamu berada,”
ucap Si Batu.
“Lalu
bagaimana aku bisa pergi ke laut, laut itu kan sangat jauh?” tanyaku yang tak mengerti
bagaimana caranya.
“Pergilah
bersama awan,” jawab Si Batu padaku.
Aku
hanya terpaku mendengar ucapan itu. Aku tak tau kenapa, mendadak aku merasa
nyaman ketika mendengar ucapan itu, awan. kucoba menatap ke atas, kupandangi
gumpalan putih nan halus yang terbang beriringan. Dengan anggunnya ia terbang
menelusuri angkasa. Meneduhkan bumi yang gersang di musim kemarau. Walau kutau
ia akan berlalu dan melintas ke daerah lain.
Sejak
saat itu, aku yang hanya setetes air ini merasa terpana pada awan. Aku hanya
bisa menatapnya, walau kutau dia tak kan menatapku yang hanya setetes air yang
bersembunyi di balik batu. Ingin rasanya aku terbang bersama awan. Namun
siapakah aku? Aku hanyalah setetes air yang untuk melompat pun aku tak mampu.
Bahkan untuk berjalan ke tempat yang sedikit lebih tinggi aku pun tak mampu, ya
aku tak mampu. Lalu bagaimana aku bisa menuju padanya dan terbang menelusuri
langit?
***
Malam
ini begitu dingin. Aku bersembunyi di balik batu yang tengah terlelap dalam
tidurnya. kulihat tanaman-tanaman yang telah kering kerontang pun tengah
tertidur, juga kadal yang kehausan. Hanya aku yang masih berada di alam sadarku
di malam yang sunyi ini, bahkan suara jangkrik pun tak ada.
Aku
tak sabar menunggu pagi datang. Bukan cahaya matahari yang aku tunggu karena
aku takut cahaya matahari. Tapi awan yang menari di atas sana yang begitu
mempesona.
Aku
pun tak tertidur hingga datangnya pagi. kulihat matahari mulai memancarkan
sinarnya. Juga burung-burung yang mulai bernyanyi di atas tangkai yang kering.
Namun tak kulihat awan segumpal pun di atas sana. Yang ada hanyalah langit yang
semakin membiru terang. Dan cahaya matahari yang semakin menyengat. Aku hanya
bersabar menanti datangnya awan sembari bersembunyi di balik batu.
Namun
rupanya hari ini kemarau telah mencapai puncaknya hingga awan pun enggan
menampakkan dirinya. Matahari semakin ganas menyengat dan mampu merobohkan
beberapa dahan pohon yang telah rapuh. Aku pun tak melihat awan hingga
datangnya senja.
Aku
benci kemarau, aku benci kemarau yang melenyapkan seluruh keluargaku dan
sahabatku, dan semua bangsa air. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang
mengeringkan pohon, mematikan rerumputan. Aku benci kemarau, aku benci kemarau
yang membuat ikan-ikan tergelepak dan mati tak berdaya. Aku benci kemarau, aku
benci kemarau yang amat menyengat hingga awan pun tak mau datang. Aku benciiiiiiiii. . . .!!!!!!
***
Kemarin
awan tak menampakkan pesonanya. Pagi ini matahari kembali muncul memancarkan
sinarnya yang menyegatkan pasanasnya. Semakin lama semakin meninggi dan semakin
panas. Ia begitu tepat di atas langit sana. Aku mulai tak tahan dibuatnya. Aku
tak tahan menahan gelombang panasnya, sungguh tak tahan.
Namun
tubuhku mulai terangkat kesana seolah panas itu yang menarikku ke atas. Aku pun
berteriak sekencang-kencangnya, meminta tolong pada batu. Namun sang batu pun
terlihat mengeluarkan sedikit asap tanda kalau ia juga tak tahan akan panasnya. Aku tak tau lagi harus minta tolong pada
siapa. Aku hanya pasrahkan diriku terus naik ke atas terbawa gelombang panas
sinar matahari sembari menahan panasnya.
Sampai
suatu ketika aku tak lagi merasakan panas yang teramat panas lagi. Di sekitarku
pun demikian, tiba-tiba terasa teduh dan amat nyaman. Lalu kulihat ke atasku,
rupanya gumpalan putih itu yang meneduhkanku, awan, awan yang melindungiku
dari panas matahari yang menyengat. Ia seolah melambaikan tangannya padaku dan
mengajakku tuk menghampirinya. Dan tubuhku pun seolah terus naik terkena medan
magnet dan menghampirinya.
Akhirnya
aku pun sampai pada dirinya. Aku seperti tak percaya, ternyata panas yang
menyengatku membuat diriku bisa bersama awan nan mempesona. Aku yang hanya
setetes air ini,
yang tak bisa berjalan ke arah yang lebih tinggi ternyata mampu terbawa sinar
matahari menuju ke tempat yang menyejukkan ini.
Ternyata
awanlah yang mampu
mengobati kesepianku selama ini, dialah yang mampu membuatku merasa nyaman bersamanya. Kami
pun bersama menelusuri angkasa. Sesekali kulihat ke bawah, disana terhampar
bumi tempat kutinggal. Semuanya terlihat indah dari atas sini. kurasakan angin
sepoi-sepoi yang dihembuskannya. Dan itu membuatku merasa di puncak kedamaian.
Ketika malam datang, kulihat gemerlap bintang di atas sana dan kulihat gemerlap
cahaya kota di bawah sana. Rasanya inilah hal terindah sepanjang hidupku yang hanya setetes air.
***
Hari
itu pun beralalu begitu indah. Sampai tak terasa pagi pun telah datang kembali.
Ketika itu awan berkata padaku bahwa kemarau telah usai. Mendengar hal itu aku
sangat senang, karena aku benci kemarau. Aku benci kemarau yang membuat
sahabatku dan saudaraku sesama setetes air menghilang. Aku juga benci kemarau
yang membuat pohon-pohon mengering dan ikan-ikan mati tak berdaya. Yang ada di
pikiranku bila kemarau telah usai berarti bangsa air akan berkumpul kembali,
pohon-pohon akan segar kembali.
Namun
seketika itu juga sikapnya berubah padaku. Aku sungguh tak mengerti apa yang
ada dalam hati dan pikirannya. Tiba-tiba awan
berkata bahwa ia ingin aku pergi darinya. Perkataan itu sontak membuatku pilu,
membuat hatiku terkoyak hancur mendengarnya. Aku mencoba bertanya apa salahku,
mengapa ia bersikap seperti ini? Namun ia hanya bisu seribu bahasa. Ia begitu
bersikap dingin padaku seolah aku telah melakukan kesalahan besar padanya. Ia
tak memberi penjelasan walau hanya sepatah kata.
Kemudian
ia hanya berkata bahawa ia tak ingin lagi bersamaku. Lalu ia pun mulai murka
kepadaku. Tubuhnya
berubah menjadi hitam pekat dan menggelapkan bumi. Ia pun mengeluarkan cambuk
cahayanya yang biasa kusebut halilintar dan seiring dengan itu pun gemuruhnya
begitu membahana menggelegar.
Aku
pun tak sampai hati melihatnya yang teramat marah padaku. Walau aku sama sekali
tak mengerti mengapa ia seperti itu. Aku tak menyangka gumpalan putih itu yang
tadinya anggun, putih, halus, membuat nyaman, namun ternyata bisa berubah
seperti itu menjadi sosok yang teramat marah. Ia pun terus
menggunjang-guncangkan dirinya supaya aku jatuh dan pergi darinya. Namun aku
tak mau pergi darinya. Aku berusaha untuk berpegangan. Beberapa kali ia
menyuruhku pergi dengan nada marah, dan ia juga bilang dia amat jenuh padaku.
Seketika itu juga aku tak kuat lagi untuk berpegangan. Dan aku pun jatuh
terhempas menuju ke bumi.
Aku
tak mengerti, sungguh tak mengerti. Ia yang mengajakku terbang menelusuri
angkasa bersama dirinya. Namun ia pula yang menghempaskanku darinya. Aku pun
hancur dibuatnya. kulihat ia semakin jauh dariku yang terus jatuh ke bawah. Sementara ia terus terbang menelusuri
angkasa bersama sang Angin. Aku pun semakin kencang jatuh ke bawah sampai
akhirnya menghujam bumi,
dan aku tak sadar lagi.
***
Aku
tak ingat telah berapa lama aku tak sadarkan diri semenjak jatuh menghujam
bumi. Tapi aku mulai sadar dan mencoba membuka kelopak mataku secara perlahan.
Saat itu terdengar suara-suara yang berkata, “trimakasih. . . . .trimakasihhh.
. . . .trimakasih air.” Rupanya suara
itu berasal dari pohon-pohon yang sudah kembali rindang, dari ikan-ikan yang
senang bisa berenang dengan leluasa, dari serangga, dan hewan-hewan lainnya.
Aku juga lihat tanah sudah tak lagi gersang. Rerumputan dan ilalang sudah mulai
bisa tumbuh disana. Dan danau itu. . . .danau itu yang telah lama mengering.
Itu mereka, mereka sahabat-sahabatku, keluargaku, dan semua bangsa air telah
berkumpul disana.
Oh,
hari ini aku senang sekali karena kami bisa berkumpul kembali. Pohon, dan
hewan-hewan pun berterimakasih pada kami, berterima kasih padaku yang hanya
setetes air ini. Setetes air yang kecil, yang tak dianggap, dan dihempaskan
oleh sang awan. Tapi aku merasa senang karena aku bukanlah setetes air yang tak
berguna.
Perlahan
kumulai bisa melupakan obsesiku bersama awan. Walau aku tak tau apakah ada
secuil rasa sesal dari sang awan yang telah menghempaskanku, yang telah
memandangku dengan sebelah mata. Tapi aku tetap berharap awan kan terus terbang
menelusuri angkasa bersama sang angin. Biarlah ia terbang bebas, dan aku
disini.
========================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon