Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Setetes Air


Bulan ini musim kemarau, sudah beberapa bulan hujan tak turun membasahi  butiran tanah di negeri ini. Sungai pun telah mengering hampir tak menyisakah air sama sekali, semuanya tak ada. Kecuali aku yang bersembunyi di balik batu. Bersembunyi dari panasnya pancaran sinar matahari.

Aku hanya setetes air. Aku sendiri yang tersisa. Aku merasa sepi. Semua telah menghilang seiring datangnya musim kemarau di wilayah kami. Aku pun kasihan pada ikan-ikan yang mati, tergelepak tanpa air hingga tubuhnya tak mampu bergerak lagi. Juga pada diriku yang sepi dan hanya sendiri.

“Hai, kamu kenapa, kenapa kamu bersembunyi di balik tubuhku?” kata sang Batu.

“A,,, aku takut sinar matahari, aku takut kalau sinar matahari juga akan melenyapkan diriku seperti keluargaku, dan sahabat-sahabatku yang lain. Aku juga takut kalau pasir yang kering juga akan menelan diriku.” Jawabku gugup.

“Kalau kau terus bersembunyi seperti itu kau akan terus merasa sepi, kau akan sendiri,” Kata Batu menasehatiku.

“Lantas aku harus bagaimana?”

“Pergilah ke lautan, tempat sesamamu berada,ucap Si Batu.

“Lalu bagaimana aku bisa pergi ke laut, laut itu kan sangat jauh?” tanyaku yang tak mengerti bagaimana caranya.

“Pergilah bersama awan,jawab Si Batu padaku.

Aku hanya terpaku mendengar ucapan itu. Aku tak tau kenapa, mendadak aku merasa nyaman ketika mendengar ucapan itu, awan. kucoba menatap ke atas, kupandangi gumpalan putih nan halus yang terbang beriringan. Dengan anggunnya ia terbang menelusuri angkasa. Meneduhkan bumi yang gersang di musim kemarau. Walau kutau ia akan berlalu dan melintas ke daerah lain.

Sejak saat itu, aku yang hanya setetes air ini merasa terpana pada awan. Aku hanya bisa menatapnya, walau kutau dia tak kan menatapku yang hanya setetes air yang bersembunyi di balik batu. Ingin rasanya aku terbang bersama awan. Namun siapakah aku? Aku hanyalah setetes air yang untuk melompat pun aku tak mampu. Bahkan untuk berjalan ke tempat yang sedikit lebih tinggi aku pun tak mampu, ya aku tak mampu. Lalu bagaimana aku bisa menuju padanya dan terbang menelusuri langit?
***

Malam ini begitu dingin. Aku bersembunyi di balik batu yang tengah terlelap dalam tidurnya. kulihat tanaman-tanaman yang telah kering kerontang pun tengah tertidur, juga kadal yang kehausan. Hanya aku yang masih berada di alam sadarku di malam yang sunyi ini, bahkan suara jangkrik pun tak ada.

Aku tak sabar menunggu pagi datang. Bukan cahaya matahari yang aku tunggu karena aku takut cahaya matahari. Tapi awan yang menari di atas sana yang begitu mempesona.

Aku pun tak tertidur hingga datangnya pagi. kulihat matahari mulai memancarkan sinarnya. Juga burung-burung yang mulai bernyanyi di atas tangkai yang kering. Namun tak kulihat awan segumpal pun di atas sana. Yang ada hanyalah langit yang semakin membiru terang. Dan cahaya matahari yang semakin menyengat. Aku hanya bersabar menanti datangnya awan sembari bersembunyi di balik batu.

Namun rupanya hari ini kemarau telah mencapai puncaknya hingga awan pun enggan menampakkan dirinya. Matahari semakin ganas menyengat dan mampu merobohkan beberapa dahan pohon yang telah rapuh. Aku pun tak melihat awan hingga datangnya senja.

Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang melenyapkan seluruh keluargaku dan sahabatku, dan semua bangsa air. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang mengeringkan pohon, mematikan rerumputan. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang membuat ikan-ikan tergelepak dan mati tak berdaya. Aku benci kemarau, aku benci kemarau yang amat menyengat hingga awan pun tak mau datang. Aku benciiiiiiiii. . . .!!!!!!
***

Kemarin awan tak menampakkan pesonanya. Pagi ini matahari kembali muncul memancarkan sinarnya yang menyegatkan pasanasnya. Semakin lama semakin meninggi dan semakin panas. Ia begitu tepat di atas langit sana. Aku mulai tak tahan dibuatnya. Aku tak tahan menahan gelombang panasnya, sungguh tak tahan.

Namun tubuhku mulai terangkat kesana seolah panas itu yang menarikku ke atas. Aku pun berteriak sekencang-kencangnya, meminta tolong pada batu. Namun sang batu pun terlihat mengeluarkan sedikit asap tanda kalau ia juga tak tahan akan panasnya.  Aku tak tau lagi harus minta tolong pada siapa. Aku hanya pasrahkan diriku terus naik ke atas terbawa gelombang panas sinar matahari sembari menahan panasnya.

Sampai suatu ketika aku tak lagi merasakan panas yang teramat panas lagi. Di sekitarku pun demikian, tiba-tiba terasa teduh dan amat nyaman. Lalu kulihat ke atasku, rupanya gumpalan putih itu yang meneduhkanku, awan, awan yang melindungiku dari panas matahari yang menyengat. Ia seolah melambaikan tangannya padaku dan mengajakku tuk menghampirinya. Dan tubuhku pun seolah terus naik terkena medan magnet dan menghampirinya.

Akhirnya aku pun sampai pada dirinya. Aku seperti tak percaya, ternyata panas yang menyengatku membuat diriku bisa bersama awan nan mempesona. Aku yang hanya setetes air ini, yang tak bisa berjalan ke arah yang lebih tinggi ternyata mampu terbawa sinar matahari menuju ke tempat yang menyejukkan ini.

Ternyata awanlah yang mampu mengobati kesepianku selama ini, dialah yang mampu membuatku merasa nyaman bersamanya. Kami pun bersama menelusuri angkasa. Sesekali kulihat ke bawah, disana terhampar bumi tempat kutinggal. Semuanya terlihat indah dari atas sini. kurasakan angin sepoi-sepoi yang dihembuskannya. Dan itu membuatku merasa di puncak kedamaian. Ketika malam datang, kulihat gemerlap bintang di atas sana dan kulihat gemerlap cahaya kota di bawah sana. Rasanya inilah hal terindah sepanjang hidupku yang hanya setetes air.
***

Hari itu pun beralalu begitu indah. Sampai tak terasa pagi pun telah datang kembali. Ketika itu awan berkata padaku bahwa kemarau telah usai. Mendengar hal itu aku sangat senang, karena aku benci kemarau. Aku benci kemarau yang membuat sahabatku dan saudaraku sesama setetes air menghilang. Aku juga benci kemarau yang membuat pohon-pohon mengering dan ikan-ikan mati tak berdaya. Yang ada di pikiranku bila kemarau telah usai berarti bangsa air akan berkumpul kembali, pohon-pohon akan segar kembali.

Namun seketika itu juga sikapnya berubah padaku. Aku sungguh tak mengerti apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Tiba-tiba awan berkata bahwa ia ingin aku pergi darinya. Perkataan itu sontak membuatku pilu, membuat hatiku terkoyak hancur mendengarnya. Aku mencoba bertanya apa salahku, mengapa ia bersikap seperti ini? Namun ia hanya bisu seribu bahasa. Ia begitu bersikap dingin padaku seolah aku telah melakukan kesalahan besar padanya. Ia tak memberi penjelasan walau hanya sepatah kata.

Kemudian ia hanya berkata bahawa ia tak ingin lagi bersamaku. Lalu ia pun mulai murka kepadaku. Tubuhnya berubah menjadi hitam pekat dan menggelapkan bumi. Ia pun mengeluarkan cambuk cahayanya yang biasa kusebut halilintar dan seiring dengan itu pun gemuruhnya begitu membahana menggelegar.

Aku pun tak sampai hati melihatnya yang teramat marah padaku. Walau aku sama sekali tak mengerti mengapa ia seperti itu. Aku tak menyangka gumpalan putih itu yang tadinya anggun, putih, halus, membuat nyaman, namun ternyata bisa berubah seperti itu menjadi sosok yang teramat marah. Ia pun terus menggunjang-guncangkan dirinya supaya aku jatuh dan pergi darinya. Namun aku tak mau pergi darinya. Aku berusaha untuk berpegangan. Beberapa kali ia menyuruhku pergi dengan nada marah, dan ia juga bilang dia amat jenuh padaku. Seketika itu juga aku tak kuat lagi untuk berpegangan. Dan aku pun jatuh terhempas menuju ke bumi.

Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. Ia yang mengajakku terbang menelusuri angkasa bersama dirinya. Namun ia pula yang menghempaskanku darinya. Aku pun hancur dibuatnya. kulihat ia semakin jauh dariku yang terus jatuh ke bawah. Sementara ia terus terbang menelusuri angkasa bersama sang Angin. Aku pun semakin kencang jatuh ke bawah sampai akhirnya menghujam bumi, dan aku tak sadar lagi.
***

Aku tak ingat telah berapa lama aku tak sadarkan diri semenjak jatuh menghujam bumi. Tapi aku mulai sadar dan mencoba membuka kelopak mataku secara perlahan. Saat itu terdengar suara-suara yang berkata, “trimakasih. . . . .trimakasihhh. . . . .trimakasih air.”  Rupanya suara itu berasal dari pohon-pohon yang sudah kembali rindang, dari ikan-ikan yang senang bisa berenang dengan leluasa, dari serangga, dan hewan-hewan lainnya. Aku juga lihat tanah sudah tak lagi gersang. Rerumputan dan ilalang sudah mulai bisa tumbuh disana. Dan danau itu. . . .danau itu yang telah lama mengering. Itu mereka, mereka sahabat-sahabatku, keluargaku, dan semua bangsa air telah berkumpul disana.

Oh, hari ini aku senang sekali karena kami bisa berkumpul kembali. Pohon, dan hewan-hewan pun berterimakasih pada kami, berterima kasih padaku yang hanya setetes air ini. Setetes air yang kecil, yang tak dianggap, dan dihempaskan oleh sang awan. Tapi aku merasa senang karena aku bukanlah setetes air yang tak berguna.


Perlahan kumulai bisa melupakan obsesiku bersama awan. Walau aku tak tau apakah ada secuil rasa sesal dari sang awan yang telah menghempaskanku, yang telah memandangku dengan sebelah mata. Tapi aku tetap berharap awan kan terus terbang menelusuri angkasa bersama sang angin. Biarlah ia terbang bebas, dan aku disini.

========================================================

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon