Seorang pria bertubuh kurus sedang duduk mengetam kayu yang
akan ia jadikan kusen sambil melamun dengan tatapan yang nanar. Malam ini ia
kerja sampai malam untuk membuat pintu di bengkel kayu kecil miliknya yang baru
beberapa bulan ini ia rintis. Dalam lamunan, ia mengingat kembali perkataan
istrinya malam kemarin yang secara keras menghardiknya.
“Mas, mas kenapa sih pake keluar segala dari pekerjaan?
Mending kalo usaha mas sekarang bisa menghasilkan, jangankan untuk jalan-jalan
kaya dulu, sekarang buat makan aja susah mas...!!” tegas Marni, isrinya.
Ali menunduk, kemudian mendekati istrinya dan mengusap
pundaknya dengan tenang,
“Sabar ya, Aku akan usaha sekeras mungkin buat kamu,”
ucapnya tenang.
“Sabar... sabar sampai kapan mas...?! Dulu waktu mas masih
kerja jadi pegawai, seenggaknya kita bisa liburan ke Pangandaran atau ke Jogja.
Nah sekarang gak pernah sekalipun mas .. gak pernah, untuk makan saja sulit.”
“Aku janji sama kamu, suatu saat kita bakal bisa jalan-jalan
lagi kemanapun. Ya, kemanapun, bahkan keluar negeri sekalipun.”
“Ahh nggak usah mimpi deh mas. Mas pikir dengan bekerja
bikin pintu setiap hari bisa bikin kita kaya?!!!!” teriak istrinya menggema ke
ruangan rumahnya yang mungil.
Mengingat ucapan itu, hari ini Ali bekerja keras membanting
tulang untuk berusaha membereskan pekerjaan membuat kusen dan pintu. Bukan
pesanan orang, tapi untuk mengganti pintu rumahnya yang telah rusak dimakan
rayap. Ia mengerjakan itu karena hari ini sedang tak ada pesanan. Dan ia pun tahu
kalau apa yang ia lakukan mungkin memang takkan membuatnya kaya dan bisa
membawa istrinya jalan-jalan sampai ke luar negeri. Tapi ia akan membuat pintu
yang terbaik agar setidaknya sedikit menyenangkan hati istrinya yang sering
kesal lantaran pintu rumahnya sudah rusak.
Ia pun menyelesaikan kusen dan pintu tersebut setelah lewat
tengah malam. Hari ini ia tak pulang ke rumah. Selain karena malam telah larut,
ia pun tahu, istrinya pasti akan marah-marah lagi seperti malam kemarin jika ia
pulang tanpa membawa uang. Di bengkel kayu yang mungil itu, ia terlelap
diantara serbuk-serbuk kayu hasil mengetam.
Dalam tidurnya, ia bermimpi aneh sekali. Sebuah mimpi yang
sama sekali tak pernah ia sangka. Dalam mimpinya itu, ia bertemu dengan
doraemon. Doraemon mengeluarkan pintu ajaib dari kantongnya dan memberikannya
pada Ali. Ali yang tak mengerti menerima pintu ajaib itu.
Seketika, ketika subuh telah tiba, Ali terbangun dari
tidurnya. Keringat bercucuran dari keningnya seolah habis bermimpi dikejar
setan. Mimpinya memang aneh dan kedengarannya lucu. Ia sendiri tak mengerti
bagaimana ia bisa bermimpi bertemu doraemon, sementara ia tak pernah menonton
doraemon di televisi kecuali saat ia masih kecil.
Setelah pagi tiba, ia pulang ke rumah dengan membawa pintu
yang sudah jadi itu dengan sebuah gerobak. Tergopoh-gopoh Ali mendorong
gerobak, dahinya bercucuran keringat. Istrinya yang cantik telah menunggunya di
teras depan rumah sambil menyapu-nyapu teras. Bukan untuk menyambutnya, tapi
dari ekspresinya ia terlihat kesal dan akan meluapkan emosinya ketika Ali
datang.
“Kemana aja pagi baru pulang??!!!” bentak istrinya.
“Membereskan pekerjaan ini,” jawab Ali pelan sambil menunjuk
pintu yang dibawanya di gerobak.
“Buat apa bawa pintu, bawa duit nggak??!! Kalo mas nggak
bawa duit terus kita mau makan apa massss??!!! Mau makan pintu???!!!” tegas
Marni.
Ali hanya menjawab pelan, “Sabar ya mah, mudah-mudahan nanti
ada rezeki. Pintu ini buat ngeganti pintu depan rumah kita yang mulai dimakan
rayap,” ucap Ali sambil mengangkat pintu dari gerobak.
“Ahhhh buat apa pintu kaya begini!!!” tukas istinya sembari
mendorong pintu yang diangkat Ali dari gerobak hingga pintu itu jatuh keras.
Ali menatap istrinya tajam, seolah mulai naik pitam. Sadar
keributan itu mulai dilihat warga, istrinya segera masuk ke rumah. Ali pun
membendung emosinya. Ia menundukkan tubuhnya dan melihat kondisi pintu yang
dibuatnya. Ada bagian yang belah di kayu bagian bawah pintu. Pintu ini tak bisa
digunakan lagi, kerja kerasnya beberapa hari kemarin hingga larut malam tadi
sia-sia. Ali pun membawa pintu itu ke belakang rumahnya dan menyandarkannya di
dinding. Menatap pintu itu sembari menghembuskan nafas panjang.
Ketika malam tiba, istrinya telah tertidur lelap dan
mengunci pintu kamarnya, sementara Ali tidur di ruang tamu beralaskan tikar. Ia
berbaring menatap langit-langit rumahnya yang berlubang di beberapa bagian. Kemudian
ia terlelap.
***
Pagi itu, ia dikejutkan ketika melihat istrinya keluar dari
kamarnya dengan menenteng tas besar.
“Kamu mau kemana?” tanya Ali bingung.
“Aku mau pergi mas. Aku udah nggak tahan hidup sama kamu.
Aku udah nggak tahan hidup miskin. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku
mas,” jawab istrinya sambil melenggang keluar.
“Lebih baik kita selesaikan masalah ini. Jangan pergi
begitu. Percaya sama aku, aku bisa bahagiain kamu, aku bisa ngajak kamu
berlibur lagi kemanapun kamu mau suatu saat nanti.”
“Udah lah mas, nggak usah membual. Kesabaranku udah habis
mas. Untuk makan saja sulit. Utang kita pada tetangga sudah menumpuk mas. Aku
malu masss!!!” Marni pun pergi dan Ali tak mampu menahan kepergiannya. Ali
hanya termenung dengan mata yang mulai membasah.
Ali pun melangkah ke belakang rumah. Menatap pintu yang
menyandar di dinding belakang rumahnya. Pintu yang telah ia buat dengan hasil
jerih payahnya. Ia mencoba merenungi apakah pekerjaannya membuat pintu suatu
saat nanti bisa membahagiakan istrinya. Tapi ia selalu berusaha dan yakin akan
impiannya.
Ketika itu, Ali membayangkan istrinya. Dalam pikirannya ia
ingin mengajak istrinya kembali ke rumah. Namun ia tak tahu bagaimana caranya.
Nampaknya istrinya sudah amat marah. Ali kemudian menyentuh handle pintu yang
ia buat itu dan menariknya. Terkejutlah ia ketika apa yang ia lihat bukanlah
dinding belakang rumahnya, tapi menembus ke jalan beberapa puluh meter di depan
rumahnya. Dan tiba-tiba saja istrinya yang baru saja pergi dari rumah berada di
hadapannya. Istrinya pun terkejut bukan main ketika melihat sebuah pintu yang
dibuka Ali tiba-tiba muncul di tengah jalan.
Ali segera menarik istrinya masuk melalui pintu ajaib itu.
“Mas.... sebenernya ini apa sih mas....??!!” tanya istrinya
heran.
“Aku juga nggak tau. Pintu ini tiba-tiba seperti pintu
ajaib. Saat aku membayangkanmu tiba-tiba ketika pintu ini dibuka tepat berada
dihadapan kamu.”
“I.... ini pin... pintu ajaib..?!!” istrinya tercengang.
“Ya, tapi yang penting kamu sekarang kembali. Sudahlah
jangan pergi lagi!” pinta Ali pada istrinya.
“Mas... kalau ini pintu ajaib, itu artinya kita bisa pergi
kemana saja?”
“Aku nggak tau, tapi mungkin saja.”
“Kalau begitu kita coba mas,” sahut istrinya yang tiba-tiba
saja kemarahannya pada suaminya memudar.
Mereka berdua pun sepakat mencoba membayangkan sebuah pantai
yang indah namun tak ada pengunjung lain. Kemudian mereka membuka pintu itu
secara bersamaan. Terkejutlah mereka ketika melihat sebuah pantai yang indah
dan sepi. Butiran-butiran pasir putih dan ombak serta desir angin mereka
rasakan. Mereka pun melangkah beberapa langkah ke depan, menikmati suasana
pantai yang indah. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua, hanya mereka
berdua. Mereka menikmati suasana pantai sambil saling tersenyum dan tertawa. Padahal
baru kemarin mereka bertengkar. Namun rasa marah dan emosi itu seketika meleleh
menjadi rasa bahagia yang tiada terkira.
“Mas, ternyata benar ini pintu ajaib yang bisa membawa kita
kemanapun.”
“Ya, ternyata benar.”
Kemudian mereka pun mencoba ke tempat yang lain, ke hutan,
ke pegunungan, ke gurun, dan ternyata
memang benar, pintu itu bisa membawa ke tempat yang dipikirkan oleh yang
membuka pintu itu. Setelah puas mencoba, mereka pun kembali ke rumah.
“Mas, kalau begini, kita bisa kaya mas. Kita bilang saja
pada orang sekampung kalau mereka bisa pergi ke manapun. Dan mereka bisa
membayar pada kita mas.”
“I.. ia tapi....,” jawab Ali agak ragu.
“Ya sudah mas, aku akan bilang sama orang sekampung,” tukas
istrinya yang langsung pergi.
.....
Satu per satu warga kampung berdatangan. Semakin hari
semakin banyak saja yang ingin mencoba pergi ke tempat yang mereka inginkan
melalui pintu ajaib itu. Berita dari mulut ke mulut cepat menyebar bahkan
hingga ke kampung lain. Ibarat bulir-bulir kapas yang tertiup angin. Ali dan
istrinya pun kebanjiran banyak rejeki dari pungutan biaya para warga kampung
yang ingin memakai pintu ajaib itu. Antrian semakin panjang saja, sementara
istrinya Ali sibuk memunguti bayaran dari mereka. Bahkan hingga larut malam,
dan setelah lewat tengah malam, mereka harus memaksa warga yang masih mengantre
untuk pulang.
“Bapak-bapak... ibu-ibu.... hari ini tutup. Dilanjutkan
keesokan hari!!” ucap istrinya Ali setengah berteriak.
Semua warga pun pulang ke rumah masing-masing walau diantara
mereka banyak yang kecewa.
“Mas..... kita kaya mas.... kita kaya....!!!!” girang istrinya
yang memegang segepok uang setelah semua warga pulang.
Ali hanya menatapnya dengan nanar. Ali hanya tersenyum
tipis. Dalam hatinya, ia tak ingin menjadikan istrinya gila harta. Ada sedikit
rasa penyesalan walau kini istrinya sudah bahagia dan tak marah lagi padanya.
***
Keesokan harinya, di pagi hari sudah mengantre para warga
yang ingin mencoba pintu ajaib itu. Marni segera sibuk untuk menagih bayaran
dari orang-orang yang mengantre itu. Matahari semakin meninggi hingga turun
kembali saat sore hari. Namun antrean warga kelihatannya semakin mengular.
Berita adanya pintu ajaib di rumah Ali segera menyebar hingga ke desa lain. Dan
warga desa lain yang letaknya jauh pun berdatangan ke tempat itu. Ali hanya
geleng-geleng kepala melihat istrinya yang sibuk menagih uang dari orang yang
mengantre dari pagi hingga sore ini. Ia melihat istrinya telah dibutakan oleh
uang hingga ia melupakan segalanya, lupa sholat, lupa makan, lupa memasak. Ali
merenung dan berharap semoga saja pintu itu menjadi pintu biasa saja seperti
semula.
Keesokan harinya, di saat matahari baru menyapa dunia,
antrean sudah memanjang. Sebelum istrinya menagih uang dari mereka, Ali segera
menarik tangan istrinya.
“Kamu kenapa sih mas?!” kaget istrinya yang tangannya
ditarik.
“Aku nggak ingin hidup kita seperti ini. Karena uang kamu
jadi lupa segalanya, lupa kewajiban kamu untuk beribadah, lupa kewajiban kamu
sebagai istri.”
“Mas.... ini kesempatan kita jadi orang kaya mas. Aku cuma
nagih uang dari mereka. Aku bosen hidup miskin terus mas....!!!” tukas istrinya
meninggikan suaranya.
“Kalau jadinya seperti ini lebih baik kita hidup sederhana
saja!” ujar Ali pada istrinya. Namun istrinya tak menggubrisnya dan langsung melenggang
untuk membuka pagar rumahnya dan menagih uang pada orang-orang yang telah
mengantre.
Dari pagi hingga siang hari antrean tak putus-putus. Warga
yang ingin pergi ke tempat yang mereka inginkan dan kembali beberapa waktu
kemudian semakin banyak saja. Siang itu, Ali menyuruh istrinya untuk berhenti
sejenak untuk sholat Dzuhur dan makan siang. Namun istrinya yang asyik
mengumpulkan uang tak menggubrisnya. Bahkan ia menyuruh suaminya untuk
mengambilkan makanan untuk ia makan di dekat pintu ajaib itu sambil terus
menagih uang pada orang yang mengantre. Ali hanya mengelus dada, mencoba untuk
bersabar dan menuruti kemauan istrinya. Namun ketika sore hari, Ali menyuruh
istrinya untuk sholat Ashar, istrinya tetap tak menggubrisnya. Ali pun naik
pitam. Kesabarannya sudah tak mampu lagi dibendungnya.
“Cukup Marni...!!! Jika sikapmu seperti itu lebih baik pintu
ini aku rusak saja...!!” sertak Ali sambil mendorong pintu itu hingga
terjungkal dan retak di bagian bawahnya.
Istrinya tercengang kaget, begitupun seluruh warga yang
mengantre.
“Mas ini apa-apaan sih...!!” teriak Marni.
“Sudahhhh... bubar semua...!!!” tegas Ali pada semua warga
yang mengantre. Semua warga pun bubar dengan menggerutu.
“Mass.... mas kenapa sih mas??” tanya Marni yang sudah
merendahkan suaranya.
“Aku cuma nggak mau kamu dibutakan uang. Karena uang kamu
lupa semuanya. Kamu harusnya bisa mengatur waktu,” jawab Aku yang mulai
meredakan amarahnya.
“Tapi pintunya gimana mas?”
“Nanti malam aku perbaiki. Sudahlah, segera ambil wudhu dan
sholat Ashar!” perintah Ali pada istrinya dengan lembut.
***
Malam itu, Ali menghela nafas sejenak. Dihadapannya ada
pintu ajaib yang telah ia banting. Pintu ini adalah hasil jerih payahnya di
bengkel kayu. Namun dengan emosi, dia sendiri yang membantingnya. Ada sedikit
penyesalan telah membanting pintu itu sore tadi. Namun di sisi lain, ada juga
penyesalan kalau ia telah membuat pintu yang menjadikan istrinya lupa diri dan
gila harta.
Setelah dibanting keras sore tadi, pintu itu agak susah
untuk dibuka dari kusennya. Ali mencoba membukanya dengan paksa, tetap tak
bisa. Ia berhenti sejenak. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat ketika pertama
kali ia menikahi istrinya. Ketika itu, ia masih punya penghasilan tetap yang
cukup besar dari perusahaan tempatnya bekerja. Saat itu mereka hidup bahagia
dimana canda dan tawa selalu terpancar. Sambil membayangkan masa-masa itu, Ali
memegang handle pintu ajaib yang ada dihadapannya itu. Ia pun terkejut karena
tiba-tiba saja pintunya dengan mudah dapat dibuka. Namun yang membuatnya lebih
terkejut adalah, dihadapannya tampak sebuah ruangan di rumahnya di masa lalu.
Saat beberapa tahun yang lalu ia dan istrinya saling bercengkrama. Ali melihat
dirinya di masa lalu sedang duduk berdua dengan istrinya. Nampaknya mereka
tidak menyadari kehadiran Ali yang melihat dari pintu ajaib itu. Rupanya pintu
ajaib itu kini bukan hanya bisa membawa orang untuk pergi ke tempat yang
berbeda, tapi juga ke masa yang berbeda.
“Marni, aku bahagia sekali sama kamu,” ucap Ali di masa
lalu.
“Ia mas, aku juga bahagia sekali sama kamu. Apalagi kalo
kita nanti jadi orang kayaaaaaa banget,” ujar istrinya sembari menyandar di
pundaknya.
“Ya... semoga aja ya. Tapi jangan sampe kita diperbudak sama
harta. Dan tetap bersyukur dengan kondisi kita sekarang!” nasehat Ali pada
istrinya.
“Ia deh mas hehehe...,” tutur istrinya sembari tertawa
senang.
Ali segera menutup pintu ajaib itu. Ketika melihat masa
lalunya, ia merenung, mengapa kondisi seperti itu tak lagi ada pada
kehidupannya dan istrinya. Mereka justru kerap bertengkar, baik saat sulit,
maupun saat kebanyakan uang seperti saat ini.
Ali kembali ke kamarnya. Ia berbaring di kasur. Di
sampingnya, istrinya telah tertidur pulas sambil tetap memegang beberapa gepok
uang yang diperolehnya dari hasil menagih pada warga yang memakai pintu ajaib
itu. Ali memandangi istrinya yang tertidur di sampingnya. Entah kenapa, istrinya
yang sekarang lebih cinta terhadap uang. Bahkan karena tidak ada uang, ia rela
pergi dari rumah dan meninggalkan Ali. Hal itu membuatnya penasaran akan masa
depan mereka. Sekejap terlintas di benaknya untuk menggunakan pintu ajaib yang
kini bisa ke masa yang berbeda itu untuk melihat masa depan hidupnya dan
istrinya.
Ali berdiri di hadapan pintu ajaib itu. Dengan perlahan dibukanya
pintu ajaib itu sambil memikirkan bagaimana masa depannya nanti. Sekejab, dari
pintu yang dibuka itu terlihat jalanan kota Jakarta yang padat. Dan di
hadapannya ada seorang pengemis sedang terduduk di pinggir jalan. Wajahnya
tertutup oleh topi. Kakinya hanya satu, pakaiannya compang-camping. Dengan
memelas, ia menengadahkan tangannya pada siapa saja yang melintas.
Ali merasa terenyuh dengan pengemis itu. Ia mencoba
mendekatinya. Namun baru beberapa langkah mendekat, pengemis itu membuka
topinya. Ali menghentikan langkahnya. Dan terkejutlah Ali ketika melihat wajah
pengemis itu. Ternyata pengemis itu adalah dirinya sendiri.
“Kenapa aku bisa jadi
pengemis?? Kenapa kakiku hanya satu???” tanyanya ketika melihat dirinya di
masa depan.
Segera saja ia menutup pintu ajaib itu dengan segudang kata
tanya dan raut wajah yang mengkerut. Kemudian ia membayangkan bagaimana masa
depan istrinya. Ia pun membuka lagi pintu ajaib itu. Nampak sebuah ruangan di
rumah yang megah. Ali melihat ke sekeliling ruangan di rumah itu. Disana ada
Marni, istrinya, sedang duduk di sofa di ruang tamunya. Ia tak mengerti
bagaimana dirinya di masa depan menjadi pengemis, justru istrinya menjadi orang
yang tinggal di rumah semegah ini.
Tak lama kemudian Ali dibuat terkejut ketika seorang pria
berkemeja datang tanpa permisi dan menemui istrinya. Ali tak tau siapa dia.
“Sayang pokoknya sekarang nggak ada lagi yang ganggu kita.
Pengemis itu sudah aku tabrak, sepertinya kakinya patah dan ia tak bisa lagi
datang kesini tuk menganggu kita,” ucap lelaki itu.
Ali tercengang mendengar ucapan lelaki itu.
“Ohhh kacian mantan suamiku yang gembel itu hahahaha,” sahut
Marni sambil tertawa.
Mendengar ucapan itu, Ali sangat terkejut dan amat terpukul.
“Nggak mungkin, nggak mungkin Marni
setega itu padaku,” pekik Ali dalam hati yang tak menduga kalau istrinya
bersekongkol dengan lelaki itu untuk mencelakainya dan membuatnya menjadi
gelandangan. Ia segera menutup pintu ajaibnya dan membantingnya.
Di malam itu, ia berlari menjauh dari rumahnya, meninggalkan
istrinya yang tengah tertidur pulas.
====================================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon