Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Pintu Ajaib Ali


Seorang pria bertubuh kurus sedang duduk mengetam kayu yang akan ia jadikan kusen sambil melamun dengan tatapan yang nanar. Malam ini ia kerja sampai malam untuk membuat pintu di bengkel kayu kecil miliknya yang baru beberapa bulan ini ia rintis. Dalam lamunan, ia mengingat kembali perkataan istrinya malam kemarin yang secara keras menghardiknya.

“Mas, mas kenapa sih pake keluar segala dari pekerjaan? Mending kalo usaha mas sekarang bisa menghasilkan, jangankan untuk jalan-jalan kaya dulu, sekarang buat makan aja susah mas...!!” tegas Marni, isrinya.

Ali menunduk, kemudian mendekati istrinya dan mengusap pundaknya dengan tenang, 

“Sabar ya, Aku akan usaha sekeras mungkin buat kamu,” ucapnya tenang.

“Sabar... sabar sampai kapan mas...?! Dulu waktu mas masih kerja jadi pegawai, seenggaknya kita bisa liburan ke Pangandaran atau ke Jogja. Nah sekarang gak pernah sekalipun mas .. gak pernah, untuk makan saja sulit.”

“Aku janji sama kamu, suatu saat kita bakal bisa jalan-jalan lagi kemanapun. Ya, kemanapun, bahkan keluar negeri sekalipun.”

“Ahh nggak usah mimpi deh mas. Mas pikir dengan bekerja bikin pintu setiap hari bisa bikin kita kaya?!!!!” teriak istrinya menggema ke ruangan rumahnya yang mungil.

Mengingat ucapan itu, hari ini Ali bekerja keras membanting tulang untuk berusaha membereskan pekerjaan membuat kusen dan pintu. Bukan pesanan orang, tapi untuk mengganti pintu rumahnya yang telah rusak dimakan rayap. Ia mengerjakan itu karena hari ini sedang tak ada pesanan. Dan ia pun tahu kalau apa yang ia lakukan mungkin memang takkan membuatnya kaya dan bisa membawa istrinya jalan-jalan sampai ke luar negeri. Tapi ia akan membuat pintu yang terbaik agar setidaknya sedikit menyenangkan hati istrinya yang sering kesal lantaran pintu rumahnya sudah rusak.

Ia pun menyelesaikan kusen dan pintu tersebut setelah lewat tengah malam. Hari ini ia tak pulang ke rumah. Selain karena malam telah larut, ia pun tahu, istrinya pasti akan marah-marah lagi seperti malam kemarin jika ia pulang tanpa membawa uang. Di bengkel kayu yang mungil itu, ia terlelap diantara serbuk-serbuk kayu hasil mengetam.

Dalam tidurnya, ia bermimpi aneh sekali. Sebuah mimpi yang sama sekali tak pernah ia sangka. Dalam mimpinya itu, ia bertemu dengan doraemon. Doraemon mengeluarkan pintu ajaib dari kantongnya dan memberikannya pada Ali. Ali yang tak mengerti menerima pintu ajaib itu.

Seketika, ketika subuh telah tiba, Ali terbangun dari tidurnya. Keringat bercucuran dari keningnya seolah habis bermimpi dikejar setan. Mimpinya memang aneh dan kedengarannya lucu. Ia sendiri tak mengerti bagaimana ia bisa bermimpi bertemu doraemon, sementara ia tak pernah menonton doraemon di televisi kecuali saat ia masih kecil.

Setelah pagi tiba, ia pulang ke rumah dengan membawa pintu yang sudah jadi itu dengan sebuah gerobak. Tergopoh-gopoh Ali mendorong gerobak, dahinya bercucuran keringat. Istrinya yang cantik telah menunggunya di teras depan rumah sambil menyapu-nyapu teras. Bukan untuk menyambutnya, tapi dari ekspresinya ia terlihat kesal dan akan meluapkan emosinya ketika Ali datang.

“Kemana aja pagi baru pulang??!!!” bentak istrinya.

“Membereskan pekerjaan ini,” jawab Ali pelan sambil menunjuk pintu yang dibawanya di gerobak.

“Buat apa bawa pintu, bawa duit nggak??!! Kalo mas nggak bawa duit terus kita mau makan apa massss??!!! Mau makan pintu???!!!” tegas Marni.

Ali hanya menjawab pelan, “Sabar ya mah, mudah-mudahan nanti ada rezeki. Pintu ini buat ngeganti pintu depan rumah kita yang mulai dimakan rayap,” ucap Ali sambil mengangkat pintu dari gerobak.

“Ahhhh buat apa pintu kaya begini!!!” tukas istinya sembari mendorong pintu yang diangkat Ali dari gerobak hingga pintu itu jatuh keras.

Ali menatap istrinya tajam, seolah mulai naik pitam. Sadar keributan itu mulai dilihat warga, istrinya segera masuk ke rumah. Ali pun membendung emosinya. Ia menundukkan tubuhnya dan melihat kondisi pintu yang dibuatnya. Ada bagian yang belah di kayu bagian bawah pintu. Pintu ini tak bisa digunakan lagi, kerja kerasnya beberapa hari kemarin hingga larut malam tadi sia-sia. Ali pun membawa pintu itu ke belakang rumahnya dan menyandarkannya di dinding. Menatap pintu itu sembari menghembuskan nafas panjang.

Ketika malam tiba, istrinya telah tertidur lelap dan mengunci pintu kamarnya, sementara Ali tidur di ruang tamu beralaskan tikar. Ia berbaring menatap langit-langit rumahnya yang berlubang di beberapa bagian. Kemudian ia terlelap.
***

Pagi itu, ia dikejutkan ketika melihat istrinya keluar dari kamarnya dengan menenteng tas besar.

“Kamu mau kemana?” tanya Ali bingung.

“Aku mau pergi mas. Aku udah nggak tahan hidup sama kamu. Aku udah nggak tahan hidup miskin. Lebih baik aku kembali ke rumah orang tuaku mas,” jawab istrinya sambil melenggang keluar.

“Lebih baik kita selesaikan masalah ini. Jangan pergi begitu. Percaya sama aku, aku bisa bahagiain kamu, aku bisa ngajak kamu berlibur lagi kemanapun kamu mau suatu saat nanti.”

“Udah lah mas, nggak usah membual. Kesabaranku udah habis mas. Untuk makan saja sulit. Utang kita pada tetangga sudah menumpuk mas. Aku malu masss!!!” Marni pun pergi dan Ali tak mampu menahan kepergiannya. Ali hanya termenung dengan mata yang mulai membasah.

Ali pun melangkah ke belakang rumah. Menatap pintu yang menyandar di dinding belakang rumahnya. Pintu yang telah ia buat dengan hasil jerih payahnya. Ia mencoba merenungi apakah pekerjaannya membuat pintu suatu saat nanti bisa membahagiakan istrinya. Tapi ia selalu berusaha dan yakin akan impiannya.

Ketika itu, Ali membayangkan istrinya. Dalam pikirannya ia ingin mengajak istrinya kembali ke rumah. Namun ia tak tahu bagaimana caranya. Nampaknya istrinya sudah amat marah. Ali kemudian menyentuh handle pintu yang ia buat itu dan menariknya. Terkejutlah ia ketika apa yang ia lihat bukanlah dinding belakang rumahnya, tapi menembus ke jalan beberapa puluh meter di depan rumahnya. Dan tiba-tiba saja istrinya yang baru saja pergi dari rumah berada di hadapannya. Istrinya pun terkejut bukan main ketika melihat sebuah pintu yang dibuka Ali tiba-tiba muncul di tengah jalan.

Ali segera menarik istrinya masuk melalui pintu ajaib itu.

“Mas.... sebenernya ini apa sih mas....??!!” tanya istrinya heran.

“Aku juga nggak tau. Pintu ini tiba-tiba seperti pintu ajaib. Saat aku membayangkanmu tiba-tiba ketika pintu ini dibuka tepat berada dihadapan kamu.”

“I.... ini pin... pintu ajaib..?!!” istrinya tercengang.

“Ya, tapi yang penting kamu sekarang kembali. Sudahlah jangan pergi lagi!” pinta Ali pada istrinya.

“Mas... kalau ini pintu ajaib, itu artinya kita bisa pergi kemana saja?”

“Aku nggak tau, tapi mungkin saja.”

“Kalau begitu kita coba mas,” sahut istrinya yang tiba-tiba saja kemarahannya pada suaminya memudar.

Mereka berdua pun sepakat mencoba membayangkan sebuah pantai yang indah namun tak ada pengunjung lain. Kemudian mereka membuka pintu itu secara bersamaan. Terkejutlah mereka ketika melihat sebuah pantai yang indah dan sepi. Butiran-butiran pasir putih dan ombak serta desir angin mereka rasakan. Mereka pun melangkah beberapa langkah ke depan, menikmati suasana pantai yang indah. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua, hanya mereka berdua. Mereka menikmati suasana pantai sambil saling tersenyum dan tertawa. Padahal baru kemarin mereka bertengkar. Namun rasa marah dan emosi itu seketika meleleh menjadi rasa bahagia yang tiada terkira.

“Mas, ternyata benar ini pintu ajaib yang bisa membawa kita kemanapun.”

“Ya, ternyata benar.”

Kemudian mereka pun mencoba ke tempat yang lain, ke hutan, ke pegunungan, ke gurun,  dan ternyata memang benar, pintu itu bisa membawa ke tempat yang dipikirkan oleh yang membuka pintu itu. Setelah puas mencoba, mereka pun kembali ke rumah.

“Mas, kalau begini, kita bisa kaya mas. Kita bilang saja pada orang sekampung kalau mereka bisa pergi ke manapun. Dan mereka bisa membayar pada kita mas.”

“I.. ia tapi....,” jawab Ali agak ragu.

“Ya sudah mas, aku akan bilang sama orang sekampung,” tukas istrinya yang langsung pergi.
.....

Satu per satu warga kampung berdatangan. Semakin hari semakin banyak saja yang ingin mencoba pergi ke tempat yang mereka inginkan melalui pintu ajaib itu. Berita dari mulut ke mulut cepat menyebar bahkan hingga ke kampung lain. Ibarat bulir-bulir kapas yang tertiup angin. Ali dan istrinya pun kebanjiran banyak rejeki dari pungutan biaya para warga kampung yang ingin memakai pintu ajaib itu. Antrian semakin panjang saja, sementara istrinya Ali sibuk memunguti bayaran dari mereka. Bahkan hingga larut malam, dan setelah lewat tengah malam, mereka harus memaksa warga yang masih mengantre untuk pulang.

“Bapak-bapak... ibu-ibu.... hari ini tutup. Dilanjutkan keesokan hari!!” ucap istrinya Ali setengah berteriak.

Semua warga pun pulang ke rumah masing-masing walau diantara mereka banyak yang kecewa.

“Mas..... kita kaya mas.... kita kaya....!!!!” girang istrinya yang memegang segepok uang setelah semua warga pulang.

Ali hanya menatapnya dengan nanar. Ali hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tak ingin menjadikan istrinya gila harta. Ada sedikit rasa penyesalan walau kini istrinya sudah bahagia dan tak marah lagi padanya.
***

Keesokan harinya, di pagi hari sudah mengantre para warga yang ingin mencoba pintu ajaib itu. Marni segera sibuk untuk menagih bayaran dari orang-orang yang mengantre itu. Matahari semakin meninggi hingga turun kembali saat sore hari. Namun antrean warga kelihatannya semakin mengular. Berita adanya pintu ajaib di rumah Ali segera menyebar hingga ke desa lain. Dan warga desa lain yang letaknya jauh pun berdatangan ke tempat itu. Ali hanya geleng-geleng kepala melihat istrinya yang sibuk menagih uang dari orang yang mengantre dari pagi hingga sore ini. Ia melihat istrinya telah dibutakan oleh uang hingga ia melupakan segalanya, lupa sholat, lupa makan, lupa memasak. Ali merenung dan berharap semoga saja pintu itu menjadi pintu biasa saja seperti semula.

Keesokan harinya, di saat matahari baru menyapa dunia, antrean sudah memanjang. Sebelum istrinya menagih uang dari mereka, Ali segera menarik tangan istrinya.

“Kamu kenapa sih mas?!” kaget istrinya yang tangannya ditarik.

“Aku nggak ingin hidup kita seperti ini. Karena uang kamu jadi lupa segalanya, lupa kewajiban kamu untuk beribadah, lupa kewajiban kamu sebagai istri.”

“Mas.... ini kesempatan kita jadi orang kaya mas. Aku cuma nagih uang dari mereka. Aku bosen hidup miskin terus mas....!!!” tukas istrinya meninggikan suaranya.

“Kalau jadinya seperti ini lebih baik kita hidup sederhana saja!” ujar Ali pada istrinya. Namun istrinya tak menggubrisnya dan langsung melenggang untuk membuka pagar rumahnya dan menagih uang pada orang-orang yang telah mengantre.

Dari pagi hingga siang hari antrean tak putus-putus. Warga yang ingin pergi ke tempat yang mereka inginkan dan kembali beberapa waktu kemudian semakin banyak saja. Siang itu, Ali menyuruh istrinya untuk berhenti sejenak untuk sholat Dzuhur dan makan siang. Namun istrinya yang asyik mengumpulkan uang tak menggubrisnya. Bahkan ia menyuruh suaminya untuk mengambilkan makanan untuk ia makan di dekat pintu ajaib itu sambil terus menagih uang pada orang yang mengantre. Ali hanya mengelus dada, mencoba untuk bersabar dan menuruti kemauan istrinya. Namun ketika sore hari, Ali menyuruh istrinya untuk sholat Ashar, istrinya tetap tak menggubrisnya. Ali pun naik pitam. Kesabarannya sudah tak mampu lagi dibendungnya.

“Cukup Marni...!!! Jika sikapmu seperti itu lebih baik pintu ini aku rusak saja...!!” sertak Ali sambil mendorong pintu itu hingga terjungkal dan retak di bagian bawahnya.

Istrinya tercengang kaget, begitupun seluruh warga yang mengantre.

“Mas ini apa-apaan sih...!!” teriak Marni.

“Sudahhhh... bubar semua...!!!” tegas Ali pada semua warga yang mengantre. Semua warga pun bubar dengan menggerutu.

“Mass.... mas kenapa sih mas??” tanya Marni yang sudah merendahkan suaranya.

“Aku cuma nggak mau kamu dibutakan uang. Karena uang kamu lupa semuanya. Kamu harusnya bisa mengatur waktu,” jawab Aku yang mulai meredakan amarahnya.

“Tapi pintunya gimana mas?”

“Nanti malam aku perbaiki. Sudahlah, segera ambil wudhu dan sholat Ashar!” perintah Ali pada istrinya dengan lembut.
***

Malam itu, Ali menghela nafas sejenak. Dihadapannya ada pintu ajaib yang telah ia banting. Pintu ini adalah hasil jerih payahnya di bengkel kayu. Namun dengan emosi, dia sendiri yang membantingnya. Ada sedikit penyesalan telah membanting pintu itu sore tadi. Namun di sisi lain, ada juga penyesalan kalau ia telah membuat pintu yang menjadikan istrinya lupa diri dan gila harta.

Setelah dibanting keras sore tadi, pintu itu agak susah untuk dibuka dari kusennya. Ali mencoba membukanya dengan paksa, tetap tak bisa. Ia berhenti sejenak. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat ketika pertama kali ia menikahi istrinya. Ketika itu, ia masih punya penghasilan tetap yang cukup besar dari perusahaan tempatnya bekerja. Saat itu mereka hidup bahagia dimana canda dan tawa selalu terpancar. Sambil membayangkan masa-masa itu, Ali memegang handle pintu ajaib yang ada dihadapannya itu. Ia pun terkejut karena tiba-tiba saja pintunya dengan mudah dapat dibuka. Namun yang membuatnya lebih terkejut adalah, dihadapannya tampak sebuah ruangan di rumahnya di masa lalu. Saat beberapa tahun yang lalu ia dan istrinya saling bercengkrama. Ali melihat dirinya di masa lalu sedang duduk berdua dengan istrinya. Nampaknya mereka tidak menyadari kehadiran Ali yang melihat dari pintu ajaib itu. Rupanya pintu ajaib itu kini bukan hanya bisa membawa orang untuk pergi ke tempat yang berbeda, tapi juga ke masa yang berbeda.

“Marni, aku bahagia sekali sama kamu,” ucap Ali di masa lalu.

“Ia mas, aku juga bahagia sekali sama kamu. Apalagi kalo kita nanti jadi orang kayaaaaaa banget,” ujar istrinya sembari menyandar di pundaknya.

“Ya... semoga aja ya. Tapi jangan sampe kita diperbudak sama harta. Dan tetap bersyukur dengan kondisi kita sekarang!” nasehat Ali pada istrinya.

“Ia deh mas hehehe...,” tutur istrinya sembari tertawa senang.

Ali segera menutup pintu ajaib itu. Ketika melihat masa lalunya, ia merenung, mengapa kondisi seperti itu tak lagi ada pada kehidupannya dan istrinya. Mereka justru kerap bertengkar, baik saat sulit, maupun saat kebanyakan uang seperti saat ini.

Ali kembali ke kamarnya. Ia berbaring di kasur. Di sampingnya, istrinya telah tertidur pulas sambil tetap memegang beberapa gepok uang yang diperolehnya dari hasil menagih pada warga yang memakai pintu ajaib itu. Ali memandangi istrinya yang tertidur di sampingnya. Entah kenapa, istrinya yang sekarang lebih cinta terhadap uang. Bahkan karena tidak ada uang, ia rela pergi dari rumah dan meninggalkan Ali. Hal itu membuatnya penasaran akan masa depan mereka. Sekejap terlintas di benaknya untuk menggunakan pintu ajaib yang kini bisa ke masa yang berbeda itu untuk melihat masa depan hidupnya dan istrinya.

Ali berdiri di hadapan pintu ajaib itu. Dengan perlahan dibukanya pintu ajaib itu sambil memikirkan bagaimana masa depannya nanti. Sekejab, dari pintu yang dibuka itu terlihat jalanan kota Jakarta yang padat. Dan di hadapannya ada seorang pengemis sedang terduduk di pinggir jalan. Wajahnya tertutup oleh topi. Kakinya hanya satu, pakaiannya compang-camping. Dengan memelas, ia menengadahkan tangannya pada siapa saja yang melintas.

Ali merasa terenyuh dengan pengemis itu. Ia mencoba mendekatinya. Namun baru beberapa langkah mendekat, pengemis itu membuka topinya. Ali menghentikan langkahnya. Dan terkejutlah Ali ketika melihat wajah pengemis itu. Ternyata pengemis itu adalah dirinya sendiri.

“Kenapa aku bisa jadi pengemis?? Kenapa kakiku hanya satu???” tanyanya ketika melihat dirinya di masa depan.

Segera saja ia menutup pintu ajaib itu dengan segudang kata tanya dan raut wajah yang mengkerut. Kemudian ia membayangkan bagaimana masa depan istrinya. Ia pun membuka lagi pintu ajaib itu. Nampak sebuah ruangan di rumah yang megah. Ali melihat ke sekeliling ruangan di rumah itu. Disana ada Marni, istrinya, sedang duduk di sofa di ruang tamunya. Ia tak mengerti bagaimana dirinya di masa depan menjadi pengemis, justru istrinya menjadi orang yang tinggal di rumah semegah ini.

Tak lama kemudian Ali dibuat terkejut ketika seorang pria berkemeja datang tanpa permisi dan menemui istrinya. Ali tak tau siapa dia.

“Sayang pokoknya sekarang nggak ada lagi yang ganggu kita. Pengemis itu sudah aku tabrak, sepertinya kakinya patah dan ia tak bisa lagi datang kesini tuk menganggu kita,” ucap lelaki itu.

Ali tercengang mendengar ucapan lelaki itu.

“Ohhh kacian mantan suamiku yang gembel itu hahahaha,” sahut Marni sambil tertawa.
Mendengar ucapan itu, Ali sangat terkejut dan amat terpukul. “Nggak mungkin, nggak mungkin Marni setega itu padaku,” pekik Ali dalam hati yang tak menduga kalau istrinya bersekongkol dengan lelaki itu untuk mencelakainya dan membuatnya menjadi gelandangan. Ia segera menutup pintu ajaibnya dan membantingnya.


Di malam itu, ia berlari menjauh dari rumahnya, meninggalkan istrinya yang tengah tertidur pulas. 

====================================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon