Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Mata Untukmu


Seorang wanita keluar dari sebuah rumah sakit dituntun oleh seorang pria yang selalu menemaninya dan selalu menuntunnya ke manapun wanita itu pergi. Langkahnya perlahan–lahan sembari membawa tongkat di tangan kananya dan meraba-raba apa yang ada di hadapannya. Namanya Nursyam, Nur artinya cahaya dan Syam artinya matahari. Ironis memang seorang wanita muda berkulit putih berambut anggun ini memiliki nama yang berarti cahaya matahari. Namun ia sendiri sejak lahir belum pernah melihat cahaya matahari sepanjang hidupnya. Ya, ia terlahir buta. Saat itu ayahnya Pak Gito begitu menyesal memiliki anak yang buta sejak lahir, bahkan ayahnya hampir saja menitipkannya di panti asuhan. Namun ibunya, Bu Ratna melarangnya, ia yakin anaknya akan menjadi anak yang hebat.

Hari itu Dadan membawanya ke rumah sakit untuk memeriksa apakah matanya bisa melihat kembali atau tidak. Dadan adalah pria berbadan tegap yang selalu menemani Nursyam. Ia selalu menyemangati Nursyam ketika Nursyam merasa lemah dengan kebutaannya itu. Ia dengan sepenuh hati menuntun langkahnya kemanapun Nursyam pergi. Ia seolah menjadi mata baginya.

Menurut pemeriksaan dokter, mata Nursyam tidak bisa diperbaiki, kecuali jika ada donor mata yang bersedia mendonorkan matanya. Mendengar hal itu Nursyam sedikit pesimis. Ia duduk termenung sendiri, mengarahkan wajahnya ke cahaya matahari, merasakan hangatnya sinar matahari walaupun ia tak bisa melihatnya.

“Nur, sudahlah itu kan kata dokter. Kalau Allah menghendaki kamu pasti bisa melihat lagi,ujar Dadan menenangkan hati Nursyam.

“Ia mas, makasih kamu selalu nenangin aku,kata Nursyam sambil sedikit tersenyum lega.

Mereka pun lantas pergi ke taman dan bermain ayunan. Senyum Nursyam pun kembali menghiasi wajahnya setelah Dadan menemaninya dengan penuh canda tawa.

“Nur, kamu mau engga ikut denganku?” tanya Dadan.

Kemana mas?” Nur pun balik bertanya.

“Ke rumahku,jawab Dadan.

Dadan pun membawa Nur ke rumahnya dengan menaiki motornya. Ia nampaknya hendak mengenalkan Nur pada kedua orang tuanya. Nursyam  awalnya merasa tidak percaya diri saat Dadan hendak membawanya ke rumah orang tuanya. Tapi setelah diyakinkan Dadan, akhirnya ia pun mau juga.

Sesampainya di rumah orang tuanya, Dadan menuntun kekasihnya itu dengan kasih sayang menuju ke depan pintu rumahnya. Perasaan berdebar berkecamuk dalam hati Nursyam. Tapi Dadan terus menenangkannya.

Pintu rumah pun dibuka, dan dihadapannya telah berdiri bapak dan ibunya. Dadan pun langsung mengenalkan kekasihnya itu pada kedua orang tuanya.

“Pak, bu, kenalin ini Nursyam yang dulu aku certain,kata Dadan sambil menjulurkan tangan Nursyam.

Bapak dan ibunya hanya terdiam memandangi Nur. Mereka terhenyak dan kemudian bapaknya akhirnya berbicara, “Kamu ini buta yah?” tanya bapaknya Dadan dengan suara lantang.

Mendengar hal itu Nursyam menundukkan kepala, ia merasa dirinya begitu rendah dihadapan mereka. Mentalnya terjungkal sampai ke jurang yang paling dalam. Lantas ia pun berbalik arah dan pergi dari tempat itu walau tak tau arah. Ia tak mampu membendung tetesan air mata yang turun membasahi pipinya.

“Bapak ini kok bilang gitu sih pa?” tanya Dadan pada bapaknya.

“Kamu ini gimana Dan, masih banyak di luar sana gadis yang lebih sempurna,ucap bapaknya dengan nada marah.

Dadan pun pergi mengejar Nursyam yang menjauh dari rumah itu. “Nur, sudahlah ga usah dipikirin yah apa yang bapakku ucapkan,kata Dadan menangkan hati Nur.

“Sudahlah emang bener kok, Nur ini buta. Mas Dadan kan bisa cari wanita lain yang lebih sempurna,jawab Nur sambil sedikit menangis dan menghalau tangan Dadan yang berupaya menahannya.

“Engga Nur, walaupun kamu buta, tapi kamu bisa melihat dengan mata hati,ujar Dadan yang kembali menenangkan hati Nur.

Sejak saat itu, Dadan tak kembali ke rumahnya, ia lebih memilih tinggal di kosan. Dan satu hal lagi, tak secuil pun pikiran Dadan yang menuntunnya tuk meninggalkan Nursyam, meskipun ia buta.

Kebahagiaan, itulah yang diinginkan gadis buta itu, dan Dadan sangat mengerti apa yang diinginkan kekasihnya itu. Beberapa hari ini Dadan telah memikirkan matang–matang tentang langkah apa yang ia ambil dalam hidupnya. Menikahi Nursyam, yah itulah yang ia pikirkan. Ia tak peduli walaupun orang tuanya sendiri menentangnya. Dan hari itu juga ia lantas pergi ke rumah gadis itu tuk mengutarakan niatnya.

“Nur, ikut aku yuk!” ajak Dadan. Nur hanya terdiam karena dalam benaknya masih teringat peristiwa tempo hari. “Engga Nur, bukan ke rumah orang tua ku. cuma ke taman aja,ucap Dadan.

Mereka pun duduk di taman menikmati udara yang sejuk duduk di bawah pohon yang rindang di hamparan rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh mekar di taman.

“Eh, Nur. . . .aku pingin bilang sesuatu sama kamu,ucap Dadan.

“Apa mas?” tanya Nur.

“Kamu mau kan menikah denganku?” jawab Dadan.

Nursyam terdiam sejenak dan berkata, “Tapi mas gimana dengan orang tuamu.”

“Sudahlah, tak usah kau risaukan,jawab Dadan.

“Tapi aku nggak mau mas,jawab Nur menggelengkan kepala.

Mendengar jawaban itu Dadan kaget dan terdiam. Ia menundukkan kepala walaupun ia belum tau apa alasan Nur mengucapkan hal itu.

“Aku nggak mau nikah mas, sebelum aku bisa melihat,jawab Nur.

 “Suatu saat kamu pasti bisa melihat Nur,jawab Dadan meyakinkan Nur.

Mereka pun pulang kembali. Dadan yang mendengar ucapan kekasihnya itu segera berpikir di sudut ruang di kamar kosannya. Ia berpikir bagaimana caranya membuat Nur bisa melihat kembali. Ia lantas mencari di internet mengenai kebutaan sejak lahir, ia juga pergi ke toko buku, dan ke rumah sakit tuk bertanya kembali pada dokter tentang bagaimana membuat Nur bisa melihat. Tapi semuanya tak ada jawabnya. Dokter hanya bilang, “Cuma ada satu cara, melalui oprasi dan butuh donor mata.”

Ia lantas mencari orang yang bisa mendonorkan matanya untuk gadis pujaanya itu, ia mencari di internet, dan di seluruh pelosok kota. “Namun mana ada” pikirnya. Orang yang menyumbang dalam bentuk uang saja sulit, apalagi dalam bentuk organ tubuh.

Tapi akhirnya setelah mencari ke sana kemari ia pun menelephone Nur untuk memberi sebuah kabar gembira padanya,

“Halo, Nur,kata Dadan di telephone.

“Ia mas ada apa?” jawab Nur

“Aku punya kabar gembira untukmu,kata Dadan.

“Apa mas?” tanya Nur penasaran.

“Sebentar lagi, kamu bisa melihat lagi, aku sudah menemukan donor mata untukmu,ujar Dadan.

Mendengar hal itu, Nur merasa sangat gembira sekali. Ia tak sabar ingin melihat lagi, ia tak sabar ingin melihat cahaya matahari, dan tentu ingin menikah dengan kekasih pujaannya yang selalu membahagiakan dia.

Seminggu kemudian, Nur diantar keluarganya menuju ke rumah sakit untuk operasi matanya. Semua keluarganya menunggu di luar berharap–harap cemas akan anaknya. Sedangkan Nur pun demikian, ia sangat tak sabar ingin bisa melihat lagi.

Operasi pun berjalan lancar, tapi perbannya baru bisa dibuka seminggu kemudian. Perasaan penuh harapan bersinggah di hati Nur. Namun ia tak merasakan keberadaan mas Dadan akhir–akhir ini.

“Mas Dadan ke mana yah mah, kayanya dia nggak ada di sekitarku akhir–akhir ini?” Tanya Nur pada mamahnya.

“Ehmmm. . .dia lagi sibuk sama kerjaannya katanya,jawab mamahnya.

Beberapa hari kemudian perbannya pun dibuka secara perlahan–lahan. Sehelai demi sehelai hingga akhirnya pelan–pelan dibukanya kedua kelopak matanya. Pertama semuanya nampak menyilaukan baginya, tapi perlahan ia bisa melihat ya, ia bisa melihat. Ia bisa melihat wajah ayahnya, ibunya, rumahnya, dan tentu cahaya matahari. Betapa senangnya hatinya saat itu karena saat itulah adalah saat pertama kali semenjak lahir ia bisa melihat dunia ini.

“Ehhmm, mah mas Dadan mana?” Tanya Nur pada ibunya. Ibunya hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaan itu. Lantas ia pun langsung saja menelephone Dadan untuk memberitahu kabar gembira ini.

“Mas, aku punya kabar gembira mas,kata Nur di telephone.

“Apa itu Nur?” tanya Dadan.

“Aku sudah bisa melihat mas,jawab Nur dengan riang gembira.

“Syukurlah, mas turut senang,kata Dadan tersenyum.

“Kalau begitu aku mau menikah sama kamu mas, oh ia mas kemana aja sih ke rumah dong !” kata Nur pada Dadan.

“Oh, ia. . . .ia mas kesana sekarang,jawab Dadan sambil menutup telephonenya.

Nursyam pun menunggu di depan rumah. Ia tak sabar ingin melihat wajah mas Dadan, kekasihnya yang selalu setia bersamanya. Yang selalu setia menuntunnya. Namun lama tak kunjung datang lelaki yang diharapkannya itu.

Tapi ada seorang pria berkacamata hitam dan berjalan menggunakan tongkat menuju rumahnya. Pria itu pun meraba–raba apa yang ada di hadapannya. Lantas sampailah pria itu tepat di depan teras rumah Nur.

“Maaf, siapa kamu?” tanya  Nursyam pada pria itu.

“Aku. . .aku Dadan Nur aku Dadan. Aku senang sekali kamu bisa melihat lagi Nur, sungguh aku senang sekali mendengar kabar itu,ucap pria itu dengan gembira.

“Jadi, . . . . .kamu itu mas Dadan?” ucap Nur dengan wajah kaget.

“Ia aku Dadan Nur, kekasih kamu, Kamu ingat kan, kamu mau menikah denganku kalau kau bisa melihat lagi?” ujar Dadan.

“Aku. . . . .aku engga mau menikah dengan kamu. Kamu pasti bukan mas Dadan, mas Dadan engga mungkin buta kaya gini,ucap Nur dengan suara lantang.

“Ta. . . . .tapi Nur,ucap Dadan.

“Sudahlah kamu pergi saja dari sini aku gak mau melihat kamu . .!!” teriak Nur pada pria buta itu lalu membanting pintu.

Nur pun lantas lari ke kamarnya dan mengurung dirinya di kamar. Ia tak menyangka kalau pria yang selama ini menemaninya adalah orang buta, orang cacat. Ia sangat mendambakan lelaki yang sempurna, bukan lelaki seperti itu. Sementara itu pria buta itu pun pergi dari rumah itu dengan meninggalkan secarik kertas di teras rumah Nur.

Seharian Nur tak keluar kamar. Ia hanya bisa mengurung diri di kamar karena setelah melihatnya, mas Dadan yang ia dambakan ternyata tak seperti apa yang ia harapkan.

Setelah seharian mengurung diri, sore itu akhirnya ia keluar dari kamar. Emosinya yang membara pagi itu telah reda sedikit demi sedikit. Ia pun sedikit menyadari kalau sikapnya pada mas Dadan pria buta itu, terlalu keras. Ia lantas melanggkahkan kakinya ke teras rumahnya.

Di sana ia temukan secarik kertas dengan tulisan yang tak rapih. Rupanya itu tulisan pria buta itu,

“Nur, aku seneng banget kamu bisa melihat lagi. Aku juga minta maaf kalau aku yang seperti ini tak seperti apa yang kamu harapkan. Aku tau kalau aku tak pantas buat kamu dan aku nggak akan memintamu lagi tuk menikah denganku. Dan aku juga enggak akan muncul di hadapanmu lagi. Tapi aku minta satu hal sama kamu yah Nur. Tolong kamu jaga mataku baik–baik.”
~Dadan~

Begitulah kurang lebih isi pesan di secarik kertas terebut. Tetesan air mata pun menetes pada helaian kertas itu ketika Nur membaca surat itu. Ia baru tau kalau yang mendonorkan mata untuknya adalah Dadan kekasih yang selama ini bersamanya. Rupanya Dadan jadi buta gara–gara mendonorkan matanya untuknya. Ia sangat menyesal sekali mengusirnya dari rumahnya, membentaknya, menolaknya, padahal tak sedetik pun Dadan meninggalkannya walaupun ia buta kala itu. Bahkan Dadan selalu membelanya, sekalipun harus bertentangan dengan orang tuanya.


Nur pun mencari Dadan ke sana kemari, namun ia tak pernah menemukan lelaki itu. Setelah Dadan melangkahkan kaki dari rumah Nur, entah tak ada orang yang tau keberadaanya hingga sang waktu terus berlalu. Hingga akhirnya Nur membaca sebuah berita di surat kabar, seorang lelaki buta tewas tertabrak mobil ketika ia sedang menyebrang. Dan ternyata pria itu adalah Dadan. Sontak berita itu membuatnya berteriak dan meringis, menimbulkan penyesalan yang tiada berujung.

==========================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Kan Kulompati Batu Itu


Tak terasa hampir dua tahun kubelajar di kampus ini, kampus paling favorit di Bandung, di kota kelahiranku. Aku merasa orang yang paling beruntung, karena aku diberi kesempatan untuk menimba berember-ember ilmu disini. Walau di perjalanan seringkali aku menjadi pusat perhatian, maksudku banyak orang memandangiku dengan tatapan yang merendahkan, atau kadang ada pula yang mencibirku, juga mengerutkan dahi.

Semenjak kecelakaan tiga tahun silam, aku selalu berjalan menggunakan dua tongkat yang kuapit di ketiak tuk menuntun langkahku. Kecelakaan itu membuat kaki kananku lumpuh total, sehingga aku hanya menggunakan kaki kiriku sebagai tumpuan.

Beruntung, di kampus aku punya teman-teman yang sangat baik padaku. Mereka tak terlalu peduli keadanku yang seperti ini. Yah, walau memang ada saja orang yang mencibir dan merendahkanku. Tapi aku tetap tersenyum, karena aku yakin kesempurnaan itu hanya milik Allah. Dan Allah menyukai orang-orang yang menjadikan kekurangan sebagai suatu kelebihan, bukan lantas mengeluh, atau merasa lemah.

Aku juga beruntung karena setiap kali ada orang yang meremehkanku, Azmi selalu menyemangatiku, memotifasiku. Aku salut padanya, namanya Azmi Daeli, ia adalah seorang mahasiswi yang jauh merantau dari salah satu desa di pulau Nias. Telah lebih dari setahun kami membina hubungan. Bahkan liburan semester kali ini, ia mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan pada orang tuanya di Nias tepatnya di desa Bawomataluo.

“Sandi. . . . .! Sandi. . . . .! Sandi Ardiana. . . . .!

“Oh i. . .ia pa.”

“Kamu lagi nulis apa? Tolong kamu bagikan hasil ujian semester ini pada teman-temanmu !”

“Oh ia pa.”

Sandi Ardiana itulah dia, untung saja nggak ketauan kalo dia lagi nulis diary. Dia memang sering menulis apapun tentang hidupnya di sebuah diary. Walaupun biasanya perempuan yang sering nulis di diary. Tapi Sandi merasa diary itu adalah teman tuk berbagi cerita. Terutama semenjak ia mengalami kecelakaan dan harus hidup sebagai orang cacat.
***

Libur semester pun tiba, Sandi tengah bersiap tuk berangkat bersama Azmi ke kampung halamannya di Nias. Segala perlengkapan pun telah dipersiapkan.

“Mah, Sandi berangkat dulu mah,ucapnya berpamitan pada ibunya.

“Ia nak, hati-hati, salam buat orangtuanya Azmi.”

“Ia mah, makasih.”

Diiringi pagi yang dingin mereka mulai berangkat. Melalui perjalanan yang amat panjang menuju sebuah pulau nan eksotis. Telah hampir setahun lamanya Azmi tak mengunjungi kampung halamnya karena letaknya yang jauh dan untuk ke sana ia harus mengumpulkan uang terlebih dahulu.

Namun kini Azmi lebih beruntung karena untuk ke Nias sudah bisa lebih cepat dengan adanya penerbangan dari bandara Polonia. Jika dahulu, ia membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk pulang kampung, kini mereka bisa naik pesawat yang membutuhkan waktu relatif cepat. Dari udara pun terlihat pemandangan laut yang menakjubkan. Tak sabar rasanya bagi Sandi untuk menginjakkan kaki di pulau nan eksotis tersebut.
***

Inilah Tano Niha, Sesampainya di pulau itu, Sandi tak sabar ingin melihat keindahan pantai pulau tersebut. Maka pergilah mereka ke pantai.

“Ya’ahowu. . .!” ucap salah satu warga setempat.

Sandi hanya tersenyum karena tak mengerti apa maksudnya,

“Itu sapaan orang Nias.” ujar Azmi.

Angin sepoi-sepoi meniup wajah yang disoroti sinar matahari. Tak henti-hentinya mata memandang pesona pantai nan indah, laut yang biru, gulungan ombak yang seolah saling berkejar-kejaran. Ada pula turis-turis mancanegara yang bermain selancar, mencoba tuk berteman dengan ombak dan angin. Tapi mereka segera bergegas melanjutkan perjalanan dan mereka  harus tiba di desa Bawomataluo (tempat tinggal Azmi) sebelum datangnya larut malam.

Desa itu adalah desa yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Terlihat rumah-rumah tradisional berdiri di desa tersebut. Begitu pun dengan rumah Azmi yang ditunjuknya. Langkah demi langkah membawa mereka tepat di depan pintu rumah Azmi. Malam telah larut ketukan halus dari jemari Azmi nampaknya tak cukup terdengar, namun beberapa ketukan barulah pintu dibuka.

“Azmi. . . .!!” ucap ibunya sambil memeluk anaknya yang telah lama tak berjumpa. Begitupun ayahnya Azmi.

Namun tatapan tajam sang ayah diarahkan pada pria cacat yang datang bersama anaknya itu. Ia melihat sekujur tubuh Sandi mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kondisi Sandi yang memakai tongkat pun menjadi pusat pandangannya.

“Ehh, ayah. . .ibu, ini Sandi lelaki yang pernah Azmi ceritakan lewat surat waktu itu,ujar Azmi memperkenalkan kekasihnya itu.
Ayahnya pun hanya terdiam mendengar penjelasan Azmi, tak sedikitpun tangannya digerakannya tuk menyambut salam dari Sandi yang menjulurkan tangannya.

“Ini lelaki yang kamu banggakan?” tanya sang ayah dengan wajah sinis.

Sandi hanya tertunduk merasa dirinya rendah dan tak pantas bersanding dengan Azmi.

“Ia ayah, dia sangat baik ayah,ucap Azmi membela Sandi di hadapan ayah dan ibunya.

“Hmm. . .Azmi, masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih sempurna dari pada lelaki cacat ini,ucap ayahnya sambil menepuk bahu anaknya.

Tapi ayah. . .”

“Sudahlah, kamu masuk Azmi!” ujar ayahnya menyuruhnya masuk dan membiarkan Sandi di luar.

Azmi tak bisa melawan kehendak ayahnya, ia berbalik menatap Sandi dan kemudian masuk ke rumahnya dengan perasaan bersalah yang teramat besar.

Sandi hanya duduk bersandar di teras rumah itu. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan ayahnya Azmi itu. Mungkin Azmi tak pantas dengan dirinya yang cacat. Tapi di sisi lain ia juga punya tekad yang kuat untuk membuktikan pada orang tuanya Azmi bahwa walaupun ia cacat, tapi ia mampu menjaga Azmi dan membahagiakannya. Ia pun terus berpikir tentang dirinya hingga lelap membawanya ke alam mimpi di tengah dingin yang menusuk kulit.
***

Ketika pagi menghampiri, saat mentari baru bersiap memancarkan sinarnya di Tano Niha, Sandi masih terduduk disitu, di teras kayu rumah Azmi. Tentu saja ia tak tau harus ke mana. Maka dibukalah pintu rumah itu dari dalam.

“Kamu ngapain masih disini?!” Rupanya ayahnya Azmi yang galak dengan kumis tebalnya itu.

“Ayah, ia tak punya siapa-siapa di pulau ini, biarlah ia tinggal disini beberapa hari saja ayah,ucap Azmi memohon sambil mencengkram baju ayahnya.

“Tidak nak, ayah tak sudi kamu punya calon suami yang cacat seperti dia,ucap ayahnya.

“Pak, saya tau saya cacat tapi saya yakin bisa menjaga Azmi pak, saya akan melakukan apapun untuk dia pak,ucap Sandi mencoba meyakinkan Pa Tobias (ayahnya Azmi).

“Baiklah kalau kamu yakin, saya akan menyetujui hubungan kalian.”

“Makasih ayah. . . .”

“Makasih pa. . .”

“Tapi dengan satu syarat,ucap Pa Tobias  melanjutkan perkataannya.

“Apa itu pa?” tanya Sandi.

Pa Tobias pun mengajak Sandi ke suatu tempat. Di sebuah tanah lapang terdapat tumpukan batu yang berdiri menyerupai dinding. Rupanya itu adalah batu yang biasa dilompati masyarakat Nias.

Sandi hanya terdiam, terpaku tak berbicara ketika Pa Tobias menunjuk ke batu itu dan berkata padanya bahwa syarat agar hubungannya dengan Azmi disetujui ia harus bisa melompati batu itu. Karena menurut kebudayaan setempat, seorang lelaki dikatakan dewasa jika bisa melompati batu itu. Namun Sandi hanya tertunduk memandingi kondisi kakinya saat ini, tentu tak mungkin ia bisa melompati batu itu jika untuk berjalan tanpa tongkat pun ia tak mampu.

Azmi menentang keinginan ayahnya itu habis-habisan dan memohon agar tak memberikan syarat seperti itu. Namun kerasnya hati ayahnya tak ubahnya seperti batu dihadapan mereka.

Di tengah perdebatan Azmi dengan Ayahnya, Sandi pun menjatuhkan kedua tongkatnya dan berlari secepat mungkin walau dengan satu kaki. Langkah kakinya semakin dekat pada batu loncatan dan ia pun melompat sekuat tenaga dengan satu kaki itu.

“Sandiiiiiiiii. . . . . .jangaaaaaaaaaannnnnnnnn. . . . .!!” teriak Azmi kala itu.

Namun teriakan itu tak membuat Sandi berhenti. Ia melompat melalui batu lompatan, namun sayang tumpuannya saat berlari yang hanya menggunakan satu kaki tak cukup kuat untuk melompati batu setinggi 2 meter. Ia pun tersungkur terbentur batu dan tak sadarkan diri. Azmi segera berlari menghampirinya, mengusap dahinya yang mengeluarkan darah. Kali ini ia merasa cemas akan kondisi Sandi.
***

Sejak kejadian itu. Pak Tobias mengijinkannya untuk tinggal sementara di rumahanya. Tapi bukan berarti ia telah menyetujui hubungan mereka. Di rumahnya pun Sandi tinggal di ruangan tempat menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Walaupun begitu tak masalah buatnya. Bahkan dengan kondisi kepala masih diikat perban dan tentu saja kaki kanan yang masih lumpuh, ia tetap saja menyemangati dirinya dan percaya suatu saat nanti bakal bisa melompati batu itu.

Setiap pagi, Sandi selalu keluar rumah dan memandangi batu itu. Ia menanamkan keyakinan bahwa dirinya bisa melompati batu itu, entah bagaimana caranya.
***

Hari berganti hari ia belum juga bisa menemukan cara bagaimana melompati batu tersebut.
Di suatu malam, di tengah kesunyian ia berjalan seorang diri di tengah desa itu. Ia merasa tak bisa tidur lantaran memikirkan soal lompat batu itu. Di tengah kebingungannya tiba-tiba terdengar orang yang berteriak “kebakaraaaaannnnnn. . .kebakarannnnnn . . .!!” Ia pun menoleh ke belakang, dan dilihatnya api dan asap yang mengepul ke atas. Wajahnya mendadak cemas karena kebakaran itu berasal dari arah rumah Azmi. Ia hanya berharap kebakaran itu bukan berasal dari rumah Azmi. Ia pun menggenggam tongkatnya kuat-kuat dan berlari sekuat tenaga.

Kecemasan itu semakin membesar ketika ia melihat rumah yang kebakaran itu memanglah rumah Azmi. Segera saja ia menerobos kerumunan dan berharap Azmi dan keluarganya telah keluar dari rumah itu. Sorot matanya berkelana mencari gadis pujaan hatinya itu, namun tak ia temukan Azmi disana. Yang ada hanyalah ayah dan ibunya yang berteriak memanggil nama anaknya yang rupanya masih berada di dalam rumah yang kebakaran itu. Berulang kali sang ibu ingin merangsak masuk ke rumahnya untuk menyelamatkan anaknya, namun suaminya dan masyarakat memegangi tangannya dan melarangnya karena api sudah sangat membesar.

Namun tanpa berpikir panjang, Sandi segera melepas tongkat pegangannya itu dan berlari menuju rumah yang dikelilingi api yang berkobar. Sebuah keajaiban yang tak disadarinya terjadi, rupanya ia berlari dengan dua kaki. Kaki kanan yang lumpuh itu tiba-tiba saja berfungsi dengan baik.

Di antara kerumunan api dan asap ia mencoba mencari gadis berkerudung itu. Dipanggil-panggilnya namanya namun tak jua ada sahutan. Setelah ia menendang pintu kamar yang mulai terbakar ia pun menemukan gadis itu telah tak sadarkan diri. Segera ia meraihnya dan membawanya keluar.

Api telah semakin ganas, asapnya pun membuatnya sulit tuk bernafas. Sambil menggendong gadis itu ia mencari jalan keluar. Semua jalan telah tertutup api. Namun ia melihat ada cara. Ia pun berlari sekuat tenaga melompati api yang tingginya hampir 2 meter, dan akhirnya mereka berhasil keluar dari ganasnya api yang membakar rumah itu. Semua warga pun menyambutnya dengan rasa lega, tak terkecuali ayah dan ibunya Azmi. Dan untuk pertama kalinya Pak Tobias memeluk pria berani itu dan mengucapkan trimakasih padanya dengan penuh rasa haru. Ia juga meminta maaf atas sikapnya selama ini dan akhirnya menyetujui hubungannya dengan anaknya.

Selang berapa lama kemudian, Sandi baru sadar kakinya bisa berfungsi kembali dan ia pun bersujud dan mengucapkan rasa syukur.
***

Selang beberapa hari kemudian, di pagi yang cerah seluruh masyarakat sekitar berkumpul di lapangan. Seluruh mata terpusat pada batu yang bertumpuk di tengah lapang, serta seorang pemuda yang siap tuk berlari melompati batu itu.

Dengan penuh keyakinan, Sandi bersiap berlari sekencang mungkin, sementara di belakangnya, Azmi dan kedua orang tuanya menyemangatinya. Segera saja langkah kakinya begitu cepat melesat, kemudian melompat dari batu lompatan dan dengan sukses melompati batu halangan yang tinggi itu. Riuh penonton serta tepuk tangan pun menyambut keberhasilannya. terutama Azmi dan keluarganya.


“Segala keterbatasan bisa dikalahkan oleh tekad yang kuat”

==========================================================
Sebuah Cerpen:
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Kegigihan Air Mengalahkan Batu


Di suatu hutan yang lebat singa menyebut dirinya sebagai raja hutan.Singa merasa dirinya makhluk terkuat di hutan. Ia meraung begitu gagahnya dan semua makhluk hutan lainnya takut padanya. Namun ternyata ada yang menentang pengakuan tersebut. Ada yang merasa bahwa dirinya lebih kuat dari singa.

Mencengkram tanah tak terlepaskan, disana ia berada. Di tengah kebisuannya, di tengah kediamannya ternyata ia merasa sebagai yang terkuat di hutan itu, bahkan lebih kuat dari singa. Ialah batu, yang berda di samping pohon pinus dan telah berada di sana dari waktu yang lampau.

Si batu amat sombong, ia sering berkata pada rumput, pohon, ataupun hewan di sekitarnya bahwa ialah si raja hutan. Namun tentu  pasti banyak yang menentang. Kayu pun mencoba menentangnya, ia menjatuhkan sebagian dari dirinya dan membenturkannya pada si batu. Namun sayang, ternyata kayu patah oleh kerasnya batu. Batu pun semakin sombong.

Kesombongan si batu yang merasa dirinya paling kuat di hutan itu mulai tersiar di seluruh hutan dan sampai di telinga Sang Singa si raja hutan. Mendengar hal itu, bangsa singa geram. Mereka berencana untuk mengajak si batu bertarung dan membuktikan siapa yang kuat.
***

Keesokan harinya rombongan singa mulai menuju tempat batu besar itu berada. Mereka tak terima jika ada yang mengklaim sebagai raja hutan. Karena singalah raja hutan yang sebenarnya. Sesampainya di sana, salah satu singa menantang batu untuk beradu kekuatan. Si batu dengan sombongnya menyambut tantangan tersebut dengan tanpa rasa takut sama sekali. Sang batu hanya diam saja dan tak bergerak sedikitpun, sementara si singa mulai maju dan menunjukkan taring-taringnya yang begitu tajam. Singa itu pun mencoba tuk menggigit batu dengan taring-taring yang setajam pisau belati itu. Namun batu terlalu besar dan terlaru keras untuk digigit. Singa pun menyakar-nyakar batu tersebut, namun apa daya justru kukunya yang patah. Ia mencoba mundur sejenak, lalu lari secepat mungkin dan menyeruduk batu itu sekuat tenaga.

Malang, singa itu pun terjatuh, dari kepalanya meneteskan darah setelah membentur batu itu. Ia pun tewas. Singa yang lain pun tak ada yang berani melawan batu itu dan mereka mengakui si batulah yang terkuat. Si batulah raja hutan yang sebenarnya.
***

Bertahun-tahun berlalu dan sampai saat ini si batu masih diakui sebagai yang terkuat di hutan itu. Ia semakin sombong saja, siapa saja yang melewatinya selalu direndahkan, dihina dan ia selalu menyombongkan dirinya.

Itulah cerita yang kudengar tentang kesombongan si batu dari pohon, dan juga hewan-hewan di hutan. Tak ada yang berani menentang kesombongan si batu, karena ia amat keras dan siapa saja tak mampu menghancurkannya. Semuanya pasrah pada kesombongan si batu, kecuali,. . . .kecuali ayah.

“Kita harus bisa menghancurkan kesombongan si batu, kita harus bisa menghancurkan kerasnya batu ituuuu. . .!!!!” kata ayah di depan jutaan tetes air.

Ayah adalah pemimpin di kerajaan air. Aku salut pada semangatnya, walaupun kita ini bangsa air yang lembek, yang lemah, tapi ayah selalu menyemangati semua tetes air agar kita harus kuat dan jangan menyerah, bahkan pada si batu yang keras itu.

Semua memang tak percaya, tak yakin kalau bangsa air bisa menghancurkan si batu, tak terkecuali aku. Kami memang setetes air, kami memang jauh lebih lemah dari pada kerasnya si batu. Tapi ayah, ayah tak sedikitpun gentar. kulihat tangannya mengepal, dan ekspresinya begitu menggebu saat berdiri di hadapan jutaan tetes air dan meneriakkan semangat pada kami kalau kami mampu menghancurkan kesombongan si batu.

Kemudian ada setetes air yang bertanya pada ayah ,”rajaaa, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan batu yang keras itu?”

Ayah pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia  menundukkan mukanya dan berbalik arah. Kasihan ayah, ia punya semangat yang menggebu namun hingga saat ini belum menemukan caranya untuk mengalahkan si batu. Aku tau ia tak mudah menyerah, aku tau ia selalu memikirkan hal itu, aku tau dia, oh ayah.
***

Hingga malam kian larut ia belum jua tidur. Aku tau ayah memikirkan dan terus memikirkan bagaimana caranya mengalahkan batu. kulihat ia berjalan ke luar di tengah gelapnya malam. Diam-diam aku mencoba mengikutinya dari belakang. Aku hanya ingin tau kemana ayah hendak pergi di tengah malam begini. Kulihat ayah melihat batu besar itu. Ia menatapnya, dan menghampirinya, sedangkan aku melihatnya di balik persembunyianku. Ayah begitu berani mendekati batu itu, entah apa yang hendak dilakukannya. Semakin dekat langkahnya dengan sang batu aku semakin cemas. kulihat ayah berbincang dengan batu itu, namun kutak tau apa yang sedang dibicarakannya. Dari kepalan tangannya dan raut wajahnya kulihat ayah memendam emosi pada batu itu, sementara si batu hanya tersenyum sinis padanya.

Benar saja, kulihat ayah semakin tak kuasa menahan emosi. Entah apa yang diucapkan batu hingga ayah begitu naik pitam. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia membenturkan dirinya pada si batu dengan begitu keras. Namun si Batu tak terusik sedikitpun. Aku tak tega melihat ayah seperti itu. Aku pun berteriak memanggilnya dan menghampirinya, “Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh, sudahlah ayah sudah. . .!!”

Aku mencoba menarik ayah, namun ia tetap berusaha melawan si batu itu, “Suahlah nak, biarkan ayah memberi pelajaran pada batu itu, ayah tidak bisa diam saja, ia telah merendahkan bangsa air,ucap ayah dengan penuh emosi.

Aku mencoba menenangkannya dan berusaha menariknya pulang. Ayah pun tak sadarkan diri karena kelelahan dan akibat benturan keras dengan batu. Kubawanya pulang dan kurebahkan badannya. Kasihan ayah. “Aku tak mau ayah begini, sudahlah ayah, batu itu memang tak mungkin kita kalahkan,” kuberucap padanya yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.

Walaupun telah terluka ketika melawan si batu, ayah yang merupakan raja dari bangsa air tak menyerah begitu saja. Semangatnya tak mudah pudar. Namun aku masih tak mengerti mengapa ayah sebegitu dendamnya pasa si batu. Aku tak percaya jika ayah sedendam itu hanya karena si batu merasa paling kuat di hutan ini, merasa sebagai raja hutan. Aku tau ayah bukan ingin menjadi raja hutan, ia bukanlah orang yang angkuh. Aku yakin ayah menyembunyikan sesuatu tentang dendamnya pada si batu itu.

Kucoba tuk menghampiri ayah ketika ia sedang duduk sendiri. Aku bertanya padanya pelan-pelan,

“Ayah, kita ini cuma setetes air, mana mungkin kita bisa menghancurkan batu yang sekeras itu. Memang ada apa yah, kenapa ayah sampai senekat itu? Kenapa ayah sepertinya begitu dendam pada batu itu?”

Mendengar pertanyaan itu, ayah hanya terdiam seribu bahasa. Kulihat mulutnya menutup rapat-rapat, ia tak mau menjelaskan padaku tentang dendamnya pada batu. Ayah hanya bungkam, sama seperti dahulu kutanyakan tentang ibu, saat kutanyakan dimana ibu. Mungkinkah keduanya ada kaitannya? Yah, entahlah, aku tak tau. Mungkin suatu saat ayah akan bicara padaku.
***

Di depan seluruh rakyatnya ayah kembali berpidato. Kali ini semangatnya semakin kencang. Ayah sudah seperti pahlawan proklamasi yang menyulut rakyatnya tuk berjuang melawan penjajah. Ia berbicara begitu menggebu-gebu dan sesekali menjulurkan kepalan tangannya ke atas. Di depan jutaan tetes air ayah berucap bahwa kita bukanlah meteri yang lemah. Kita bisa mengalahkan batu jika tekad kita kuat.

Kini pidatonya tak terlalu sia-sia, ada Ali, Samsul, dan Mahmud yang juga ikut berteriak dan percaya kalau kita bisa mengalahkan batu. Kemudain satu per satu tetes air yang lain pun percaya dan meneriakkan semangatnya. Kulihat mata ayah berbinar, ia terharu dan ia semakin semangat meneruskan pidatonya.

Di pidatonya ayah bercerita tentang batu di Jepang. Walaupun batu bisa menghancurkan gunting, tapi pernah disana batu bisa dikalahkan kertas yang sepertinya lemah dan mudah sobek. Itu ujar ayah menyemangati rakyatnya. Ayah juga ingin membuktikan pada dunia kalau di Indonesia ada batu yang bisa dikalahkan air.
***

Setelah berpidato hari itu, kudekati ayah yang sedang mengusap keringat di dahinya. kulihat matanya berkaca-kaca dan senyum terukir di bibirnya. Ia nampak letih usai membakar semangat rakyatnya. Tapi ia merasa amat senang kini rakyatnya percaya dan yakin bisa mengalahkan batu. Tapi saat kuhampiri lebih dekat, kudengar ayah berucap sendiri, “Akan kubalasksan dendamku batu, aku akan menhancurkanmu yang telah membunuh istriku dan merendahkan bangsa air.” Samar-samar itu yang kudengar. Aku begitu terkejut mendengar itu.

“Ayah, apa benar ibu. . . . ibu dibunuh oleh batu itu?tanyaku pada ayah dengan suara yang bergetar.

Ayah pun terkejut melihat kehadiranku, namun ia masih enggan menceritakan padaku soal itu.

“Sudahlah nak, tak usah kita bahas,kata ayah sambil memalingkan wajahnya.

“Tapi ayah, ceritakan padaku ayah, aku berhak tau,aku terus mendesaknya untuk menceritakan hal itu padaku. Sampai akhirnya ia mau menceritakan padaku soal itu.

Waktu ayah masih jadi rakyat biasa, dan aku terlalu kecil tuk mengerti sesuatu, Ayah sedang berjalan-jalan dengan aku dan ibu. Lantas si batu menunjukkan kesombongannya dengan menghina kami bangsa air. Ia menyebut bangsa air sebagai bangsa yang lemah, tak seperti batu yang kuat. Lambat laun kesabaran ayah mulai terkikis. Ia pun menghampiri batu dan berkelahi dengannya. Namun ibu begitu sayang padaku dan ayah menghalau kami berdua hingga akhirnya ibu yang terlindas oleh batu itu. Itu yang ayah ceritakan padaku. Dan sejak saat itu ayah bertekad untuk menjadi raja, untuk membela bangsa air dan menghancurkan batu itu.
***

Saat kami sedang di rumah, salah seorang pengawal mengetuk pintu istana. Nafasnya terengah-engah, pengawal itu nampak tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran dari keningnya.

“Raja. . .raja. . .raja gawat raja. . ,kata pengawal itu.

“Ada apa, gawat apanya?” kata ayah bertanya dan ikut cemas.

“Ratusan tetes air terbunuh saat melewati sekitar batu.

Mendengar berita itu ayah naik pitam. Hampir-hampir saja urat lehernya keluar. Ayah bergegas keluar dan menyuruh pengawal untuk mengumpulkan rakyat.

Dengan semangat menggebu ayah membakar semangat seluruh rakyat. Saat itu ayah mengatakan bahwa sejak dahulu kita telah berhasil mengalahkan api, dan saat ini pun kita pasti bisa mengalahkan batu.

“Ayo kita semua maju menuju batu ituuuu. . .. !!!!” ucap ayah memerintahkan seluruh rakyatnya dengan penuh semangat.

Kita semua beserta jutaan tetes air tiba di hadapan batu itu. Namun batu itu nampak tak gentar menghadapi kami. Ia malah menunjukkan kesombongannya dan menghina bangsa kami. Batu itu berucap bahwa keinginan air untuk mengalahkan batu hanyalah mimpi di siang bolong. Hal itu semakin menyulut kemarahan kami.

Ayah memerintahkan seorang prajurit untuk maju melawan batu. Prajurit yang gagah berani itu sama sekali tak gentar dan langsung maju mendekati si batu. Ia masuk melalui akar pohon yang ada di samping batu, lalu naik ke atas melalui batang pohon itu hingga tiba di ujung ranting. Kemudian di ujung ranting ia melompat ke bawah dan membenturkan dirinya ke batu sekeras mungkin. Prajurit itu pun tewas, dan si batu hanya merasa sedikit geli.

Lalu satu per satu pasukan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan satu per satu di antara mereka tewas. Mereka mengorbankan nyawa mereka demi membela bangsa air.

“Ayah, sudahlah ayah ini sia-sia, ini pengorbanan yang sia-sia.” Aku memohon pada ayah tuk menghentikan semua ini.

Tetes demi tetes air tewas, nyawa demi nyawa melayang. Tapi ayah tak menggubris perkataanku. Kemudian ayah melangkahkan kakinya kedepan dan mendekati batu itu. Sempat terdengar perkataan terakhirnya, “Maafkan ayah nak.” Dan kemudian ayah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan prajuritnya, membenturkan dirinya pada batu dengan titik yang sama. Aku pun tak kuasa melihat ayah meluncur dari ujung ranting dan membenturkan dirinya pada batu yang keras. Akupun tak kuasa membendung air mata.

Namun pengorbanan ayah menyulut semangat seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya satu per satu maju dan melakukan hal yang sama. Mereaka pun tewas satu per satu. Aku pun merasa tersulut dengan pengorbanan ayah, dan juga pengorbanan seluruh rakayat air. Dengan semangat, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini giliranku.”

Dengan penuh keyakinan aku berjalan mendekati batu itu, kemudian masuk ke tanah dan menelusuri akar pohon, merasupi batang mealalui xilem, dan aku telah tiba di ujung ranting. kulihat batu di bawah sana, aku pun berteriak, “Ayahhhhhhhhhhhhh. . . . Ibuuuuuuu. . . .!!!!!!” Aku meneriakkan nama mereka berdua. Aku pun meluncur ke bawah dengan kecepatan gravitasi. Lalu berbenturan dengan batu yang keras itu. Sempat kudengar batu mulai berteriak kesakitan. Dan sampai disinilah aku bisa menceritakan perjuanganku, perjuangan ayah, dan semua bangsa air. Semoga perjuangan kami tak sia-sia.
***


Tahun demi tahun berlalu, puluhan tahun, dan ratusan tahun kemudian seluruh keturunan bangsa air meneruskan perjuangan meraka. Mereka pun melakukan hal yang sama dengan mengorabankan nyawa mereka. Dan setelah ratusan tahun berlalu, selama itu juga batu itu dijatuhi air pada titik yang sama. Akhirnya batu itu pun hancur, hancur bersama kesombongannya. Dan sejak saat itu tak ada lagi kesombongan di hutan itu. Namun bangsa air menolak dinobatkan sebagai raja hutan. Sehingga mahkota raja hutan kembali diberikan pada singa.

=======================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles