Tak terasa hampir dua tahun kubelajar
di kampus ini, kampus paling favorit di Bandung, di kota kelahiranku. Aku
merasa orang yang paling beruntung, karena aku diberi kesempatan untuk menimba
berember-ember ilmu disini. Walau di perjalanan seringkali aku menjadi pusat
perhatian, maksudku banyak orang memandangiku dengan tatapan yang merendahkan,
atau kadang ada pula yang mencibirku, juga mengerutkan dahi.
Semenjak kecelakaan tiga tahun
silam, aku selalu berjalan menggunakan dua tongkat yang kuapit di ketiak tuk
menuntun langkahku. Kecelakaan itu membuat kaki kananku lumpuh total, sehingga
aku hanya menggunakan kaki kiriku sebagai tumpuan.
Beruntung, di kampus aku punya
teman-teman yang sangat baik padaku. Mereka tak terlalu peduli keadanku yang
seperti ini. Yah, walau memang ada saja orang yang mencibir dan merendahkanku.
Tapi aku tetap tersenyum, karena aku yakin kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Dan Allah menyukai orang-orang yang menjadikan kekurangan sebagai
suatu kelebihan, bukan lantas mengeluh, atau merasa lemah.
Aku juga beruntung karena
setiap kali ada orang yang meremehkanku, Azmi selalu menyemangatiku,
memotifasiku. Aku salut padanya, namanya Azmi Daeli, ia adalah seorang
mahasiswi yang jauh merantau dari salah satu desa di pulau Nias. Telah lebih
dari setahun kami membina hubungan. Bahkan liburan semester kali ini, ia
mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan pada orang tuanya di Nias tepatnya di
desa Bawomataluo.
“Sandi. . . . .! Sandi. . . . .! Sandi Ardiana. . .
. .!
“Oh i. . .ia pa.”
“Kamu lagi nulis apa? Tolong kamu bagikan hasil
ujian semester ini pada teman-temanmu !”
“Oh ia pa.”
Sandi Ardiana itulah dia, untung saja nggak ketauan
kalo dia lagi nulis diary. Dia memang sering
menulis apapun tentang hidupnya di sebuah diary.
Walaupun biasanya perempuan yang sering nulis di diary. Tapi Sandi merasa diary
itu adalah teman tuk berbagi cerita. Terutama semenjak ia mengalami kecelakaan
dan harus hidup sebagai orang cacat.
***
Libur semester pun tiba, Sandi tengah bersiap tuk
berangkat bersama Azmi ke kampung halamannya di Nias. Segala perlengkapan pun
telah dipersiapkan.
“Mah, Sandi berangkat dulu mah,” ucapnya berpamitan pada
ibunya.
“Ia nak, hati-hati, salam buat orangtuanya Azmi.”
“Ia mah, makasih.”
Diiringi pagi yang dingin mereka mulai berangkat.
Melalui perjalanan yang amat panjang menuju sebuah pulau nan eksotis. Telah
hampir setahun lamanya Azmi tak mengunjungi kampung halamnya karena letaknya
yang jauh dan untuk ke sana ia harus mengumpulkan uang terlebih dahulu.
Namun kini Azmi lebih beruntung karena untuk ke Nias
sudah bisa lebih cepat dengan adanya penerbangan dari bandara Polonia. Jika
dahulu, ia membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk pulang kampung, kini
mereka bisa naik pesawat yang membutuhkan waktu relatif cepat. Dari udara pun
terlihat pemandangan laut yang menakjubkan. Tak sabar rasanya bagi Sandi untuk
menginjakkan kaki di pulau nan eksotis tersebut.
***
Inilah Tano Niha, Sesampainya di pulau itu, Sandi
tak sabar ingin melihat keindahan pantai pulau tersebut. Maka pergilah mereka
ke pantai.
“Ya’ahowu. . .!” ucap salah satu warga setempat.
Sandi hanya tersenyum karena tak mengerti apa
maksudnya,
“Itu sapaan orang Nias.” ujar Azmi.
Angin sepoi-sepoi meniup wajah yang disoroti sinar
matahari. Tak henti-hentinya mata memandang pesona pantai nan indah, laut yang
biru, gulungan ombak yang seolah saling berkejar-kejaran. Ada pula turis-turis
mancanegara yang bermain selancar, mencoba tuk berteman dengan ombak dan angin.
Tapi mereka segera bergegas
melanjutkan perjalanan dan mereka harus
tiba di desa Bawomataluo (tempat tinggal Azmi) sebelum datangnya larut malam.
Desa itu adalah desa yang sangat menjunjung tinggi
kebudayaan setempat. Terlihat rumah-rumah tradisional berdiri di desa tersebut.
Begitu pun dengan rumah Azmi yang ditunjuknya. Langkah demi langkah membawa
mereka tepat di depan pintu rumah Azmi. Malam telah larut ketukan halus dari
jemari Azmi nampaknya tak cukup terdengar, namun beberapa ketukan barulah pintu
dibuka.
“Azmi. . . .!!” ucap
ibunya sambil memeluk anaknya yang telah lama tak berjumpa. Begitupun ayahnya
Azmi.
Namun tatapan tajam sang ayah diarahkan pada pria
cacat yang datang bersama anaknya itu. Ia melihat sekujur tubuh Sandi mulai
dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kondisi Sandi yang memakai tongkat pun
menjadi pusat pandangannya.
“Ehh, ayah. . .ibu, ini Sandi lelaki yang pernah
Azmi ceritakan lewat surat waktu itu,”
ujar Azmi memperkenalkan
kekasihnya itu.
Ayahnya pun hanya terdiam mendengar penjelasan Azmi,
tak sedikitpun tangannya digerakannya tuk menyambut salam dari Sandi yang
menjulurkan tangannya.
“Ini lelaki yang kamu banggakan?” tanya sang ayah
dengan wajah sinis.
Sandi hanya tertunduk merasa dirinya rendah dan tak
pantas bersanding dengan Azmi.
“Ia ayah, dia sangat baik ayah,” ucap Azmi membela Sandi
di hadapan ayah dan ibunya.
“Hmm. . .Azmi, masih banyak lelaki yang lebih baik
dan lebih sempurna dari pada lelaki cacat ini,” ucap
ayahnya sambil menepuk bahu anaknya.
“Tapi
ayah. . .”
“Sudahlah, kamu masuk Azmi!” ujar ayahnya
menyuruhnya masuk dan membiarkan Sandi di luar.
Azmi tak bisa melawan kehendak ayahnya, ia berbalik
menatap Sandi dan kemudian masuk ke rumahnya dengan perasaan bersalah yang
teramat besar.
Sandi hanya duduk bersandar di teras rumah itu. Ia
berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan ayahnya Azmi itu. Mungkin Azmi
tak pantas dengan dirinya yang cacat. Tapi di sisi lain ia juga punya tekad
yang kuat untuk membuktikan pada orang tuanya
Azmi bahwa walaupun ia cacat, tapi ia mampu menjaga Azmi dan membahagiakannya.
Ia pun terus berpikir tentang dirinya hingga lelap membawanya ke alam mimpi di
tengah dingin yang menusuk kulit.
***
Ketika pagi menghampiri, saat mentari baru bersiap
memancarkan sinarnya di Tano Niha, Sandi masih terduduk disitu, di teras kayu rumah
Azmi. Tentu saja ia tak tau harus ke mana. Maka dibukalah pintu rumah itu dari
dalam.
“Kamu ngapain masih disini?!” Rupanya ayahnya Azmi
yang galak dengan kumis tebalnya itu.
“Ayah, ia tak punya siapa-siapa di pulau ini,
biarlah ia tinggal disini beberapa hari saja ayah,” ucap
Azmi memohon sambil mencengkram baju ayahnya.
“Tidak nak, ayah tak sudi kamu punya calon suami
yang cacat seperti dia,”
ucap ayahnya.
“Pak, saya tau saya cacat tapi saya yakin bisa
menjaga Azmi pak, saya akan melakukan apapun untuk dia pak,” ucap Sandi mencoba
meyakinkan Pa Tobias (ayahnya Azmi).
“Baiklah kalau kamu yakin, saya akan menyetujui
hubungan kalian.”
“Makasih ayah. . . .”
“Makasih pa. . .”
“Tapi dengan satu syarat,” ucap Pa Tobias melanjutkan perkataannya.
“Apa itu pa?” tanya Sandi.
Pa Tobias pun mengajak Sandi ke suatu tempat. Di
sebuah tanah lapang terdapat tumpukan batu yang berdiri menyerupai dinding.
Rupanya itu adalah batu yang biasa dilompati masyarakat Nias.
Sandi hanya terdiam, terpaku tak berbicara ketika Pa
Tobias menunjuk ke batu itu dan berkata padanya bahwa syarat agar hubungannya
dengan Azmi disetujui ia harus bisa melompati batu itu. Karena menurut kebudayaan
setempat, seorang lelaki dikatakan dewasa jika bisa melompati batu itu. Namun
Sandi hanya tertunduk memandingi kondisi kakinya saat ini, tentu tak mungkin ia
bisa melompati batu itu jika untuk berjalan tanpa tongkat pun ia tak mampu.
Azmi menentang keinginan ayahnya itu habis-habisan
dan memohon agar tak memberikan syarat seperti itu. Namun kerasnya hati ayahnya
tak ubahnya seperti batu dihadapan mereka.
Di tengah perdebatan Azmi dengan Ayahnya, Sandi pun
menjatuhkan kedua tongkatnya dan berlari secepat mungkin walau dengan satu
kaki. Langkah kakinya semakin dekat pada batu loncatan dan ia pun melompat
sekuat tenaga dengan satu kaki itu.
“Sandiiiiiiiii. . . . . .jangaaaaaaaaaannnnnnnnn. .
. . .!!” teriak Azmi kala itu.
Namun teriakan itu tak membuat Sandi berhenti. Ia
melompat melalui batu lompatan, namun sayang tumpuannya saat berlari yang hanya
menggunakan satu kaki tak cukup kuat untuk melompati batu setinggi 2 meter. Ia
pun tersungkur terbentur batu dan tak sadarkan diri. Azmi segera berlari
menghampirinya, mengusap dahinya yang mengeluarkan darah. Kali ini ia merasa
cemas akan kondisi Sandi.
***
Sejak kejadian
itu. Pak Tobias mengijinkannya untuk tinggal sementara di rumahanya. Tapi bukan
berarti ia telah menyetujui hubungan mereka. Di rumahnya pun Sandi tinggal di
ruangan tempat menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Walaupun
begitu tak masalah buatnya. Bahkan dengan kondisi kepala masih diikat perban
dan tentu saja kaki kanan yang masih lumpuh, ia tetap saja menyemangati dirinya
dan percaya suatu saat nanti bakal bisa melompati batu itu.
Setiap pagi, Sandi selalu keluar rumah dan
memandangi batu itu. Ia menanamkan keyakinan bahwa dirinya bisa melompati batu
itu, entah bagaimana caranya.
***
Hari berganti hari ia belum juga bisa menemukan cara
bagaimana melompati batu tersebut.
Di suatu malam, di tengah kesunyian ia berjalan
seorang diri di tengah desa itu. Ia merasa tak bisa tidur lantaran memikirkan
soal lompat batu itu. Di tengah kebingungannya tiba-tiba terdengar orang yang
berteriak “kebakaraaaaannnnnn. . .kebakarannnnnn . . .!!” Ia pun menoleh ke
belakang, dan dilihatnya api dan asap yang mengepul ke atas. Wajahnya mendadak
cemas karena kebakaran itu berasal dari arah rumah Azmi. Ia hanya berharap kebakaran
itu bukan berasal dari rumah Azmi. Ia pun menggenggam tongkatnya kuat-kuat dan
berlari sekuat tenaga.
Kecemasan itu semakin membesar ketika ia melihat
rumah yang kebakaran itu memanglah rumah Azmi. Segera saja ia menerobos
kerumunan dan berharap Azmi dan keluarganya telah keluar dari rumah itu. Sorot
matanya berkelana mencari gadis pujaan hatinya itu, namun tak ia temukan Azmi
disana. Yang ada hanyalah ayah dan ibunya yang berteriak memanggil nama anaknya
yang rupanya masih berada di dalam rumah yang kebakaran itu. Berulang kali sang
ibu ingin merangsak masuk ke rumahnya untuk menyelamatkan anaknya, namun
suaminya dan masyarakat memegangi tangannya dan melarangnya karena api sudah
sangat membesar.
Namun tanpa berpikir panjang, Sandi segera melepas
tongkat pegangannya itu dan berlari menuju rumah yang dikelilingi api yang
berkobar. Sebuah keajaiban yang tak disadarinya terjadi, rupanya ia berlari
dengan dua kaki. Kaki kanan yang lumpuh itu tiba-tiba saja berfungsi dengan
baik.
Di antara kerumunan api dan asap ia mencoba mencari
gadis berkerudung itu. Dipanggil-panggilnya namanya namun tak jua ada sahutan.
Setelah ia menendang pintu kamar yang mulai terbakar ia pun menemukan gadis itu
telah tak sadarkan diri. Segera ia meraihnya dan membawanya keluar.
Api telah semakin ganas, asapnya pun membuatnya
sulit tuk bernafas. Sambil menggendong gadis itu ia mencari jalan keluar. Semua
jalan telah tertutup api. Namun ia melihat ada cara. Ia pun berlari sekuat
tenaga melompati api yang tingginya hampir 2 meter, dan akhirnya mereka
berhasil keluar dari ganasnya api yang membakar rumah itu. Semua warga pun
menyambutnya dengan rasa lega, tak terkecuali ayah dan ibunya Azmi. Dan untuk
pertama kalinya Pak Tobias memeluk pria berani itu dan mengucapkan trimakasih
padanya dengan penuh rasa haru. Ia juga meminta maaf atas sikapnya selama ini
dan akhirnya menyetujui hubungannya dengan anaknya.
Selang berapa lama kemudian, Sandi baru sadar
kakinya bisa berfungsi kembali dan ia pun bersujud dan mengucapkan rasa syukur.
***
Selang beberapa hari kemudian, di pagi yang cerah
seluruh masyarakat sekitar berkumpul di lapangan. Seluruh mata terpusat pada
batu yang bertumpuk di tengah lapang, serta seorang pemuda yang siap tuk
berlari melompati batu itu.
Dengan penuh keyakinan, Sandi bersiap berlari
sekencang mungkin, sementara di belakangnya, Azmi dan kedua orang tuanya
menyemangatinya. Segera saja langkah kakinya begitu cepat melesat, kemudian
melompat dari batu lompatan dan dengan sukses melompati batu halangan yang
tinggi itu. Riuh penonton serta tepuk tangan pun menyambut keberhasilannya.
terutama Azmi dan keluarganya.
“Segala keterbatasan bisa dikalahkan oleh tekad yang
kuat”
==========================================================
Sebuah Cerpen:
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon