Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Kan Kulompati Batu Itu


Tak terasa hampir dua tahun kubelajar di kampus ini, kampus paling favorit di Bandung, di kota kelahiranku. Aku merasa orang yang paling beruntung, karena aku diberi kesempatan untuk menimba berember-ember ilmu disini. Walau di perjalanan seringkali aku menjadi pusat perhatian, maksudku banyak orang memandangiku dengan tatapan yang merendahkan, atau kadang ada pula yang mencibirku, juga mengerutkan dahi.

Semenjak kecelakaan tiga tahun silam, aku selalu berjalan menggunakan dua tongkat yang kuapit di ketiak tuk menuntun langkahku. Kecelakaan itu membuat kaki kananku lumpuh total, sehingga aku hanya menggunakan kaki kiriku sebagai tumpuan.

Beruntung, di kampus aku punya teman-teman yang sangat baik padaku. Mereka tak terlalu peduli keadanku yang seperti ini. Yah, walau memang ada saja orang yang mencibir dan merendahkanku. Tapi aku tetap tersenyum, karena aku yakin kesempurnaan itu hanya milik Allah. Dan Allah menyukai orang-orang yang menjadikan kekurangan sebagai suatu kelebihan, bukan lantas mengeluh, atau merasa lemah.

Aku juga beruntung karena setiap kali ada orang yang meremehkanku, Azmi selalu menyemangatiku, memotifasiku. Aku salut padanya, namanya Azmi Daeli, ia adalah seorang mahasiswi yang jauh merantau dari salah satu desa di pulau Nias. Telah lebih dari setahun kami membina hubungan. Bahkan liburan semester kali ini, ia mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan pada orang tuanya di Nias tepatnya di desa Bawomataluo.

“Sandi. . . . .! Sandi. . . . .! Sandi Ardiana. . . . .!

“Oh i. . .ia pa.”

“Kamu lagi nulis apa? Tolong kamu bagikan hasil ujian semester ini pada teman-temanmu !”

“Oh ia pa.”

Sandi Ardiana itulah dia, untung saja nggak ketauan kalo dia lagi nulis diary. Dia memang sering menulis apapun tentang hidupnya di sebuah diary. Walaupun biasanya perempuan yang sering nulis di diary. Tapi Sandi merasa diary itu adalah teman tuk berbagi cerita. Terutama semenjak ia mengalami kecelakaan dan harus hidup sebagai orang cacat.
***

Libur semester pun tiba, Sandi tengah bersiap tuk berangkat bersama Azmi ke kampung halamannya di Nias. Segala perlengkapan pun telah dipersiapkan.

“Mah, Sandi berangkat dulu mah,ucapnya berpamitan pada ibunya.

“Ia nak, hati-hati, salam buat orangtuanya Azmi.”

“Ia mah, makasih.”

Diiringi pagi yang dingin mereka mulai berangkat. Melalui perjalanan yang amat panjang menuju sebuah pulau nan eksotis. Telah hampir setahun lamanya Azmi tak mengunjungi kampung halamnya karena letaknya yang jauh dan untuk ke sana ia harus mengumpulkan uang terlebih dahulu.

Namun kini Azmi lebih beruntung karena untuk ke Nias sudah bisa lebih cepat dengan adanya penerbangan dari bandara Polonia. Jika dahulu, ia membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk pulang kampung, kini mereka bisa naik pesawat yang membutuhkan waktu relatif cepat. Dari udara pun terlihat pemandangan laut yang menakjubkan. Tak sabar rasanya bagi Sandi untuk menginjakkan kaki di pulau nan eksotis tersebut.
***

Inilah Tano Niha, Sesampainya di pulau itu, Sandi tak sabar ingin melihat keindahan pantai pulau tersebut. Maka pergilah mereka ke pantai.

“Ya’ahowu. . .!” ucap salah satu warga setempat.

Sandi hanya tersenyum karena tak mengerti apa maksudnya,

“Itu sapaan orang Nias.” ujar Azmi.

Angin sepoi-sepoi meniup wajah yang disoroti sinar matahari. Tak henti-hentinya mata memandang pesona pantai nan indah, laut yang biru, gulungan ombak yang seolah saling berkejar-kejaran. Ada pula turis-turis mancanegara yang bermain selancar, mencoba tuk berteman dengan ombak dan angin. Tapi mereka segera bergegas melanjutkan perjalanan dan mereka  harus tiba di desa Bawomataluo (tempat tinggal Azmi) sebelum datangnya larut malam.

Desa itu adalah desa yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Terlihat rumah-rumah tradisional berdiri di desa tersebut. Begitu pun dengan rumah Azmi yang ditunjuknya. Langkah demi langkah membawa mereka tepat di depan pintu rumah Azmi. Malam telah larut ketukan halus dari jemari Azmi nampaknya tak cukup terdengar, namun beberapa ketukan barulah pintu dibuka.

“Azmi. . . .!!” ucap ibunya sambil memeluk anaknya yang telah lama tak berjumpa. Begitupun ayahnya Azmi.

Namun tatapan tajam sang ayah diarahkan pada pria cacat yang datang bersama anaknya itu. Ia melihat sekujur tubuh Sandi mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kondisi Sandi yang memakai tongkat pun menjadi pusat pandangannya.

“Ehh, ayah. . .ibu, ini Sandi lelaki yang pernah Azmi ceritakan lewat surat waktu itu,ujar Azmi memperkenalkan kekasihnya itu.
Ayahnya pun hanya terdiam mendengar penjelasan Azmi, tak sedikitpun tangannya digerakannya tuk menyambut salam dari Sandi yang menjulurkan tangannya.

“Ini lelaki yang kamu banggakan?” tanya sang ayah dengan wajah sinis.

Sandi hanya tertunduk merasa dirinya rendah dan tak pantas bersanding dengan Azmi.

“Ia ayah, dia sangat baik ayah,ucap Azmi membela Sandi di hadapan ayah dan ibunya.

“Hmm. . .Azmi, masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih sempurna dari pada lelaki cacat ini,ucap ayahnya sambil menepuk bahu anaknya.

Tapi ayah. . .”

“Sudahlah, kamu masuk Azmi!” ujar ayahnya menyuruhnya masuk dan membiarkan Sandi di luar.

Azmi tak bisa melawan kehendak ayahnya, ia berbalik menatap Sandi dan kemudian masuk ke rumahnya dengan perasaan bersalah yang teramat besar.

Sandi hanya duduk bersandar di teras rumah itu. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan ayahnya Azmi itu. Mungkin Azmi tak pantas dengan dirinya yang cacat. Tapi di sisi lain ia juga punya tekad yang kuat untuk membuktikan pada orang tuanya Azmi bahwa walaupun ia cacat, tapi ia mampu menjaga Azmi dan membahagiakannya. Ia pun terus berpikir tentang dirinya hingga lelap membawanya ke alam mimpi di tengah dingin yang menusuk kulit.
***

Ketika pagi menghampiri, saat mentari baru bersiap memancarkan sinarnya di Tano Niha, Sandi masih terduduk disitu, di teras kayu rumah Azmi. Tentu saja ia tak tau harus ke mana. Maka dibukalah pintu rumah itu dari dalam.

“Kamu ngapain masih disini?!” Rupanya ayahnya Azmi yang galak dengan kumis tebalnya itu.

“Ayah, ia tak punya siapa-siapa di pulau ini, biarlah ia tinggal disini beberapa hari saja ayah,ucap Azmi memohon sambil mencengkram baju ayahnya.

“Tidak nak, ayah tak sudi kamu punya calon suami yang cacat seperti dia,ucap ayahnya.

“Pak, saya tau saya cacat tapi saya yakin bisa menjaga Azmi pak, saya akan melakukan apapun untuk dia pak,ucap Sandi mencoba meyakinkan Pa Tobias (ayahnya Azmi).

“Baiklah kalau kamu yakin, saya akan menyetujui hubungan kalian.”

“Makasih ayah. . . .”

“Makasih pa. . .”

“Tapi dengan satu syarat,ucap Pa Tobias  melanjutkan perkataannya.

“Apa itu pa?” tanya Sandi.

Pa Tobias pun mengajak Sandi ke suatu tempat. Di sebuah tanah lapang terdapat tumpukan batu yang berdiri menyerupai dinding. Rupanya itu adalah batu yang biasa dilompati masyarakat Nias.

Sandi hanya terdiam, terpaku tak berbicara ketika Pa Tobias menunjuk ke batu itu dan berkata padanya bahwa syarat agar hubungannya dengan Azmi disetujui ia harus bisa melompati batu itu. Karena menurut kebudayaan setempat, seorang lelaki dikatakan dewasa jika bisa melompati batu itu. Namun Sandi hanya tertunduk memandingi kondisi kakinya saat ini, tentu tak mungkin ia bisa melompati batu itu jika untuk berjalan tanpa tongkat pun ia tak mampu.

Azmi menentang keinginan ayahnya itu habis-habisan dan memohon agar tak memberikan syarat seperti itu. Namun kerasnya hati ayahnya tak ubahnya seperti batu dihadapan mereka.

Di tengah perdebatan Azmi dengan Ayahnya, Sandi pun menjatuhkan kedua tongkatnya dan berlari secepat mungkin walau dengan satu kaki. Langkah kakinya semakin dekat pada batu loncatan dan ia pun melompat sekuat tenaga dengan satu kaki itu.

“Sandiiiiiiiii. . . . . .jangaaaaaaaaaannnnnnnnn. . . . .!!” teriak Azmi kala itu.

Namun teriakan itu tak membuat Sandi berhenti. Ia melompat melalui batu lompatan, namun sayang tumpuannya saat berlari yang hanya menggunakan satu kaki tak cukup kuat untuk melompati batu setinggi 2 meter. Ia pun tersungkur terbentur batu dan tak sadarkan diri. Azmi segera berlari menghampirinya, mengusap dahinya yang mengeluarkan darah. Kali ini ia merasa cemas akan kondisi Sandi.
***

Sejak kejadian itu. Pak Tobias mengijinkannya untuk tinggal sementara di rumahanya. Tapi bukan berarti ia telah menyetujui hubungan mereka. Di rumahnya pun Sandi tinggal di ruangan tempat menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Walaupun begitu tak masalah buatnya. Bahkan dengan kondisi kepala masih diikat perban dan tentu saja kaki kanan yang masih lumpuh, ia tetap saja menyemangati dirinya dan percaya suatu saat nanti bakal bisa melompati batu itu.

Setiap pagi, Sandi selalu keluar rumah dan memandangi batu itu. Ia menanamkan keyakinan bahwa dirinya bisa melompati batu itu, entah bagaimana caranya.
***

Hari berganti hari ia belum juga bisa menemukan cara bagaimana melompati batu tersebut.
Di suatu malam, di tengah kesunyian ia berjalan seorang diri di tengah desa itu. Ia merasa tak bisa tidur lantaran memikirkan soal lompat batu itu. Di tengah kebingungannya tiba-tiba terdengar orang yang berteriak “kebakaraaaaannnnnn. . .kebakarannnnnn . . .!!” Ia pun menoleh ke belakang, dan dilihatnya api dan asap yang mengepul ke atas. Wajahnya mendadak cemas karena kebakaran itu berasal dari arah rumah Azmi. Ia hanya berharap kebakaran itu bukan berasal dari rumah Azmi. Ia pun menggenggam tongkatnya kuat-kuat dan berlari sekuat tenaga.

Kecemasan itu semakin membesar ketika ia melihat rumah yang kebakaran itu memanglah rumah Azmi. Segera saja ia menerobos kerumunan dan berharap Azmi dan keluarganya telah keluar dari rumah itu. Sorot matanya berkelana mencari gadis pujaan hatinya itu, namun tak ia temukan Azmi disana. Yang ada hanyalah ayah dan ibunya yang berteriak memanggil nama anaknya yang rupanya masih berada di dalam rumah yang kebakaran itu. Berulang kali sang ibu ingin merangsak masuk ke rumahnya untuk menyelamatkan anaknya, namun suaminya dan masyarakat memegangi tangannya dan melarangnya karena api sudah sangat membesar.

Namun tanpa berpikir panjang, Sandi segera melepas tongkat pegangannya itu dan berlari menuju rumah yang dikelilingi api yang berkobar. Sebuah keajaiban yang tak disadarinya terjadi, rupanya ia berlari dengan dua kaki. Kaki kanan yang lumpuh itu tiba-tiba saja berfungsi dengan baik.

Di antara kerumunan api dan asap ia mencoba mencari gadis berkerudung itu. Dipanggil-panggilnya namanya namun tak jua ada sahutan. Setelah ia menendang pintu kamar yang mulai terbakar ia pun menemukan gadis itu telah tak sadarkan diri. Segera ia meraihnya dan membawanya keluar.

Api telah semakin ganas, asapnya pun membuatnya sulit tuk bernafas. Sambil menggendong gadis itu ia mencari jalan keluar. Semua jalan telah tertutup api. Namun ia melihat ada cara. Ia pun berlari sekuat tenaga melompati api yang tingginya hampir 2 meter, dan akhirnya mereka berhasil keluar dari ganasnya api yang membakar rumah itu. Semua warga pun menyambutnya dengan rasa lega, tak terkecuali ayah dan ibunya Azmi. Dan untuk pertama kalinya Pak Tobias memeluk pria berani itu dan mengucapkan trimakasih padanya dengan penuh rasa haru. Ia juga meminta maaf atas sikapnya selama ini dan akhirnya menyetujui hubungannya dengan anaknya.

Selang berapa lama kemudian, Sandi baru sadar kakinya bisa berfungsi kembali dan ia pun bersujud dan mengucapkan rasa syukur.
***

Selang beberapa hari kemudian, di pagi yang cerah seluruh masyarakat sekitar berkumpul di lapangan. Seluruh mata terpusat pada batu yang bertumpuk di tengah lapang, serta seorang pemuda yang siap tuk berlari melompati batu itu.

Dengan penuh keyakinan, Sandi bersiap berlari sekencang mungkin, sementara di belakangnya, Azmi dan kedua orang tuanya menyemangatinya. Segera saja langkah kakinya begitu cepat melesat, kemudian melompat dari batu lompatan dan dengan sukses melompati batu halangan yang tinggi itu. Riuh penonton serta tepuk tangan pun menyambut keberhasilannya. terutama Azmi dan keluarganya.


“Segala keterbatasan bisa dikalahkan oleh tekad yang kuat”

==========================================================
Sebuah Cerpen:
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon