Seorang
wanita keluar dari sebuah rumah sakit dituntun oleh seorang pria yang selalu
menemaninya dan selalu menuntunnya ke manapun wanita itu pergi. Langkahnya
perlahan–lahan sembari membawa tongkat di tangan kananya dan meraba-raba apa
yang ada di hadapannya. Namanya Nursyam, Nur artinya cahaya dan Syam artinya
matahari. Ironis memang seorang wanita muda berkulit putih berambut anggun ini
memiliki nama yang berarti cahaya matahari. Namun ia sendiri sejak lahir belum
pernah melihat cahaya matahari sepanjang hidupnya. Ya, ia terlahir buta. Saat
itu ayahnya Pak Gito begitu menyesal memiliki anak yang buta sejak lahir,
bahkan ayahnya hampir saja menitipkannya di panti asuhan. Namun ibunya, Bu Ratna melarangnya, ia
yakin anaknya akan menjadi anak yang hebat.
Hari
itu Dadan membawanya ke rumah sakit untuk memeriksa apakah matanya bisa melihat
kembali atau tidak. Dadan adalah pria berbadan tegap yang selalu menemani
Nursyam. Ia selalu menyemangati Nursyam ketika Nursyam merasa lemah dengan
kebutaannya itu. Ia dengan sepenuh hati menuntun langkahnya kemanapun Nursyam
pergi. Ia seolah menjadi mata baginya.
Menurut
pemeriksaan dokter, mata Nursyam tidak bisa diperbaiki, kecuali jika ada donor
mata yang bersedia mendonorkan matanya. Mendengar hal itu Nursyam sedikit
pesimis. Ia duduk termenung sendiri, mengarahkan wajahnya ke cahaya matahari, merasakan hangatnya sinar
matahari walaupun ia tak bisa melihatnya.
“Nur,
sudahlah itu kan kata dokter. Kalau Allah menghendaki kamu pasti bisa melihat
lagi,” ujar Dadan menenangkan hati
Nursyam.
“Ia
mas, makasih kamu selalu nenangin aku,”
kata Nursyam sambil sedikit
tersenyum lega.
Mereka
pun lantas pergi ke taman dan bermain ayunan. Senyum Nursyam pun kembali
menghiasi wajahnya setelah Dadan menemaninya dengan penuh canda tawa.
“Nur,
kamu mau engga ikut denganku?” tanya
Dadan.
“Kemana mas?” Nur pun balik
bertanya.
“Ke
rumahku,” jawab Dadan.
Dadan
pun membawa Nur ke rumahnya dengan menaiki motornya. Ia nampaknya hendak
mengenalkan Nur pada kedua orang tuanya. Nursyam awalnya merasa tidak percaya diri saat Dadan
hendak membawanya ke rumah orang tuanya. Tapi setelah diyakinkan Dadan,
akhirnya ia pun mau juga.
Sesampainya
di rumah orang tuanya, Dadan menuntun kekasihnya itu dengan kasih sayang menuju
ke depan pintu rumahnya. Perasaan berdebar berkecamuk dalam hati
Nursyam. Tapi Dadan terus menenangkannya.
Pintu
rumah pun dibuka, dan dihadapannya telah berdiri bapak dan ibunya. Dadan pun langsung mengenalkan
kekasihnya itu pada kedua orang tuanya.
“Pak, bu, kenalin ini Nursyam yang
dulu aku certain,”
kata Dadan sambil menjulurkan
tangan Nursyam.
Bapak dan ibunya hanya terdiam
memandangi Nur. Mereka terhenyak dan kemudian bapaknya akhirnya berbicara, “Kamu ini buta yah?” tanya bapaknya Dadan dengan suara
lantang.
Mendengar
hal itu Nursyam menundukkan kepala, ia merasa dirinya begitu rendah dihadapan
mereka. Mentalnya terjungkal sampai ke jurang yang paling dalam. Lantas ia pun berbalik
arah dan pergi dari tempat itu walau tak tau arah. Ia tak mampu membendung
tetesan air mata yang turun membasahi pipinya.
“Bapak
ini kok bilang gitu sih pa?” tanya Dadan pada bapaknya.
“Kamu
ini gimana Dan, masih banyak di luar sana gadis yang lebih sempurna,” ucap bapaknya dengan nada marah.
Dadan
pun pergi mengejar Nursyam yang menjauh dari rumah itu. “Nur, sudahlah ga usah
dipikirin yah apa yang bapakku
ucapkan,” kata Dadan menangkan hati
Nur.
“Sudahlah
emang bener kok, Nur ini buta. Mas Dadan kan bisa cari wanita lain yang lebih
sempurna,” jawab Nur sambil sedikit
menangis dan menghalau tangan Dadan yang berupaya menahannya.
“Engga
Nur, walaupun kamu buta, tapi kamu bisa melihat dengan mata hati,” ujar Dadan yang kembali
menenangkan hati Nur.
Sejak
saat itu, Dadan tak kembali ke
rumahnya, ia lebih memilih tinggal di kosan. Dan satu hal lagi, tak secuil pun
pikiran Dadan yang menuntunnya tuk meninggalkan Nursyam, meskipun ia buta.
Kebahagiaan,
itulah yang diinginkan gadis buta itu, dan Dadan sangat mengerti apa yang
diinginkan kekasihnya itu. Beberapa hari ini Dadan telah memikirkan matang–matang
tentang langkah apa yang ia ambil dalam hidupnya. Menikahi Nursyam, yah itulah
yang ia pikirkan. Ia tak peduli walaupun orang tuanya sendiri menentangnya. Dan
hari itu juga ia lantas pergi ke rumah gadis itu tuk mengutarakan niatnya.
“Nur,
ikut aku yuk!” ajak
Dadan. Nur hanya terdiam karena dalam benaknya masih teringat peristiwa tempo
hari. “Engga Nur, bukan ke rumah orang tua ku. cuma ke taman aja,” ucap Dadan.
Mereka
pun duduk di taman menikmati udara yang sejuk duduk di bawah pohon yang rindang
di hamparan rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh mekar di taman.
“Eh,
Nur. . . .aku pingin bilang sesuatu sama kamu,” ucap
Dadan.
“Apa
mas?” tanya Nur.
“Kamu
mau kan menikah denganku?” jawab
Dadan.
Nursyam
terdiam sejenak dan berkata, “Tapi mas gimana dengan orang tuamu.”
“Sudahlah,
tak usah kau risaukan,”
jawab Dadan.
“Tapi
aku nggak mau mas,”
jawab Nur menggelengkan
kepala.
Mendengar
jawaban itu Dadan kaget dan terdiam. Ia menundukkan kepala walaupun ia belum
tau apa alasan Nur mengucapkan hal itu.
“Aku
nggak mau nikah mas, sebelum aku bisa melihat,” jawab
Nur.
“Suatu saat kamu pasti bisa melihat Nur,” jawab Dadan meyakinkan Nur.
Mereka
pun pulang kembali. Dadan yang mendengar ucapan kekasihnya itu segera berpikir
di sudut ruang di kamar kosannya.
Ia berpikir bagaimana caranya membuat Nur bisa melihat kembali. Ia lantas mencari
di internet mengenai kebutaan sejak lahir, ia juga pergi ke toko buku, dan ke
rumah sakit tuk bertanya kembali pada dokter tentang bagaimana membuat Nur bisa
melihat. Tapi semuanya tak ada jawabnya. Dokter hanya bilang, “Cuma ada satu
cara, melalui oprasi dan butuh donor mata.”
Ia
lantas mencari orang yang bisa mendonorkan matanya untuk gadis pujaanya itu, ia
mencari di internet, dan di seluruh pelosok kota. “Namun mana ada” pikirnya.
Orang yang menyumbang dalam bentuk uang saja sulit, apalagi dalam bentuk organ
tubuh.
Tapi
akhirnya setelah mencari ke sana kemari ia pun menelephone Nur untuk memberi
sebuah kabar gembira padanya,
“Halo,
Nur,” kata Dadan di telephone.
“Ia
mas ada apa?” jawab
Nur
“Aku
punya kabar gembira untukmu,”
kata Dadan.
“Apa
mas?” tanya Nur penasaran.
“Sebentar
lagi, kamu bisa melihat lagi, aku sudah menemukan donor mata untukmu,” ujar Dadan.
Mendengar
hal itu, Nur merasa sangat gembira sekali. Ia tak sabar ingin melihat lagi, ia
tak sabar ingin melihat cahaya matahari, dan tentu ingin menikah dengan kekasih
pujaannya yang selalu membahagiakan dia.
Seminggu
kemudian, Nur diantar keluarganya menuju ke rumah sakit untuk operasi matanya.
Semua keluarganya menunggu di luar berharap–harap cemas akan anaknya. Sedangkan
Nur pun demikian, ia sangat tak sabar ingin bisa melihat lagi.
Operasi
pun berjalan lancar, tapi perbannya baru bisa dibuka seminggu kemudian.
Perasaan penuh harapan bersinggah di hati Nur. Namun ia tak merasakan
keberadaan mas Dadan akhir–akhir ini.
“Mas
Dadan ke mana yah mah, kayanya dia nggak ada di sekitarku
akhir–akhir ini?” Tanya Nur pada mamahnya.
“Ehmmm.
. .dia lagi sibuk sama kerjaannya katanya,”
jawab mamahnya.
Beberapa
hari kemudian perbannya pun dibuka secara perlahan–lahan. Sehelai demi sehelai
hingga akhirnya pelan–pelan dibukanya kedua kelopak matanya. Pertama semuanya
nampak menyilaukan baginya, tapi perlahan ia bisa melihat ya, ia bisa melihat.
Ia bisa melihat wajah ayahnya, ibunya, rumahnya, dan tentu cahaya matahari.
Betapa senangnya hatinya saat itu karena saat itulah adalah saat pertama kali
semenjak lahir ia bisa melihat dunia ini.
“Ehhmm,
mah mas Dadan mana?” Tanya Nur pada ibunya. Ibunya hanya terdiam tak mampu
menjawab pertanyaan itu. Lantas ia pun langsung saja menelephone Dadan untuk
memberitahu kabar gembira ini.
“Mas,
aku punya kabar gembira mas,”
kata Nur di telephone.
“Apa
itu Nur?” tanya
Dadan.
“Aku
sudah bisa melihat mas,”
jawab Nur dengan riang
gembira.
“Syukurlah, mas turut senang,” kata Dadan tersenyum.
“Kalau
begitu aku mau menikah sama kamu mas, oh ia mas kemana aja sih ke rumah dong !”
kata Nur pada Dadan.
“Oh,
ia. . . .ia mas
kesana sekarang,”
jawab Dadan sambil menutup
telephonenya.
Nursyam
pun menunggu di depan rumah. Ia tak sabar ingin melihat wajah mas Dadan,
kekasihnya yang selalu setia bersamanya. Yang selalu setia menuntunnya. Namun
lama tak kunjung datang lelaki yang diharapkannya itu.
Tapi
ada seorang pria berkacamata hitam dan berjalan menggunakan tongkat menuju
rumahnya. Pria itu pun meraba–raba apa yang ada di hadapannya. Lantas sampailah
pria itu tepat di depan teras rumah Nur.
“Maaf,
siapa kamu?” tanya Nursyam pada pria itu.
“Aku. . .aku Dadan Nur aku Dadan. Aku senang
sekali kamu bisa melihat lagi Nur, sungguh aku senang sekali mendengar kabar
itu,” ucap pria itu dengan gembira.
“Jadi,
. . . . .kamu itu mas Dadan?” ucap
Nur dengan wajah kaget.
“Ia aku Dadan Nur, kekasih kamu, Kamu ingat
kan, kamu mau menikah denganku kalau kau bisa melihat lagi?” ujar Dadan.
“Aku.
. . .
.aku engga mau menikah dengan kamu. Kamu pasti bukan mas Dadan, mas Dadan engga
mungkin buta kaya gini,”
ucap Nur dengan suara
lantang.
“Ta.
. . . .tapi Nur,”
ucap Dadan.
“Sudahlah
kamu pergi saja dari sini aku gak mau melihat kamu . .!!” teriak Nur pada pria buta itu
lalu membanting pintu.
Nur
pun lantas lari ke kamarnya dan mengurung dirinya di kamar. Ia tak menyangka
kalau pria yang selama ini menemaninya adalah orang buta, orang cacat. Ia
sangat mendambakan lelaki yang sempurna, bukan lelaki seperti itu. Sementara itu
pria buta itu pun pergi dari rumah itu
dengan meninggalkan secarik kertas di teras rumah Nur.
Seharian
Nur tak keluar kamar. Ia hanya bisa mengurung diri di kamar karena setelah
melihatnya, mas Dadan yang ia dambakan ternyata tak seperti apa yang ia
harapkan.
Setelah
seharian mengurung diri, sore itu akhirnya ia keluar dari kamar. Emosinya yang
membara pagi itu telah reda sedikit demi sedikit. Ia pun sedikit menyadari
kalau sikapnya pada mas Dadan pria buta itu, terlalu keras. Ia lantas melanggkahkan
kakinya ke teras rumahnya.
Di
sana ia temukan secarik kertas dengan tulisan yang tak rapih. Rupanya itu
tulisan pria buta itu,
“Nur, aku seneng banget kamu
bisa melihat lagi. Aku juga minta maaf kalau aku yang seperti ini tak seperti
apa yang kamu harapkan. Aku tau kalau aku tak pantas buat kamu dan aku nggak
akan memintamu lagi tuk menikah denganku. Dan aku juga enggak akan muncul di
hadapanmu lagi. Tapi aku minta satu hal sama kamu yah Nur. Tolong kamu jaga
mataku baik–baik.”
~Dadan~
Begitulah
kurang lebih isi pesan di secarik kertas terebut. Tetesan air mata pun menetes
pada helaian kertas itu ketika Nur membaca surat itu. Ia baru tau kalau yang
mendonorkan mata untuknya adalah Dadan kekasih yang selama ini bersamanya.
Rupanya Dadan jadi buta gara–gara mendonorkan matanya untuknya. Ia sangat
menyesal sekali mengusirnya dari rumahnya, membentaknya, menolaknya, padahal
tak sedetik pun Dadan meninggalkannya walaupun ia buta kala itu. Bahkan Dadan
selalu membelanya, sekalipun harus bertentangan dengan orang tuanya.
Nur
pun mencari Dadan ke sana kemari, namun ia tak pernah menemukan lelaki itu.
Setelah Dadan melangkahkan kaki dari rumah Nur, entah tak ada orang yang tau
keberadaanya hingga sang waktu terus berlalu. Hingga akhirnya Nur membaca
sebuah berita di surat kabar, seorang
lelaki buta tewas tertabrak mobil ketika ia sedang menyebrang. Dan ternyata
pria itu adalah Dadan. Sontak berita itu membuatnya berteriak dan meringis,
menimbulkan penyesalan yang tiada berujung.
==========================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon