Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Kan Kulompati Batu Itu


Tak terasa hampir dua tahun kubelajar di kampus ini, kampus paling favorit di Bandung, di kota kelahiranku. Aku merasa orang yang paling beruntung, karena aku diberi kesempatan untuk menimba berember-ember ilmu disini. Walau di perjalanan seringkali aku menjadi pusat perhatian, maksudku banyak orang memandangiku dengan tatapan yang merendahkan, atau kadang ada pula yang mencibirku, juga mengerutkan dahi.

Semenjak kecelakaan tiga tahun silam, aku selalu berjalan menggunakan dua tongkat yang kuapit di ketiak tuk menuntun langkahku. Kecelakaan itu membuat kaki kananku lumpuh total, sehingga aku hanya menggunakan kaki kiriku sebagai tumpuan.

Beruntung, di kampus aku punya teman-teman yang sangat baik padaku. Mereka tak terlalu peduli keadanku yang seperti ini. Yah, walau memang ada saja orang yang mencibir dan merendahkanku. Tapi aku tetap tersenyum, karena aku yakin kesempurnaan itu hanya milik Allah. Dan Allah menyukai orang-orang yang menjadikan kekurangan sebagai suatu kelebihan, bukan lantas mengeluh, atau merasa lemah.

Aku juga beruntung karena setiap kali ada orang yang meremehkanku, Azmi selalu menyemangatiku, memotifasiku. Aku salut padanya, namanya Azmi Daeli, ia adalah seorang mahasiswi yang jauh merantau dari salah satu desa di pulau Nias. Telah lebih dari setahun kami membina hubungan. Bahkan liburan semester kali ini, ia mengajakku ke rumahnya untuk dikenalkan pada orang tuanya di Nias tepatnya di desa Bawomataluo.

“Sandi. . . . .! Sandi. . . . .! Sandi Ardiana. . . . .!

“Oh i. . .ia pa.”

“Kamu lagi nulis apa? Tolong kamu bagikan hasil ujian semester ini pada teman-temanmu !”

“Oh ia pa.”

Sandi Ardiana itulah dia, untung saja nggak ketauan kalo dia lagi nulis diary. Dia memang sering menulis apapun tentang hidupnya di sebuah diary. Walaupun biasanya perempuan yang sering nulis di diary. Tapi Sandi merasa diary itu adalah teman tuk berbagi cerita. Terutama semenjak ia mengalami kecelakaan dan harus hidup sebagai orang cacat.
***

Libur semester pun tiba, Sandi tengah bersiap tuk berangkat bersama Azmi ke kampung halamannya di Nias. Segala perlengkapan pun telah dipersiapkan.

“Mah, Sandi berangkat dulu mah,ucapnya berpamitan pada ibunya.

“Ia nak, hati-hati, salam buat orangtuanya Azmi.”

“Ia mah, makasih.”

Diiringi pagi yang dingin mereka mulai berangkat. Melalui perjalanan yang amat panjang menuju sebuah pulau nan eksotis. Telah hampir setahun lamanya Azmi tak mengunjungi kampung halamnya karena letaknya yang jauh dan untuk ke sana ia harus mengumpulkan uang terlebih dahulu.

Namun kini Azmi lebih beruntung karena untuk ke Nias sudah bisa lebih cepat dengan adanya penerbangan dari bandara Polonia. Jika dahulu, ia membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk pulang kampung, kini mereka bisa naik pesawat yang membutuhkan waktu relatif cepat. Dari udara pun terlihat pemandangan laut yang menakjubkan. Tak sabar rasanya bagi Sandi untuk menginjakkan kaki di pulau nan eksotis tersebut.
***

Inilah Tano Niha, Sesampainya di pulau itu, Sandi tak sabar ingin melihat keindahan pantai pulau tersebut. Maka pergilah mereka ke pantai.

“Ya’ahowu. . .!” ucap salah satu warga setempat.

Sandi hanya tersenyum karena tak mengerti apa maksudnya,

“Itu sapaan orang Nias.” ujar Azmi.

Angin sepoi-sepoi meniup wajah yang disoroti sinar matahari. Tak henti-hentinya mata memandang pesona pantai nan indah, laut yang biru, gulungan ombak yang seolah saling berkejar-kejaran. Ada pula turis-turis mancanegara yang bermain selancar, mencoba tuk berteman dengan ombak dan angin. Tapi mereka segera bergegas melanjutkan perjalanan dan mereka  harus tiba di desa Bawomataluo (tempat tinggal Azmi) sebelum datangnya larut malam.

Desa itu adalah desa yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Terlihat rumah-rumah tradisional berdiri di desa tersebut. Begitu pun dengan rumah Azmi yang ditunjuknya. Langkah demi langkah membawa mereka tepat di depan pintu rumah Azmi. Malam telah larut ketukan halus dari jemari Azmi nampaknya tak cukup terdengar, namun beberapa ketukan barulah pintu dibuka.

“Azmi. . . .!!” ucap ibunya sambil memeluk anaknya yang telah lama tak berjumpa. Begitupun ayahnya Azmi.

Namun tatapan tajam sang ayah diarahkan pada pria cacat yang datang bersama anaknya itu. Ia melihat sekujur tubuh Sandi mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kondisi Sandi yang memakai tongkat pun menjadi pusat pandangannya.

“Ehh, ayah. . .ibu, ini Sandi lelaki yang pernah Azmi ceritakan lewat surat waktu itu,ujar Azmi memperkenalkan kekasihnya itu.
Ayahnya pun hanya terdiam mendengar penjelasan Azmi, tak sedikitpun tangannya digerakannya tuk menyambut salam dari Sandi yang menjulurkan tangannya.

“Ini lelaki yang kamu banggakan?” tanya sang ayah dengan wajah sinis.

Sandi hanya tertunduk merasa dirinya rendah dan tak pantas bersanding dengan Azmi.

“Ia ayah, dia sangat baik ayah,ucap Azmi membela Sandi di hadapan ayah dan ibunya.

“Hmm. . .Azmi, masih banyak lelaki yang lebih baik dan lebih sempurna dari pada lelaki cacat ini,ucap ayahnya sambil menepuk bahu anaknya.

Tapi ayah. . .”

“Sudahlah, kamu masuk Azmi!” ujar ayahnya menyuruhnya masuk dan membiarkan Sandi di luar.

Azmi tak bisa melawan kehendak ayahnya, ia berbalik menatap Sandi dan kemudian masuk ke rumahnya dengan perasaan bersalah yang teramat besar.

Sandi hanya duduk bersandar di teras rumah itu. Ia berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan ayahnya Azmi itu. Mungkin Azmi tak pantas dengan dirinya yang cacat. Tapi di sisi lain ia juga punya tekad yang kuat untuk membuktikan pada orang tuanya Azmi bahwa walaupun ia cacat, tapi ia mampu menjaga Azmi dan membahagiakannya. Ia pun terus berpikir tentang dirinya hingga lelap membawanya ke alam mimpi di tengah dingin yang menusuk kulit.
***

Ketika pagi menghampiri, saat mentari baru bersiap memancarkan sinarnya di Tano Niha, Sandi masih terduduk disitu, di teras kayu rumah Azmi. Tentu saja ia tak tau harus ke mana. Maka dibukalah pintu rumah itu dari dalam.

“Kamu ngapain masih disini?!” Rupanya ayahnya Azmi yang galak dengan kumis tebalnya itu.

“Ayah, ia tak punya siapa-siapa di pulau ini, biarlah ia tinggal disini beberapa hari saja ayah,ucap Azmi memohon sambil mencengkram baju ayahnya.

“Tidak nak, ayah tak sudi kamu punya calon suami yang cacat seperti dia,ucap ayahnya.

“Pak, saya tau saya cacat tapi saya yakin bisa menjaga Azmi pak, saya akan melakukan apapun untuk dia pak,ucap Sandi mencoba meyakinkan Pa Tobias (ayahnya Azmi).

“Baiklah kalau kamu yakin, saya akan menyetujui hubungan kalian.”

“Makasih ayah. . . .”

“Makasih pa. . .”

“Tapi dengan satu syarat,ucap Pa Tobias  melanjutkan perkataannya.

“Apa itu pa?” tanya Sandi.

Pa Tobias pun mengajak Sandi ke suatu tempat. Di sebuah tanah lapang terdapat tumpukan batu yang berdiri menyerupai dinding. Rupanya itu adalah batu yang biasa dilompati masyarakat Nias.

Sandi hanya terdiam, terpaku tak berbicara ketika Pa Tobias menunjuk ke batu itu dan berkata padanya bahwa syarat agar hubungannya dengan Azmi disetujui ia harus bisa melompati batu itu. Karena menurut kebudayaan setempat, seorang lelaki dikatakan dewasa jika bisa melompati batu itu. Namun Sandi hanya tertunduk memandingi kondisi kakinya saat ini, tentu tak mungkin ia bisa melompati batu itu jika untuk berjalan tanpa tongkat pun ia tak mampu.

Azmi menentang keinginan ayahnya itu habis-habisan dan memohon agar tak memberikan syarat seperti itu. Namun kerasnya hati ayahnya tak ubahnya seperti batu dihadapan mereka.

Di tengah perdebatan Azmi dengan Ayahnya, Sandi pun menjatuhkan kedua tongkatnya dan berlari secepat mungkin walau dengan satu kaki. Langkah kakinya semakin dekat pada batu loncatan dan ia pun melompat sekuat tenaga dengan satu kaki itu.

“Sandiiiiiiiii. . . . . .jangaaaaaaaaaannnnnnnnn. . . . .!!” teriak Azmi kala itu.

Namun teriakan itu tak membuat Sandi berhenti. Ia melompat melalui batu lompatan, namun sayang tumpuannya saat berlari yang hanya menggunakan satu kaki tak cukup kuat untuk melompati batu setinggi 2 meter. Ia pun tersungkur terbentur batu dan tak sadarkan diri. Azmi segera berlari menghampirinya, mengusap dahinya yang mengeluarkan darah. Kali ini ia merasa cemas akan kondisi Sandi.
***

Sejak kejadian itu. Pak Tobias mengijinkannya untuk tinggal sementara di rumahanya. Tapi bukan berarti ia telah menyetujui hubungan mereka. Di rumahnya pun Sandi tinggal di ruangan tempat menyimpan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Walaupun begitu tak masalah buatnya. Bahkan dengan kondisi kepala masih diikat perban dan tentu saja kaki kanan yang masih lumpuh, ia tetap saja menyemangati dirinya dan percaya suatu saat nanti bakal bisa melompati batu itu.

Setiap pagi, Sandi selalu keluar rumah dan memandangi batu itu. Ia menanamkan keyakinan bahwa dirinya bisa melompati batu itu, entah bagaimana caranya.
***

Hari berganti hari ia belum juga bisa menemukan cara bagaimana melompati batu tersebut.
Di suatu malam, di tengah kesunyian ia berjalan seorang diri di tengah desa itu. Ia merasa tak bisa tidur lantaran memikirkan soal lompat batu itu. Di tengah kebingungannya tiba-tiba terdengar orang yang berteriak “kebakaraaaaannnnnn. . .kebakarannnnnn . . .!!” Ia pun menoleh ke belakang, dan dilihatnya api dan asap yang mengepul ke atas. Wajahnya mendadak cemas karena kebakaran itu berasal dari arah rumah Azmi. Ia hanya berharap kebakaran itu bukan berasal dari rumah Azmi. Ia pun menggenggam tongkatnya kuat-kuat dan berlari sekuat tenaga.

Kecemasan itu semakin membesar ketika ia melihat rumah yang kebakaran itu memanglah rumah Azmi. Segera saja ia menerobos kerumunan dan berharap Azmi dan keluarganya telah keluar dari rumah itu. Sorot matanya berkelana mencari gadis pujaan hatinya itu, namun tak ia temukan Azmi disana. Yang ada hanyalah ayah dan ibunya yang berteriak memanggil nama anaknya yang rupanya masih berada di dalam rumah yang kebakaran itu. Berulang kali sang ibu ingin merangsak masuk ke rumahnya untuk menyelamatkan anaknya, namun suaminya dan masyarakat memegangi tangannya dan melarangnya karena api sudah sangat membesar.

Namun tanpa berpikir panjang, Sandi segera melepas tongkat pegangannya itu dan berlari menuju rumah yang dikelilingi api yang berkobar. Sebuah keajaiban yang tak disadarinya terjadi, rupanya ia berlari dengan dua kaki. Kaki kanan yang lumpuh itu tiba-tiba saja berfungsi dengan baik.

Di antara kerumunan api dan asap ia mencoba mencari gadis berkerudung itu. Dipanggil-panggilnya namanya namun tak jua ada sahutan. Setelah ia menendang pintu kamar yang mulai terbakar ia pun menemukan gadis itu telah tak sadarkan diri. Segera ia meraihnya dan membawanya keluar.

Api telah semakin ganas, asapnya pun membuatnya sulit tuk bernafas. Sambil menggendong gadis itu ia mencari jalan keluar. Semua jalan telah tertutup api. Namun ia melihat ada cara. Ia pun berlari sekuat tenaga melompati api yang tingginya hampir 2 meter, dan akhirnya mereka berhasil keluar dari ganasnya api yang membakar rumah itu. Semua warga pun menyambutnya dengan rasa lega, tak terkecuali ayah dan ibunya Azmi. Dan untuk pertama kalinya Pak Tobias memeluk pria berani itu dan mengucapkan trimakasih padanya dengan penuh rasa haru. Ia juga meminta maaf atas sikapnya selama ini dan akhirnya menyetujui hubungannya dengan anaknya.

Selang berapa lama kemudian, Sandi baru sadar kakinya bisa berfungsi kembali dan ia pun bersujud dan mengucapkan rasa syukur.
***

Selang beberapa hari kemudian, di pagi yang cerah seluruh masyarakat sekitar berkumpul di lapangan. Seluruh mata terpusat pada batu yang bertumpuk di tengah lapang, serta seorang pemuda yang siap tuk berlari melompati batu itu.

Dengan penuh keyakinan, Sandi bersiap berlari sekencang mungkin, sementara di belakangnya, Azmi dan kedua orang tuanya menyemangatinya. Segera saja langkah kakinya begitu cepat melesat, kemudian melompat dari batu lompatan dan dengan sukses melompati batu halangan yang tinggi itu. Riuh penonton serta tepuk tangan pun menyambut keberhasilannya. terutama Azmi dan keluarganya.


“Segala keterbatasan bisa dikalahkan oleh tekad yang kuat”

==========================================================
Sebuah Cerpen:
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Kegigihan Air Mengalahkan Batu


Di suatu hutan yang lebat singa menyebut dirinya sebagai raja hutan.Singa merasa dirinya makhluk terkuat di hutan. Ia meraung begitu gagahnya dan semua makhluk hutan lainnya takut padanya. Namun ternyata ada yang menentang pengakuan tersebut. Ada yang merasa bahwa dirinya lebih kuat dari singa.

Mencengkram tanah tak terlepaskan, disana ia berada. Di tengah kebisuannya, di tengah kediamannya ternyata ia merasa sebagai yang terkuat di hutan itu, bahkan lebih kuat dari singa. Ialah batu, yang berda di samping pohon pinus dan telah berada di sana dari waktu yang lampau.

Si batu amat sombong, ia sering berkata pada rumput, pohon, ataupun hewan di sekitarnya bahwa ialah si raja hutan. Namun tentu  pasti banyak yang menentang. Kayu pun mencoba menentangnya, ia menjatuhkan sebagian dari dirinya dan membenturkannya pada si batu. Namun sayang, ternyata kayu patah oleh kerasnya batu. Batu pun semakin sombong.

Kesombongan si batu yang merasa dirinya paling kuat di hutan itu mulai tersiar di seluruh hutan dan sampai di telinga Sang Singa si raja hutan. Mendengar hal itu, bangsa singa geram. Mereka berencana untuk mengajak si batu bertarung dan membuktikan siapa yang kuat.
***

Keesokan harinya rombongan singa mulai menuju tempat batu besar itu berada. Mereka tak terima jika ada yang mengklaim sebagai raja hutan. Karena singalah raja hutan yang sebenarnya. Sesampainya di sana, salah satu singa menantang batu untuk beradu kekuatan. Si batu dengan sombongnya menyambut tantangan tersebut dengan tanpa rasa takut sama sekali. Sang batu hanya diam saja dan tak bergerak sedikitpun, sementara si singa mulai maju dan menunjukkan taring-taringnya yang begitu tajam. Singa itu pun mencoba tuk menggigit batu dengan taring-taring yang setajam pisau belati itu. Namun batu terlalu besar dan terlaru keras untuk digigit. Singa pun menyakar-nyakar batu tersebut, namun apa daya justru kukunya yang patah. Ia mencoba mundur sejenak, lalu lari secepat mungkin dan menyeruduk batu itu sekuat tenaga.

Malang, singa itu pun terjatuh, dari kepalanya meneteskan darah setelah membentur batu itu. Ia pun tewas. Singa yang lain pun tak ada yang berani melawan batu itu dan mereka mengakui si batulah yang terkuat. Si batulah raja hutan yang sebenarnya.
***

Bertahun-tahun berlalu dan sampai saat ini si batu masih diakui sebagai yang terkuat di hutan itu. Ia semakin sombong saja, siapa saja yang melewatinya selalu direndahkan, dihina dan ia selalu menyombongkan dirinya.

Itulah cerita yang kudengar tentang kesombongan si batu dari pohon, dan juga hewan-hewan di hutan. Tak ada yang berani menentang kesombongan si batu, karena ia amat keras dan siapa saja tak mampu menghancurkannya. Semuanya pasrah pada kesombongan si batu, kecuali,. . . .kecuali ayah.

“Kita harus bisa menghancurkan kesombongan si batu, kita harus bisa menghancurkan kerasnya batu ituuuu. . .!!!!” kata ayah di depan jutaan tetes air.

Ayah adalah pemimpin di kerajaan air. Aku salut pada semangatnya, walaupun kita ini bangsa air yang lembek, yang lemah, tapi ayah selalu menyemangati semua tetes air agar kita harus kuat dan jangan menyerah, bahkan pada si batu yang keras itu.

Semua memang tak percaya, tak yakin kalau bangsa air bisa menghancurkan si batu, tak terkecuali aku. Kami memang setetes air, kami memang jauh lebih lemah dari pada kerasnya si batu. Tapi ayah, ayah tak sedikitpun gentar. kulihat tangannya mengepal, dan ekspresinya begitu menggebu saat berdiri di hadapan jutaan tetes air dan meneriakkan semangat pada kami kalau kami mampu menghancurkan kesombongan si batu.

Kemudian ada setetes air yang bertanya pada ayah ,”rajaaa, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan batu yang keras itu?”

Ayah pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia  menundukkan mukanya dan berbalik arah. Kasihan ayah, ia punya semangat yang menggebu namun hingga saat ini belum menemukan caranya untuk mengalahkan si batu. Aku tau ia tak mudah menyerah, aku tau ia selalu memikirkan hal itu, aku tau dia, oh ayah.
***

Hingga malam kian larut ia belum jua tidur. Aku tau ayah memikirkan dan terus memikirkan bagaimana caranya mengalahkan batu. kulihat ia berjalan ke luar di tengah gelapnya malam. Diam-diam aku mencoba mengikutinya dari belakang. Aku hanya ingin tau kemana ayah hendak pergi di tengah malam begini. Kulihat ayah melihat batu besar itu. Ia menatapnya, dan menghampirinya, sedangkan aku melihatnya di balik persembunyianku. Ayah begitu berani mendekati batu itu, entah apa yang hendak dilakukannya. Semakin dekat langkahnya dengan sang batu aku semakin cemas. kulihat ayah berbincang dengan batu itu, namun kutak tau apa yang sedang dibicarakannya. Dari kepalan tangannya dan raut wajahnya kulihat ayah memendam emosi pada batu itu, sementara si batu hanya tersenyum sinis padanya.

Benar saja, kulihat ayah semakin tak kuasa menahan emosi. Entah apa yang diucapkan batu hingga ayah begitu naik pitam. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia membenturkan dirinya pada si batu dengan begitu keras. Namun si Batu tak terusik sedikitpun. Aku tak tega melihat ayah seperti itu. Aku pun berteriak memanggilnya dan menghampirinya, “Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh, sudahlah ayah sudah. . .!!”

Aku mencoba menarik ayah, namun ia tetap berusaha melawan si batu itu, “Suahlah nak, biarkan ayah memberi pelajaran pada batu itu, ayah tidak bisa diam saja, ia telah merendahkan bangsa air,ucap ayah dengan penuh emosi.

Aku mencoba menenangkannya dan berusaha menariknya pulang. Ayah pun tak sadarkan diri karena kelelahan dan akibat benturan keras dengan batu. Kubawanya pulang dan kurebahkan badannya. Kasihan ayah. “Aku tak mau ayah begini, sudahlah ayah, batu itu memang tak mungkin kita kalahkan,” kuberucap padanya yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.

Walaupun telah terluka ketika melawan si batu, ayah yang merupakan raja dari bangsa air tak menyerah begitu saja. Semangatnya tak mudah pudar. Namun aku masih tak mengerti mengapa ayah sebegitu dendamnya pasa si batu. Aku tak percaya jika ayah sedendam itu hanya karena si batu merasa paling kuat di hutan ini, merasa sebagai raja hutan. Aku tau ayah bukan ingin menjadi raja hutan, ia bukanlah orang yang angkuh. Aku yakin ayah menyembunyikan sesuatu tentang dendamnya pada si batu itu.

Kucoba tuk menghampiri ayah ketika ia sedang duduk sendiri. Aku bertanya padanya pelan-pelan,

“Ayah, kita ini cuma setetes air, mana mungkin kita bisa menghancurkan batu yang sekeras itu. Memang ada apa yah, kenapa ayah sampai senekat itu? Kenapa ayah sepertinya begitu dendam pada batu itu?”

Mendengar pertanyaan itu, ayah hanya terdiam seribu bahasa. Kulihat mulutnya menutup rapat-rapat, ia tak mau menjelaskan padaku tentang dendamnya pada batu. Ayah hanya bungkam, sama seperti dahulu kutanyakan tentang ibu, saat kutanyakan dimana ibu. Mungkinkah keduanya ada kaitannya? Yah, entahlah, aku tak tau. Mungkin suatu saat ayah akan bicara padaku.
***

Di depan seluruh rakyatnya ayah kembali berpidato. Kali ini semangatnya semakin kencang. Ayah sudah seperti pahlawan proklamasi yang menyulut rakyatnya tuk berjuang melawan penjajah. Ia berbicara begitu menggebu-gebu dan sesekali menjulurkan kepalan tangannya ke atas. Di depan jutaan tetes air ayah berucap bahwa kita bukanlah meteri yang lemah. Kita bisa mengalahkan batu jika tekad kita kuat.

Kini pidatonya tak terlalu sia-sia, ada Ali, Samsul, dan Mahmud yang juga ikut berteriak dan percaya kalau kita bisa mengalahkan batu. Kemudain satu per satu tetes air yang lain pun percaya dan meneriakkan semangatnya. Kulihat mata ayah berbinar, ia terharu dan ia semakin semangat meneruskan pidatonya.

Di pidatonya ayah bercerita tentang batu di Jepang. Walaupun batu bisa menghancurkan gunting, tapi pernah disana batu bisa dikalahkan kertas yang sepertinya lemah dan mudah sobek. Itu ujar ayah menyemangati rakyatnya. Ayah juga ingin membuktikan pada dunia kalau di Indonesia ada batu yang bisa dikalahkan air.
***

Setelah berpidato hari itu, kudekati ayah yang sedang mengusap keringat di dahinya. kulihat matanya berkaca-kaca dan senyum terukir di bibirnya. Ia nampak letih usai membakar semangat rakyatnya. Tapi ia merasa amat senang kini rakyatnya percaya dan yakin bisa mengalahkan batu. Tapi saat kuhampiri lebih dekat, kudengar ayah berucap sendiri, “Akan kubalasksan dendamku batu, aku akan menhancurkanmu yang telah membunuh istriku dan merendahkan bangsa air.” Samar-samar itu yang kudengar. Aku begitu terkejut mendengar itu.

“Ayah, apa benar ibu. . . . ibu dibunuh oleh batu itu?tanyaku pada ayah dengan suara yang bergetar.

Ayah pun terkejut melihat kehadiranku, namun ia masih enggan menceritakan padaku soal itu.

“Sudahlah nak, tak usah kita bahas,kata ayah sambil memalingkan wajahnya.

“Tapi ayah, ceritakan padaku ayah, aku berhak tau,aku terus mendesaknya untuk menceritakan hal itu padaku. Sampai akhirnya ia mau menceritakan padaku soal itu.

Waktu ayah masih jadi rakyat biasa, dan aku terlalu kecil tuk mengerti sesuatu, Ayah sedang berjalan-jalan dengan aku dan ibu. Lantas si batu menunjukkan kesombongannya dengan menghina kami bangsa air. Ia menyebut bangsa air sebagai bangsa yang lemah, tak seperti batu yang kuat. Lambat laun kesabaran ayah mulai terkikis. Ia pun menghampiri batu dan berkelahi dengannya. Namun ibu begitu sayang padaku dan ayah menghalau kami berdua hingga akhirnya ibu yang terlindas oleh batu itu. Itu yang ayah ceritakan padaku. Dan sejak saat itu ayah bertekad untuk menjadi raja, untuk membela bangsa air dan menghancurkan batu itu.
***

Saat kami sedang di rumah, salah seorang pengawal mengetuk pintu istana. Nafasnya terengah-engah, pengawal itu nampak tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran dari keningnya.

“Raja. . .raja. . .raja gawat raja. . ,kata pengawal itu.

“Ada apa, gawat apanya?” kata ayah bertanya dan ikut cemas.

“Ratusan tetes air terbunuh saat melewati sekitar batu.

Mendengar berita itu ayah naik pitam. Hampir-hampir saja urat lehernya keluar. Ayah bergegas keluar dan menyuruh pengawal untuk mengumpulkan rakyat.

Dengan semangat menggebu ayah membakar semangat seluruh rakyat. Saat itu ayah mengatakan bahwa sejak dahulu kita telah berhasil mengalahkan api, dan saat ini pun kita pasti bisa mengalahkan batu.

“Ayo kita semua maju menuju batu ituuuu. . .. !!!!” ucap ayah memerintahkan seluruh rakyatnya dengan penuh semangat.

Kita semua beserta jutaan tetes air tiba di hadapan batu itu. Namun batu itu nampak tak gentar menghadapi kami. Ia malah menunjukkan kesombongannya dan menghina bangsa kami. Batu itu berucap bahwa keinginan air untuk mengalahkan batu hanyalah mimpi di siang bolong. Hal itu semakin menyulut kemarahan kami.

Ayah memerintahkan seorang prajurit untuk maju melawan batu. Prajurit yang gagah berani itu sama sekali tak gentar dan langsung maju mendekati si batu. Ia masuk melalui akar pohon yang ada di samping batu, lalu naik ke atas melalui batang pohon itu hingga tiba di ujung ranting. Kemudian di ujung ranting ia melompat ke bawah dan membenturkan dirinya ke batu sekeras mungkin. Prajurit itu pun tewas, dan si batu hanya merasa sedikit geli.

Lalu satu per satu pasukan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan satu per satu di antara mereka tewas. Mereka mengorbankan nyawa mereka demi membela bangsa air.

“Ayah, sudahlah ayah ini sia-sia, ini pengorbanan yang sia-sia.” Aku memohon pada ayah tuk menghentikan semua ini.

Tetes demi tetes air tewas, nyawa demi nyawa melayang. Tapi ayah tak menggubris perkataanku. Kemudian ayah melangkahkan kakinya kedepan dan mendekati batu itu. Sempat terdengar perkataan terakhirnya, “Maafkan ayah nak.” Dan kemudian ayah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan prajuritnya, membenturkan dirinya pada batu dengan titik yang sama. Aku pun tak kuasa melihat ayah meluncur dari ujung ranting dan membenturkan dirinya pada batu yang keras. Akupun tak kuasa membendung air mata.

Namun pengorbanan ayah menyulut semangat seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya satu per satu maju dan melakukan hal yang sama. Mereaka pun tewas satu per satu. Aku pun merasa tersulut dengan pengorbanan ayah, dan juga pengorbanan seluruh rakayat air. Dengan semangat, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini giliranku.”

Dengan penuh keyakinan aku berjalan mendekati batu itu, kemudian masuk ke tanah dan menelusuri akar pohon, merasupi batang mealalui xilem, dan aku telah tiba di ujung ranting. kulihat batu di bawah sana, aku pun berteriak, “Ayahhhhhhhhhhhhh. . . . Ibuuuuuuu. . . .!!!!!!” Aku meneriakkan nama mereka berdua. Aku pun meluncur ke bawah dengan kecepatan gravitasi. Lalu berbenturan dengan batu yang keras itu. Sempat kudengar batu mulai berteriak kesakitan. Dan sampai disinilah aku bisa menceritakan perjuanganku, perjuangan ayah, dan semua bangsa air. Semoga perjuangan kami tak sia-sia.
***


Tahun demi tahun berlalu, puluhan tahun, dan ratusan tahun kemudian seluruh keturunan bangsa air meneruskan perjuangan meraka. Mereka pun melakukan hal yang sama dengan mengorabankan nyawa mereka. Dan setelah ratusan tahun berlalu, selama itu juga batu itu dijatuhi air pada titik yang sama. Akhirnya batu itu pun hancur, hancur bersama kesombongannya. Dan sejak saat itu tak ada lagi kesombongan di hutan itu. Namun bangsa air menolak dinobatkan sebagai raja hutan. Sehingga mahkota raja hutan kembali diberikan pada singa.

=======================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: Penuntut Ilmu

“Kami kumpulkan sodara–sodara disini untuk mengetahui sebuah penemuan baru di abad ini. Sebuah penemuan yang fenomenal yang belum pernah ditemukan di belahan dunia manapun. Seiring dengan kerja keras saya dan tim, akhirnya inilah dia penemuan tercanggih abad iniiiiiiiiiii. . . . . , ucap Ilham menggebu–gebu.

“Ilhaaaaaaaaaaaaaaaam. . . . . .Kamu liat sisir ibu nak?” Teriakan sang ibu yang mencari sisir membuat Ilham menghentikan pidatonya.

“Oooopppssss, ia bu ini Ilham pakee heheheh maap bu,jawab Ilham yang berdiri di depan lemari kaca dengan tertunduk malu.

“Ohh, ya sudah kamu ini ada–ada saja yah, masa sisir ibu kamu jadiin mickrofon hahaha.”

“Ia bu, Ilham lagi ngebayangin jadi ilmuwan bu heheheh,ujar Ilham tertawa malu.

“Oh gitu ya, ya ibu doakan yah semoga cita–citamu itu tercapai nak,kata sang ibu sambil mengelus–ngelus rambut anaknya.

Bu Nurhayati, ibu dari anak itu pun tersenyum melihat semangat anaknya yang bercita–cita ingin menjadi ilmuwan hebat. Tapi sesaat senyumnya perlahan pudar. Ia amat mendukung cita–cita anaknya, tapi di sisi lain keyakinannya memudar ketika ia berpikir tentang kondisi ekonominya. Ia hanyalah buruh cuci yang tiap hari keliling kampung menawarkan jasanya. Ya,  bisa dibilang Laundry tradisional. Seharian ia keliling kampung kadang tak seberapa pakaian yang ia terima untuk dicuci. Maklum saja, warga desa kampung tersebut memang secara ekonomi kondisinya sebelas dua belas dengan Bu Nurhayati.

Diantara bilik–bilik kayu, ngiungan pesawat tempur penghisap darah, dan redupnya bohlam Thomas Alfa Edison, Ilham tertidur pulas. Hmmmm. . . .ia memang anak yang periang dan penuh semangat, serta selalu mensyukuri bagaimana pun kondisi hidupnya saat ini. Cita–citanya ia gantungkan di langit tertinggi jauh di atas awan–awan yang bergumul. Ia hanya tinggal dengan ibunya di RSSSSS alias Rumah Sangat Sederhana Sumpek Sempit Sekali.

Lalu dimanakah sosok sang ayah yang biasanya menafkahi setiap keluarga. Ilham sama–sekali tak tau tentang ayahnya. Ibunya tak banyak cerita tentang sosok ayahnya. Ia hanya bilang bahwa ayahnya adalah sosok yang berani dan gagah, selebihnya Ilham tak tau apa–apa soal ayahnya. Bukan tak pernah Ilham menanyakan tentang sosok ayahnya. Namun setiap kali ia menanyakan soal ayahnya, sang ibu hanya tertunduk dan meneteskan air mata, atau kadang pula marah padanya. Sejak saat itu Ilham tak berani lagi menanyakan tentang sosok ayahnya pada ibunya.
***

Sebelum matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, Ilham tengah menelusuri rerumputan menapaki jejak demi jejak menuju Pasar sejauh 5 KM dari rumahnya tuk menitipkan kue yang dibuat ibunya ke warung di pasar. Anak itu merasa berkewajiban membantu ibunya mencari uang tuk kebutuhan hidup mereka. Setelah itu ia langsung bergegas ke sekolah dengan riang sambil berlari penuh irama dan mengayunkan tangan.

“Anak–anak, hari ini kita akan belajar pelajaran IPA, siapa diantara kalian yang tau tentang tanaman singkong?” Tanya bu guru pada murid sekelas.

Seorang murid mengacungkan tangannya,

“Ya kamu Budi, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?” tanya bu guru pada anak yang mengacungkan tangannya.

“Tanaman singkong adalah tanaman yang ada di belakang rumahku, kadang–kadang ayah mencabut singkong, lalu ibu memasaknya bisa menjadi songkong goreng, comro, misro, dan makanan lainnya. Pokonya aku suka deh bu singkong,ujar Budi

“Huahahhahahahhahah.” Seluruh kelas pun tertawa mendengar penjelasan Budi yang berbadan agak gemuk tersebut. Sementara Budi dengan tampang begonya tak mengerti apa yang ditertawakan temannya. Ia merasa tak ada yang salah dengan jawabannya.

Kemudian Bu Dini, guru mereka bertanya lagi, “Siapa yang bisa menjelaskan tentang tanaman singkong?”

“Saya bu. ,jawab Ilham sambil mengacungkan tangannya.

“Ya, silakan Ilham apa yang kamu ketahui tentang tanaman singkong?”

“Tanaman singkong memiliki nama latin manihot utilissima. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.”

“Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin,ucap Ilham diiringi tepuk tangan yang meriah dari seluruh isi kelas.

Begitulah Ilham, seorang anak yang luar biasa. Ia menjawab pertanyaan tersebut di luar ekspektasi seluruh teman–temannya bahkan gurunya. Walaupun miskin, namun tak menghalangi niatnya tuk belajar. Seringkali anak itu pergi ke SMP atau SMA, tujuannya hanya untuk membaca buku di perpustakaan. Walau kerap kali tak diijinkan tapi ia tak menyerah tuk memohon pada penjaga perpustakaan tersebut. Anak itu memang luar biasa, walau masih duduk di kelas 5 SD, tapi pengetahuannya sudah jauh melampaui teman–teman sebayanya atau bahkan murid SMP dan SMA sekalipun.

Setiap pelajaran Ilham selalu menjadi murid yang paling menonjol diantara yang lain. Kadang Ia bisa tau hal–hal yang tidak diketahui Bu Dini sekalipun. Hal itulah yang membuat Bu Dini sering memberinya kesempatan untuk mengajar di depan pada murid–murid yang lain. Begitupun pada hari itu, ketika mereka sedang belajar tentang gaya gravitasi.

“Gaya gravitasi bumi atau arti gaya tarik bumi adalah suatu gaya tarik-menarik yang terjadi pada semua partikel yang mempunyai massa. Jika di bumi, gaya gravitasi bumi disebabkan karena bumi yang berukuran besar memiliki massa yang juga besar sehingga dapat menarik semua benda yang berada di atasnya,ucap Ilham yang menjelaskan tentang gravitasi pada teman–temannya.

Ketika itu tiba–tiba terdengar suara ketukan pintu kelas dan dibukanya pintu kelas itu. Seluruh pandangan menuju ke arah pintu. Rupanya kepala sekolah yang berkumis tebal yang datang ke kelas itu.

“Ilham, bisa ikut ke ruangan bapak!” kata kepala sekolah pada anak jenius itu.

Ilham pun berjalan mengikuti kepala sekolah ke ruangannya. Detak jantungnya semakin cepat ketika itu. Ia tak tau apa maksud kepala sekolah memanggilnya ke ruangannya.

“Duduk ham. . .!” ujar Kepala sekolah menyuruhnya duduk.

Detak jantung Ilham kian cepat, kadang menyusul detak jarum jam di ruangan tersebut. Keringat dingin pun mulai keluar dari  keningnya. Kepalanya tertunduk seoalah ia telah melakukan kesalahan.

Lalu kepala sekolah yang galak itu pun berkata,

“Ham, kamu sudah berapa bulan nggak bayar SPP?” tanya Pak Kepala sekolah dengan pandangan yang tajam.

“E. . . empat bulan pak,jawab Ilham dengan bicara tersendat–sendat.

“Hmm, Ilham. . .. Ilham kamu inget bulan kemaren, trus bulan kemarennya lagi, katanya kamu bakal lunasin bulan ini. Tapi bulan ini pun kamu belum bayar sama sekali. Saya udah berapa kali ngasih pengunduran waktu sama kamu. Tapi kamu gak bayar juga,ucap Kepala sekolah dengan nada tinggi.

“Ma. . . .maaf pak,kata Ilham sambil menundukkan muka.

Lantas Pak kepala sekolah memberikannya secarik amplop yang berisi sebuah surat. Ia tak tau surat apakah itu. Pak Kepala sekolah ingin agar surat tersebut sampai di tangan orang tuanya.
***

Bu Nurhayati mendekap anak satu–satunya itu sambil menangis tersedu–sedu. Telah dibuka amplop yang berisi surat dari kepala sekolah itu. Sang ibu terkejut setelah membaca kata demi kata dalam surat itu. Diiringi tetesan hujan yang turun siang itu kesedihan terpancar dari wajahnya. Dari wajah seorang ibu yang amat menyayangi anaknya. Harus menerima kenyataan bahwa putra satu – satunya yang memiliki cita–cita amat tinggi, cita–cita ingin menjadi ilmuwan harus dikeluarkan dari sekolah lantaran tak mampu membayar uang SPP.

“Nak, maaifin ibu nak, maaf nak. Ibu gak mampu membiayai uang sekolah kamu,kata sang ibu sambil menangis tersedu- sedu.

“Sudahlah bu gak usah nangis lagi bu. Ini memang sudah takdir, tapi aku tetap percaya bu kalau aku bisa jadi ilmuwan hebat bu.”

“Ia nak, ibu juga percaya nak. Ibu percaya, ibu akan selalu mendukung kamu nak.”

Hujan pun perlahan berhenti dan mendung pun perlahan memudar. Langit biru pun perlahan mulai muncul kembali dari balik awan. Terlihat beberapa burung berterbangan dan cahaya matahari kembali menghangatkan bumi.

Ilham terduduk sendiri di depan rumahnya. Dalam benaknya ia ingin sekolah, belajar bersama teman–temannya dan menggapai impiannya di langit tertinggi. Ia menatap birunya langit dan bertanya pada dirinya apakah mampu menggapainya.

Namun ia teringat kisah Thomas Alfa Edison yang pernah ia baca di perpustakaan. Jauh sebelum Edison menjadi penemu yang sangat hebat dahulu ia pernah dikeluarkan dari sekolah. Bahkan dianggap dungu oleh gurunya sendiri. Tapi ia membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi ilmuwan hebat yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.

Semangat Ilham kembali membara. Walau ia tak lagi sekolah tapi semangatnya untuk belajar tak pernah berhenti. Cita–citanya tak pernah padam.

Ia semakin sering datang ke perpustakaan SMA Garuda Bangsa walau harus menempuh jarak beberapa kilometer dari rumahnya. Di dalam perpustakaan tersebut ia melihat beberapa buku mulai berdebu dan beberapa lainnya tak teratur pada tempatnya. Ia pun memberanikan diri menghadap kepala sekolah SMA tersebut.

“Pak, saya lihat perpustakaan di sekolah ini agak tak terurus, a. . .apa boleh saya bekerja disini untuk merapihkan dan membereskan perpustakaan di sini?” tanya Ilham walau sedikit gugup.

Kepala sekolah terdiam dan berpikir sejenak lalu berkata, “Hmmmm, oke kamu benar juga sepertinya memang harus ada orang yang mengurusi perpustakaan ini.”

Ilham menyambut ucapan kepala sekolah tersebut dengan gembira. Karena dengan begitu ia semakin sering punya kesempatan tuk belajar, apalagi belajar sambil bekerja dan meringankan beban ekonomi yang ditanggung sang ibu.

Setiap hari, anak yang seharusnya duduk di bangku SD tersebut pergi ke SMA Garuda Bangsa untuk bekerja merapihkan buku dan membersihkan buku–buku di perpustakaan. Sembari merapihkan buku ia melahap buku–buku yang ada di perpustakaan tersebut mulai dari buku Fisika, Biologi, dan Kimia yang seharusnya belum dipelajari oleh anak seusianya.

Hari berganti berlalu, perlahan ia sudah bisa menghasilkan uang dari hasil bekerjanya di perpustakaan. Ilmu yang ia pelajari pun semakin banyak saja. Dan begitu seterusnya hingga bulan demi bulan berlalu, dan tahun demi tahun berlalu.

Lima Tahun kemudian

Pagi itu siswa siswi kelas 1A SMA Garuda Bangsa belajar di perpustakaan. Tepatnya pelajaran Kimia. Sang guru Bu Dewi mengajak anak muridnya ke perpustakaan untuk merasakan suasana belajar yang berbeda. Dan juga agar murid–muridnya terdorong agar gemar membaca. Saat itu Bu Dewi bertanya pada murid–muridnya.

“Nah hari ini di awal semester ini kita akan belajar tentang atom. Sebelum ibu jelaskan tentang atom. Apakah ada di antara kalian yang bisa menjelaskan apapun tentang atom?”

Murid–muridnya hanya terdiam sembari berpikir. Ada juga beberapa diantarnya tidak berani mengacungkan tangan. Sementara Bu Dewi mengulangi pertanyaannya. Namun tetap saja tak ada yang mengacungkan tangan. Bu Dewi pun mengulangi sekali lagi pertanyaannya. Dan kali ini ada seorang yang mengacungkan tangan. Tapi bukan salah seorang dari muridnya. Orang itu berdiri di samping salah satu rak buku di belakang sana. Orang itu adalah Ilham si petugas perpustakaan. Bu Dewi terkejut, namun memberinya kesempatan tuk menjawab pertanyaan itu.

“Atom adalah suatu satuan dasar materi, yang terdiri atas inti atom serta elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan positif, dan neutron yang bermuatan netral (kecuali pada inti atom Hidrogen-1, yang tidak memiliki neutron). Elektron-elektron pada sebuah atom terikat pada inti atom oleh gaya elektromagnetik. Sekumpulan atom demikian pula dapat berikatan satu sama lainnya, dan membentuk sebuah molekul. Atom yang mengandung jumlah proton dan elektron yang sama bersifat netral, sedangkan yang mengandung jumlah proton dan elektron yang berbeda bersifat positif atau negatif dan disebut sebagai ion. Atom dikelompokkan berdasarkan jumlah proton dan neutron yang terdapat pada inti atom tersebut. Jumlah proton pada atom menentukan unsur kimia atom tersebut, dan jumlah neutron menentukan isotop unsur tersebut.”

Seluruh siswa beserta Bu Dewi terdiam tak bekutik ketika mendengar penjelasan pengurus perpustakaan tersebut. Sebuah jawaban yang rinci dan begitu ilmiah dikeluarkan oleh Ilham si pengurus perpustakaan. Seluruh siswa siswi dan Bu Dewi pun menaruh decak kagum padanya.

Tak lama kabar tentang kecerdasan pengurus perpustakaan tersebut menyeruak ke seantero sekolah ibarat virus. Siswa–siswi dan para guru seringkali membicarakan tentang kecerdasan Ilham. Sampai suatu ketika Kepala sekolah memanggil anak itu ke ruangannya.

Ilham masuk ke ruangan kepala sekolah dengan gemetar. Ia sadar kalau ia hanyalah petugas perpustakaan. Jantungnya semakin berdebar ketika Pak Kepala sekolah menyuruhnya duduk di hadapannya. Perasaan yang sama seperti yang ia rasakan saat dipanggil kepala sekolah saat duduk di bangku sekolah dasar 5 tahun silam.

Pak Kepala sekolah pun bertanya padanya, “Ham, kapan terakhir kali kamu sekolah?”

“Sampai kelas 5 SD pak?” jawab Ilham.

“Lalu bagaimana kamu bisa punya pengetahuan melebihi anak SMA?” tanya kepala sekolah.

“Sa.. .saya tiap hari belajar pak. Saya bekerja di perpustakaan sambil belajar pak. Tiap hari saya baca buku–buku di perpustakaan,jawab Ilham sambil tertunduk dan merasa bersalah.

“Oh, kalau begitu bagaimana kalau kamu sekalian saja sekolah di sini?”

“Ta. . . .tapi pak saya kan cuma pagawai perpustakaan yang sempat sekolah hanya sampai kelas 5 SD, jawab Ilham gugup.

“Kamu akan di tes dulu, kalau kamu lolos kamu bisa sekolah disini dengan dana beasiswa.”

Ilham terkejut dan mengucapkan trimakasih pada Kepala sekolah. Ia berjanji akan belajar lebih giat lagi agar bisa diterima di sekolah itu.

Tanpa kesulitan berarti Ilham pun melewati ujian tersebut dan diterima masuk sekolah di SMA Garuda Bangsa dengan biaya ditanggung dari dana beasiswa. Kepala sekolah pun kini berdecak kagum pada kepandaiannya. Dan ia berharap anak itu dapat mengharumkan nama sekolah.
***

Setahun Kemudian

Bu Nurhayati memeluk dengan erat anak sematang wayangnya sambil menitikkan air mata. Ilham pun turut menitikkan air mata kala ibunya menangis sambil memeluknya. Percis seperti kejadian enam tahun silam ketika Ilham dikeluarkan dari SD tempatnya belajar.

Tapi tidak dengan kali ini. Sang ibu menitikkan air mata tanda bahagia. Ia begitu terharu ketika Ilham pulang ke rumah menunjukkan sebuah medali yang mengalung di lehernya. Itu adalah medali emas, tepatnya medali emas olimpiade science antar SMA Se-Indonesia. Ilham telah mempersembahkan medali itu untuk dirinya, sekolahnya, dan yang lebih penting baginya untuk ibunya tercinta yang selalu mendoakannya siang dan malam.

Suara tepuk tangan pun bergemuruh ketika sang ibu mendekap anaknya dan terharu bahagia. Teman–teman Ilham dan para guru–guru beserta kepala sekolah mengantarkannya sampai ke rumah kala itu sebagai bentuk penghargaan telah mengharumkan nama sekolah. Sebuah sekolah yang hanya terletak di sebuah desa yang jauh dari teknologi kota.

Bu Nurhayati pun mengucap rasa syukur yang sebesar–besarnya karena sebagian doanya telah terkabul. Dan ia semakin percaya suatu saat kelak anaknya bisa menjadi ilmuan yang sukses. Bukan hanya mengharumkan nama sekolah, tapi juga nama bangsa dan negara.

***

Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles