Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Februari 2019

Novel Tangguh Perkasa, Untaian 5 Kejahilan Terbesar


Matahari seolah datang dan pergi, hari demi hari pun berlalu, Tangguh terus bertahan menghadapi kejahilan Badrun dan kawan-kawannya. Beruntung ia punya teman seperti Lica, gadis kecil yang selalu membelanya. Hanya ia teman yang mampu membangun kembali mentalnya yang runtuh. 

Tahun demi tahun berlalu, semuanya masih sama. Hingga Tangguh telah duduk di bangku SMP, ia masih selalu dijahili ketiga temannya. Saat mentalnya rapuh, ia terkadang pergi ke tepi pantai dan memanjat batu karang yang berdiri kokoh walau selalu diterjang ombak. Ia berdiri disana dan mengepalkan tangannya kuat-kuat tuk meguatkan tekadnya.

Ia juga harus bersyukur, selain Lica, kini ada Cahyo dan Solihin yang mau bergaul dengannya. Cahyo selalu menyisir rapi rambutnya dan tak lupa memakai minyak rambut yang terbuat dari minyak kelapa. Ia selalu membawa sisir di saku belakangnya. Jika berucap tinggi sekali bahasanya, seperti seorang politisi. Namun terkadang ia sendiri tak mengerti arti kata-kata yang diucapkannya. Sedangkan Solihin kebalikannya, ia malas sekali menyisir. Karena itulah ia lebih sering menggunduli kepalanya agar tak usah menyisir apalagi keramas. Cahyo dan Solihin suka sekali bercanda. Itu yang membuat Tangguh tak terlalu bersedih ketika selalu dijahili Badrun, Jamal, dan Tohir.

Hingga kini ia terus menjadi objek kejahilan Badrun, Jamal, dan Tohir. Hampir setiap hari ia dijahili. Namun ia terus bertahan di sekolah itu. Ia ingat sebuah pepatah yang bilang bahwa orang yang tangguh adalah orang yang mampu membangun benteng dari batu yang dilemparkan padanya.

Puncak kejahilan itu terjadi saat ia duduk di kelas 3 SMP. Badrun, Jamal, dan Tohir, tiga otak di balik kejahilan itu selalu penasaran dengan nama Tangguh hingga membuat mereka terus menjahilinya untuk membuktikan apakah Tangguh memang tangguh. Mereka bertiga merencanakan aksi jahil terbesar. Selama ini Tangguh cukup sabar, mulai dari kotor, basah, sakit kepala, kaki, pegal–pegal, nyeri otot, dan lainnya telah dirasakannya akibat kejahilan tiga teman sekelasnya itu. Namun selama ini ia masih bisa bersabar. Tapi apakah kali ini ia masih bisa bersabar?

Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa

Novel Tangguh Perkasa, Untaian 4: Matematika


Sejak saat itu, Tangguh seringkali dijahili oleh beberapa teman yang tidak suka padanya. Terutama Badrun, jamal, dan Tohir. Mereka sebenarnya termasuk anak orang kaya. Badrun yang berbadan agak gemuk adalah anak seorang pengusaha pertambangan, Sedangkan Orang tua Jamal  sukses di perkebunan teh, Sementara Tohir yang kurus tinggi sebenarnya anak kampung, namun ibunya yang telah janda menikah lagi dengan seorang pengusaha kapal. Lalu bagaimana mereka bisa sekolah di sekolah yang hampir rubuh itu? 

Ketiga anak ini tidak tinggal di desa Pasirputih. Mereka tinggal di kota dengan rumah bertingkat. Sekolahnya pun di sekolah elit yang cukup mahal. Namun dua tahun mereka tak pernah beranjak dari kelas satu SD. Mereka lebih sibuk melakukan aksi-aksi jahil dibandingkan belajar. Maka secara kompak orang tua mereka mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah di kampung yang terpencil, supaya mereka lebih mudah naik kelas. Namun tak secuil pun sifat jahilnya menghilang. Justru kejahilannya semakin menjadi-jadi karena merasa siswa paling kaya. Walaupun mereka tinggal di kota dan sekolah di kampung, tapi mereka setiap harinya selalu diantar jemput dengan mobil mewah. 

Tangguh sering dijahili oleh ketiganya, tapi hal itu sama sekali tak meruntuhkan niatnya untuk menuntut ilmu. Ayahnya yang selalu berusaha mencari uang untuk menyekolahkannya, ibunya yang selalu berusaha untuk memotifasinya telah menjadi kekuatan tersendiri, ibarat besi tulangan yang memperkuat struktur beton. Dan tentu satu lagi yang menjadi pemantik semangatnya adalah impiannya untuk menjadi ilmuan hebat seperti Einstein, Edison, atau Galileo.

Karena itulah, sejak pertama masuk sekolah ia sudah tertarik dengan ilmu matematika. Ilmu yang dibenci sebagian orang karena kerumitannya justru ibarat makanan favorit buatnya. 

Di belakang sekolah ada sebuah hamparan rumput, disana pohon trembesi yang bernama latin samanea saman berdiri menyepi sendirian. Hanya desir angin, yang selalu menyapanya. Tangkai dan daun yang tumbuh mengembang seperti payung yang terbuka membuat pohon itu amat rindang. Di bawah samanea saman yang rindang itu, kerap kali Tangguh terlihat duduk sendiri. Disanalah ia biasa belajar matematika, mengerjakan tugas atau berlatih mengerjakan soal-soal. Dengan sempoa yang terbuat dari biji salak, ia menghitung dan mengerjakan soal–soal matematika. Sempoa itu dibuat oleh tangan ayahnya yang amat mendukungnya. Dengan biji salak, benang kenur sebagai talinya, dan kayu sebagai bingkainya dibuat oleh sang ayah di hari ulang taun Tangguh sebelum masuk sekolah.

***

Hari itu seusai pulang sekolah, seperti biasanya, Tangguh duduk di bawah pohon rindang itu. Ia sedang mengerjakan tugas matematika yang baru saja diberikan Bu Weni tadi siang. Ketika itu Lica sempat menoleh ke arahnya dan melihat Tangguh yang bersandar di pohon. Lica pun menghampiri dan menyapanya,

“Hai guh,” sapa Lica melambaikan tangan.
“Oh, hai ca,” sahut Tangguh.
“Guh, kamu sedang apa di sini?” 
“Aku sedang ngerjain tugas aja kok,” jawab Tangguh  menggaruk kepala.
“Oh, kamu suka ngerjain tugas disini?” 
“Ia ca, disini tempatnya enak, tenang, sejuk,” ucap Tangguh menghirup udara segar.
Lica pun ikut duduk di atas rerumputan bersandar pada batang samaena saman.
“Itu apa guh?” tanya Lica menunjuk sempoa yang dipegang Tangguh.
“Oh ini, ini dibuatkan ayahku. Ini yang membantuku menghitung soal matematika.”
“Kamu suka matematika yah guh?” 
“Ia ca, aku suka banget matematika. Aku ingin jadi seperti Einstein, Edison, atau Galileo.”
“Wah tinggi sekali cita–cita kamu guh. Ajarin aku dong pake benda itu. Ajarin aku ngerjain soal–soal tadi guh!”
“Ya udah, kita ngerjain tugas bareng aja.”

Hari itu, mereka mengerjakan tugas bersama di bawah pohon yang rindang, diantara rerumputan dan ilalang, dihembusi angin sepoi–sepoi dan sesekali disapa kupu–kupu yang terkadang menghampiri. 

Sejak hari itu, mereka sering mengerjakan tugas bersama di bawah pohon rindang itu. Kadang Tangguh mengajarkan matematika, dan kadang pula sebaliknya, Lica yang mengajarkan Bahasa Inggris, pelajaran favoritnya. Hari itu, Samanea saman menjadi saksi persahabatan mereka.

Lica, hanya itu namanya, tak lebih dari empat huruf. Namun bagi Tangguh, ia lebih dari seorang gadis kecil biasa. Walaupun seorang perempuan, tapi ia adalah sahabat yang selalu berani membelanya ketika dijahili Badrun dan kawan-kawannya. Selain itu, tak sekalipun Lica terlihat bermuram durja. Parasnya selalu bersahaja dan memancarkan keceriaan, membuat Tangguh lebih semangat mengarungi kehidupan di sekolah.  Padahal tak ada yang pernah tau, di balik senyumnya, di balik keceriaannya, Lica menyimpan kesedihan yang membuat hatinya tersayat. Namun kesedihan itu selalu berusaha ia sembunyikan ketika tiba di sekolah. 

Hampir di setiap malam, Lica selalu mendengar ayah dan ibunya bertengkar. Dari balik dinding kamarnya ia selalu menangis, meneteskan air mata yang meluncur deras di pipinya tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya yang menyangkanya telah tidur pulas.

Tapi belum lama ini kesedihannya semakin memuncak saat ayah dan ibunya bercerai. Ayahnya lebih memilih pergi dengan wanita lain dan mencampakkan dia dan ibunya. Tapi tak sekalipun kesedihan itu terlihat di sekolahnya. 

“Guh kenapa kamu suka matematika sih?” tanya Lica dengan paras yang ceria.
“Karena banyak hal yang bisa diprediksi dengan perhitungan. Misalnya kecepatan, jarak, waktu, dan banyak hal lainnya,” jawab Tangguh.

“Wow keren, tapi apa semua hal bisa dihitung guh dengan ilmu matematika?” tanya Lica penasaran.

“Ya nggak semua ca, nasib dan takdir kita pasti nggak bisa dihitung dengan ilmu matematika, karena kita nggak pernah tau,” jawab Tangguh tersenyum, sementara Lica  hanya terdiam menunduk merenungi perkataan Tangguh dan merenungi hidupnya yang tak bisa diprediksi.

Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa

Novel Tangguh Perkasa, untaian 3: Apakah Benar Tangguh?


Waktu bergulir begitu cepat. Kini Tangguh Perkasa sudah berusia 6 setengah tahun. Ia sudah mulai duduk di bangku sekolah, tepatnya di SD Harapan Bangsa, sebuah sekolah sederhana di desa Pasirputih yang berjarak cukup jauh dari rumahnya. Ia harus berjalan kaki menelusuri jalan berliku dan pepohonan untuk mencapai sekolah. Untuk anak kecil yang berbadan kurus, perjalanan itu amat berat, tapi tetap tak menyurutkan niatnya untuk mengenyam pendidikan. Ia sadar, perjuangan ayahnya yang harus menggoes sepeda puluhan kilometer jauh lebih berat. 

Sekolah itu tak ubahnya seperti bangunan yang telah terkena gempa 5 skala richter. Beberapa bagian dindingnya telah keropos, beberapa sisi jendelanya tanpa kaca, hanya kusen yang melompong. Sementara plafondnya banyak berlubang, yang saat pelajaran berlangsung, terkadang tikus-tikus mengintip dari atas seolah ikut menyimak pelajaran. Atapnya pun bocor di beberapa bagian. Maka ketika hujan turun, beberapa murid repot menggeser mejanya karena air menetes dari atasnya. 

Di hari pertama sekolah, Tangguh duduk di bangku pojok paling belakang di sudut ruangan kelas. Kepalanya hanya menunduk, tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Ia masih merasa malu dan minder dengan badannya yang kurus. Ia merasa malu untuk bergaul dengan teman-teman barunya. 

Di saat murid lainnya aktif menyimak pelajaran dari guru, di saat murid lainnya berceloteh dan bermain bersama ketika jam istirahat, ia hanya murung sendiri, duduk terpaku di pojok kelas atau kadang di bawah pohon yang rindang di halaman sekolah. Tak sepercik tawa pun keluar dari mulutnya, tak seutas senyum pun terpancar dari lengkung bibirnya, tak sekalipun ia bermain dan berceloteh dengan teman-teman sekolahnya.

Mengetahui hal itu, ibunya merasa iba. Karena si ibu percaya bahwa anaknya adalah anak yang luar biasa, karena itu ia dinamakan Tangguh Perkasa.

“Nak, tunjukkanlah bahwa kamu anak yang luar biasa dan patut dibanggakan,” ucap sang ibu pada Tangguh seraya memegang kedua pundaknya. 

Mendengar ucapan ibunya, Tangguh hanya diam  dan menunduk lesu. Lalu ia memikirkan perjuangan ayah dan ibunya. Ayahnya yang selalu bekerja dari pagi hingga petang untuk mencari nafkah, menggoes sepedanya puluhan kilometer jauhnya dan berdiri sepanjang hari di pabrik. Pastilah tak terbayangkan betapa pegal kakinya setiap hari. Namun tak sekalipun ayahnya terlihat lelah. Bahkan dengan gaji di bawah UMR ia sama sekali tak mengeluh untuk pekerjaan yang berat itu. Bahkan ia tak mau merepotkan Tini dan Tangguh. Ketika kakinya amat pegal, ia hanya memijat-mijat kakinya sendiri tanpa memperlihatkan rasa pegal itu pada Tangguh dan ibunya.

Sementara ibunya selalu memberi kasih sayang, yang terkadang juga ikut mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibunya berkeliling kampung menawarkan jasa cuci baju keliling. Namun sulit baginya mencari orang yang mau menggunakan jasanya karena rata-rata warga desa itu juga miskin. Jikapun ada, maka bayarannya amatlah kecil. Bahkan pernah suatu ketika ibunya bekerja mencuci baju dari pagi hingga sore, namun ia hanya membawa pulang Kapten Patimura. Ya, hanya seribu rupiah, tak lebih.

Tangguh menitikkan air mata ketika mengingat itu. Kemudian ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, bertekad untuk menjadi murid yang rajin belajar dan ingin menjadi yang terbaik, juga mampu bergaul dengan teman-teman sebayanya. Namun rasa minder yang berkecamuk dalam batinnya seolah menjadi batu penghalang.

*** 

Saat itu, di jam istirahat ia masih sendiri termenung di sisi halaman sekolah. Beberapa temannya sedang bermain kelereng. Ingin rasanya Tangguh bergabung bersama mereka. Walau terasa berat, kakinya mulai digerakkan tuk melangkah, namun baru selangkah ia mundur kembali. Tangannya menggulung–gulung baju. Ia merasa gerogi. Namun perlahan ia mulai mampu mengalahkan ketakutannya. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa satu-satunya cara mengalahkan ketakutan adalah dengan menghadapinya. Ia mulai melangkah maju, semakin lama langkahnya semakin yakin. Ia pun berdiri di hadapan teman–temannya yang sedang bermain kelereng. 

Sambil mencengkram baju seragamnya, dipaksanya bibirnya tuk berucap pada teman-temannya, “Ha. . .hai. . .a. . .aku Tangguh Perkasa . .  bo. . .boleh aku i. . .ikut main,” ucapnya terbata-bata.

Segera saja teman–teman sekelasnya yang sedang bermain kelereng membatu tak bersuara, lalu menghentikan permainannya sejenak. Semua pandangan terarah padanya. Namun  kediaman itu hanya sesaat karena tak lama gelak tawa terbahak–bahak membahana setelah mereka melihat Tangguh.

“Hahaha. . . . apaaa. . , Tangguh perkasa. Badan tulang terbungkus kulit begini tangguh perkasa, hahaha. . . ,” itulah yang diucapkan Badrun, salah satu murid sekolah yang sedang bermain kelereng diiringi dengan gelak tawa dari seluruh teman-teman lainnya yang sedang bermain kelereng kala itu.

Tangguh menunduk muram. Ia begitu terpukul. Mentalnya benar–benar rapuh laksana ranting di musim kemarau. Kemudian ia berlari sambil menangis. Di bawah pohon yang rindang ia merenung dan bersedih. Duduk menyandar pada sebatang pohon, menangis ditemani sehelai daun yang jatuh dari pohon tempatnya bersandar. 

Di tengah kesedihannya ternyata masih ada teman yang peduli padanya. Lica, seorang gadis kecil yang juga sekelas dengannya menghampirinya, menepuk bahunya secara perlahan dan berkata, “Hai, kamu kenapa? ucapan mereka nggak usah didengerin ya, mereka emang gitu.” Mendengar ucapan Lica, Tangguh sedikit lega, ia hanya senyum sekilas. Namun tetap tak menghilangkan rasa sakit hatinya. 

***

Keesokan harinya ia enggan untuk berangkat ke sekolah. Namun sang ibu terus memberinya semangat untuk mau berangkat sekolah. Dengan berbagai upaya dan kata dikerahkan untuk membuat sang anak kembali bersemangat ke sekolah. 

Sore itu Tangguh pergi ke pantai, memanjat batu karang setinggi atap dan berdiri di atasnya. Batu karang itu  berdiri di depan pasir putih yang terhampar, seperti mercusuar kerdil tanpa lampu sorot. Melihat ombak yang menerpa batu karang tempatnya berdiri, namun tak membuat batu karang itu bergeming dari tempatnya, Tangguh mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Mencoba untuk menyatu bersama batu karang. Hingga ia yakin dan merasa kuat menghadapi penghinaan yang terjadi di sekolahnya.

Pagi itu ia berangkat ke sekolah, berjalan kaki menenteng rantang susun bekalnya. Sesampainya di sekolah ia melihat pintu kelasnya tertutup rapat, nampak tak terdengar suara apa-apa barang 1 desibel pun. Matanya menatap matahari tuk menerka apakah ia kesiangan atau tidak.

Segera saja ia mempercepat langkah kakinya tuk bergegas menuju ruang kelasnya. Sesampainya di depan kelas, ia segera membuka pintu dan menengok apakah ada guru yang sudah masuk. Namun ternyata bammm . . . .sebuah penghapus papan tulis menimpa kepalanya dari atas pintu hingga bertaburanlah butir–butir kapur di atas kepalanya yang membuat rambut belah pinggirnya  menjadi putih seperti kakek–kakek. Spontan seluruh temannya tertawa terbahak–bahak melihat kejadian itu, kecuali Lica. Rupanya itu adalah ulah beberapa teman sekelasnya yang super jahil. 

Tangguh hanya menunduk, menghela nafasnya dan mengucapkan Innallaha ma‘ashobirin dalam hatinya. Ucapan yang diajarkan ibunya untuk tetap sabar. 


Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa

Novel Tangguh Perkasa, untaian 2: Anak Ajaib


Kini ruang di rumah berdinding bata expose itu terkadang tak lagi sepi, suara tangisan bayi kerap terdengar menggema dari dalam rumah. Tono membuatkan kalung dengan untaian dari kayu berbentuk persegi yang ditengahnya diukir huruf T, menandakan inisial Tangguh. Ia memakaikan kalung itu pada anaknya yang baru lahir, ia merasa amat bahagia dengan kelahiran anak pertamanya itu. Tapi saking bahagianya akan kehadiran sang bayi, Tini dan Tono baru menyadari kalau beberapa hari yang lalu mereka belum membayar biaya kelahiran anaknya pada dukun beranak. 

Di siang harinya, Sartono pergi berjalan kaki ke rumah dukun beranak itu untuk membayar biaya kelahiran anak pertamanya. 

Di depan tempat praktek dukun beranak itu ia merasa heran, kini di tempat itu sepi sekali, padahal seharusnya hari ini dukun itu buka praktek. Papan nama yang ada di depan rumah si dukun beranak itu terlihat telah tumbang, tak lagi berdiri tegak. Pintu rumah dan jendela kayu pun tertutup rapat. Tono mengetuk–ngetuk pintu rumahnya, namun kali ini tak memakai batu sebesar bola softball. Ia terus mengetuknya, tapi tak juga ada yang membuka pintu. Sempat ia melihat ke bawah, di depan teras ada batu sebesar bola softball yang ia pakai untuk mengetuk pintu itu tempo hari. Namun niat untuk mengambil batu itu ia urungkan setelah mengingat kening dukun itu yang benjol gara-gara batu itu. Walaupun merasa bersalah, ia tetap tertawa geli dalam hatinya ketika mengingat hal itu.

Ia pun berjalan pulang. Tak jauh dari tempat dukun itu, ia melihat seseorang yang sedang memotong rumput di tepi jalan. Kemudian Tono bertanya padanya, “Mas. . . .mas apa mas tau dukun beranak itu kemana ya? kok saya kesana nggak ada?” tanya Tono menunjuk ke arah rumah dukun beranak itu.

“Oooh. . . .Mbo parti, dari tadi pagi dia udah pergi. Katanya mau nerusin kuliah lagi ngambil program studi dukun santet. Katanya dia trauma jadi dukun beranak,” jawab si pemotong rumput itu.

Mendengar jawaban itu, Tono merasa aneh dan merapatkan kedua alisnya, tapi ia juga berpikir, “Apakah ia trauma gara–gara kejadian kemarin ya? Ah, ya sudahlah.” Ia kembali ke rumahnya dengan perasaan kurang tenang karena utangnya belum dibayar.

Tapi bukan Tono saja yang merasa tak tenang, tentunya mbo Parti si dukun beranak lebih tak tenang lagi. Sejak pagi-pagi sekali ia pergi membawa gembolan berisi barang-barangnya yang dianggap penting. Di depan rumahnya ia sengaja merobohkan papan nama itu sebelum pergi lantaran kesalnya. Dengan dahi benjol besar dan lebam di pipi, ia berjalan dan bertekad untuk meneruskan kuliah fakultas kedukunan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi dukun sakti takkan pernah lagi menjadi dukun beranak. Ia pun pergi menaiki perahu nelayan yang diparkir di tepi pantai tanpa sepengetahuan si pemilik perahu.
*** 

Sebelum Tono datang, Tini terkaget–kaget ketika ia ke kamar untuk melihat anaknya. Pasalnya ia melihat sesuatu yang tak wajar, anaknya yang umurnya belum sebulan sudah bisa berjalan sendiri di kamarnya.. 

Sartono pun tiba dirumah, langsung saja Tini memberitahukan suaminya tentang apa yang terjadi, “Mas. . .mas. . . mas. . . !!!!” ia memanggil suaminya dengan panik.

“Ia, ada apa Tin? memangnya ada apa sih, kamu keliatanya panik?” sahut Pak Tono.
“Mas tau gak sih. . . anak kita mas. . . .anak kita!!!”
“Ia. . . . anak kita kenapa?”
“Hmmm. . .nggak  apa-apa sih mas, cuma. . . . .”
“Cuma apa?”
“Cuma. . . .anak kita mas. . . .anak kita!!!” 
“Ia . . . .ada apaaa???!!!”
“Anak kita tadi sudah bisa berjalan.”
“Ah, becanda kamu, anak  kita baru sebulan masa sudah bisa jalan lagi?” Sartono tak percaya.

Lantas ia melihat ke kamar untuk membuktikan apa yang dikatakan istrinya. Namun di kamar itu ia melihat Tangguh sedang tertidur pulas di ranjang.

“Tuh kan anak kita lagi tidur kok, kamu mimpi kali.” 
Tini mengucek matanya. Ia baru sadar kalau ia baru saja bangun tidur. Ia pun sadar kalau itu hanya mimpi.
***

Bulan demi bulan berlalu, hari ini Tangguh sudah berusia 4 bulan. Saat itu Tini terkejut, tiba–tiba saja ia bisa berbicara pada ibunya.

“Ma. . .mama . . .aku lapar ma,” kata anak itu. 

Spontan saja mulut ibunya menganga, keringat mengalir dari keningnya dan matanya membesar seolah mau keluar dari tempatnya. Tini terkejut, bagaimana tidak, anak sekecil itu sudah bisa berbicara dengan sempurna saat gigi-giginya sama sekali belum tumbuh. 

“Mas. . .mas!!” ucap Tini terbangun dari tidurnya dengan berkeringat.
“Kamu kenapa Tin?”
“Anak kita sudah bisa bicara mas.” 
“Tuh kan, kamu mimpi lagi, ini masih malam.”
Tini menghela napas, ia baru tersadar itu juga hanya mimpi.

***

Bulan demi bulan pun berlalu. Kini anak itu sudah berusia satu tahun. Saat itu, si ibu kembali melihat keluarbiasaan dari anaknya. Ketika suaminya sedang bekerja di pabrik, Tini melihat anaknya membengkokkan sendok stainless di piring makanannya dengan kedua tangannya. Namun Tini lagi-lagi hanya mimpi. Ia baru terbangun setelah ketiduran akibat kelelahan seusai masak dan mencuci. Dari rangkaian mimpinya yang aneh, Tini hanya berpikir, mungkin ini pertanda bahwa Tangguh Perkasa akan menjadi orang yang luar biasa kelak.

Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa

Novel Tangguh Perkasa, untaian 1: Lahirnya Tangguh Perkasa


Bibir pantai seringkali tersenyum di kala ombak datang menyapa butiran-butiran pasir yang putih. Angin berembus mengayunkan daun-daun pohon kelapa yang berderet membentuk barisan. Sebuah karang tetap berdiri kokoh walau dihempas ombak berkali-kali, seolah mengatakan bahwa batu karang itu amat Tangguh dan Perkasa. 

Beberapa kilometer dari bibir pantai, sebuah rumah yang sangat sederhana berdiri tak begitu kokoh. Rumah itu berjarak beberapa puluh meter dari rumah lainnya di desa Pasirputih, diselingi pohon-pohon yang tertancap tak saling berdekatan. Lantainya ubin yang telah retak di beberapa bagian, dinding-dindingnya terbuat dari bata tanpa plester, acian, apalagi cat. Dinding rumah itu juga telah keropos di beberapa bagian. Yang apabila di desa itu ada sapi gila yang mengamuk dan menyeruduk dinding rumah itu, maka dinding rumah itu bisa hancur berantakan. Sedangkan atap gentengnya telah usang dan bocor di beberapa bagian. Jika malam tiba, hanya lampu redup 5 watt yang sedikit menerangi. 

Disanalah tempat bernaung sepasang suami istri yang hidup serba amat sederhana. Sartono dan Suhartini, mereka telah menikah setahun yang lalu. Sartono adalah kepala keluarga yang bersahaja. Badannya cukup tegap walau tak terlalu kekar. Ia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik untuk menghidupi dirinya dan istrinya. Setiap hari, kala sang mentari belum menampakkan cahayanya, lelaki berbadan tegap itu harus mengayuh sepeda kumbangnya puluhan kilometer tuk bekerja di pabrik. Walau keringat selalu membasahi keningnya, ia selalu semangat menggoes sepedanya, mengerahkan tenaganya hingga sampai pabrik. Penderitaannya belum selesai sampai disitu, sesampainya di pabrik ia harus bekerja berdiri berjam-jam dari pagi hingga sore memasukkan makanan dari meja berjalan ke kardus-kardus kecil. Sepulangnya dari pabrik ia harus menggoes lagi sepedanya puluhan kilometer. Namun rasa letih yang ia rasa selalu hilang menguap ke angkasa ketika ia sampai di rumah dan bertemu istri tercinta. 

Tono tak berniat menjadi nelayan seperti kebanyakan warga desa, walaupun pantai tak terlalu jauh dari rumahnya. Hal itu karena saat ia masih kecil, ia pernah hampir tenggelam di lautan. Sejak saat itu ia enggan menjadi nelayan, bahkan mendekati laut pun enggan.

Hari itu Tono pulang lebih malam dari biasanya. Ban sepedanya bocor di tengah jalan, ia harus menuntun  sepedanya sampai rumah. Namun beberapa meter sebelum sampai rumah ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya, tak mau terlihat letih di hadapan istrinya. Terlebih saat ini, Tini (nama panggilan si istri) sedang hamil tua. Perutnya sudah membesar seperti pemain drumb band  di kelompok marching band. 

Malam itu, sebelum merebah dalam lantunan mimpi, mereka mengobrol sejenak mengenai suatu hal sembari berbaring menyamping saling berhadapan di tempat tidur yang ranjangnya terbuat dari kayu, yang apabila bergerak sedikit saja menimbulkan suara berderit.

“Tin. . . .kamu ingin anak laki–laki atau anak perempuan?” tanya Tono yang tersenyum bahagia. 
“Mmmm. . . laki–laki atau perempuan sama aja  mas, tapi aku lebih ingin anak laki–laki yang tangguh kaya mas,” jawab Tini. 
“Ah, kamu bisa aja, hmm. . . apa ya nama yang cocok untuk anak kita tin?” tanya Tono tersipu malu.
“Tangguh Perkasa mas, aku ingin anak kita menjadi anak yang tangguh dan perkasa,” ucap Tini dengan penuh harap lalu merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamarnya.

Di tengah–tengah obrolan mereka, tiba–tiba Suhartini merasakan sakit pada perutnya. Ia merasakan anaknya sudah mulai menendang–nendang ingin keluar dari  kandungannya. Seketika senyumnya mulai meredup, dahinya mulai mengerut. Kemudian ia meronta–ronta, tangan kanannya memegang perutnya sementara tangan kirinya mencengkram selimut menahan rasa sakit yang tiada terperi. Suaminya pun mulai merasa panik.

“Kamu kenapa tin?” tanya Suhartono yang mulai panik. “Kalau gitu kita ke dukun beranak saja, sepertinya anak kita sudah mau lahir.” Tono segera berganti baju tuk bersiap-siap dengan tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, hampir saja ia lupa mengganti sarungnya dengan celana panjang.

Maka pergilah mereka ke dukun beranak itu. Maklum saja, di desa mereka belum ada rumah sakit, puskesmas pun telah tutup sejak matahari belum tergelincir. Letak rumah dukun beranak itu memang cukup jauh, beberapa kilometer dari rumahnya. 

Malam itu mereka berjuang berjalan kaki di tengah kesunyian malam dan hujan yang tiba-tiba turun cukup deras. Sepeda kumbang yang biasa dipakai Tono ke tempat kerjanya bannya kempes disaat yang tidak tepat.

Tono terus menuntun Tini yang berjalan sembari mengerutkan dahi dan merintih menahan rasa sakit di perutnya. Di tengah derasnya hujan yang semakin lama semakin membasahi, dan rasa dingin yang semakin lama seolah mencengkram tubuh, mereka tetap tegar bagaikan batu karang yang kuat walau dihantam ombak, mereka terus berjuang demi kelahiran anak pertama. Mereka meneruskan langkah demi langkah tanpa pernah kenal kata menyerah. Hal itu mereka lakukan demi anaknya yang akan lahir. Dan mereka percaya, anak mereka kelak akan menjadi anak yang tangguh.


***
Setelah melewati gelapnya malam dan dihujam ribuan tetes air hujan yang menggigilkan tubuh, melewati kebun, semak belukar, dan jalan tanah yang licin, akhirnya mereka tiba di rumah dukun beranak yang letaknya terpencil. Sebuah rumah di tengah pepohonan yang hanya diterangi lampu redup. 

Tono mengetuk pintu rumah dukun beranak itu dengan cukup keras karena rasa cemas akan istrinya dan calon anaknya yang akan lahir.  

“Mbo. . . . . mbo. . . . . .buka pintunya mbo. . . .saya mau melahirkan. . . eh istri saya maksudnya yang mau melahirkan, cepat mbo!!!” teriak Tono yang mengetuk pintu dengan rasa panik.

Lama pintu diketuk tak dibuka juga, sepertinya dukun beranak itu sudah terlelap dalam tidurnya. Di depan rumahnya nampak berdiri sebuah papan nama yang bertuliskan:

Dukun beranak Mbo Parti melayani :
- Proses melahirkan normal
- Proses melahirkan premature
- Periksa kandungan
- Tes USG
- Cek tensi
- Dll
    Buka praktek jam 9.00 s/d 16.00

Rupanya dari jam empat sore, dukun beranak itu sudah menutup prakteknya. Melihat tulisan itu, Tono tak bergeming sedikit pun, karena istrinya sudah hampir melahirkan dan tak mungkin menunggu sampai esok tiba. Ia lantas mengetuk pintu rumah dukun itu semakin keras saja dengan genggaman tangannya layaknya seorang dept  colector yang menagih hutang. Tapi tetap tak dibukakan juga. Lalu saking khawatirnya terhadap istri dan calon anaknya, Tono mengambil batu sebesar bola softball yang ada di depan teras rumah itu dan ia hendak mengetuk pintu rumah si dukun beranak pakai batu sekeras mungkin. 

Namun tiba–tiba saat Tono hendak mengetukannya, mbo Parti dukun beranak itu membukakan pintunya dengan mata yang masih setengah menutup karena masih mengantuk. Dan Bammmmmmm. . . . . .sebuah batu sebesar bola softball mendarat di jidat dukun beranak itu. Ia sempoyongan, jatuh ke lantai dengan posisi duduk.

Dukun beranak yang masih mengantuk itu  kepalanya bergoyang, seolah dikelilingi bintang-bintang dan burung-burung di atas kepalanya. Kini dukun itu nampak bercula satu saat sebuah benjolan perlahan tumbuh dari keningnya. Tono tak kuasa mengerem tangannya yang sudah terlanjur berayun. Permohonan maaf terus diucapkan pada dukun itu. Dukun itu hanya berkata dalam hatinya, “Hmmmm. . . . .udah malem–malem ngeganggu tidur, bikin benjol lagi. Coba waktu kuliah dulu milih jurusan teknik santet, gua santet lu. . . .!” 

Malam itu, si dukun beranak terpaksa harus kerja lembur di larut malam. Dengan jidat yang terus bersnut–snut ia tetap berusaha mengeluarkan bayi dari perut Tini. 

“Ayo ngeden, ngeden, 1,2,3, ayo ngeden. . .ngeden!!” kata dukun itu sambil menjulurkan tangannya ke dalam sarung yang dipakai Tini dan siap menyambut si bayi.

Ah. . .emang dasar dukun itu lagi sial kali ya. Setelah disuruh ngeden berulang–ulang oleh dukun itu, Akhirnya Tini bisa sedikit lega karena keluarlah dari perutnya dan dukun beranak itu siap menyambutnya. Namun malang nasib dukun itu, ternyata si bayi belum keluar, justru yang keluar adalah sesuatu yang cukup menjijikan “iyaaaak wohoo.” Tangan dukun beranak itu kini seperti roti yang telah dioles mentega. Lantas setelah itu ia pergi sejenak ke kamar kecil untuk mencuci tangannya yang terkena koto. . . .ups. . .ya itu lah pokoknya.

Dapur dan toilet di rumah si dukun beranak  belum dipasang lampu sehingga cukup gelap. Ah. . emang dasar tu dukun lagi sial kali ya, ia berjalan meraba–raba di tengah kegelapan menuju kamar kecil. Namun tiba–tiba, Bammm. . . . . . Jidat si dukun yang sudah benjol itu pun kembali harus terbentur kusen pintu kamar mandi. Rasa snut–snut semakin menjadi–jadi, benjolnya pun semakin membesar.

Tapi ia dukun yang cukup professional. Dengan menahan rasa snut–snut di jidatnya, ia kembali bekerja membantu persalinan Tini. Proses persalinan berlangsung cukup lama hingga berjam–jam. Dan akhirnya tepat pukul 5 subuh lahirlah seorang bayi laki–laki yang diberi nama Tangguh Perkasa. 

Namun entah kenapa, si bayi itu ternyata saat lahir tak langsung menangis, tak seperti bayi–bayi yang lain. Dukun itu merasa khawatir akan anak yang baru lahir itu. Lantas saja si dukun beranak memukul–mukul pantat si bayi agar ia dapat menangis. Mungkin emang dasar si dukun beranak itu tu malem lagi sial. Ketika si dukun itu memukul–mukul pantat si bayi, bapaknya si bayi itu langsung menonjok muka si dukun beranak dan mengambil anaknya.

“Hei. . . .apa yang kau lakukan pada anakku?!!!!” 
Bammmm. . . . . sebuah bogem mentah mendarat di pipi si dukun sampai membuatnya hampir terkapar di lantai. Kini muka si dukun sudah hampir nggak  beraturan, benjol besar di jidat dan biru bengkak di pipi. Rupanya bapaknya si bayi tak mengerti kalau bayi yang lahir biasanya langsung menangis.

***

Setiap ibu atau hampir setiap ibu di dunia ini pasti bahagia dengan kelahiran anak pertamanya. Namun melihat bayi yang baru ia lahirkan, nampak ada yang membuat Tini sedikit tidak terlalu bahagia. Itu karena si bayi yang ia harapkan akan menjadi orang yang gagah perkasa ternyata sangat mungil dan kurus. Ia jadi bertanya-tanya dalam benaknya, “Apakah aku pantas menamainya Tangguh Perkasa, dan apakah ia akan menjadi anak yang tangguh?” tanya Tini dalam benaknya seraya mengerutkan dahi, terbalut dalam keraguan.

Melihat istrinya merenung, Tono mendekatinya, membisikannya perkataan yang bisa melegakannya.

“Sudahlah, anak kita kan masih bayi, sangat mungkin anak kita suatu saat menjadi anak yang tangguh, jika pun tidak, cukuplah anak kita menjadi anak yang baik dan bisa menyebarkan kebaikan.”

Tini hanya tersenyum mendengar ucapan suaminya. Lalu mereka pun  berjalan pulang kembali ke rumah. Kondisi Tini yang masih lemah membuat Tono harus menuntun Tini lagi. Mereka pulang sambil menggendong sang bayi dan tak ingat untuk berpamitan pada si dukun beranak.

Tapi di sisi lain, si dukun beranak yang masih duduk menahan rasa sakit di pipi dan jidatnya baru sadar setelah mereka berdua pulang, kalau ternyata mereka belum bayar biaya persalinannya. Ah. . . emang dasar tu dukun lagi sial kali ya. Kemudian dari rumah dukun beranak itu terdengar teriakan yang menggema ke sekitar rumahnya.

“Siaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaal. . . . . . . . .!” 

Di pagi hari itu, di papan nama yang ada di depan rumah si dukun beranak, ditempelkan sebuah tulisan.”

“Hari ini tidak buka praktek”

Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa