Minggu, 10 Februari 2019

Novel Tangguh Perkasa, Untaian 4: Matematika


Sejak saat itu, Tangguh seringkali dijahili oleh beberapa teman yang tidak suka padanya. Terutama Badrun, jamal, dan Tohir. Mereka sebenarnya termasuk anak orang kaya. Badrun yang berbadan agak gemuk adalah anak seorang pengusaha pertambangan, Sedangkan Orang tua Jamal  sukses di perkebunan teh, Sementara Tohir yang kurus tinggi sebenarnya anak kampung, namun ibunya yang telah janda menikah lagi dengan seorang pengusaha kapal. Lalu bagaimana mereka bisa sekolah di sekolah yang hampir rubuh itu? 

Ketiga anak ini tidak tinggal di desa Pasirputih. Mereka tinggal di kota dengan rumah bertingkat. Sekolahnya pun di sekolah elit yang cukup mahal. Namun dua tahun mereka tak pernah beranjak dari kelas satu SD. Mereka lebih sibuk melakukan aksi-aksi jahil dibandingkan belajar. Maka secara kompak orang tua mereka mendaftarkan anaknya ke sebuah sekolah di kampung yang terpencil, supaya mereka lebih mudah naik kelas. Namun tak secuil pun sifat jahilnya menghilang. Justru kejahilannya semakin menjadi-jadi karena merasa siswa paling kaya. Walaupun mereka tinggal di kota dan sekolah di kampung, tapi mereka setiap harinya selalu diantar jemput dengan mobil mewah. 

Tangguh sering dijahili oleh ketiganya, tapi hal itu sama sekali tak meruntuhkan niatnya untuk menuntut ilmu. Ayahnya yang selalu berusaha mencari uang untuk menyekolahkannya, ibunya yang selalu berusaha untuk memotifasinya telah menjadi kekuatan tersendiri, ibarat besi tulangan yang memperkuat struktur beton. Dan tentu satu lagi yang menjadi pemantik semangatnya adalah impiannya untuk menjadi ilmuan hebat seperti Einstein, Edison, atau Galileo.

Karena itulah, sejak pertama masuk sekolah ia sudah tertarik dengan ilmu matematika. Ilmu yang dibenci sebagian orang karena kerumitannya justru ibarat makanan favorit buatnya. 

Di belakang sekolah ada sebuah hamparan rumput, disana pohon trembesi yang bernama latin samanea saman berdiri menyepi sendirian. Hanya desir angin, yang selalu menyapanya. Tangkai dan daun yang tumbuh mengembang seperti payung yang terbuka membuat pohon itu amat rindang. Di bawah samanea saman yang rindang itu, kerap kali Tangguh terlihat duduk sendiri. Disanalah ia biasa belajar matematika, mengerjakan tugas atau berlatih mengerjakan soal-soal. Dengan sempoa yang terbuat dari biji salak, ia menghitung dan mengerjakan soal–soal matematika. Sempoa itu dibuat oleh tangan ayahnya yang amat mendukungnya. Dengan biji salak, benang kenur sebagai talinya, dan kayu sebagai bingkainya dibuat oleh sang ayah di hari ulang taun Tangguh sebelum masuk sekolah.

***

Hari itu seusai pulang sekolah, seperti biasanya, Tangguh duduk di bawah pohon rindang itu. Ia sedang mengerjakan tugas matematika yang baru saja diberikan Bu Weni tadi siang. Ketika itu Lica sempat menoleh ke arahnya dan melihat Tangguh yang bersandar di pohon. Lica pun menghampiri dan menyapanya,

“Hai guh,” sapa Lica melambaikan tangan.
“Oh, hai ca,” sahut Tangguh.
“Guh, kamu sedang apa di sini?” 
“Aku sedang ngerjain tugas aja kok,” jawab Tangguh  menggaruk kepala.
“Oh, kamu suka ngerjain tugas disini?” 
“Ia ca, disini tempatnya enak, tenang, sejuk,” ucap Tangguh menghirup udara segar.
Lica pun ikut duduk di atas rerumputan bersandar pada batang samaena saman.
“Itu apa guh?” tanya Lica menunjuk sempoa yang dipegang Tangguh.
“Oh ini, ini dibuatkan ayahku. Ini yang membantuku menghitung soal matematika.”
“Kamu suka matematika yah guh?” 
“Ia ca, aku suka banget matematika. Aku ingin jadi seperti Einstein, Edison, atau Galileo.”
“Wah tinggi sekali cita–cita kamu guh. Ajarin aku dong pake benda itu. Ajarin aku ngerjain soal–soal tadi guh!”
“Ya udah, kita ngerjain tugas bareng aja.”

Hari itu, mereka mengerjakan tugas bersama di bawah pohon yang rindang, diantara rerumputan dan ilalang, dihembusi angin sepoi–sepoi dan sesekali disapa kupu–kupu yang terkadang menghampiri. 

Sejak hari itu, mereka sering mengerjakan tugas bersama di bawah pohon rindang itu. Kadang Tangguh mengajarkan matematika, dan kadang pula sebaliknya, Lica yang mengajarkan Bahasa Inggris, pelajaran favoritnya. Hari itu, Samanea saman menjadi saksi persahabatan mereka.

Lica, hanya itu namanya, tak lebih dari empat huruf. Namun bagi Tangguh, ia lebih dari seorang gadis kecil biasa. Walaupun seorang perempuan, tapi ia adalah sahabat yang selalu berani membelanya ketika dijahili Badrun dan kawan-kawannya. Selain itu, tak sekalipun Lica terlihat bermuram durja. Parasnya selalu bersahaja dan memancarkan keceriaan, membuat Tangguh lebih semangat mengarungi kehidupan di sekolah.  Padahal tak ada yang pernah tau, di balik senyumnya, di balik keceriaannya, Lica menyimpan kesedihan yang membuat hatinya tersayat. Namun kesedihan itu selalu berusaha ia sembunyikan ketika tiba di sekolah. 

Hampir di setiap malam, Lica selalu mendengar ayah dan ibunya bertengkar. Dari balik dinding kamarnya ia selalu menangis, meneteskan air mata yang meluncur deras di pipinya tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya yang menyangkanya telah tidur pulas.

Tapi belum lama ini kesedihannya semakin memuncak saat ayah dan ibunya bercerai. Ayahnya lebih memilih pergi dengan wanita lain dan mencampakkan dia dan ibunya. Tapi tak sekalipun kesedihan itu terlihat di sekolahnya. 

“Guh kenapa kamu suka matematika sih?” tanya Lica dengan paras yang ceria.
“Karena banyak hal yang bisa diprediksi dengan perhitungan. Misalnya kecepatan, jarak, waktu, dan banyak hal lainnya,” jawab Tangguh.

“Wow keren, tapi apa semua hal bisa dihitung guh dengan ilmu matematika?” tanya Lica penasaran.

“Ya nggak semua ca, nasib dan takdir kita pasti nggak bisa dihitung dengan ilmu matematika, karena kita nggak pernah tau,” jawab Tangguh tersenyum, sementara Lica  hanya terdiam menunduk merenungi perkataan Tangguh dan merenungi hidupnya yang tak bisa diprediksi.

Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa


EmoticonEmoticon