Minggu, 10 Februari 2019

Novel Tangguh Perkasa, untaian 1: Lahirnya Tangguh Perkasa


Bibir pantai seringkali tersenyum di kala ombak datang menyapa butiran-butiran pasir yang putih. Angin berembus mengayunkan daun-daun pohon kelapa yang berderet membentuk barisan. Sebuah karang tetap berdiri kokoh walau dihempas ombak berkali-kali, seolah mengatakan bahwa batu karang itu amat Tangguh dan Perkasa. 

Beberapa kilometer dari bibir pantai, sebuah rumah yang sangat sederhana berdiri tak begitu kokoh. Rumah itu berjarak beberapa puluh meter dari rumah lainnya di desa Pasirputih, diselingi pohon-pohon yang tertancap tak saling berdekatan. Lantainya ubin yang telah retak di beberapa bagian, dinding-dindingnya terbuat dari bata tanpa plester, acian, apalagi cat. Dinding rumah itu juga telah keropos di beberapa bagian. Yang apabila di desa itu ada sapi gila yang mengamuk dan menyeruduk dinding rumah itu, maka dinding rumah itu bisa hancur berantakan. Sedangkan atap gentengnya telah usang dan bocor di beberapa bagian. Jika malam tiba, hanya lampu redup 5 watt yang sedikit menerangi. 

Disanalah tempat bernaung sepasang suami istri yang hidup serba amat sederhana. Sartono dan Suhartini, mereka telah menikah setahun yang lalu. Sartono adalah kepala keluarga yang bersahaja. Badannya cukup tegap walau tak terlalu kekar. Ia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik untuk menghidupi dirinya dan istrinya. Setiap hari, kala sang mentari belum menampakkan cahayanya, lelaki berbadan tegap itu harus mengayuh sepeda kumbangnya puluhan kilometer tuk bekerja di pabrik. Walau keringat selalu membasahi keningnya, ia selalu semangat menggoes sepedanya, mengerahkan tenaganya hingga sampai pabrik. Penderitaannya belum selesai sampai disitu, sesampainya di pabrik ia harus bekerja berdiri berjam-jam dari pagi hingga sore memasukkan makanan dari meja berjalan ke kardus-kardus kecil. Sepulangnya dari pabrik ia harus menggoes lagi sepedanya puluhan kilometer. Namun rasa letih yang ia rasa selalu hilang menguap ke angkasa ketika ia sampai di rumah dan bertemu istri tercinta. 

Tono tak berniat menjadi nelayan seperti kebanyakan warga desa, walaupun pantai tak terlalu jauh dari rumahnya. Hal itu karena saat ia masih kecil, ia pernah hampir tenggelam di lautan. Sejak saat itu ia enggan menjadi nelayan, bahkan mendekati laut pun enggan.

Hari itu Tono pulang lebih malam dari biasanya. Ban sepedanya bocor di tengah jalan, ia harus menuntun  sepedanya sampai rumah. Namun beberapa meter sebelum sampai rumah ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya, tak mau terlihat letih di hadapan istrinya. Terlebih saat ini, Tini (nama panggilan si istri) sedang hamil tua. Perutnya sudah membesar seperti pemain drumb band  di kelompok marching band. 

Malam itu, sebelum merebah dalam lantunan mimpi, mereka mengobrol sejenak mengenai suatu hal sembari berbaring menyamping saling berhadapan di tempat tidur yang ranjangnya terbuat dari kayu, yang apabila bergerak sedikit saja menimbulkan suara berderit.

“Tin. . . .kamu ingin anak laki–laki atau anak perempuan?” tanya Tono yang tersenyum bahagia. 
“Mmmm. . . laki–laki atau perempuan sama aja  mas, tapi aku lebih ingin anak laki–laki yang tangguh kaya mas,” jawab Tini. 
“Ah, kamu bisa aja, hmm. . . apa ya nama yang cocok untuk anak kita tin?” tanya Tono tersipu malu.
“Tangguh Perkasa mas, aku ingin anak kita menjadi anak yang tangguh dan perkasa,” ucap Tini dengan penuh harap lalu merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamarnya.

Di tengah–tengah obrolan mereka, tiba–tiba Suhartini merasakan sakit pada perutnya. Ia merasakan anaknya sudah mulai menendang–nendang ingin keluar dari  kandungannya. Seketika senyumnya mulai meredup, dahinya mulai mengerut. Kemudian ia meronta–ronta, tangan kanannya memegang perutnya sementara tangan kirinya mencengkram selimut menahan rasa sakit yang tiada terperi. Suaminya pun mulai merasa panik.

“Kamu kenapa tin?” tanya Suhartono yang mulai panik. “Kalau gitu kita ke dukun beranak saja, sepertinya anak kita sudah mau lahir.” Tono segera berganti baju tuk bersiap-siap dengan tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, hampir saja ia lupa mengganti sarungnya dengan celana panjang.

Maka pergilah mereka ke dukun beranak itu. Maklum saja, di desa mereka belum ada rumah sakit, puskesmas pun telah tutup sejak matahari belum tergelincir. Letak rumah dukun beranak itu memang cukup jauh, beberapa kilometer dari rumahnya. 

Malam itu mereka berjuang berjalan kaki di tengah kesunyian malam dan hujan yang tiba-tiba turun cukup deras. Sepeda kumbang yang biasa dipakai Tono ke tempat kerjanya bannya kempes disaat yang tidak tepat.

Tono terus menuntun Tini yang berjalan sembari mengerutkan dahi dan merintih menahan rasa sakit di perutnya. Di tengah derasnya hujan yang semakin lama semakin membasahi, dan rasa dingin yang semakin lama seolah mencengkram tubuh, mereka tetap tegar bagaikan batu karang yang kuat walau dihantam ombak, mereka terus berjuang demi kelahiran anak pertama. Mereka meneruskan langkah demi langkah tanpa pernah kenal kata menyerah. Hal itu mereka lakukan demi anaknya yang akan lahir. Dan mereka percaya, anak mereka kelak akan menjadi anak yang tangguh.


***
Setelah melewati gelapnya malam dan dihujam ribuan tetes air hujan yang menggigilkan tubuh, melewati kebun, semak belukar, dan jalan tanah yang licin, akhirnya mereka tiba di rumah dukun beranak yang letaknya terpencil. Sebuah rumah di tengah pepohonan yang hanya diterangi lampu redup. 

Tono mengetuk pintu rumah dukun beranak itu dengan cukup keras karena rasa cemas akan istrinya dan calon anaknya yang akan lahir.  

“Mbo. . . . . mbo. . . . . .buka pintunya mbo. . . .saya mau melahirkan. . . eh istri saya maksudnya yang mau melahirkan, cepat mbo!!!” teriak Tono yang mengetuk pintu dengan rasa panik.

Lama pintu diketuk tak dibuka juga, sepertinya dukun beranak itu sudah terlelap dalam tidurnya. Di depan rumahnya nampak berdiri sebuah papan nama yang bertuliskan:

Dukun beranak Mbo Parti melayani :
- Proses melahirkan normal
- Proses melahirkan premature
- Periksa kandungan
- Tes USG
- Cek tensi
- Dll
    Buka praktek jam 9.00 s/d 16.00

Rupanya dari jam empat sore, dukun beranak itu sudah menutup prakteknya. Melihat tulisan itu, Tono tak bergeming sedikit pun, karena istrinya sudah hampir melahirkan dan tak mungkin menunggu sampai esok tiba. Ia lantas mengetuk pintu rumah dukun itu semakin keras saja dengan genggaman tangannya layaknya seorang dept  colector yang menagih hutang. Tapi tetap tak dibukakan juga. Lalu saking khawatirnya terhadap istri dan calon anaknya, Tono mengambil batu sebesar bola softball yang ada di depan teras rumah itu dan ia hendak mengetuk pintu rumah si dukun beranak pakai batu sekeras mungkin. 

Namun tiba–tiba saat Tono hendak mengetukannya, mbo Parti dukun beranak itu membukakan pintunya dengan mata yang masih setengah menutup karena masih mengantuk. Dan Bammmmmmm. . . . . .sebuah batu sebesar bola softball mendarat di jidat dukun beranak itu. Ia sempoyongan, jatuh ke lantai dengan posisi duduk.

Dukun beranak yang masih mengantuk itu  kepalanya bergoyang, seolah dikelilingi bintang-bintang dan burung-burung di atas kepalanya. Kini dukun itu nampak bercula satu saat sebuah benjolan perlahan tumbuh dari keningnya. Tono tak kuasa mengerem tangannya yang sudah terlanjur berayun. Permohonan maaf terus diucapkan pada dukun itu. Dukun itu hanya berkata dalam hatinya, “Hmmmm. . . . .udah malem–malem ngeganggu tidur, bikin benjol lagi. Coba waktu kuliah dulu milih jurusan teknik santet, gua santet lu. . . .!” 

Malam itu, si dukun beranak terpaksa harus kerja lembur di larut malam. Dengan jidat yang terus bersnut–snut ia tetap berusaha mengeluarkan bayi dari perut Tini. 

“Ayo ngeden, ngeden, 1,2,3, ayo ngeden. . .ngeden!!” kata dukun itu sambil menjulurkan tangannya ke dalam sarung yang dipakai Tini dan siap menyambut si bayi.

Ah. . .emang dasar dukun itu lagi sial kali ya. Setelah disuruh ngeden berulang–ulang oleh dukun itu, Akhirnya Tini bisa sedikit lega karena keluarlah dari perutnya dan dukun beranak itu siap menyambutnya. Namun malang nasib dukun itu, ternyata si bayi belum keluar, justru yang keluar adalah sesuatu yang cukup menjijikan “iyaaaak wohoo.” Tangan dukun beranak itu kini seperti roti yang telah dioles mentega. Lantas setelah itu ia pergi sejenak ke kamar kecil untuk mencuci tangannya yang terkena koto. . . .ups. . .ya itu lah pokoknya.

Dapur dan toilet di rumah si dukun beranak  belum dipasang lampu sehingga cukup gelap. Ah. . emang dasar tu dukun lagi sial kali ya, ia berjalan meraba–raba di tengah kegelapan menuju kamar kecil. Namun tiba–tiba, Bammm. . . . . . Jidat si dukun yang sudah benjol itu pun kembali harus terbentur kusen pintu kamar mandi. Rasa snut–snut semakin menjadi–jadi, benjolnya pun semakin membesar.

Tapi ia dukun yang cukup professional. Dengan menahan rasa snut–snut di jidatnya, ia kembali bekerja membantu persalinan Tini. Proses persalinan berlangsung cukup lama hingga berjam–jam. Dan akhirnya tepat pukul 5 subuh lahirlah seorang bayi laki–laki yang diberi nama Tangguh Perkasa. 

Namun entah kenapa, si bayi itu ternyata saat lahir tak langsung menangis, tak seperti bayi–bayi yang lain. Dukun itu merasa khawatir akan anak yang baru lahir itu. Lantas saja si dukun beranak memukul–mukul pantat si bayi agar ia dapat menangis. Mungkin emang dasar si dukun beranak itu tu malem lagi sial. Ketika si dukun itu memukul–mukul pantat si bayi, bapaknya si bayi itu langsung menonjok muka si dukun beranak dan mengambil anaknya.

“Hei. . . .apa yang kau lakukan pada anakku?!!!!” 
Bammmm. . . . . sebuah bogem mentah mendarat di pipi si dukun sampai membuatnya hampir terkapar di lantai. Kini muka si dukun sudah hampir nggak  beraturan, benjol besar di jidat dan biru bengkak di pipi. Rupanya bapaknya si bayi tak mengerti kalau bayi yang lahir biasanya langsung menangis.

***

Setiap ibu atau hampir setiap ibu di dunia ini pasti bahagia dengan kelahiran anak pertamanya. Namun melihat bayi yang baru ia lahirkan, nampak ada yang membuat Tini sedikit tidak terlalu bahagia. Itu karena si bayi yang ia harapkan akan menjadi orang yang gagah perkasa ternyata sangat mungil dan kurus. Ia jadi bertanya-tanya dalam benaknya, “Apakah aku pantas menamainya Tangguh Perkasa, dan apakah ia akan menjadi anak yang tangguh?” tanya Tini dalam benaknya seraya mengerutkan dahi, terbalut dalam keraguan.

Melihat istrinya merenung, Tono mendekatinya, membisikannya perkataan yang bisa melegakannya.

“Sudahlah, anak kita kan masih bayi, sangat mungkin anak kita suatu saat menjadi anak yang tangguh, jika pun tidak, cukuplah anak kita menjadi anak yang baik dan bisa menyebarkan kebaikan.”

Tini hanya tersenyum mendengar ucapan suaminya. Lalu mereka pun  berjalan pulang kembali ke rumah. Kondisi Tini yang masih lemah membuat Tono harus menuntun Tini lagi. Mereka pulang sambil menggendong sang bayi dan tak ingat untuk berpamitan pada si dukun beranak.

Tapi di sisi lain, si dukun beranak yang masih duduk menahan rasa sakit di pipi dan jidatnya baru sadar setelah mereka berdua pulang, kalau ternyata mereka belum bayar biaya persalinannya. Ah. . . emang dasar tu dukun lagi sial kali ya. Kemudian dari rumah dukun beranak itu terdengar teriakan yang menggema ke sekitar rumahnya.

“Siaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaal. . . . . . . . .!” 

Di pagi hari itu, di papan nama yang ada di depan rumah si dukun beranak, ditempelkan sebuah tulisan.”

“Hari ini tidak buka praktek”

Selengkapnya, baca di blog ini >> Novel Tangguh Perkasa


EmoticonEmoticon