Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Gadis Penjual Keong


Hari ini seperti biasanya. Aku berjalan menelusuri jalan-jalan yg berirama. Kadang kurasa jalan ini tertutup kabut dan aku tak tau harus lewat jalan yang mana. Hanya ayalku yang menuntun langkahku. Kadang ku merasa peluh menitik tapak demi tapak jalan ini. Kadang ku ingin terbang setinggi-tingginya hingga ku tak mampu lagi mengepakkan sayap. Tapi aku hanyalah gadis desa yang tak beralaskan kaki menelusuri sawah setiap hari demi membantu ayah mencari keong.

Ayah memang sudah tua, langkahnya tak lagi sekuat dulu, badannya tak lagi setegap dulu. Bahkan beberapa hari ini ia hanya bisa terbaring lantaran penyakit yang menyerangnya. Aku belum bisa membawanya ke dokter karena aku sama sekali tak punya uang untuk biaya pengobatan ayah. Tapi aku akan berusaha untuk ayah yang tiada lelah membesarkanku.

Di pagi hari yang masih redup saat matahari belum menampakan wajahnya aku bergegas bekerja sedini mungkin agar mendapatkan keong yang banyak. Biasanya aku hanya membantu ayah mengumpulkan keong-keong tersebut, namun kali ini aku sendiri yang mengerjakan pekerjaan ini. Pekerjaan yang bagi sebagian besar orang adalah pekerjaan yang menjijikan. Karena harus berbecek-becek menelusuri lumpur dan sawah.

Hari pun berganti hari dan aku masih seperti hari itu mencari keong dari pagi hingga sore dan menjualnya ke pemilik restoran. Rasanya lelah badanku tak berdaya lagi. Ingin rasanya aku berhenti saja mengerjakan pekerjaan ini, pekerjaan yang melelahkan namun Ko Hok Cai si pemilik rumah makan hanya membayar murah dari setiap keong yang aku jual padanya.

Pernah suatu hari aku meminta bayaran lebih padanya tapi ia tak mau membeli keong yang aku jual dengan harga yang sedikit saja lebih manusiawi. Tapi aku tak berhenti di situ, ku mencoba tuk memohon belas kasihannya tapi aku malah dicaci maki, dihina, dengan penampilanku yang seperti ini aku malah dibilang tak jauh beda dengan lumpur yang kotor. Aku hanya terpaku dan terdiam mendengar apa yang diucapkannya padaku. Semakin ia menghinaku semakin aku merasa hina dan lemah. Tapi jauh disisi batinku aku berharap suatu hari nanti kondisi kan berubah dan berbalik.

Hari berikutnya masih seperti biasa, sebelum matahari muncul ku sudah pergi ke sawah tanpa alas kaki. Dan pagi itu ku lihat anak-anak SD yang riang gembira bernyanyi sambil berjalan dan berlari menuju sekolah mereka. Rasanya aku sangat iri sekali pada mereka yang bisa sekolah. Sedangkan aku untuk makan saja sulit. Namun entah kenapa rombongan anak sekolah itu tiba-tiba berhenti dan mengarahkan pandangannya ke arahku. Entah kenapa pula mereka menunjuk ke arahku sambil tertawa-tawa. Lantas mereka mendekatiku sambil tertawa-tawa.

"Hai lihat itu ada manusia lumpur hahahahaha."

"Ia, dia malah maenan lumpur bukannya sekolah kaya kita, hahahahah."

Aku pun mencoba tuk terus sabar menghadapi hinaan-hinaan mereka. Namun rasanya bendungan kesabaranku tak kuat membendung amarahku yang semakin kuat. Lantas aku pun mengambil segenggam lumpur dan melemparkannya ke mereka. Lumpur tersebut mengenai baju seragam sekolah salah satu dari mereka. Namun bukannya mereka kapok, justru mereka berbalik marah padaku. Aku pun di dorong-dorong hingga terjatuh ke lumpur, dan mereka pun pergi sambil mencaci-maki.

Aku hanya terdiam merenungi kejadian ini. Ingin rasanya ku berhenti saja menggeluti pekerjaan ini. Hari itu aku jadi tak semangat lagi mengerjakan pekerjaan ini. Aku hanya duduk sendiri hingga petang menjelang dan memandangi matahari tenggelam.

Sesampainya di rumah ku pandangi rumah kami yang sempit dan terbuat dari bilik-bilik kayu. Ku pandangi ayah yang masih berbaring tak berdaya. Aku pun meneteskan air mata, aku pun kecewa, kecewa pada diriku sendiri. Karena hari itu aku tak mendapatkan uang sepeserpun  lantaran semangatku menghilang karena perlakuan anak-anak SD itu. Harusnya aku tak seperti ini, harusnya aku tak peduli apa yang dikatakan orang. Harusnya aku peduli dan hanya peduli pada ayah yang kini terbaring."Ayah maafkan Alya yah, maaf." Aku pun mendekapnya sambil meminta maaf kala itu.

Ibu yang bekerja di Qatar sebagai TKW pun tak pernah kembali sejak 2 tahun yang lalu, jangankan kiriman uang, bahkan kabar pun tak ada. Hanya sepucuk surat yang ia kirim lebih dari setahun yang lalu. Surat itu selalu ku simpan dan sesekali ku baca ketika rindu padanya."Nak, jaga dirimu baik-baik. Yakinlah pada impianmu, janganlah merasa rendah." Itu kutipan di surat itu yang ku ingat.

Hari berikutnya ku coba tuk mengembalikan semangatku. Ku lihat ayah yang masih terbaring lemah. Ku yakinkah diriku tuk melangkah tuk mulai bekerja lagi tuk bertahan hidup, tuk membeli makan, tuk membeli obat jika aku punya uang nanti.

Aku pun berangkat setelah berpamitan pada ayah yang masih terbaring. Aku semangat menyongsong pagi, aku tak peduli jika hari ini aku mendapat ejekan lagi dari anak-anak SD yang berangkat sekolah. Tapi rupanya hari itu lebih sial dari pada hari kemarin. Ketika aku mencari keong mengusik dedaunan padi rupanya ku rasakan ada sesuatu yang bergerak di antara kakiku. Aku tak tau apa itu. Namun tak lama berselang ku rasakan sengatan yang menyakitkan di kakiku. Aku pun berusaha menahan rasa sakit yang tiada terkira hingga akhirnya aku tak sadarkan lagi dan tak ingat lagi.

Aku baru sadar ketika berada di puskesmas. Aku berbaring dan aku melihat Pak Sobari tetanggaku yang juga bekerja sebagai petani di sawah itu.

"Kamu nggak apa-apa nak ?" tanya pak Sobari

"Me. . .memangnya saya kenapa pak ?"

"Tadi kamu digigit ular, untung saja bisanya tidak terlalu bahaya?"

"Oh begitu pak." jawabku yang tak ingat kejadian itu.

Sawah itu memang kerap kali selalu ada ular. Tapi aku masih beruntung, pasalnya beberapa bulan yang lalu ada petani yang tewas gara-gara digigit ular di sawah tersebut. Beruntung ular yang menggigitku tak terlalu berbahaya.

Hari itu terpaksa aku tak bisa bekerja lagi. Dan terpaksa aku dan ayah harus menerima belas kasihan dari Pak Sobari. Ia memberikan kami makanan untuk makan hari itu. Aku tak mengerti mengapa akhir - akhir ini selalu saja ada halangan bagiku tuk bekerja mencari uang. Kemarin aku dihina oleh anak - anak SD, hari ini lebih parah, aku malah digigit ular. Entah apa yang terjadi esok. Apakah ini hanya ujian? Aku tak tau, yang ku tau aku harus tetap bekerja demi ayah, demi ayah yang saat ini berbaring lemah tak berdaya. Aku harus tetap bekerja dan tak peduli apapun resikonya.

Suatu ketika, ketika ku hendak menjual keong yang ku dapatkan ke rumah makan Ko Hok Cai seorang pria kantoran yang memakai kemeja putih rapih terpeleset di lantai rumah makan itu. Pria itu pun marah - marah lantaran bajunya kotor akibat terpeleset. Rupanya itu karena aku dan aku yang salah. Aku rupanya telah mengotori lantai dengan lumpur yang menempel di kakiku dan itu membuat pria itu terpeleset. "Kurang ajar, ini gimana rumah makan kaya gini lantainya bisa berlumpur." kata pria itu sambil membentak Ko Hok Cai. Ko Hok Cai pun hanya menunduk tak mampu berkata - kata. Lalu pria itu pun pergi dan bersumpah tidak akan makan di rumah makan itu lagi.

Tak lama kemudian Ko Hok Cai menghampiriku dengan wajah yang garang. Kali ini ia amat marah padaku. Dengan logat mandarinnya ia marah - marah padaku. Bahkan tak hanya itu, ia mendorongku, mengusirku dan memperingatkanku agar tak kembali lagi ke rumah makan itu lagi. Aku pun pulang dengan wajah tertunduk lesu. Selama ini aku selalu menjual keong yang ku dapatkan padanya. Tapi semenjak itu aku tak bisa lagi menjual keong itu lagi padanya. Kali ini celakalah aku.

Aku pun pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Lagi - lagi kami harus menerima belas kasihan dari Pak Sobari untuk makan hari itu. Ku lihat ayah meneteskan air mata. Mungkin ia kecewa, atau mungkin ia kasihan padaku.

Semenjak saat itu aku tak pernah lagi datang ke rumah makan itu lagi. Aku tau betul jika Ko Hok Cai marah besar ia benar - benar serius akan perkataannya. Tapi aku tetap seperti hari - hari sebelumnya mencari keong di sawah dan mencoba menjualya sendiri.

Sehari pun berlalu tak ada yang mau membeli keongku. Rasanya aku sudah bersusah payah mencari dan menjual keong ini. Hingga suaraku serak ku keliling kampung dan menawarkan keong ini namun tetap saja tak ada yang mau beli. Kami pun harus menahan lapar hari itu lantaran tak mendapatkan uang sepeserpun.

Hari ini tak seperti sebelumnya, Pak sobari tak datang lagi ke rumah kami untuk mengantarkan makanan. Mungkin ia telah bosan terus menerus mengasihani kami. Tak lama kemudian datanglah mbo Wati yang biasa berjualan jamu. Rumahnya pun tak terlalu jauh dari rumah kami. Ia mengatakan padaku tentang suatu hal.

"Nak Alya, tadi pagi Pak Sobari nitip pesan sama si mbo. Dia bilang kalo dia akan pindah ke kota tinggal sama anaknya. Katanya nak Alya jaga diri baik - baik, jaga juga bapaknya nak Alya."

Mendengar hal tersebut aku semakin merasa sendiri. Aku pun berlari keluar dan menatap bintang - bintang di langit. Aku rindu ibu. . ..aku rindu ibu.

Hari - hari berikutnya aku bekerja seperti biasa, mencari keong dan menjualnya sendiri. Dengan usaha yang keras, pelan - pelan namun tak pasti mulai ada beberapa yang mau membeli keong yang ku jual. Walaupun tak banyak setidaknya kami bisa makan saja sudah cukup kala itu. Begitu dan begitu seterusnya hingga beberapa tahun pun tak terasa berlalu.

15 Tahun Kemudian

Hari ini, aku duduk di ruangan kerjaku sebagai Presiden Direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang restoran khusus makanan yang berasal dari keong. Restoran ini terletak di pesisir pantai. Setiap harinya ratusan orang makan di restoran ini. Kebanyakan mereka adalah para petinggi perusahaan dan juga pengusaha. Tak jarang turis asing pun kerap kali makan di restoran ini.

Kadang ku lihat ke dapur tuk sekedar memantau dan mengawasi karyawanku bekerja. Salah satunya adalah koki yang sudah cukup berumur. Dia adalah seorang keturunan Tionghoa. Ia adalah Ko Hok Cai. Pemilik restoran yang dulu mengusirku lantaran aku mengotori lantainya dan aku sering meminta bayaran lebih kala itu.

Semuanya berubah seiring dengan kerja kerasku selama ini. Semuanya berawal ketika Rumah makan Ko Hok Cai bangkrut. Ketika itu rumah makannya telah tutup dan disegel. Ko Hok Cai pun telah pergi dari tempat itu lantaran diusir. Rupanya ia terlibat utang dan tak mampu membayarnya. Kemudian restoran itu pun beserta lahannya dibeli oleh seorang pengusaha yang kaya. Namanya Pak Ferdi, ia adalah pengusaha yang kaya raya. Kemudian ia membangun bisnisnya disitu. Sebuah rumah makan khas eropa yang dibangun dengan konsep pesisir pantai yang indah. Di lokasi itu pun direnovasi sedemikian rupa, dirombak total hingga bangunan rumah makan itu jauh lebih indah dan berkelas dibandingkan sebelumnya.

Suatu ketika, aku seperti biasa menjual keong – keong yang ku cari ke orang – orang di jalan. “Keong. . . . keongg. . .!!” kataku sambil berjalan.

Tiba – tiba saja sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Di arah berlawanan ada mobil mewah Toyota Alphard berwarna hitam mengkilap. Kemudian Jgerrrrrrr tabrakan itu tak terhindarkan lagi. Aku menutup mataku tak ingin melihat kejadian itu, Darah bercucuran dari korban yang ada di dalam kedua mobil itu. Lokasi jalan begitu sepi, aku pun berteriak, “Tolongg. . . . .tolong. . . .tolong.”

Ada beberapa warga yang menghampiri tuk menolong para korban. Aku yang takut akan kejadian itu pun memaksa diriku untuk ikut menolong korban di dalam mobil itu. Aku menggotong salah seorang di dalam mobil Toyota Alphard itu sekuat tenaga, lalu kucegat mobil yang ada di jalan dan syukurnya pengemudi mobil itu mau membantu mengantarkan ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit rupanya pria itu kehilangan banyak darah. Dan persediaan kantong darah di rumah sakit itu telah habis. Setelah di cek ternyata darahku cocok dengan korban itu. Aku yang takut jarum pun akhirnya mendonorkan darahku untuk bapak itu.

Beberapa hari kemudian Bapak itu sadar, kemudian ia memandangku seolah pernah melihatku.

“Ehh,,, kamu. . . .kamu .”

“Ia kenapa pa, kenapa saya pa ?” tanyaku yang bingung.

“Kamu yang dulu jual keong di rumah makan itu kan ?”

“Oh ia pak.”

Aku pun berpikir sejenak dan mengingat kembali. Rupanya ia orang yang dulu terpeleset di rumah makan Ko Hok cai akibat lumpur yang ada di lantai.

“Sa, , ,saya minta maaf pak atas kejadian waktu itu. Gara – gara saya bapak jadi kepeleset.”

“Ia, saya juga minta maaf udah marah waktu itu. O ia, kamu yang nolong saya kan, kamu yang bawa saya kemari, dan kamu yang mendonorkan darah ?”

Aku hanya menganggukkan kepala

“Trimakasih ya nak, trimakasih.” Ucapnya

Beberapa bulan kemudian aku berjualan dan hanya sekedar iseng ingin melihat kondisi rumah makan Ko Hok Cai yang beberapa waktu yang lalu telah disegel. Rupanya aku takjub tak terkira ketika melihat kondisinya sekarang. Sekarang semuanya telah jauh berubah. Di sana telah berdiri sebuah restoran mewah yang berkelas. Aku pun dengan segenap keraguanku mencoba mendekati restoran itu perlahan.

“Nak Alya. . . . .nak Alya. . . .” Ada suara yang memanggilku dari dalam restoran itu. Tapi mungkin itu hanya halusinasi, mana mungkin di restoran semewah itu ada yang mengenalku.

“Nak Alya. . . .kemari. . .!!” Rupanya itu nyata, seorang bapak – bapak berjas hitam memanggilku dari dalam restoran itu. Owhhh rupanya itu bapak yang aku tolong saat kecelakaan tempo hari. Aku tak menyangka akan bertemu lagi disini.

Namanya Pak Ferdi, rupanya sekarang ia yang memiliki rumah makan mewah ini. Dan yang membuatku kaget adalah aku ditawari kerja di rumah makan mewah itu. Tentu aku mau, apalagi ia menawarkanku gaji yang cukup tinggi. Dan aku akan membawa ayah berobat ke rumah sakit jika mendapat gaji pertama.

Sebulan berlalu dan inilah saatnya ku terima gaji pertama di rumah makan ini. Ayah pasti senang sekali mendengarnya. Aku pun bergegas pulang dan menemui ayah. “Ayah, lihat ini aku baru dapet uang buat pengobatan ayahh.” Kataku sambil menghampiri Ayah.

Namun aku hanya membisu terpaku dan terdiam ketika melihat ayah sudah terkulai tak bernafas lagi. Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada diriku sendiri. Aku benar – benar hancur kala itu, tak tau lagi harus berkata apa. Segala kesedihan terurai dan mengalir tak terbendung lagi.


Dua tahun berselang Pak Ferdi hendak pergi ke luar negeri dan tinggal disana. Ia ingin mengurusi bisnisnya yang di Amerika katanya. Aku berat sekali, aku merasa tak memiliki siapa – siapa lagi. Tapi alangkah kagetnya aku ketika Pak Ferdi menghibahkan restorannya padaku. Ia berpesan jadikan restoran ini sebagai restoran siput terbesar dan termewah di negara ini. Hingga saat ini aku masih tak percaya semua ini terjadi padaku. 

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Mimpi Anak Jalanan


“Duduk di pinggir kolam sambil menikmati nikmatnya jus. Main Playstation sepuasnya, lompat–lompat di kasur yang empuk, lari–lari di halaman rumah, berenang di kolam yang luas. Wah nikmat sekali nampaknya.”

“Hayyy lagi ngapain kamu To, pasti lamu lagi ngelamun jadi orang kaya lagi kan, hahahaha. Inget to kita ini cuman pengamen jalanan. Mana mungkin jadi orang kaya To.” Kata Ina yang melihat Toto sedang melamun. “Eh, kamu na, yah kan segala sesuatu mungkin aja terjadi. Aku sih tetep bersyukur atas semua yang terjadi di hidupku. Tapi kan sedikit berharap ga da salahnya juga heheheh.” Ucap Toto.

Itulah sedikit celotehan Toto dan Ina, mereka adalah pengamen jalanan yang sejak kecil mengamen tuk mempertahankan hidup. Disaat anak–anak lain bisa menikmati sekolah, bermain, dan menikmati fasilitasnya yang diberikan orang tua mereka, justru Toto dan Ina, dan juga anak–anak jalanan lainnya hanya bisa menerima takdir sembari berharap kehidupannya kan berubah walaupun kadang diri mereka sendiri mengingkarinya.

Sejak kecil mereka berdua tidak tau dimana orang tua mereka. Begitu pula dengan beberapa anak jalanan lainnya. Kini mereka tinggal dengan “Bang Rambo” begitu panggilan pria berotot yang kini menaungi anak–anak jalanan. Eitss tunggu dulu lebih tepatnya mungkin mengeksploitasi anak–anak jalanan. Bagaimana tidak, setiap dari anak–anak itu disuruh mengamen dan menyetor uang hasil mengamen padanya. Dan Bang Rambo merasa berjasa telah memberikan tempat tinggal dan makan pada anak–anak jalanan tersebut.

Total ada 10 anak yang tinggal di rumah Bang Rambo. Sebuah rumah yang lebih mirip dengan gudang karena tidak terawat dan tidak banyak peralatan di dalamnya. Bahkan anak–anak pun tidur di bawah beralaskan kardus.

“Woyyyy bangun. . . . . bangunnnnn. . . .kerjaaaa. . . . . .kerjaaa.. . . .udah waktunya kalian kerja. . . . . .!!!!” kata Bang rambo membangunkan anak–anak. Hari itu masih sangat pagi sekali, matahari pun belum nampak, dan ayam pun baru berkokok. Tapi seperti hari biasanya bang Rambo selalu membangunkan anak–anak pagi–pagi sekali. Menyuruh mereka bekerja dan menyetor uang padanya setelah seharian bekerja. Tapi dia sendiri tidak bekerja, setiap malam sehabis menerima setoran kerapkali ia pergi ke tempat–tempat hibuaran, mabuk–mabukan bahkan seringkali berjudi.

Kemudian mereka seperti hari–hari sebelumnya mengamen di jalan–jalan, di lampu merah, di bus–bus, di warung, pokoknya dimanapun asal bisa  menghasilkan uang.

“To kamu lagi ngapain, kita kan harus kerja buat setor ke Bang Rambo ?” tanya udin yang melihat Toto termenung. “Aku lagi mikir din, apa hidup kita bakal kaya gini terus?” jawab Toto. “Yah, mau gimana lagi To, aku juga sempat mikir kaya gitu, sempat mikir mau kabur aja. Tapi kan kamu tau sendiri Bang Rambo itu kaya gimana, kalo ketauan kabur habislah kita.” Ujar Udin. “Ia, kamu betul din, tapi pasti ada cara din. Coba kamu bayangin kita kerja cuma buat dia mabok–mabokan, judi, yah walaupun kita nebeng sama dia tapi ini gak adil din.” Kata Toto. “Ya, aku tau To. Tapi aku ga berani macem–macem ah To.” Kata Udin yang kemudian kembali mengamen.

Di sebuah bis yang penuh dengan penumpang, bahkan banyak penumpang yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Toto pun mengamen di situ, berbekal sebuah gitar kecil ia pun bernyanyi melantunkan lagu pada penumpang menghibur semua penumpang yang ada, yang sedang jenuh karena kepenatan bus kota. Tapi tak lama Toto melantunkan sebuah lagu ia pun berhenti di tengah bait–bait lagunya. Tatapannya tajam menatap sesuatu yang terjadi di depan matanya.

“Copett. . . .hei copet. . .. .!!!” teriak anak polos itu. Lantas sang copet yang kepergok aksinya langsung mengeluarkan pisau lipat dari celananya. Ia membekap Toto sambil marah–marah. “Kurang ajar kamu anak kecil udah bosen hidup yah.” Kata Pencopet itu.

Penumpang yang lain pun ketakutan melihat pisau yang dibawanya. Apalagi Toto, nyawanya kini benar–benar diujung tanduk. Ia tak bisa berbuat apa–apa dan hanya berdoa sembari memikirkan bagaimana caranya lolos dari maut.

“Cepat kalian keluarkan semua harta kalian. . . .!!” teriak si copet pada semua penumpang. Copet yang sudah kepergok kini berubah jadi rampok. Semua penumpang pun mengeluarkan beberapa harta mereka, dompet, jam tangan, dan perhiasan. Si pencopet ehh sekarang perampok mulai mengambil satu per satu harta yang dikeluarkan penumpang. Nah, saat itulah si Toto memanfaatkan celah peluang saat si pencopet lengah. Saat si pencopet mengambil barang berharga milik penumpang lalu dia arahkan sikutnya tepat di perut si perampok. Itu memang tidak membuat si perampok mengalami kesakitan yang cukup berarti, tapi seengganya ia bisa melepaskan diri dari dekapan si perampok. Penumpang yang lain pun mulai berani setelah melihat anak kecil juga berani. Akhirnya perampok yang cuma sendiri itu lompat dari bus yang masih melaju dan berlari takut dikeroyok masa.

Keesokan harinya seperti biasa, Toto mengamen di bus yang penuh sesak dengan penumpang. Ia bernyanyi penuh keikhlasan bukan semata mengharapkan uang belaka dari penumpang. Dan banyak penumpang yang memberikan uangnya karena merasa puas, ataupun ada juga yang sekedar mengurangi beban receh di saku celananya.

Tapi betapa kagetnya ia ketika turun dari bus itu. Tiga orang pria tegap berjaket kulit hitam dan berkacamata langsung menghadangnya. “Hayooo, mau ke mana kamuu?” kata orang itu. Toto pun kebingunngan dan ia tak tau apa maksud ketiga orang itu. Kalau diculik gak mungkin dia kan miskin. Tapi semuanya terjawab ketika salah satu dari mereka membuka kaca mata hitamnya.

Toto pun kaget dan berusaha kabur dari tempat itu setelah melihat wajah orang itu. “Heiiii jangan lari kamuuu. . .. . ..!” Teriak penjahat itu. Toto pun berlari sekuat tenaga meninggalkan gitar kecilnya untuk menghindari penjahat itu. Rupanya penjahat yang mengejarnya adalah pencopet yang tempo hari. Ia dendam pada si Toto yang telah menggagalkan aksinya. Toto melangkahi selokan, melewati pohon – pohon di pinggir jalan, dan melewati kemacetan. Tapi sayangnya untuk seorang anak sekecil itu tak mampu  melawan ketiga orang dewasa. Akhirnya ia pun tertangkap dan menjadi bulan – bulanan ketiga orang itu. Babak belurlah ia dipukul dan ditendang ketiga penjahat itu sebelum akhirnya warga membubarkannya dan ketiga penjahat itu kabur.

Kini ia terkulai tak berdaya di jalanan dengan muka yang memar. Tapi ia tetap berusaha untuk kuat. Ia tak ingin dibawa ke rumah sakit karena ia pun tak punya uang untuk bayarnya dan ia pun tak mau merepotkan warga yang lain. Dengan langkah yang terpincang – pincang ia pun pulang ke rumahnya Bang Rambo.

Hampir tengah malam ia sampai di rumah itu, disana sudah menunggu Bang Rambo di balik pintu. Ketika membuka pintu ia sudah di sambut oleh Bang Rambo, “Dari mana kamu ?” tanya bang Rambo dengan muka ketus “Ehhh. . . ..sa. . . . .saya. . . .” Toto pun tak mampu berkata. “Dari mana. .. ? Jam segini baru pulang. Yang laen udah pada setor kamu belum. Mana setoran kamu ?” tanya Bang Rambo lagi. “Ehhh. . . .sa. . .. .sayaa. . . . .” Toto kembali tak mampu berkata. “Saya. ..saya, mana ada gakkk ?” Bang Rambo makin marah “Gak. . ..gak ada bang .” jawab Toto sambil menundukkan kepala. “Kurang ajarrrrrrr. . … . .”

JEBRETTTTTTTTTT, Bang rambo pun memukul Toto dengan sapu lidi. Sungguh ia tak peduli dengan memar yang ada di mukannya si Toto. Yang ia pentingkan hanyalah setoran, setoran, dan setoran. Toto pun teriak – teriak minta ampun, namun tak digubrisnya. Teman – teman yang lain pun merasa iba padanya namun mereka tak bisa berbuat apa – apa. “Hari ini kamu tidur diluar !” kata Bang Rambo.

Diiringi dengan suara jangkrik, beralaskan kardus di malam yang dingin dan pekat ia pun tidur di luar menghadapi serangan nyamuk di malam hari.

“Heiii kasian juga yah si Toto harus tidur di luar.” Kata Udin “Ia, kita ke luar yuk temenin dia . !” Kata Ina.

Ina, Udin, Agus, Maman, Yusuf, Wati, Asep, dan Hasan pun keluar menemani si Toto yang kesakitan dan kedinginan. “To, emang kamu kenapa sih bisa kaya gini ?” tanya Ina. “Ceritanya begini na. . . .. . . “ kata Toto sambil menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

Mereka semua pun merasa prihatin atas apa yang dialami Toto. Sudah dipukulin preman eh dipukulin Bang Rambo juga. Hal itu menumbuhkan semangat bagi mereka untuk menentang Bang Rambo, untuk kabur saja dari tempat itu. Mereka sudah tak tahan lagi dengan sikap dari Bang Rambo yang seenaknya pada mereka.

Besok Paginya, “Ina, Agus Maman, Toto, hoyyyyy dimana kalian.Jangan kabur kaliannn. . . .!!” teriak Bang Rambo yang mengetahui mereka sudah tak ada di rumah itu. Lantas ia pun menyuruh teman – temannya ikut mencari anak – anak itu. “Awas kalian, kalo ketemu abisss kaliannnn . . .!”kata Bang Rambo dalam hati. Bang Rambo pun beserta teman – temannya mencari mereka ke setiap sudut kota. Jika mereka ketemu maka mereka pasti bakal dipukulin habis – habisan.

Di salah satu sudut kota mereka berjalan mencari tempat berlindung. Mereka mencari tempat yang aman yang tak mungkin ditemukan oleh Bang Rambo. Bertahun – tahun hidup dengan Bang Rambo, tanpa orang tua mereka, mereka adalah orang yang kuat walaupun dalam bati kecil mereka ingin sekali rasanya berkumpul dengan keluarga, ingin sekali rasanya bisa sekolah. Tapi mereka mengubur keinginannya itu dan mencoba realistis atas semua yang mereka jalani. Mereka hanya berusaha menjalani hidup apa adanya.

“Heiii gimana kalo kita tinggal di situ aja ?” Kata Toto sambil menunjuk ke sebuah gudang. “Hmmm, itu kan gudang yang udah ga kepake to.” Ujar Hasan. “Ia kalo ada hantunya gimana ?” tanya Agus. “Heyyy hantu sama Bang Rambo lebih serem mana, Bang Rambo kan.” Kata Ina. “Hahahahhahhahha. . . ..  .” mereka pun tertawa.

Mereka pun masuk ke gudang tua yang sudah tak berpenghuni. Terlihat di dinding – dinding coretan – coretan dan di sudut – sudut ruangan ada sarang laba – laba yang bersarang. Tapi hidup itu kejam bung. Rupanya gudang itu adalah tempat tinggal preman yang memukuli Toto tempo hari. Keluar dari kandang macan masuk kandang buaya.

“Heii, berani – beraninya kalian kemariii.” Kata preman itu. “Kaboooorrrrr. .!!” Teriak toto pada teman – temannya. “Hoiiii jangan lari kaliannnn.” Kata penjahat itu.

Mereka berlari secepat – cepatnya, melintasi bahu jalan, melintasi jalan becek, pepohonan, yang penting jangan sampe ketangkep. “Lewat sini – lewat sini. !” kata Ina. “Ayo, masuk ke rumah ini aja, mereka pasti gak berani.” Ucap Toto. “Ah kamu gila To, itu kan rumah orang kaya.” Kata Udin. “Ini kan kepepet, ayoo. . .!” kata Toto. “Oke ayo cepet.” Kata Ina kepada yang lain. “Wah sialan mereka masuk rumah itu lagiiii.” Kata Penjahat itu dengan kesalnya. Penjahat itu pun lantas pergi dan tak mengejar lagi anak – anak itu.

“Heiiii kalian siapa masuk rumah saya ?” Tanya si pemilik rumah. “Ma. . ..maaf pa kami. . . kami lagi dikejar – kejar penjah trus kepaksa kab kesini.” Jawab Toto. “Ia pa, kalau begitu kami mohon pamit dulu pa.” Ucap Hasan.

“Ehhh mau ke mana kalian ? Kalau di luar penjahatnya masih ada gimana, Kalau begitu kalian disini dulu aja untuk sementara.” Ajak sang pemilik rumah. Mereka saling memandang satu sama lain. Mereka merasa sungkan tapi di sisi lain ada benarnya juga apa yang dikatakan si pemilik rumah.

“Gimana, kok kalian malah bengong ?” tanya si pemilik rumah. “I. .i. .ia pa kami mau pa disini sementara.” Jawab Maman diikuti teman – teman lainnya. “Oke, kalau begitu mari masuk !” ajak si pemilik rumah.

“Wah rumahnya gede sekali.” Kata Udin “Hushhh jangan malu – maluin ah.” Kata Toto. “Kalo yang itu poto siapa pa ?” tanya Toto sambil menunjuk sebuah poto yang ada di dinding. “Oh itu, om, tante sama anak om dan tante waktu masih bai. Sekarang mungkin sudah seusia kamu.” Jawab si pemilik rumah. “Terus sekarang dia mana om ?” tanya Toto.

Pemilik rumah itu hanya menunduk dan terdiam mendengar pertanyaan itu. Sepertinya ada sesuatu yang ia simpan dalam benakanya. Tapi kemudian ia menceritakan perihal yang terjadi pada anaknya itu. “Ehhh. . ..Waktu anak saya masih umur 1 taun, kami membawanya jalan – jalan di taman. Tapi karena kami keasikan ngobrol, kemudian. … kemudian kami nggak tau dimana Rian anak kami.” Kata si Pemilik rumah sambil mengusap air matanya. “Maaf pak, kalo itu bikin bapak sedih.” Ujar Toto. “Oh ia ga apa – apa .” kata si pemilik rumah.

Mereka pun tinggal sementara di rumah yang megah, ada kolam renangnya pula. Di sisi lain Pak Budi dan Bu Rina pun senang kini rumah mereka yang sepi selama bertahun – tahun jadi ramai kembali. Tapi ada satu anak yang mengingatkan mereka pada anaknya yang hilang beberapa tahun silam. Toto, anak itu entah kenapa mengingatkan Pak Budi dan Bu Rina pada anaknya yang hilang.

Walaupun telah disarankan untuk berhenti mengamen oleh Pak Budi dan Bu Rina, namun anak – anak itu tetap mengamen sehabis pulang sekolah. Mereka merasa tak enak jika merepotkan Pak Budi dan Bu Rina, mereka merasa harus tetap bisa mencari uang sendiri.

Tapi apa yang terjadi, sore itu Ina, dan kedelapan teman lainnya berlari – lari ke rumah Pa Budi. Mereka nampak cemas mengkhawatirkan sesuatu. “Loh, ada apa kalian kok lari – lari ?” tanya Pa Budi. “Ehh. . . .eh. . . .Toto pa. . . .Toto.. . .” jawab Udin. “Ia Toto kenapa din ?” tanya Pa Budi cemas. “Toto diculik lagi sama Bang Rambo pa.” Jawab Ina. “Bang Rambo, Bang Rambo itu yang ngejar kalian kemarin ?” Pa Budi pun kaget. “Bukan Pak, kami sebelumnya tinggal dengan Bang Rambo, Bang rambo jahat, kami sering dibentak bahkan dipukuli. Uang hasil ngamen kami pun harus disetor ke Bang Rambo.” Jawab Ina. “Ya udah, kalo gitu kita kesana.” Kata pak Budi.

Mereka pun berangkat menuju rumah Bang Rambo. Sesampainya disana rupanya Bang rambo langsung berteriak pada Pa Budi dan anak – anak jalanan yang mendekat ke rumahnya. “Hai Budi dan kalian anak – anak jalanan jangan berani mendekat rumah ini lagi.” Ancam Bang Rambo.

Pa Budi pun sontak kaget, ternyata Bang rambo tau namanya. “Siapa kamu, tau dari mana kamu nama saya ?” tanya Pa Budi. “Hahahahha Budi. . ..Budi kamu lupa saya Budi. . . .Saya Rama, orang yang dulu kamu pecat.” Jawab Bang Rambo. “Ja. . .jadi kamu disini Ram, terus ngapain kamu nyekap anak itu ?” Tanya Pa Budi. “Hmmmm. . .. .hahahahhahah kalo kamu pingin anak ini saya bebaskan. Kamu harus nyediakan uang 500 juta rupiah, baru anak ini saya bebaskan.” Ujar Bang Rambo. “Apaa, 500 juta kamu gila, memangnya itu anak saya apa.” Kata pa Budi kaget.

Kemudian Pa Budi pun pulang ke rumahnya dan berpikir tentang apa yang dikatakan Bang Rambo. “Sebenarnya apa maksud si Rama itu kok minta tebusan ke saya ?” tanya Pa Budi dalam hatinya. “Pak, sudah kasih saja pa, kalo anak itu kenapa – kenapa gimana !” ujar Bu Rina.

Tiba – tiba suara telephone berdering, kringg. . . . .kring. . . . .“Halo. .. . “ ucap Pa Budi mengangkat telephone. “Halo Budi, gimana 500 jutanya bisa. . .? Jangan bilang engga bisa Budi, kalo gak bisa kamu tau apa yang terjadi dengan anakmu, kamu enggak akan bisa ketemu lagi sama dia.” Kata Bang rambo.“Apa kamu bilang, anakku ?” Pa Budi pun kaget. “Ehh. . . .maksud aku anak ini.” Jawab Bang Rambo.

Bang Rambo alias Rama pun langsung menutup telephone itu. Ia merasa keceplosan telah bilang sesuatu. Sementara Pak Budi memikirkan apa yang diucapkan Bang Rambo itu. “Jangan – jangan si Toto itu anakku yang hilang dulu.” Ucap Pak Budi dalam hati. Tapi pikirannya sendiri menyangkalnya.

Akhirnya Pak Budi membawa uang tebusan itu ke rumah Bang Rambo dan menukarnya dengan Toto si anak jalanan itu. “Hai Rama, keluar kamu. Aku sudah bawa uang tebusannya.” Teriak Pak Budi. “Hahhaha, oke baiklah Budi.” Bang Rambo pun keluar sambil membawa Toto yang mulutnya ditutup. “Lemparkan uang itu dan anak ini akan ku lepas.” Ucap Bang Rambo.

Pak Budi pun melemparkan koper yang berisi uang itu dan Toto pun dilepaskan. Akhirnya Pak Budi dan Toto kembali ke rumahnya. Tapi tunggu dulu, Bang Rambo jangan harap bisa menikmati uang itu. Karena baru sesaat Bang rambo menerima uang langsung polisi yang sudah menyerbu rumah itu menangkapnya.

“Jangan bergerak, anda ditangkap atas kasus mengeiksploitasi anak – anak dan kasus penculikan.” Kata Polisi. “Apa – apaan ini, kurang ajar kamu Budi.” Kata Bang Rambo yang tidak bisa berbuat apa – apa lagi. “Kalau kau ingin bebas, jawab Aku Rama, sebenarnya siapa si Toto ini ?” tanya Pak Budi. Namun Bang Rambo hanya diam menyikapi pertanyaan itu. “Jawab aku Ramaaaa. . .!!” teriak Pak Budi. “Di. . ..dia adalah anakmu yang hilang dulu. Dulu aku menculiknya karena dendam padamu.” Jawab Bang Rambo yang posisinya kian terjepit. “Kurang ajar kauuu. . ..!” Pak Budi pun lantas memukul Bang Rambo setelah mendengar pengakuannya itu. Pak Budi justru semakin benci pada mantan anak buahnya ini. Tak sedetik pun dalam benaknya untuk membebaskannya. Bahkan ia mengharapkan pelaku yang telah menculik anaknya itu dibekam di penjara seumur hidup.

Toto pun kaget ketika mendengar fakta yang sebenarnya. Semenjak saat itu Toto tinggal bersama Pak Budi dan Bu Rina di rumahnya yang megah. Ia tak menyangka kalau dia sebenarnya adalah anak orang yang sangat kaya. Percis seperti apa yang ia bayangkan kini ia bisa renang di kolam renang yang luas, main playstasion, dan tidur di kasur yang empuk.


Anak – anak jalanan lainya pun diangkat sebagai anak angkat. Mereka semua dibiayai sekolahnya dan tinggal bersama di rumah megah itu. Namun mereka masih seperti dulu, terkadang tetap mengamen namun tak meminta uang sepeserpun, hanya untuk menghibur para penumpang di bus kota.

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Cerpen: Leo, Si Singa Kecil


Dalam hutan yang lebat terdengar raungan singa yang begitu membahana ke seluruh hutan. “Auuummmmmmmmm,” begitulah suara singa itu. Dan ketika singa mengaum semua penghuni hutan terdiam, terpaku dan terhenyak. Mereka merinding mendengar teriakan singa.

Sudah sejak dahulu singa menjadi raja hutan. Dan raja hutan untuk periode kali ini adalah seekor singa berbadan besar dan berwajah sangar, Singaraja namanya. Hari itu ia mengaum mengumandangkan suara sangarnya ke seluruh antero hutan. Ia baru saja kegirangan karena baru memiliki satu putra lagi. Ya, putra ketiganya lahir pada hari itu dan ia beri nama Leo. Sekor anak singa yang lucu hadir di tengah hutan itu. Seluruh kerajaan merayakan kelahiran putra raja.

“Anak ini akan menjadi penerusku, anak ini akan menjadi singa yang kuat dan ditakuti hewan – hewan lain.” Kata sang Raja di hadapan seluruh hewan penghuni hutan itu yang ia kumpulkan untuk merayakan kelahiran anaknya. Semua hewan lain hanya tertunduk dan terpaksa mengiyakan apa yang dikatakan sang raja.

Singaraja merupakan raja hutan yang dikenal sangat ditakuti oleh hewan – hewan lain. Ia menerapkan kebijakan upeti dan pajak yang tinggi pada rakyat hutan yang ia pimpin. Apalagi ketika ia lapar ia tak segan – segan mengoyak perut rusa, atau kancil hidup – hidup untuk memenuhi kebutuhan perutnya.

Lia, ibu pangeran kecil yang baru lahir itu kala itu tengah memeluk anaknya. Sedangkan Singaraja sedang berburu. Suatu ketika sang ibu itu menatap anaknya sambil berbicara padanya,

“Nak, ibu harap kamu tidak seperti ayahmu yang kejam yah nak. Ibu harap kamu jadi anak yang baik, yang bisa menolong dan membantu yang susah.” Ucap sang ibu pada anaknya yang masih belum mengerti apa – apa.

Tapi singaraja selalu menginginkan anaknya menjadi singa yang kejam dan kuat. Hal itu ia tunjukkan ketika membawa anak pertama dan keduanya Muson dan Simba untuk ikut berburu bersamanya. Walaupun hal itu ditentang oleh ibu dari anak – anak itu.

“Mas, jangan bawa mereka berburu mas, mereka masih kecil. Mereka terlalu kecil untuk melihat kekejamanmu !” Kata Lia.

“Sudahlahhhh, kamu tak usah larang aku bawa anak – anak. Kita ini singa, harus bisa berburu. Apalagi kita dari keluarga kerajaan. Jadi lebih baik dari kecil mereka dididik untuk berburu. Supaya mereka jadi anak yang gagah.” Ujar Singaraja.

Ketika pertama kali di ajak ayahnya berburu, Muson dan Simba awalnya takut ketika melihat ayahnya mengejar rusa dan mengoyak – ngoyak daging rusa itu dengan gigi yang tajam lalu melahapnya. Tapi kini mereka berdua mulai terbiasa melihat kejadian itu. Mereka mulai merasakan jiwa sebagai seekor singa. Mereka mulai mencoba mengejar anak rusa. Yah, walaupun mereka belum berhasil menyergap si rusa tapi usaha mereka patut diperhitungkan.

Dengan kebengisan dan kekejaman si raja hutan, tak heran jika banyak yang membenci dirinya. Di hadapan sang raja seluruh hewan penghuni hutan tunduk patuh pada sang raja, namun di sisi lain mereka sebenarnya membenci Sang raja.
***

Suara tangisan pun terdengar dari dalam hutan,

“Hai, kamu kenapa ?” Tanya sang kambing pada seekor rusa betina.

“Anaku. . . .anaku diambil prajurit raja untuk dijadikan santapan raja bersama prajuritnya.” Kata induk rusa itu sambil menangis.

“Kurang ajarrrrrrrr. . . . . .!!!” Kata sang Kambing yang begitu marahnya.

Kambing itu juga merasa benci pada si raja hutan. Karena adiknya beberapa tahun yang lalu juga dimangsa oleh si raja hutan itu. Ia pun berencana untuk balas dendam pada Singaraja si raja hutan.

“Aku akan balas dendam pada si raja hutan itu hai rusa.” Ujar si Kambing pada rusa betina itu.

“Tapi bagaimana caranya ?” Tanya Rusa betina.

“Aku akan ambil anaknya, lalu kita buang ke sungai.” Kata si Kambing.

Si induk rusa hanya menggeleng – gelengkan kepala. Ia sebenarnya tak setuju dengan tindakan si kambing. Namun rasa bencinya pada Singa itu membuatnya meng-ia-kan ide si kambing itu.
***

Hari itu di istana kerajaan berkumpullah para singa yang sedang melakukan upacara. Dan disaat itulah si kambing merasa punya kesempatan untuk menculik anak raja. Disaat seluruh keluarga raja beserta para prajurit sibuk mengadakan upacara ia pun mengendap – ngendap melalui dinding belakang istana kerajaan. Langkahnya perlahan – lahan nyaris tak terdengar, ia mulai masuk ke istana raja, membuka pintu demi pintu istana secara perlahan mencari  keberadaan anak bungsu sang raja.

Setelah mengendap – ngendap akhirnya ia temukan juga kamar anak bungsu Sang raja itu. Dan kebetulan saja disana sedang tidak ada yang menjaga. Ia pun segera mengambil kesempatan itu untuk menculik Leo si anak Singa.

“Hai ibu rusa, lihat nih aku sudah berhasil menculik anak Si raja singa itu. Selanjutnya ku serahkan padamu. Biar kau yang membalas dendam atas anakmu yang dimangsa sang raja.” Kata si Kambing pada induk rusa.

Setelah menyerahkan anak singa itu, si kambing pun langsung pergi. Semantara si induk rusa yang dendam pada sang raja membawa anak itu ke tepian jurang. Di bawah jurang itu terdapat sungai yang mengalir deras. Ia pun teringat akan anaknya yang dimangsa sang raja. Lalu segera saja rasa dendam itu kian menjadi. Ia pun berniat tuk melempar anak singa itu ke dasar jurang yang di dasarnya mengalir sungai yang deras. Namun belum sempat ia melempar anak singa itu, anak singa itu tertawa lucu menggemaskan. Si induk rusa pun teringat akan anaknya yang lucu. Ia pun tak kuasa melempar anak selucu itu ke dasar sungai. Otot tangannya seolah terhenti ketika melihat wajah anak singa yang lucu itu. Akhirnya ia mengurungkan niatnya dan menunda sampai suatu saat.

Ia pun membawa pulang anak singa itu, memandanginya dan memikirkan langkah selanjutnya mau diapakan anak singa itu. “Mungkin nanti saja ketika anak itu sudah agak besar aku akan lemparkan ke jurang.” Pikirnya kala itu.

Untuk saat ini anak singa itu tinggal bersama si induk rusa dan kedua anaknya yang lain. Mereka bersembunyi di dalam gua karena takut ada prajurit raja yang memangsa mereka lagi. Sementara di istana kerajaan baru disadari kalau Leo anak raja yang masih bayi ternyata hilang. Kepanikan pun melanda isi istana, “Leoo. .. .  . .anakku dimana Leooo. . . . .???” Teriak ibunya yang juga istri raja. Seluruh prajurit istana pun turut mencari Leo ke seluruh istana, raja singa pun turut panik mendengar berita kehilangan anaknya itu. Ia menggelar sayembara dengan hadiah besar untuk menemukan anaknya yang hilang. Sementara si induk rusa juga mulai panik. Ia takut kalau ketauan menyembunyikan anak sang raja.

Hari berganti hari anak singa yang hilang itu pun belum juga ditemukan. Untuk saat ini si ibu rusa aman karena apa yang dilakukannya tidak ketahuan. Namun ada yang mengganjal dalam pikiran si ibu rusa itu. Ia tak tau mau diapakan anak singa itu. Di sisi lain ia merasa dendam pada si raja singa, tapi di sisi lain ia merasa tak tega untuk membunuh anak singa selucu itu.

Ketika sedang berpikir mengenai hal itu ada suara yang memanggil dirinya, “Mamaa. . . . . . . .mama. . . . . .”  Itulah yang terdengar di mulut gua itu. Rupanya itu adalah suara si anak singa itu. Spontan si ibu rusa merasa kaget mendengarnya karena si anak singa itu memanggil dirinya dengan sebutan mama. Ia pun semakin tak kuasa untuk membunuh anak singa itu. Dan untuk sementara justru si ibu rusa menganggapnya sebagai anak, seperti kedua anaknya yang lain Rama dan Romi. “Tapi bagaimana jika sudah besar anak singa ini memakan anak – anakku yang lain ?” Tanya si ibu rusa pada dirinya sendiri dengan rasa khawatir.
***

Suatu ketika si ibu rusa mengajak anak – anaknya untuk mencari makan, termasuk si anak singa itu yang ia angkat sebagai anak. Si ibu rusa dan kedua anak kandungnya memakan rumput – rumput yang tumbuh di hutan. Leo pun mencoba mengikuti apa yang dilakukan mereka namun ia langsung memuntahkannya lagi, beberapa kali seperti itu. Tapi setelah mencoba untuk memakan rumput akhirnya si anak singa itu mulai terbiasa memakan rumput. Rasa kekhawatiran si ibu singa pun semakin lama semakin sirna ketika melihat si anak singa mulai terbiasa makan rumput. Apalagi ia terlihat sering bercanda dengan kedua anaknya yang lain.

Tapi suatu ketika si anak singa bertanya pada si ibu rusa itu, “mama. . . . kenapa yah aku ini kok berbeda dengan kakak – kakakku dan juga mama ?” Tanya anak singa itu.

Si ibu rusa terdiam terpaku sejenak. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya ketika mendengar pertanyaan itu. Lalu ia mendekap si anak singa itu dan berkata, “Nak, kamu anak mama nak, kamu anak mama .” Ucap si Ibu rusa pada anak singa itu. Nampakany si ibu rusa benar – benar mengurungkan niat awalnya untuk membunuh anak singa itu. Justru sebaliknya, si Ibu rusa merasa amat menyayangi anak singa itu seperti anaknya sendiri.
***

Hari berganti hari, waktu berganti waktu, dari hari ke hari ketika Si anak Singa itu ingin bermain ke luar selalu saja di larang oleh si ibu rusa. Ia tak mengerti, kenapa mamanya selalu  melarangnya bermain sendiri ke luar, sementara kedua saudaranya selalu diijinkan. Ia pun selalu bertanya pada dirinya sendiri mengapa ia berbeda dengan saudaranya dan mamanya. Hal itu yang menuntun langkahnya untuk mencari tau.

Ia pun melangkah keluar gua secara perlahan tanpa sepengetahuan mamanya. Hutan yang lebat ia telusuri. Ada banyak hal yang ia lewati yang belum pernah ia jumpai. Tapi ada sesuatu yang aneh ketika ia menjumpai anak kancil di hutan itu. Entah kenapa anak kancil itu langsung lari ketika melihat dirinya. Begitu pun dengan sekumpulan ayam hutan dan beberapa hewan lainnya. Ia semakin tak mengerti mengapa hewan – hewan itu lari ketika melihat dirinya.

Semakin banyak jejak langkah yang ia buat di hutan itu semakin banyak pula tanda tanya dalam pikirannya. “Sebenarnya aku ini siapa ? Mengapa semua tampak aneh bagiku ?” Tanya anak singa itu pada dirinya sendiri. Rasa penasaran pun semakin merasupi ke dalam pikirannya sampai suatu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup megah di tengah hutan itu. Ouww itu rupanya adalah istana tempat si Singaraja tinggal. Rasa penasaran menuntun langkahnya mendekati bangunan itu.

Tapi belum sempat beberapa langkah ia melihat suatu kejadian yang membuatnya takut. Rupanya seekor hewan buas sedang mengejar seekor kancil. Kancil itu pun lari terbirit – birit karena tidak ingin jadi santapan hewan buas itu. Namun akhirnya hewan buas itu berhasil menerkam mangsanya dan mengoyak – ngoyak tubuh mangsanya sebelum menelannya. Rupanya hewan buas itu adalah singa. Ia amat membenci hewan itu. Kenapa hewan itu begitu kejam. Namun ketika ia melihat dirinya di permukaan air yang tenang batinnya kembali bertanya, “Singa, kenapa hewan buas itu bentuknya mirip denganku, apakah aku adalah singa ?” Tanya anak itu pada dirinya. Namun batinnya menentang hal itu, “Enggak mungkin, enggak mungkin. Aku bukan singa, aku bukan singa, aku gak mauuuuu jadi singaaaaa.” Ucap anak itu sambil menjauhi diri dari permukaan air.

Sementara di sisi lain si ibu rusa baru menyadari kalau si anak singa itu tidak ada. Ia lantas kebingungan mencari anak angkatnya itu. Ia amat menghawatirkan jika anak itu ditemukan pihak istana, “Nak. . ..dimana kamu ??” Teriak si ibu rusa.

Si anak singa meneruskan perjalanannya dengan batin yang semakin tak tenang. Ia terus bertanya dalam dirinya, “Siapakah aku ?”. Tapi hingga saat ini ia belum menemukan jawabannya.

Di tengah perjalanannya, ada suara yang seolah memanggilnya, “Leoooo. . .. .Leoooooo. . . .!!”. Anak itu menoleh ke kanan dan ke kiri, rupanya di kejauhan seekor singa betina yang memanggil nama itu. “Ya, kamu Leooo. . . .Leo anakkku.” Ucap Ibu singa itu sambil mendekatinya. “Akuuuu ?” Tanya anak itu. “Ya, kamu pasti Leo, rupanya kau disini nak, ibu sudah mencarimu kemana – mana.” Kata Induk singa itu sambil memeluknya.

“Aku bukan Leo yang kau maksud, aku ini Rudi anak rusa bukan anak singa yang kau maksud.” Jawabnya pada ibu singa itu.

“Tidak nak, kau itu Leo kau itu Singa bukan rusa. Lihatlah rupamu nak !” Kata Ibu singa itu.

Leo hanya berpikir sejenak. Ia menyadari bahwa dia memang berbeda dengan rusa. Justru ia lebih mirip dengan singa – singa lain. Mendengar ucapan si ibu singa itu ia justru perlahan – lahan yakin kalau dirinya adalah singa bukan rusa.

“Ikutlah dengan ibu nak ke istana. . . !!” Ajak si Ibu singa.

Setelah dibujuk – bujuk akhirnya ia pun mau ikut ajakan ibu singa itu. Di sepanjang perjalanan ia bertanya banyak hal tentang dirinya dan keluarganya. Dan ia perlahan mulai yakin kalau ibu singa itu memanglah ibu kandungnya.
***

Mereka pun tiba di istana kerajaan. Si anak singa itu terkagum kagum melihat istana yang begitu megah. Ia amat tak menyangka bahwa dirinya adalah putra raja dan akan tinggal di istana semegah itu. Sesampainya di istana itu ia langsung disambut pasukan kerajaan dengan rasa hormat. Terlebih ketika raja menghampirinya dan memeluk dirinya.
“Nak, ayah sudah lama menantimu, kamu kemana saja selama ini nak ?” Tanya sang raja.

“A. . . .a. . . .aku baik – baik saja kok yah.” Jawab Leo.

Sejak saat itu Leo si singa kecil tinggal di istana bersama ayah dan ibu kandungnya. Ia merasa senang tinggal di istana yang megah. Tapi ia entah kenapa ia pun merindukan ibu rusa yang selama ini merawat dan memelihara dirinya. Ingin sekali rasanya jika si ibu rusa dan kedua saudara rusanya Rama dan Romi tinggal lagi bersamanya di istana semegah ini. Tapi pikirannya segera ditepis. “Kalo ayah sampai tau, selama ini aku tinggal dengan ibu rusa, entah apa yang terjadi pada ibu rusa dan kedua saudara rusaku.” Pikir Leo.

Di halaman istana Leo pun merasa lapar. Ia menyantap rerumputan yang tumbuh di halaman istana. Ia sudah biasa menyantap tumbuh – tumbuhan seperti rerumputan. Namun hal itu nampak aneh bagi seluruh penghuni istana. Dan segeralah tersiar kabar bahwa anak raja ternyata memakan rerumputan. Raja pun merasa resah mendegar hal itu. Lantas ia pun langsung memanggil anaknya ke hadapannya.

“Nak, apa benar kau itu sekarang makan rerumputan ?” Tanya sang raja.

“I. . . .i. . .ia ayah memangnya kenapa ?” Jawab Leo sambil bertanya balik.

“Kamu tau kan, kita ini singa. Tidak sepantasnya kita ini makan tanaman. Kita ini pemakan daging, apalagi kita dari kalangan istana. Kau mengerti kan ?” Kata Sang raja pada anaknya.

Leo hanya terdiam menyikapi ucapan ayahnya.

“Oke kamu ikut ayah, akan ayah ajarkan bagaimana caranya berburu !” Ucap ayahnya sambil mengajaknya berburu.
***

Di tengah hutan si raja singa berserta prajuritnya bersiap tuk mencari mangsa. Leo pun turut ikut dan menyaksikan apa yang akan mereka lakukan.

“Pengawal, lihat kancil itu !” Kata sang raja sambil menunjuk kancil yang sedang asik makan dedaunan.

“Ia raja.” Jawab Pengawal.

“Kau mangsa kancil itu sekarang !” Kata sang raja memerintah pengawalnya.

“ Baik raja.” Jawab pengawal.

Pengawal pun langsung mengejar kancil itu dengan berlari secepat mungkin. Si kancil yang menyadari nyawanya terancam pun lari dari kejaran singa. Kejar – kejaran pun terjadi selama beberapa menit sebelum akhirnya si pengawal raja berhasil menerkam kancil itu dengan gigi tajamnya. Melihat kejadian itu Leo berusaha untuk tutup mata. Ia tak kuasa menyaksikan kejadian sekejam itu.

“Kau lihat itu nak. Itu yang seharusnya dilaukan oleh seekor singa.” Kata Raja pada anaknya.

“Tidak ayah, aku tidak bisa.” Jawab Leo.

“Kau harus bisa nak, kau lihat ini.” Kata ayahnya sambil berlari mengejar mangsanya.

“Nak. . . .nak dimanakah kau. . . mama mencarimu nak. . . .” Terdengar suara seperti itu. Dan hewan yang menyebut kata – kata itulah yang dikejar oleh si raja singa. Hewan itu tak memerhatikan ada singa yang hendak memangsanya. Ia hanya fokus mencari anaknya yang hilang.

“Oh tidakkk itu mamaa. . . . . . .mama rusa. . . . . .” Kata Leo sambil mengejar ayahnya yang hendak memangsa mama rusanya.

“Ayahhhhh jangan ayahhhhh jangannnn. . . .!!”

“Menyingkir kau nak, biarkan ayah memangsanya.”

“Tidak ayah, jangan, aku takkan membiarkan ayah memangsanya.”

“Memangnya kenapa nak, menyingkirlah nak akan ayah tunjukkan bagaimana seharusnya menjadi singa.”

“Tidak ayah, ia adalah mamaku ayah. Ia yang merawatku selama ini, ia yang mengasihiku ayahh.”

Si raja singa pun hanya terdiam mendengar ucapan anaknya itu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk memangsa rusa itu.

“Ayo  nak mari kita pulang !” Ucap ayahnya.

Leo pun pulang kembali ke istana. Namun kepalanya masih menoleh ke belakang dan menatap mama rusanya yang kehilangan dirinya.

“Mama. . . . . .” ucapnya pelan.

Mama rusanya hanya diam terpaku tanpa suara melihat anak angkatnya perlahan menjauhi dirinya.
***

Beberapa hari kemudian timbullah suatu kegemparan di seluruh isi istana. Tiba – tiba saja tanpa sebab yang jelas sang raja mengumpulkan seluruh penghuni istana. Seluruh penghuni istana pun wajahnya pucat pasi. Mereka takut dianggap telah melakukan kesalahan sehingga raja mengumpulkan mereka di halaman istana. Tak lama kemudian raja pun mulai bicara maksud dan tujuannya.

“Hmmmm. . . . .Selamat pagi semuanya.” Ucap sang raja. Seluruh penghuni istana pun terheran – heran karena raja tak seperti biasanya sesantun ini. Kemudian raja pun meneruskan pembicaraannya.

“Sebelumnya saya mohon maaf telah mengumpulkan bapak – bapak dan ibu – ibu disini.” Seluruh isi istana makin terheran – heran karena biasanya raja menyampaikan kata – kata yang keras namun kali ini ia sudah seperti kepala desa yang berpidato di hadapan warga desa.

“Maksud saya mengumpulkan kalian disini adalah untuk mengumumkan bahwa saya mulai hari ini mengundurkan diri sebagai raja hutan.” Ucap sang raja.

Seluruh isi istana semakin tercengang dibuatnya. Seluruh istana bergemuruh seolah tak percaya akan yang dikatakan oleh sang raja. Tapi kali itu ia memang benar – benar mengundurkan diri. Seluruh isi istana bertanya – tanya apa yang membuat raja mengundurkan diri. Tapi kali itu raja tak mengungkapkan alasannya kenapa ia mengundurkan diri.


Dan yang menarik lagi, keesokan harinya raja, istrinya dan ketiga anaknya keluar dari istana. Ruapanya raja hendak menjadi rakyat biasa. Kehidupan sebagai raja memang mewah, dan ditakuti banyak orang. Tapi Leo membuatnya berpikir bahwa hidup sederhana sebagai rakyat biasa bersama keluarga jauh lebih menyenangkan. Mereka pun membangun rumah sederhana, dan ternyata rumah sederhana itu letaknya berdekatan dengan gua tempat si ibu rusa tinggal. Dan mulai hari itu Leo pun senang karena bisa tinggal bersama keluarganya sekaligus tiap hari bisa bertemu dengan mama rusa dan saudara rusanya.

***
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles