Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Mimpi Anak Jalanan


“Duduk di pinggir kolam sambil menikmati nikmatnya jus. Main Playstation sepuasnya, lompat–lompat di kasur yang empuk, lari–lari di halaman rumah, berenang di kolam yang luas. Wah nikmat sekali nampaknya.”

“Hayyy lagi ngapain kamu To, pasti lamu lagi ngelamun jadi orang kaya lagi kan, hahahaha. Inget to kita ini cuman pengamen jalanan. Mana mungkin jadi orang kaya To.” Kata Ina yang melihat Toto sedang melamun. “Eh, kamu na, yah kan segala sesuatu mungkin aja terjadi. Aku sih tetep bersyukur atas semua yang terjadi di hidupku. Tapi kan sedikit berharap ga da salahnya juga heheheh.” Ucap Toto.

Itulah sedikit celotehan Toto dan Ina, mereka adalah pengamen jalanan yang sejak kecil mengamen tuk mempertahankan hidup. Disaat anak–anak lain bisa menikmati sekolah, bermain, dan menikmati fasilitasnya yang diberikan orang tua mereka, justru Toto dan Ina, dan juga anak–anak jalanan lainnya hanya bisa menerima takdir sembari berharap kehidupannya kan berubah walaupun kadang diri mereka sendiri mengingkarinya.

Sejak kecil mereka berdua tidak tau dimana orang tua mereka. Begitu pula dengan beberapa anak jalanan lainnya. Kini mereka tinggal dengan “Bang Rambo” begitu panggilan pria berotot yang kini menaungi anak–anak jalanan. Eitss tunggu dulu lebih tepatnya mungkin mengeksploitasi anak–anak jalanan. Bagaimana tidak, setiap dari anak–anak itu disuruh mengamen dan menyetor uang hasil mengamen padanya. Dan Bang Rambo merasa berjasa telah memberikan tempat tinggal dan makan pada anak–anak jalanan tersebut.

Total ada 10 anak yang tinggal di rumah Bang Rambo. Sebuah rumah yang lebih mirip dengan gudang karena tidak terawat dan tidak banyak peralatan di dalamnya. Bahkan anak–anak pun tidur di bawah beralaskan kardus.

“Woyyyy bangun. . . . . bangunnnnn. . . .kerjaaaa. . . . . .kerjaaa.. . . .udah waktunya kalian kerja. . . . . .!!!!” kata Bang rambo membangunkan anak–anak. Hari itu masih sangat pagi sekali, matahari pun belum nampak, dan ayam pun baru berkokok. Tapi seperti hari biasanya bang Rambo selalu membangunkan anak–anak pagi–pagi sekali. Menyuruh mereka bekerja dan menyetor uang padanya setelah seharian bekerja. Tapi dia sendiri tidak bekerja, setiap malam sehabis menerima setoran kerapkali ia pergi ke tempat–tempat hibuaran, mabuk–mabukan bahkan seringkali berjudi.

Kemudian mereka seperti hari–hari sebelumnya mengamen di jalan–jalan, di lampu merah, di bus–bus, di warung, pokoknya dimanapun asal bisa  menghasilkan uang.

“To kamu lagi ngapain, kita kan harus kerja buat setor ke Bang Rambo ?” tanya udin yang melihat Toto termenung. “Aku lagi mikir din, apa hidup kita bakal kaya gini terus?” jawab Toto. “Yah, mau gimana lagi To, aku juga sempat mikir kaya gitu, sempat mikir mau kabur aja. Tapi kan kamu tau sendiri Bang Rambo itu kaya gimana, kalo ketauan kabur habislah kita.” Ujar Udin. “Ia, kamu betul din, tapi pasti ada cara din. Coba kamu bayangin kita kerja cuma buat dia mabok–mabokan, judi, yah walaupun kita nebeng sama dia tapi ini gak adil din.” Kata Toto. “Ya, aku tau To. Tapi aku ga berani macem–macem ah To.” Kata Udin yang kemudian kembali mengamen.

Di sebuah bis yang penuh dengan penumpang, bahkan banyak penumpang yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Toto pun mengamen di situ, berbekal sebuah gitar kecil ia pun bernyanyi melantunkan lagu pada penumpang menghibur semua penumpang yang ada, yang sedang jenuh karena kepenatan bus kota. Tapi tak lama Toto melantunkan sebuah lagu ia pun berhenti di tengah bait–bait lagunya. Tatapannya tajam menatap sesuatu yang terjadi di depan matanya.

“Copett. . . .hei copet. . .. .!!!” teriak anak polos itu. Lantas sang copet yang kepergok aksinya langsung mengeluarkan pisau lipat dari celananya. Ia membekap Toto sambil marah–marah. “Kurang ajar kamu anak kecil udah bosen hidup yah.” Kata Pencopet itu.

Penumpang yang lain pun ketakutan melihat pisau yang dibawanya. Apalagi Toto, nyawanya kini benar–benar diujung tanduk. Ia tak bisa berbuat apa–apa dan hanya berdoa sembari memikirkan bagaimana caranya lolos dari maut.

“Cepat kalian keluarkan semua harta kalian. . . .!!” teriak si copet pada semua penumpang. Copet yang sudah kepergok kini berubah jadi rampok. Semua penumpang pun mengeluarkan beberapa harta mereka, dompet, jam tangan, dan perhiasan. Si pencopet ehh sekarang perampok mulai mengambil satu per satu harta yang dikeluarkan penumpang. Nah, saat itulah si Toto memanfaatkan celah peluang saat si pencopet lengah. Saat si pencopet mengambil barang berharga milik penumpang lalu dia arahkan sikutnya tepat di perut si perampok. Itu memang tidak membuat si perampok mengalami kesakitan yang cukup berarti, tapi seengganya ia bisa melepaskan diri dari dekapan si perampok. Penumpang yang lain pun mulai berani setelah melihat anak kecil juga berani. Akhirnya perampok yang cuma sendiri itu lompat dari bus yang masih melaju dan berlari takut dikeroyok masa.

Keesokan harinya seperti biasa, Toto mengamen di bus yang penuh sesak dengan penumpang. Ia bernyanyi penuh keikhlasan bukan semata mengharapkan uang belaka dari penumpang. Dan banyak penumpang yang memberikan uangnya karena merasa puas, ataupun ada juga yang sekedar mengurangi beban receh di saku celananya.

Tapi betapa kagetnya ia ketika turun dari bus itu. Tiga orang pria tegap berjaket kulit hitam dan berkacamata langsung menghadangnya. “Hayooo, mau ke mana kamuu?” kata orang itu. Toto pun kebingunngan dan ia tak tau apa maksud ketiga orang itu. Kalau diculik gak mungkin dia kan miskin. Tapi semuanya terjawab ketika salah satu dari mereka membuka kaca mata hitamnya.

Toto pun kaget dan berusaha kabur dari tempat itu setelah melihat wajah orang itu. “Heiiii jangan lari kamuuu. . .. . ..!” Teriak penjahat itu. Toto pun berlari sekuat tenaga meninggalkan gitar kecilnya untuk menghindari penjahat itu. Rupanya penjahat yang mengejarnya adalah pencopet yang tempo hari. Ia dendam pada si Toto yang telah menggagalkan aksinya. Toto melangkahi selokan, melewati pohon – pohon di pinggir jalan, dan melewati kemacetan. Tapi sayangnya untuk seorang anak sekecil itu tak mampu  melawan ketiga orang dewasa. Akhirnya ia pun tertangkap dan menjadi bulan – bulanan ketiga orang itu. Babak belurlah ia dipukul dan ditendang ketiga penjahat itu sebelum akhirnya warga membubarkannya dan ketiga penjahat itu kabur.

Kini ia terkulai tak berdaya di jalanan dengan muka yang memar. Tapi ia tetap berusaha untuk kuat. Ia tak ingin dibawa ke rumah sakit karena ia pun tak punya uang untuk bayarnya dan ia pun tak mau merepotkan warga yang lain. Dengan langkah yang terpincang – pincang ia pun pulang ke rumahnya Bang Rambo.

Hampir tengah malam ia sampai di rumah itu, disana sudah menunggu Bang Rambo di balik pintu. Ketika membuka pintu ia sudah di sambut oleh Bang Rambo, “Dari mana kamu ?” tanya bang Rambo dengan muka ketus “Ehhh. . . ..sa. . . . .saya. . . .” Toto pun tak mampu berkata. “Dari mana. .. ? Jam segini baru pulang. Yang laen udah pada setor kamu belum. Mana setoran kamu ?” tanya Bang Rambo lagi. “Ehhh. . . .sa. . .. .sayaa. . . . .” Toto kembali tak mampu berkata. “Saya. ..saya, mana ada gakkk ?” Bang Rambo makin marah “Gak. . ..gak ada bang .” jawab Toto sambil menundukkan kepala. “Kurang ajarrrrrrr. . … . .”

JEBRETTTTTTTTTT, Bang rambo pun memukul Toto dengan sapu lidi. Sungguh ia tak peduli dengan memar yang ada di mukannya si Toto. Yang ia pentingkan hanyalah setoran, setoran, dan setoran. Toto pun teriak – teriak minta ampun, namun tak digubrisnya. Teman – teman yang lain pun merasa iba padanya namun mereka tak bisa berbuat apa – apa. “Hari ini kamu tidur diluar !” kata Bang Rambo.

Diiringi dengan suara jangkrik, beralaskan kardus di malam yang dingin dan pekat ia pun tidur di luar menghadapi serangan nyamuk di malam hari.

“Heiii kasian juga yah si Toto harus tidur di luar.” Kata Udin “Ia, kita ke luar yuk temenin dia . !” Kata Ina.

Ina, Udin, Agus, Maman, Yusuf, Wati, Asep, dan Hasan pun keluar menemani si Toto yang kesakitan dan kedinginan. “To, emang kamu kenapa sih bisa kaya gini ?” tanya Ina. “Ceritanya begini na. . . .. . . “ kata Toto sambil menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

Mereka semua pun merasa prihatin atas apa yang dialami Toto. Sudah dipukulin preman eh dipukulin Bang Rambo juga. Hal itu menumbuhkan semangat bagi mereka untuk menentang Bang Rambo, untuk kabur saja dari tempat itu. Mereka sudah tak tahan lagi dengan sikap dari Bang Rambo yang seenaknya pada mereka.

Besok Paginya, “Ina, Agus Maman, Toto, hoyyyyy dimana kalian.Jangan kabur kaliannn. . . .!!” teriak Bang Rambo yang mengetahui mereka sudah tak ada di rumah itu. Lantas ia pun menyuruh teman – temannya ikut mencari anak – anak itu. “Awas kalian, kalo ketemu abisss kaliannnn . . .!”kata Bang Rambo dalam hati. Bang Rambo pun beserta teman – temannya mencari mereka ke setiap sudut kota. Jika mereka ketemu maka mereka pasti bakal dipukulin habis – habisan.

Di salah satu sudut kota mereka berjalan mencari tempat berlindung. Mereka mencari tempat yang aman yang tak mungkin ditemukan oleh Bang Rambo. Bertahun – tahun hidup dengan Bang Rambo, tanpa orang tua mereka, mereka adalah orang yang kuat walaupun dalam bati kecil mereka ingin sekali rasanya berkumpul dengan keluarga, ingin sekali rasanya bisa sekolah. Tapi mereka mengubur keinginannya itu dan mencoba realistis atas semua yang mereka jalani. Mereka hanya berusaha menjalani hidup apa adanya.

“Heiii gimana kalo kita tinggal di situ aja ?” Kata Toto sambil menunjuk ke sebuah gudang. “Hmmm, itu kan gudang yang udah ga kepake to.” Ujar Hasan. “Ia kalo ada hantunya gimana ?” tanya Agus. “Heyyy hantu sama Bang Rambo lebih serem mana, Bang Rambo kan.” Kata Ina. “Hahahahhahhahha. . . ..  .” mereka pun tertawa.

Mereka pun masuk ke gudang tua yang sudah tak berpenghuni. Terlihat di dinding – dinding coretan – coretan dan di sudut – sudut ruangan ada sarang laba – laba yang bersarang. Tapi hidup itu kejam bung. Rupanya gudang itu adalah tempat tinggal preman yang memukuli Toto tempo hari. Keluar dari kandang macan masuk kandang buaya.

“Heii, berani – beraninya kalian kemariii.” Kata preman itu. “Kaboooorrrrr. .!!” Teriak toto pada teman – temannya. “Hoiiii jangan lari kaliannnn.” Kata penjahat itu.

Mereka berlari secepat – cepatnya, melintasi bahu jalan, melintasi jalan becek, pepohonan, yang penting jangan sampe ketangkep. “Lewat sini – lewat sini. !” kata Ina. “Ayo, masuk ke rumah ini aja, mereka pasti gak berani.” Ucap Toto. “Ah kamu gila To, itu kan rumah orang kaya.” Kata Udin. “Ini kan kepepet, ayoo. . .!” kata Toto. “Oke ayo cepet.” Kata Ina kepada yang lain. “Wah sialan mereka masuk rumah itu lagiiii.” Kata Penjahat itu dengan kesalnya. Penjahat itu pun lantas pergi dan tak mengejar lagi anak – anak itu.

“Heiiii kalian siapa masuk rumah saya ?” Tanya si pemilik rumah. “Ma. . ..maaf pa kami. . . kami lagi dikejar – kejar penjah trus kepaksa kab kesini.” Jawab Toto. “Ia pa, kalau begitu kami mohon pamit dulu pa.” Ucap Hasan.

“Ehhh mau ke mana kalian ? Kalau di luar penjahatnya masih ada gimana, Kalau begitu kalian disini dulu aja untuk sementara.” Ajak sang pemilik rumah. Mereka saling memandang satu sama lain. Mereka merasa sungkan tapi di sisi lain ada benarnya juga apa yang dikatakan si pemilik rumah.

“Gimana, kok kalian malah bengong ?” tanya si pemilik rumah. “I. .i. .ia pa kami mau pa disini sementara.” Jawab Maman diikuti teman – teman lainnya. “Oke, kalau begitu mari masuk !” ajak si pemilik rumah.

“Wah rumahnya gede sekali.” Kata Udin “Hushhh jangan malu – maluin ah.” Kata Toto. “Kalo yang itu poto siapa pa ?” tanya Toto sambil menunjuk sebuah poto yang ada di dinding. “Oh itu, om, tante sama anak om dan tante waktu masih bai. Sekarang mungkin sudah seusia kamu.” Jawab si pemilik rumah. “Terus sekarang dia mana om ?” tanya Toto.

Pemilik rumah itu hanya menunduk dan terdiam mendengar pertanyaan itu. Sepertinya ada sesuatu yang ia simpan dalam benakanya. Tapi kemudian ia menceritakan perihal yang terjadi pada anaknya itu. “Ehhh. . ..Waktu anak saya masih umur 1 taun, kami membawanya jalan – jalan di taman. Tapi karena kami keasikan ngobrol, kemudian. … kemudian kami nggak tau dimana Rian anak kami.” Kata si Pemilik rumah sambil mengusap air matanya. “Maaf pak, kalo itu bikin bapak sedih.” Ujar Toto. “Oh ia ga apa – apa .” kata si pemilik rumah.

Mereka pun tinggal sementara di rumah yang megah, ada kolam renangnya pula. Di sisi lain Pak Budi dan Bu Rina pun senang kini rumah mereka yang sepi selama bertahun – tahun jadi ramai kembali. Tapi ada satu anak yang mengingatkan mereka pada anaknya yang hilang beberapa tahun silam. Toto, anak itu entah kenapa mengingatkan Pak Budi dan Bu Rina pada anaknya yang hilang.

Walaupun telah disarankan untuk berhenti mengamen oleh Pak Budi dan Bu Rina, namun anak – anak itu tetap mengamen sehabis pulang sekolah. Mereka merasa tak enak jika merepotkan Pak Budi dan Bu Rina, mereka merasa harus tetap bisa mencari uang sendiri.

Tapi apa yang terjadi, sore itu Ina, dan kedelapan teman lainnya berlari – lari ke rumah Pa Budi. Mereka nampak cemas mengkhawatirkan sesuatu. “Loh, ada apa kalian kok lari – lari ?” tanya Pa Budi. “Ehh. . . .eh. . . .Toto pa. . . .Toto.. . .” jawab Udin. “Ia Toto kenapa din ?” tanya Pa Budi cemas. “Toto diculik lagi sama Bang Rambo pa.” Jawab Ina. “Bang Rambo, Bang Rambo itu yang ngejar kalian kemarin ?” Pa Budi pun kaget. “Bukan Pak, kami sebelumnya tinggal dengan Bang Rambo, Bang rambo jahat, kami sering dibentak bahkan dipukuli. Uang hasil ngamen kami pun harus disetor ke Bang Rambo.” Jawab Ina. “Ya udah, kalo gitu kita kesana.” Kata pak Budi.

Mereka pun berangkat menuju rumah Bang Rambo. Sesampainya disana rupanya Bang rambo langsung berteriak pada Pa Budi dan anak – anak jalanan yang mendekat ke rumahnya. “Hai Budi dan kalian anak – anak jalanan jangan berani mendekat rumah ini lagi.” Ancam Bang Rambo.

Pa Budi pun sontak kaget, ternyata Bang rambo tau namanya. “Siapa kamu, tau dari mana kamu nama saya ?” tanya Pa Budi. “Hahahahha Budi. . ..Budi kamu lupa saya Budi. . . .Saya Rama, orang yang dulu kamu pecat.” Jawab Bang Rambo. “Ja. . .jadi kamu disini Ram, terus ngapain kamu nyekap anak itu ?” Tanya Pa Budi. “Hmmmm. . .. .hahahahhahah kalo kamu pingin anak ini saya bebaskan. Kamu harus nyediakan uang 500 juta rupiah, baru anak ini saya bebaskan.” Ujar Bang Rambo. “Apaa, 500 juta kamu gila, memangnya itu anak saya apa.” Kata pa Budi kaget.

Kemudian Pa Budi pun pulang ke rumahnya dan berpikir tentang apa yang dikatakan Bang Rambo. “Sebenarnya apa maksud si Rama itu kok minta tebusan ke saya ?” tanya Pa Budi dalam hatinya. “Pak, sudah kasih saja pa, kalo anak itu kenapa – kenapa gimana !” ujar Bu Rina.

Tiba – tiba suara telephone berdering, kringg. . . . .kring. . . . .“Halo. .. . “ ucap Pa Budi mengangkat telephone. “Halo Budi, gimana 500 jutanya bisa. . .? Jangan bilang engga bisa Budi, kalo gak bisa kamu tau apa yang terjadi dengan anakmu, kamu enggak akan bisa ketemu lagi sama dia.” Kata Bang rambo.“Apa kamu bilang, anakku ?” Pa Budi pun kaget. “Ehh. . . .maksud aku anak ini.” Jawab Bang Rambo.

Bang Rambo alias Rama pun langsung menutup telephone itu. Ia merasa keceplosan telah bilang sesuatu. Sementara Pak Budi memikirkan apa yang diucapkan Bang Rambo itu. “Jangan – jangan si Toto itu anakku yang hilang dulu.” Ucap Pak Budi dalam hati. Tapi pikirannya sendiri menyangkalnya.

Akhirnya Pak Budi membawa uang tebusan itu ke rumah Bang Rambo dan menukarnya dengan Toto si anak jalanan itu. “Hai Rama, keluar kamu. Aku sudah bawa uang tebusannya.” Teriak Pak Budi. “Hahhaha, oke baiklah Budi.” Bang Rambo pun keluar sambil membawa Toto yang mulutnya ditutup. “Lemparkan uang itu dan anak ini akan ku lepas.” Ucap Bang Rambo.

Pak Budi pun melemparkan koper yang berisi uang itu dan Toto pun dilepaskan. Akhirnya Pak Budi dan Toto kembali ke rumahnya. Tapi tunggu dulu, Bang Rambo jangan harap bisa menikmati uang itu. Karena baru sesaat Bang rambo menerima uang langsung polisi yang sudah menyerbu rumah itu menangkapnya.

“Jangan bergerak, anda ditangkap atas kasus mengeiksploitasi anak – anak dan kasus penculikan.” Kata Polisi. “Apa – apaan ini, kurang ajar kamu Budi.” Kata Bang Rambo yang tidak bisa berbuat apa – apa lagi. “Kalau kau ingin bebas, jawab Aku Rama, sebenarnya siapa si Toto ini ?” tanya Pak Budi. Namun Bang Rambo hanya diam menyikapi pertanyaan itu. “Jawab aku Ramaaaa. . .!!” teriak Pak Budi. “Di. . ..dia adalah anakmu yang hilang dulu. Dulu aku menculiknya karena dendam padamu.” Jawab Bang Rambo yang posisinya kian terjepit. “Kurang ajar kauuu. . ..!” Pak Budi pun lantas memukul Bang Rambo setelah mendengar pengakuannya itu. Pak Budi justru semakin benci pada mantan anak buahnya ini. Tak sedetik pun dalam benaknya untuk membebaskannya. Bahkan ia mengharapkan pelaku yang telah menculik anaknya itu dibekam di penjara seumur hidup.

Toto pun kaget ketika mendengar fakta yang sebenarnya. Semenjak saat itu Toto tinggal bersama Pak Budi dan Bu Rina di rumahnya yang megah. Ia tak menyangka kalau dia sebenarnya adalah anak orang yang sangat kaya. Percis seperti apa yang ia bayangkan kini ia bisa renang di kolam renang yang luas, main playstasion, dan tidur di kasur yang empuk.


Anak – anak jalanan lainya pun diangkat sebagai anak angkat. Mereka semua dibiayai sekolahnya dan tinggal bersama di rumah megah itu. Namun mereka masih seperti dulu, terkadang tetap mengamen namun tak meminta uang sepeserpun, hanya untuk menghibur para penumpang di bus kota.

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon