Hari
ini seperti biasanya. Aku berjalan menelusuri jalan-jalan yg berirama. Kadang
kurasa jalan ini tertutup kabut dan aku tak tau harus lewat jalan yang mana.
Hanya ayalku yang menuntun langkahku. Kadang ku merasa peluh menitik tapak demi
tapak jalan ini. Kadang ku ingin terbang setinggi-tingginya hingga ku tak mampu
lagi mengepakkan sayap. Tapi aku hanyalah gadis desa yang tak beralaskan kaki
menelusuri sawah setiap hari demi membantu ayah mencari keong.
Ayah
memang sudah tua, langkahnya tak lagi sekuat dulu, badannya tak lagi setegap
dulu. Bahkan beberapa hari ini ia hanya bisa terbaring lantaran penyakit yang
menyerangnya. Aku belum bisa membawanya ke dokter karena aku sama sekali tak
punya uang untuk biaya pengobatan ayah. Tapi aku akan berusaha untuk ayah yang
tiada lelah membesarkanku.
Di
pagi hari yang masih redup saat matahari belum menampakan wajahnya aku bergegas
bekerja sedini mungkin agar mendapatkan keong yang banyak. Biasanya aku hanya membantu
ayah mengumpulkan keong-keong tersebut, namun kali ini aku sendiri yang
mengerjakan pekerjaan ini. Pekerjaan yang bagi sebagian besar orang adalah
pekerjaan yang menjijikan. Karena harus berbecek-becek menelusuri lumpur dan
sawah.
Hari
pun berganti hari dan aku masih seperti hari itu mencari keong dari pagi hingga
sore dan menjualnya ke pemilik restoran. Rasanya lelah badanku tak berdaya
lagi. Ingin rasanya aku berhenti saja mengerjakan pekerjaan ini, pekerjaan yang
melelahkan namun Ko Hok Cai si pemilik rumah makan hanya membayar murah dari
setiap keong yang aku jual padanya.
Pernah
suatu hari aku meminta bayaran lebih padanya tapi ia tak mau membeli keong yang
aku jual dengan harga yang sedikit saja lebih manusiawi. Tapi aku tak berhenti
di situ, ku mencoba tuk memohon belas kasihannya tapi aku malah dicaci maki,
dihina, dengan penampilanku yang seperti ini aku malah dibilang tak jauh beda
dengan lumpur yang kotor. Aku hanya terpaku dan terdiam mendengar apa yang
diucapkannya padaku. Semakin ia menghinaku semakin aku merasa hina dan lemah.
Tapi jauh disisi batinku aku berharap suatu hari nanti kondisi kan berubah dan
berbalik.
Hari
berikutnya masih seperti biasa, sebelum matahari muncul ku sudah pergi ke sawah
tanpa alas kaki. Dan pagi itu ku lihat anak-anak SD yang riang gembira bernyanyi
sambil berjalan dan berlari menuju sekolah mereka. Rasanya aku sangat iri
sekali pada mereka yang bisa sekolah. Sedangkan aku untuk makan saja sulit.
Namun entah kenapa rombongan anak sekolah itu tiba-tiba berhenti dan
mengarahkan pandangannya ke arahku. Entah kenapa pula mereka menunjuk ke arahku
sambil tertawa-tawa. Lantas mereka mendekatiku sambil tertawa-tawa.
"Hai lihat itu ada
manusia lumpur hahahahaha."
"Ia, dia malah maenan
lumpur bukannya sekolah kaya kita, hahahahah."
Aku
pun mencoba tuk terus sabar menghadapi hinaan-hinaan mereka. Namun rasanya
bendungan kesabaranku tak kuat membendung amarahku yang semakin kuat. Lantas
aku pun mengambil segenggam lumpur dan melemparkannya ke mereka. Lumpur
tersebut mengenai baju seragam sekolah salah satu dari mereka. Namun bukannya mereka
kapok, justru mereka berbalik marah padaku. Aku pun di dorong-dorong hingga
terjatuh ke lumpur, dan mereka pun pergi sambil mencaci-maki.
Aku
hanya terdiam merenungi kejadian ini. Ingin rasanya ku berhenti saja menggeluti
pekerjaan ini. Hari itu aku jadi tak semangat lagi mengerjakan pekerjaan ini.
Aku hanya duduk sendiri hingga petang menjelang dan memandangi matahari
tenggelam.
Sesampainya
di rumah ku pandangi rumah kami yang sempit dan terbuat dari bilik-bilik kayu.
Ku pandangi ayah yang masih berbaring tak berdaya. Aku pun meneteskan air mata,
aku pun kecewa, kecewa pada diriku sendiri. Karena hari itu aku tak mendapatkan
uang sepeserpun lantaran semangatku menghilang
karena perlakuan anak-anak SD itu. Harusnya aku tak seperti ini, harusnya aku tak
peduli apa yang dikatakan orang. Harusnya aku peduli dan hanya peduli pada ayah
yang kini terbaring."Ayah maafkan
Alya yah, maaf." Aku pun mendekapnya sambil meminta maaf kala itu.
Ibu
yang bekerja di Qatar sebagai TKW pun tak pernah kembali sejak 2 tahun yang
lalu, jangankan kiriman uang, bahkan kabar pun tak ada. Hanya sepucuk surat
yang ia kirim lebih dari setahun yang lalu. Surat itu selalu ku simpan dan
sesekali ku baca ketika rindu padanya."Nak,
jaga dirimu baik-baik. Yakinlah pada impianmu, janganlah merasa rendah."
Itu kutipan di surat itu yang ku ingat.
Hari
berikutnya ku coba tuk mengembalikan semangatku. Ku lihat ayah yang masih
terbaring lemah. Ku yakinkah diriku tuk melangkah tuk mulai bekerja lagi tuk
bertahan hidup, tuk membeli makan, tuk membeli obat jika aku punya uang nanti.
Aku
pun berangkat setelah berpamitan pada ayah yang masih terbaring. Aku semangat
menyongsong pagi, aku tak peduli jika hari ini aku mendapat ejekan lagi dari
anak-anak SD yang berangkat sekolah. Tapi rupanya hari itu lebih sial dari pada
hari kemarin. Ketika aku mencari keong mengusik dedaunan padi rupanya ku
rasakan ada sesuatu yang bergerak di antara kakiku. Aku tak tau apa itu. Namun
tak lama berselang ku rasakan sengatan yang menyakitkan di kakiku. Aku pun berusaha
menahan rasa sakit yang tiada terkira hingga akhirnya aku tak sadarkan lagi dan
tak ingat lagi.
Aku
baru sadar ketika berada di puskesmas. Aku berbaring dan aku melihat Pak Sobari
tetanggaku yang juga bekerja sebagai petani di sawah itu.
"Kamu nggak apa-apa nak
?" tanya pak Sobari
"Me. . .memangnya saya
kenapa pak ?"
"Tadi kamu digigit ular,
untung saja bisanya tidak terlalu bahaya?"
"Oh begitu pak."
jawabku yang tak ingat kejadian itu.
Sawah
itu memang kerap kali selalu ada ular. Tapi aku masih beruntung, pasalnya
beberapa bulan yang lalu ada petani yang tewas gara-gara digigit ular di sawah
tersebut. Beruntung ular yang menggigitku tak terlalu berbahaya.
Hari
itu terpaksa aku tak bisa bekerja lagi. Dan terpaksa aku dan ayah harus
menerima belas kasihan dari Pak Sobari. Ia memberikan kami makanan untuk makan
hari itu. Aku tak mengerti mengapa akhir - akhir ini selalu saja ada halangan
bagiku tuk bekerja mencari uang. Kemarin aku dihina oleh anak - anak SD, hari
ini lebih parah, aku malah digigit ular. Entah apa yang terjadi esok. Apakah
ini hanya ujian? Aku tak tau, yang ku tau aku harus tetap bekerja demi ayah,
demi ayah yang saat ini berbaring lemah tak berdaya. Aku harus tetap bekerja
dan tak peduli apapun resikonya.
Suatu
ketika, ketika ku hendak menjual keong yang ku dapatkan ke rumah makan Ko Hok
Cai seorang pria kantoran yang memakai kemeja putih rapih terpeleset di lantai
rumah makan itu. Pria itu pun marah - marah lantaran bajunya kotor akibat
terpeleset. Rupanya itu karena aku dan aku yang salah. Aku rupanya telah
mengotori lantai dengan lumpur yang menempel di kakiku dan itu membuat pria itu
terpeleset. "Kurang ajar, ini gimana
rumah makan kaya gini lantainya bisa berlumpur." kata pria itu sambil
membentak Ko Hok Cai. Ko Hok Cai pun hanya menunduk tak mampu berkata - kata.
Lalu pria itu pun pergi dan bersumpah tidak akan makan di rumah makan itu lagi.
Tak
lama kemudian Ko Hok Cai menghampiriku dengan wajah yang garang. Kali ini ia
amat marah padaku. Dengan logat mandarinnya ia marah - marah padaku. Bahkan tak
hanya itu, ia mendorongku, mengusirku dan memperingatkanku agar tak kembali
lagi ke rumah makan itu lagi. Aku pun pulang dengan wajah tertunduk lesu.
Selama ini aku selalu menjual keong yang ku dapatkan padanya. Tapi semenjak itu
aku tak bisa lagi menjual keong itu lagi padanya. Kali ini celakalah aku.
Aku
pun pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Lagi - lagi kami harus menerima belas
kasihan dari Pak Sobari untuk makan hari itu. Ku lihat ayah meneteskan air
mata. Mungkin ia kecewa, atau mungkin ia kasihan padaku.
Semenjak
saat itu aku tak pernah lagi datang ke rumah makan itu lagi. Aku tau betul jika
Ko Hok Cai marah besar ia benar - benar serius akan perkataannya. Tapi aku
tetap seperti hari - hari sebelumnya mencari keong di sawah dan mencoba
menjualya sendiri.
Sehari
pun berlalu tak ada yang mau membeli keongku. Rasanya aku sudah bersusah payah
mencari dan menjual keong ini. Hingga suaraku serak ku keliling kampung dan
menawarkan keong ini namun tetap saja tak ada yang mau beli. Kami pun harus
menahan lapar hari itu lantaran tak mendapatkan uang sepeserpun.
Hari
ini tak seperti sebelumnya, Pak sobari tak datang lagi ke rumah kami untuk
mengantarkan makanan. Mungkin ia telah bosan terus menerus mengasihani kami.
Tak lama kemudian datanglah mbo Wati yang biasa berjualan jamu. Rumahnya pun
tak terlalu jauh dari rumah kami. Ia mengatakan padaku tentang suatu hal.
"Nak Alya, tadi pagi
Pak Sobari nitip pesan sama si mbo. Dia bilang kalo dia akan pindah ke kota
tinggal sama anaknya. Katanya nak Alya jaga diri baik - baik, jaga juga
bapaknya nak Alya."
Mendengar
hal tersebut aku semakin merasa sendiri. Aku pun berlari keluar dan menatap
bintang - bintang di langit. Aku rindu ibu. . ..aku rindu ibu.
Hari
- hari berikutnya aku bekerja seperti biasa, mencari keong dan menjualnya
sendiri. Dengan usaha yang keras, pelan - pelan namun tak pasti mulai ada
beberapa yang mau membeli keong yang ku jual. Walaupun tak banyak setidaknya
kami bisa makan saja sudah cukup kala itu. Begitu dan begitu seterusnya hingga
beberapa tahun pun tak terasa berlalu.
15 Tahun Kemudian
Hari
ini, aku duduk di ruangan kerjaku sebagai Presiden Direktur sebuah perusahaan
yang bergerak di bidang restoran khusus makanan yang berasal dari keong.
Restoran ini terletak di pesisir pantai. Setiap harinya ratusan orang makan di
restoran ini. Kebanyakan mereka adalah para petinggi perusahaan dan juga
pengusaha. Tak jarang turis asing pun kerap kali makan di restoran ini.
Kadang
ku lihat ke dapur tuk sekedar memantau dan mengawasi karyawanku bekerja. Salah
satunya adalah koki yang sudah cukup berumur. Dia adalah seorang keturunan
Tionghoa. Ia adalah Ko Hok Cai. Pemilik restoran yang dulu mengusirku lantaran
aku mengotori lantainya dan aku sering meminta bayaran lebih kala itu.
Semuanya
berubah seiring dengan kerja kerasku selama ini. Semuanya berawal ketika Rumah
makan Ko Hok Cai bangkrut. Ketika itu rumah makannya telah tutup dan disegel.
Ko Hok Cai pun telah pergi dari tempat itu lantaran diusir. Rupanya ia terlibat
utang dan tak mampu membayarnya. Kemudian restoran itu pun beserta lahannya
dibeli oleh seorang pengusaha yang kaya. Namanya Pak Ferdi, ia adalah pengusaha
yang kaya raya. Kemudian ia membangun bisnisnya disitu. Sebuah rumah makan khas
eropa yang dibangun dengan konsep pesisir pantai yang indah. Di lokasi itu pun
direnovasi sedemikian rupa, dirombak total hingga bangunan rumah makan itu jauh
lebih indah dan berkelas dibandingkan sebelumnya.
Suatu
ketika, aku seperti biasa menjual keong – keong yang ku cari ke orang – orang
di jalan. “Keong. . . . keongg. . .!!”
kataku sambil berjalan.
Tiba
– tiba saja sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Di arah berlawanan ada
mobil mewah Toyota Alphard berwarna hitam mengkilap. Kemudian Jgerrrrrrr
tabrakan itu tak terhindarkan lagi. Aku menutup mataku tak ingin melihat
kejadian itu, Darah bercucuran dari korban yang ada di dalam kedua mobil itu. Lokasi
jalan begitu sepi, aku pun berteriak, “Tolongg.
. . . .tolong. . . .tolong.”
Ada
beberapa warga yang menghampiri tuk menolong para korban. Aku yang takut akan
kejadian itu pun memaksa diriku untuk ikut menolong korban di dalam mobil itu.
Aku menggotong salah seorang di dalam mobil Toyota Alphard itu sekuat tenaga,
lalu kucegat mobil yang ada di jalan dan syukurnya pengemudi mobil itu mau
membantu mengantarkan ke rumah sakit.
Sampai
di rumah sakit rupanya pria itu kehilangan banyak darah. Dan persediaan kantong
darah di rumah sakit itu telah habis. Setelah di cek ternyata darahku cocok
dengan korban itu. Aku yang takut jarum pun akhirnya mendonorkan darahku untuk
bapak itu.
Beberapa
hari kemudian Bapak itu sadar, kemudian ia memandangku seolah pernah melihatku.
“Ehh,,, kamu. . . .kamu .”
“Ia kenapa pa, kenapa saya
pa ?” tanyaku yang bingung.
“Kamu yang dulu jual keong
di rumah makan itu kan ?”
“Oh ia pak.”
Aku
pun berpikir sejenak dan mengingat kembali. Rupanya ia orang yang dulu
terpeleset di rumah makan Ko Hok cai akibat lumpur yang ada di lantai.
“Sa, , ,saya minta maaf pak
atas kejadian waktu itu. Gara – gara saya bapak jadi kepeleset.”
“Ia, saya juga minta maaf
udah marah waktu itu. O ia, kamu yang nolong saya kan, kamu yang bawa saya
kemari, dan kamu yang mendonorkan darah ?”
Aku
hanya menganggukkan kepala
“Trimakasih ya nak,
trimakasih.” Ucapnya
Beberapa
bulan kemudian aku berjualan dan hanya sekedar iseng ingin melihat kondisi
rumah makan Ko Hok Cai yang beberapa waktu yang lalu telah disegel. Rupanya aku
takjub tak terkira ketika melihat kondisinya sekarang. Sekarang semuanya telah
jauh berubah. Di sana telah berdiri sebuah restoran mewah yang berkelas. Aku
pun dengan segenap keraguanku mencoba mendekati restoran itu perlahan.
“Nak Alya. . . . .nak Alya.
. . .” Ada suara yang memanggilku dari dalam
restoran itu. Tapi mungkin itu hanya halusinasi, mana mungkin di restoran
semewah itu ada yang mengenalku.
“Nak Alya. . . .kemari. .
.!!” Rupanya itu nyata, seorang bapak – bapak
berjas hitam memanggilku dari dalam restoran itu. Owhhh rupanya itu bapak yang
aku tolong saat kecelakaan tempo hari. Aku tak menyangka akan bertemu lagi
disini.
Namanya
Pak Ferdi, rupanya sekarang ia yang memiliki rumah makan mewah ini. Dan yang
membuatku kaget adalah aku ditawari kerja di rumah makan mewah itu. Tentu aku
mau, apalagi ia menawarkanku gaji yang cukup tinggi. Dan aku akan membawa ayah
berobat ke rumah sakit jika mendapat gaji pertama.
Sebulan
berlalu dan inilah saatnya ku terima gaji pertama di rumah makan ini. Ayah
pasti senang sekali mendengarnya. Aku pun bergegas pulang dan menemui ayah.
“Ayah, lihat ini aku baru dapet uang buat pengobatan ayahh.” Kataku sambil
menghampiri Ayah.
Namun
aku hanya membisu terpaku dan terdiam ketika melihat ayah sudah terkulai tak
bernafas lagi. Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada diriku sendiri. Aku
benar – benar hancur kala itu, tak tau lagi harus berkata apa. Segala kesedihan
terurai dan mengalir tak terbendung lagi.
Dua
tahun berselang Pak Ferdi hendak pergi ke luar negeri dan tinggal disana. Ia
ingin mengurusi bisnisnya yang di Amerika katanya. Aku berat sekali, aku merasa
tak memiliki siapa – siapa lagi. Tapi alangkah kagetnya aku ketika Pak Ferdi
menghibahkan restorannya padaku. Ia berpesan jadikan restoran ini sebagai
restoran siput terbesar dan termewah di negara ini. Hingga saat ini aku masih
tak percaya semua ini terjadi padaku.
***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles
EmoticonEmoticon