Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Gadis Penjual Keong


Hari ini seperti biasanya. Aku berjalan menelusuri jalan-jalan yg berirama. Kadang kurasa jalan ini tertutup kabut dan aku tak tau harus lewat jalan yang mana. Hanya ayalku yang menuntun langkahku. Kadang ku merasa peluh menitik tapak demi tapak jalan ini. Kadang ku ingin terbang setinggi-tingginya hingga ku tak mampu lagi mengepakkan sayap. Tapi aku hanyalah gadis desa yang tak beralaskan kaki menelusuri sawah setiap hari demi membantu ayah mencari keong.

Ayah memang sudah tua, langkahnya tak lagi sekuat dulu, badannya tak lagi setegap dulu. Bahkan beberapa hari ini ia hanya bisa terbaring lantaran penyakit yang menyerangnya. Aku belum bisa membawanya ke dokter karena aku sama sekali tak punya uang untuk biaya pengobatan ayah. Tapi aku akan berusaha untuk ayah yang tiada lelah membesarkanku.

Di pagi hari yang masih redup saat matahari belum menampakan wajahnya aku bergegas bekerja sedini mungkin agar mendapatkan keong yang banyak. Biasanya aku hanya membantu ayah mengumpulkan keong-keong tersebut, namun kali ini aku sendiri yang mengerjakan pekerjaan ini. Pekerjaan yang bagi sebagian besar orang adalah pekerjaan yang menjijikan. Karena harus berbecek-becek menelusuri lumpur dan sawah.

Hari pun berganti hari dan aku masih seperti hari itu mencari keong dari pagi hingga sore dan menjualnya ke pemilik restoran. Rasanya lelah badanku tak berdaya lagi. Ingin rasanya aku berhenti saja mengerjakan pekerjaan ini, pekerjaan yang melelahkan namun Ko Hok Cai si pemilik rumah makan hanya membayar murah dari setiap keong yang aku jual padanya.

Pernah suatu hari aku meminta bayaran lebih padanya tapi ia tak mau membeli keong yang aku jual dengan harga yang sedikit saja lebih manusiawi. Tapi aku tak berhenti di situ, ku mencoba tuk memohon belas kasihannya tapi aku malah dicaci maki, dihina, dengan penampilanku yang seperti ini aku malah dibilang tak jauh beda dengan lumpur yang kotor. Aku hanya terpaku dan terdiam mendengar apa yang diucapkannya padaku. Semakin ia menghinaku semakin aku merasa hina dan lemah. Tapi jauh disisi batinku aku berharap suatu hari nanti kondisi kan berubah dan berbalik.

Hari berikutnya masih seperti biasa, sebelum matahari muncul ku sudah pergi ke sawah tanpa alas kaki. Dan pagi itu ku lihat anak-anak SD yang riang gembira bernyanyi sambil berjalan dan berlari menuju sekolah mereka. Rasanya aku sangat iri sekali pada mereka yang bisa sekolah. Sedangkan aku untuk makan saja sulit. Namun entah kenapa rombongan anak sekolah itu tiba-tiba berhenti dan mengarahkan pandangannya ke arahku. Entah kenapa pula mereka menunjuk ke arahku sambil tertawa-tawa. Lantas mereka mendekatiku sambil tertawa-tawa.

"Hai lihat itu ada manusia lumpur hahahahaha."

"Ia, dia malah maenan lumpur bukannya sekolah kaya kita, hahahahah."

Aku pun mencoba tuk terus sabar menghadapi hinaan-hinaan mereka. Namun rasanya bendungan kesabaranku tak kuat membendung amarahku yang semakin kuat. Lantas aku pun mengambil segenggam lumpur dan melemparkannya ke mereka. Lumpur tersebut mengenai baju seragam sekolah salah satu dari mereka. Namun bukannya mereka kapok, justru mereka berbalik marah padaku. Aku pun di dorong-dorong hingga terjatuh ke lumpur, dan mereka pun pergi sambil mencaci-maki.

Aku hanya terdiam merenungi kejadian ini. Ingin rasanya ku berhenti saja menggeluti pekerjaan ini. Hari itu aku jadi tak semangat lagi mengerjakan pekerjaan ini. Aku hanya duduk sendiri hingga petang menjelang dan memandangi matahari tenggelam.

Sesampainya di rumah ku pandangi rumah kami yang sempit dan terbuat dari bilik-bilik kayu. Ku pandangi ayah yang masih berbaring tak berdaya. Aku pun meneteskan air mata, aku pun kecewa, kecewa pada diriku sendiri. Karena hari itu aku tak mendapatkan uang sepeserpun  lantaran semangatku menghilang karena perlakuan anak-anak SD itu. Harusnya aku tak seperti ini, harusnya aku tak peduli apa yang dikatakan orang. Harusnya aku peduli dan hanya peduli pada ayah yang kini terbaring."Ayah maafkan Alya yah, maaf." Aku pun mendekapnya sambil meminta maaf kala itu.

Ibu yang bekerja di Qatar sebagai TKW pun tak pernah kembali sejak 2 tahun yang lalu, jangankan kiriman uang, bahkan kabar pun tak ada. Hanya sepucuk surat yang ia kirim lebih dari setahun yang lalu. Surat itu selalu ku simpan dan sesekali ku baca ketika rindu padanya."Nak, jaga dirimu baik-baik. Yakinlah pada impianmu, janganlah merasa rendah." Itu kutipan di surat itu yang ku ingat.

Hari berikutnya ku coba tuk mengembalikan semangatku. Ku lihat ayah yang masih terbaring lemah. Ku yakinkah diriku tuk melangkah tuk mulai bekerja lagi tuk bertahan hidup, tuk membeli makan, tuk membeli obat jika aku punya uang nanti.

Aku pun berangkat setelah berpamitan pada ayah yang masih terbaring. Aku semangat menyongsong pagi, aku tak peduli jika hari ini aku mendapat ejekan lagi dari anak-anak SD yang berangkat sekolah. Tapi rupanya hari itu lebih sial dari pada hari kemarin. Ketika aku mencari keong mengusik dedaunan padi rupanya ku rasakan ada sesuatu yang bergerak di antara kakiku. Aku tak tau apa itu. Namun tak lama berselang ku rasakan sengatan yang menyakitkan di kakiku. Aku pun berusaha menahan rasa sakit yang tiada terkira hingga akhirnya aku tak sadarkan lagi dan tak ingat lagi.

Aku baru sadar ketika berada di puskesmas. Aku berbaring dan aku melihat Pak Sobari tetanggaku yang juga bekerja sebagai petani di sawah itu.

"Kamu nggak apa-apa nak ?" tanya pak Sobari

"Me. . .memangnya saya kenapa pak ?"

"Tadi kamu digigit ular, untung saja bisanya tidak terlalu bahaya?"

"Oh begitu pak." jawabku yang tak ingat kejadian itu.

Sawah itu memang kerap kali selalu ada ular. Tapi aku masih beruntung, pasalnya beberapa bulan yang lalu ada petani yang tewas gara-gara digigit ular di sawah tersebut. Beruntung ular yang menggigitku tak terlalu berbahaya.

Hari itu terpaksa aku tak bisa bekerja lagi. Dan terpaksa aku dan ayah harus menerima belas kasihan dari Pak Sobari. Ia memberikan kami makanan untuk makan hari itu. Aku tak mengerti mengapa akhir - akhir ini selalu saja ada halangan bagiku tuk bekerja mencari uang. Kemarin aku dihina oleh anak - anak SD, hari ini lebih parah, aku malah digigit ular. Entah apa yang terjadi esok. Apakah ini hanya ujian? Aku tak tau, yang ku tau aku harus tetap bekerja demi ayah, demi ayah yang saat ini berbaring lemah tak berdaya. Aku harus tetap bekerja dan tak peduli apapun resikonya.

Suatu ketika, ketika ku hendak menjual keong yang ku dapatkan ke rumah makan Ko Hok Cai seorang pria kantoran yang memakai kemeja putih rapih terpeleset di lantai rumah makan itu. Pria itu pun marah - marah lantaran bajunya kotor akibat terpeleset. Rupanya itu karena aku dan aku yang salah. Aku rupanya telah mengotori lantai dengan lumpur yang menempel di kakiku dan itu membuat pria itu terpeleset. "Kurang ajar, ini gimana rumah makan kaya gini lantainya bisa berlumpur." kata pria itu sambil membentak Ko Hok Cai. Ko Hok Cai pun hanya menunduk tak mampu berkata - kata. Lalu pria itu pun pergi dan bersumpah tidak akan makan di rumah makan itu lagi.

Tak lama kemudian Ko Hok Cai menghampiriku dengan wajah yang garang. Kali ini ia amat marah padaku. Dengan logat mandarinnya ia marah - marah padaku. Bahkan tak hanya itu, ia mendorongku, mengusirku dan memperingatkanku agar tak kembali lagi ke rumah makan itu lagi. Aku pun pulang dengan wajah tertunduk lesu. Selama ini aku selalu menjual keong yang ku dapatkan padanya. Tapi semenjak itu aku tak bisa lagi menjual keong itu lagi padanya. Kali ini celakalah aku.

Aku pun pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Lagi - lagi kami harus menerima belas kasihan dari Pak Sobari untuk makan hari itu. Ku lihat ayah meneteskan air mata. Mungkin ia kecewa, atau mungkin ia kasihan padaku.

Semenjak saat itu aku tak pernah lagi datang ke rumah makan itu lagi. Aku tau betul jika Ko Hok Cai marah besar ia benar - benar serius akan perkataannya. Tapi aku tetap seperti hari - hari sebelumnya mencari keong di sawah dan mencoba menjualya sendiri.

Sehari pun berlalu tak ada yang mau membeli keongku. Rasanya aku sudah bersusah payah mencari dan menjual keong ini. Hingga suaraku serak ku keliling kampung dan menawarkan keong ini namun tetap saja tak ada yang mau beli. Kami pun harus menahan lapar hari itu lantaran tak mendapatkan uang sepeserpun.

Hari ini tak seperti sebelumnya, Pak sobari tak datang lagi ke rumah kami untuk mengantarkan makanan. Mungkin ia telah bosan terus menerus mengasihani kami. Tak lama kemudian datanglah mbo Wati yang biasa berjualan jamu. Rumahnya pun tak terlalu jauh dari rumah kami. Ia mengatakan padaku tentang suatu hal.

"Nak Alya, tadi pagi Pak Sobari nitip pesan sama si mbo. Dia bilang kalo dia akan pindah ke kota tinggal sama anaknya. Katanya nak Alya jaga diri baik - baik, jaga juga bapaknya nak Alya."

Mendengar hal tersebut aku semakin merasa sendiri. Aku pun berlari keluar dan menatap bintang - bintang di langit. Aku rindu ibu. . ..aku rindu ibu.

Hari - hari berikutnya aku bekerja seperti biasa, mencari keong dan menjualnya sendiri. Dengan usaha yang keras, pelan - pelan namun tak pasti mulai ada beberapa yang mau membeli keong yang ku jual. Walaupun tak banyak setidaknya kami bisa makan saja sudah cukup kala itu. Begitu dan begitu seterusnya hingga beberapa tahun pun tak terasa berlalu.

15 Tahun Kemudian

Hari ini, aku duduk di ruangan kerjaku sebagai Presiden Direktur sebuah perusahaan yang bergerak di bidang restoran khusus makanan yang berasal dari keong. Restoran ini terletak di pesisir pantai. Setiap harinya ratusan orang makan di restoran ini. Kebanyakan mereka adalah para petinggi perusahaan dan juga pengusaha. Tak jarang turis asing pun kerap kali makan di restoran ini.

Kadang ku lihat ke dapur tuk sekedar memantau dan mengawasi karyawanku bekerja. Salah satunya adalah koki yang sudah cukup berumur. Dia adalah seorang keturunan Tionghoa. Ia adalah Ko Hok Cai. Pemilik restoran yang dulu mengusirku lantaran aku mengotori lantainya dan aku sering meminta bayaran lebih kala itu.

Semuanya berubah seiring dengan kerja kerasku selama ini. Semuanya berawal ketika Rumah makan Ko Hok Cai bangkrut. Ketika itu rumah makannya telah tutup dan disegel. Ko Hok Cai pun telah pergi dari tempat itu lantaran diusir. Rupanya ia terlibat utang dan tak mampu membayarnya. Kemudian restoran itu pun beserta lahannya dibeli oleh seorang pengusaha yang kaya. Namanya Pak Ferdi, ia adalah pengusaha yang kaya raya. Kemudian ia membangun bisnisnya disitu. Sebuah rumah makan khas eropa yang dibangun dengan konsep pesisir pantai yang indah. Di lokasi itu pun direnovasi sedemikian rupa, dirombak total hingga bangunan rumah makan itu jauh lebih indah dan berkelas dibandingkan sebelumnya.

Suatu ketika, aku seperti biasa menjual keong – keong yang ku cari ke orang – orang di jalan. “Keong. . . . keongg. . .!!” kataku sambil berjalan.

Tiba – tiba saja sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Di arah berlawanan ada mobil mewah Toyota Alphard berwarna hitam mengkilap. Kemudian Jgerrrrrrr tabrakan itu tak terhindarkan lagi. Aku menutup mataku tak ingin melihat kejadian itu, Darah bercucuran dari korban yang ada di dalam kedua mobil itu. Lokasi jalan begitu sepi, aku pun berteriak, “Tolongg. . . . .tolong. . . .tolong.”

Ada beberapa warga yang menghampiri tuk menolong para korban. Aku yang takut akan kejadian itu pun memaksa diriku untuk ikut menolong korban di dalam mobil itu. Aku menggotong salah seorang di dalam mobil Toyota Alphard itu sekuat tenaga, lalu kucegat mobil yang ada di jalan dan syukurnya pengemudi mobil itu mau membantu mengantarkan ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit rupanya pria itu kehilangan banyak darah. Dan persediaan kantong darah di rumah sakit itu telah habis. Setelah di cek ternyata darahku cocok dengan korban itu. Aku yang takut jarum pun akhirnya mendonorkan darahku untuk bapak itu.

Beberapa hari kemudian Bapak itu sadar, kemudian ia memandangku seolah pernah melihatku.

“Ehh,,, kamu. . . .kamu .”

“Ia kenapa pa, kenapa saya pa ?” tanyaku yang bingung.

“Kamu yang dulu jual keong di rumah makan itu kan ?”

“Oh ia pak.”

Aku pun berpikir sejenak dan mengingat kembali. Rupanya ia orang yang dulu terpeleset di rumah makan Ko Hok cai akibat lumpur yang ada di lantai.

“Sa, , ,saya minta maaf pak atas kejadian waktu itu. Gara – gara saya bapak jadi kepeleset.”

“Ia, saya juga minta maaf udah marah waktu itu. O ia, kamu yang nolong saya kan, kamu yang bawa saya kemari, dan kamu yang mendonorkan darah ?”

Aku hanya menganggukkan kepala

“Trimakasih ya nak, trimakasih.” Ucapnya

Beberapa bulan kemudian aku berjualan dan hanya sekedar iseng ingin melihat kondisi rumah makan Ko Hok Cai yang beberapa waktu yang lalu telah disegel. Rupanya aku takjub tak terkira ketika melihat kondisinya sekarang. Sekarang semuanya telah jauh berubah. Di sana telah berdiri sebuah restoran mewah yang berkelas. Aku pun dengan segenap keraguanku mencoba mendekati restoran itu perlahan.

“Nak Alya. . . . .nak Alya. . . .” Ada suara yang memanggilku dari dalam restoran itu. Tapi mungkin itu hanya halusinasi, mana mungkin di restoran semewah itu ada yang mengenalku.

“Nak Alya. . . .kemari. . .!!” Rupanya itu nyata, seorang bapak – bapak berjas hitam memanggilku dari dalam restoran itu. Owhhh rupanya itu bapak yang aku tolong saat kecelakaan tempo hari. Aku tak menyangka akan bertemu lagi disini.

Namanya Pak Ferdi, rupanya sekarang ia yang memiliki rumah makan mewah ini. Dan yang membuatku kaget adalah aku ditawari kerja di rumah makan mewah itu. Tentu aku mau, apalagi ia menawarkanku gaji yang cukup tinggi. Dan aku akan membawa ayah berobat ke rumah sakit jika mendapat gaji pertama.

Sebulan berlalu dan inilah saatnya ku terima gaji pertama di rumah makan ini. Ayah pasti senang sekali mendengarnya. Aku pun bergegas pulang dan menemui ayah. “Ayah, lihat ini aku baru dapet uang buat pengobatan ayahh.” Kataku sambil menghampiri Ayah.

Namun aku hanya membisu terpaku dan terdiam ketika melihat ayah sudah terkulai tak bernafas lagi. Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaan pada diriku sendiri. Aku benar – benar hancur kala itu, tak tau lagi harus berkata apa. Segala kesedihan terurai dan mengalir tak terbendung lagi.


Dua tahun berselang Pak Ferdi hendak pergi ke luar negeri dan tinggal disana. Ia ingin mengurusi bisnisnya yang di Amerika katanya. Aku berat sekali, aku merasa tak memiliki siapa – siapa lagi. Tapi alangkah kagetnya aku ketika Pak Ferdi menghibahkan restorannya padaku. Ia berpesan jadikan restoran ini sebagai restoran siput terbesar dan termewah di negara ini. Hingga saat ini aku masih tak percaya semua ini terjadi padaku. 

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon