Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Penyesalan


Jarum  telah saling bertemu di angka dua belas, sedangkan yang satu lagi berkeliling menimbulkan suara detak di tengah keheningan malam. Aku sedari tadi telah menutup kelopak mataku laksana deretan roling door yang menutup di tepi jalan di tengah malam. Telah kurebahkan pula tubuhku di atas spring bed yang sangat lembut laksana awan. Namun tak jua kuberanjak dari alam sadarku.

Itulah yang selalu kurasakan di setiap malam – malamku beberapa waktu belakangan ini. Tinggal di rumah yang megah, tidur di kasur yang empuk diiringi hembusan angin AC yang menyejukkan tak membuatku bisa tidur dengan tenang di setiap malam – malamku.

Rasanya ingin kukembali seperti dulu, walau harus tidur beralaskan tikar yang tipis, walau udara dingin menembus bilik – bilik dinding rumahku. Walau sorot lampu yang redup tak cukup menerangi ruang – ruang yang sempit, walau harus berselimut sarung tipis, tapi aku mampu tidur dengan nyenyak dan terbangun di kala suara adzan subuh berkumandang.
***

Namaku Fajar. Dulu, aku hanyalah seorang sopir angkot di desaku di Sukabumi. Di sebuah desa dengan jalan masih berbatu. Jarang sekali angkot yang berlalu lalang di desa ini. Padahal area desa ini cukup luas dan banyak para petani yang menempuh perjalanan jauh untuk menuju lahan garapannya. Ya, itu salah satu hal yang mendorong niatku tuk menjadi sopir angkot disamping dorongan tuk menafkahi keluarga. Aku sangat senang bisa membantu penumpang di desa ini yang membutuhkan transportasi, mengantarkan anak – anak yang sekolah, petani yang mengangkut hasil panen, dan warga desa dengan berbagai aktivitas lain. Yang pasti aku sering bercengkrama dengan warga desa ini ketika di perjalanan.

Aku sangat senang menggeluti profesi itu, walau penghasilanku tak seberapa. Ya, pasalnya aku memang tak punya armada angkutan umum. Aku hanya menjadi sopir yang tiap hari harus nyetor ke pemilik angkot. Tapi aku mensyukuri itu. Asalkan dapur rumahku tetap mengepul.

Pagi – pagi buta disaat matahari baru menampakkan sedikit cahayanya, dan ayam – ayam baru mengumandangkan suaranya, aku telah beranjak tuk bekerja. Kusalami istri dan anakku yang baru berusia 4 tahun. Mereka selalu setia menungguku hingga kukembali ke rumah di kala petang. Ribuan demi ribuan rupiah kukumpulkan tiap harinya. Tak pernah sekalipun istriku mengeluh dengan penghasilanku yang pas – pasan. Ia selalu menyambutku dengan senyum, menyeduhkan secangkir kopi untukku dan memijatiku ketika lelah menerpaku.

Suatu Ketika  aku ditawari kerja oleh salah satu sahabatku yang bekerja di Jakarta. Jafar namanya. Namaku dan namanya memang sepintas hampir mirip dan kami adalah sahabat karib sejak kecil. Sudah setahun ini Jafar bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan. Aku pun ditawari menjadi sopir pribadi bosnya di kantornya. Awalnya memang berat karena harus meninggalkan istri dan anakku yang masih kecil di desa. Tapi karena bayarannya cukup lumayan, akhirnya aku terima tawaran itu.

Besok pagi aku berangkat ke kota bersama Jafar Sahabatku yang sengaja menjemputku ke desa. Kusalami anak dan istriku dan kupeluk mereka. Terlihat wajah haru terpancar dari wajah mereka. Di satu sisi mereka berat dan aku pun berat tuk berpisah, tapi disisi lain mereka mendukung keinginanku tuk mencari penghasilan yang lebih baik di Jakarta. Ini semua kulakukan demi keluargaku.

Seminggu kemudian aku tiba di Ibu Kota. Ternyata seperti ini kota Jakarta, dengan gedung - gedung yang menjulang tinggi, mobil - mobil bisa melayang di udara di atas aspal jalan layang. Hampir kutak melihat pesawahan dan rerumputan seperti yang biasa kulihat di kampung.

Jafar membawaku ke rumah bosnya yang sedang mencari sopir. Rumahnya bagaikan istana yang megah, dengan tiang - tiang yang berdiri kokoh dan pekarangan yang indah. Dibawanya aku bertemu dengan orang kaya itu. Dari tampangnya kelihatan sekali kalau ia adalah seorang pemilik perusahaaan. Ditambah lagi dengan jas yang melekat di tubuhnya dan dasi yang mengikat lehernya. Aku agak segan pertama kali bertemu dengan orang yang berpenampilan elegan itu. Pak Burhan namanya. Ia adalah seorang presiden direktur di sebuah perusahaan di Jakarta. Tapi kabarnya ia tinggal hanya seorang diri. Ia sudah tak memiliki keluarga lagi setelah bercerai dari istrinya. Anaknya pun ikut tinggal bersama ibunya dan ayah barunya. Sementara kedua orang tua Pak Burhan telah meninggal. Aku merasa iba mendengar kondisinya. Tapi aku salut padanya, walaupun banyak masalah yang menerpanya justru ia mampu menjadi orang sesukses itu.
***

Aku mulai bekerja sebagai sopir pribadi Pak Burhan. Hari itu hari pertamaku bekerja dengan orang kaya itu. Aku yang biasanya hanya menyupir angkot butut kini ditugaskan tuk membawa Toyota Alphard warna hitam mengkilap. Aku agak canggung menyetir mobil ini. Dalam benakku terbayang - bayang bagaimana jika mobil ini baret, atau jika spion yang kabarnya seharga motor itu dicuri orang. Tapi Pak Burhan orang yang baik. Ia selalu memerintahkanku dengan begitu sopan, bukan seperti majikan dan bawahan, tapi seperti seorang teman. Bahkan kerapkali di tengah perjalanan kami berbincang, dan kadang pula ia menanyakan kabar keluargaku di kampung.

Semakin lama aku semakin terbiasa menyetir mobil mewah ini, aku semakin nyaman dan semakin nyaman hingga pernah suatu ketika muncul di benakku tuk membawa kabur mobil mewah ini, tapi pikiran busukku segera kusingkirkan jauh – jauh sampai menghilang di langit ke tujuh atau terhisap segitiga bermuda.

Setiap bulan, sebagian besar gajiku kutitipkan pada Jafar untuk disampaikan pada istri dan anakku. Sebagai office boy Jafar memang libur seminggu sekali dan setiap bulan bisa pulang ke kampung halaman. Sementara aku sebagai sopir pribadi harus selalu menemani majikanku ke manapun dia pergi.

Bulan demi bulan berlalu, aku pun semakin akrab dengan Pa Burhan. Nampak bukan lagi seperti majikan dan bawahan. Pak Burhan sering bersenda gurau denganku atau bercerita denganku sepanjang perjalanan. Dan gajiku pun dinaikkannya. Padahal aku baru bekerja beberapa bulan saja. Tapi ada yang mengganjal dalam pikiranku. Setelah gajiku dinaikkan nampak wajah Jafar terlihat dingin saat kutitipi uang gajiku untuk istri dan anakku. Mungkinkah ia iri padaku. Tapi aku rasa ia orang yang selalu mensyukuri apa yang ia dapat.

“Jar, sudah berapa lama kamu nggak pulang kampung?” tanya Pak Burhan

“Sudah hampir setaun pak.” Jawabku

“Yasudah, besok kita ke kampung halamanmu tuk menemui anak istrimu. Bolehkan saya ikut?”

Aku terdiam sejenak seolah tak percaya ucapan atasanku ketika kami berbincang di mobil. Aku tak menyangka ada bos yang sebaik dia.

“Jar. . . .Boleh kan?”

“Oh ia pak tentu saja boleh pak bolehhh. Trimakasih banyak paaa. . .trimakasih.”

Itulah perbincanganku dengan Pa Burhan. Hmmm, aku tak menyangka ia mengijinkanku tuk berjumpa anak dan istriku.
***

Hari itu kami berangkat ke kampung halamanku di Sukabumi. Dari Jakarta kupacu mobil Toyota Alphard milik bosku ini. Sementara di sampingku duduk Pa Burhan yang sepantasnya duduk di belakang. Ia memang bos yang luar biasa, mampu meluangkan waktu hanya untuk mengunjungi keluargaku di kampung.

Aku semakin tak sabar menemui istri dan anakku. Kuinjak pedal gas dalam – dalam di atas beton jalan bebas hambatan ini sembari menyetel musik dari Tape mobil. Sementara Pa Burhan terlihat terlelap. Nampaknya ia kelelahan setelah seminggu penuh menghadapi padatnya rutinitas kantor.

Tapi disaat mobil melaju bak kereta express diiringi musik yang bertempo cepat, tiba – tiba saja ban belakang mobil yang kami tumpangi pecah. Aku mencoba sebisa mungkin mengendalikan mobil yang sedang melaju kencang ini. Kuinjak pedal rem namun sulit di kecepatan tinggi tuk langsung berhenti. Aku panik setengah mati, keringat dingin bercucuran, sementara bosku masih terlelap di tidurnya. Aku semakin panik ketika melihat truk besar pengangkut pasir dihadapanku dari arah berlawanan. Kucoba tuk menginjak pedal rem lebih keras lalu kubanting stir ke kiri. Naasss kami menabrak pembatas jalan, dan aku tak ingat apa – apa lagi saat itu.
***

Pening rasanya kepalaku ini, kubuka perlahan mataku dan aku tak tau berada dimana ini. Sampai kusadari ternyata ini di rumah sakit. Tak ada anak istriku disana, tak juga Pak Burhan. Yang aku lihat hanyalah Mbo Siti pembantunya Pak Burhan dan Pak Mamat tukang kebun di rumah Pak Burhan.

“Pa Mamat saya ini kenapa, Pak Burhan mana ?” aku bertanya tak mengerti

“Pa Fajar ini baru aja kecelakaan di jalan tol, ini di rumah sakit.” Jawab Pak Mamat

“Lalu dimana Pak Burhan, apa dia baik – baik saja ?” tanyaku cemas.

Pak Mamat dan Mbo Siti hanya terdiam dan menunduk lalu saling menatap dengan wajah yang sayu. Sedangkan mulut mereka bungkam tak mampu berkata – kata.

“Dimana Pak Burhan, apa dia baik – baik saja?” tanyaku yang semakin cemas.

Setelah terdiam cukup lama akhirnya Mbo Siti dengan berat hati mengatakan yang sebenarnya.

“Pa Burhan. . . . . ..Pa Burhan udah nda’ ada Pa.”

“Astagfirullah. . . . .!!”

Aku pun tak kuasa membendung air mataku. Antara tangis dan penyesalan berbaur menjadi satu. Aku tak percaya, bos yang sebaik itu harus tiada gara – gara aku yang menyetir gak hati – hati. Aku pun merasa menyesal sekali. Namun Pa Mamat dan Mbo Siti berupaya menenangkanku dan mengatakan bahwa ini sudah suratan takdir.
***

Dua bulan kejadian itu berlalu. Aku masih dirundung kesedihan yang mendalam. Aku masih berjalan menggunakan tongkat usai kecelakaan itu. Hari itu di rumah Pak Burhan diumumkan wasiat yang sempat disampaikan Pak Burhan sebelum beliau meninggal. Beliau tak punya siapa – siapa lagi. Dan pengumuman itu membuatku terkejut, hampir copot jantungku rasanya mendengar pengumuman wasiat itu.

Dikatakan oleh kuasa hukumnya bahwa akulah yang mendapatkan warisan terbesar atas harta kekayaannya. Dahulu aku bercita – cita ingin kaya raya, tapi tak seperti ini. Ini semakin membuat rasa bersalahku semakin besar pada Pak Burhan. Tapi Mbo Siti dan Pa Mamat menyarankanku agar menerima permintaan Pa Burhan untuk mengurus hartanya.
***

Enam bulan berlalu setelah kakiku benar – benar sembuh aku memutuskan tuk kembali ke kampung memberitahukan anak istriku tentang hal ini. Tak terlalu berbeda dengan tahun - tahun sebelumnya, desa ini selalu sejuk. Aku pun berjalan melewati pangkalan angkot tempat kubekerja dulu. Ada Hamid, Dadang, dan kawan kawanku sesama sopir angkot dahulu. Tapi kulihat ada sesuatu yang berbeda dari mereka. Lama tak bertemu, ternyata tak membuat lengkung bibir mereka tersenyum kepadaku sedikitpun. Bahkan mereka memasang muka masam padaku. Aku pun mencoba menyapa mereka

"Hai teman - teman, apa kabar kalian ?" kataku sambil tersenyum pada mereka.

Mereka terdiam tak bergeming, tatapan mereka semakin tajam bak pisau belati. Aku semakin tak mengerti dengan semua ini. Lantas kutanyakan pada mereka,

"Haiii, kalian semua kenapa? Jangan diam saja, aku bawa oleh - oleh untuk kalian." Kataku memancing respon mereka.

Salah satu dari mereka mulai merespon. Namun sayang, bukan respon yang kuinginkan.

"Buat apa kau balik lagi kemari ?" Tanya Dadang, teman sepropesiku dulu.

Ia berdiri dan murka kepadaku. Aku semakin tak mengerti. Mengapa sahabatku ini bersikap seperti itu padaku.

"Dang, kamu ini kenapa, apa salahku ?" aku bertanya dengan penuh kebingunan.

"Kamu tuh enak Jar, naek mobil mewah setiap hari, punya rumah yang besar. Sedangkan kita cuma sopir angkot yang penghasilannya pas pasan. Lebih baik kamu ga usah kemari Jar kalo kamu cuma mau sombong pada kami." jawab Dadang.

"Ya ampun, aku ga maksud gitu sama kalian. Kalian tetep sahabat buatku." jawabku.

"Ahhhh, sudahlah kau balik saja ke kota sanahhh.!!" Katanya sambil melemparkan baju - baju yg rencananya akan kuberikan pada mereka.

Aku sama sekali tak mengerti mengapa niat baikku ini justru ditanggapi negatif oleh mereka.  Aku pun terus berjalan sambil menundukkan kepala dan tak mengerti apa yang terjadi dengan teman - temanku."Ahhh sudahlah, biar kupikirkan nanti, sekarang yang penting aku harus pulang aku sudah kangen pada istriku yang tak bertemu selama setahun lamanya." Pikirku.
***

Lama tak kurapatkan jejakku di tanah ini, tepat di depan rumahku. Nampak halaman ditutupi daun - daun yang berserakan, rerumputan pun telah meninggi. Tak seperti biasanya, apakah istriku malas mengurusi halaman rumah, ahhh. . .aku rasa tidak mungkin. Ia adalah orang yang rajin.

Ku berdiri di depan pintu sembari mengetuki pintu. . .mengetuk pintu. . .dan mengetuk lagi. Namun tak ada yang membukakan pintu. Aku semakin bertanya - tanya dalam batinku ada apakah ini, dimana istriku yang biasanya menyambutku ketika letihnya pulang kerja.

Aku pun mendobrak pintu tersebut dan memanggil - manggilnya. Namun tetap tak ada jawabnya. Sampai kutemukan secarik kertas di atas meja di kamarku. Kubaca pelan - pelan apa maksud yang tersirat di surat itu.

"Mas, mas pasti udah bahagia di sana kan, udah jadi kaya raya, udah punya mobil, rumah mewah. Titi ngerti mas kalo mas ga pernah ngabarin keadaan di sana. Tapi Titi kecewa sama mas, kecewa. Titi ga nyangka mas yang dulu baik ternyata bisa sejahat ini untuk memperoleh kekayaan. Titi harus pergi mas, harus mulai bisa ngelupain mas."

Ada apa dengan semua ini. Mengapa teman - temanku, istriku, semuanya bersikap aneh seolah - olah aku punya kesalahan besar pada mereka. Padahal tak secuilpun dalam benakku untuk mengacuhkan mereka, apalagi memusuhi mereka.

Aku pergi ke tepian sungai. Duduk sendiri di tengah suara gemercik air yang mengalir. Sesekali kulempar batu ke permukaan air. Dan aku bertanya pada diriku sendiri tentang apa yang terjadi. Walau kutak temukan jawabannya.

Besoknya aku bergegas pergi ke Tasik tempat mertuaku tinggal. Siapa tau istriku berada disana. Dan ternyata benar istriku  memang berada disana. Tapi belum sempat aku masuk aku sudah diusirnya. Dan orang tuanya pun turut mengusirku dengan lantang. Aku semakin tak mengerti dengan semua ini. Akhirnya kumenyerah dan kuputuskan tuk kembali ke Jakarta.
***

Aku pun berbaring di kasur yang empuk di kamar yang luas. Ini adalah rumah Pak Burhan yang diwariskan padaku. Semenjak aku tinggal di rumah semegah ini aku tak pernah merasa tenang. Aku selalu dihantui rasa bersalah. Rasa bersalah pada Pak Burhan, rasa bersalah pada anak istriku di kampung, rasa bersalah pada sahabat – sahabatku di kampung.

Handphone kupun bergetar, kulihat ada sms masuk. Dari Jafar rupanya, isinya begini,

“Hai Fajar sahabat karibku dulu, mungkin kau sudah lupa denganku. Aku hanyalah office boy dan kamu adalah orang kaya raya sekarang. Aku tak menyangka ternyata kau bisa sesombong ini melupakanku, padahal pekerjaanmu yang menghantarkanmu seperti sekarang ini. Dan itu karena jasaku. Tapi tak sedikitpun kamu berterima kasih padaku. Hahahha. . . . bahkan kau tega melupakan keluargamu di kampung dan sahabat – sahabat lamamu. Kini kau rasakan hidup dalam ketidak tenangan Fajar. Akulah yang bilang pada teman-  temanmu dan istrimu bahwa kau telah membunuh bosmu untuk menguasai hartanya. Hahaha ternyata kau sepicik itu Fajar.”

“Astagfirullah Al adzim. . . .. astagfirullah al adzim”

Aku ini manusia yang lupa diri. Aku melupakan sahabatku yang telah membantuku, aku juga telah lama tak mengabari istriku dikampung, juga teman – temanku walaupun sebatas surat sekalipun. Aku juga telah menyebabkan Pa Burhan celaka. Aku menyesal. . .  .aku menyesal.


Malam ini pun demikian. Aku masih mencoba memejamkan mataku dan merebahkan tubuhku. Walau pikiran – pikiran ini tak mampu kuusik dari ubun – ubunku. Walau setiap detik yang bergulir tak mampu menyingkirkanku dari alam sadarku, dari masalahku, dan dari penyesalanku.

***
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles


EmoticonEmoticon