Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Desember 2017

Harap dan Bahagia

Peluh, lelah namun tampak tak ada rasa lelah,
Rambutmu yang mulai memutih,
Kulitmu yang mulai bergaris,
Tak membuat kau terlihat lelah,

Yang selalu memberi laksana mentari,
Yang selalu meneduhi laksana awan,
Yang berhati luas laksana lautan,
Yang selalu berkorban laksana hujan,

Tak banyak kata terselip nama,
Namun di setiap engkau menengadahkan tangan,
Terselip nama yang tak terucap dari bibirmu,
Namun terpancar dalam hatimu dan raut wajahmu,
dan engkau terbangkan ke angkasa.

Dengan penuh harap dan bahagia.

Di Tengah Diam


Pernahkah kau berpikir, mengapa batu karang hanya terdiam di terpa ombak besar
Pernahkah kau merenung, mengapa sang rumput hanya terdiam dimakan sang kambing.
Pernahkah kau pahami, setiap tetes hujan yang turun dari sang awan membasahi bumi
Pernahkah kau mengerti, setiap butir pasir yang hanya pasrah mengikuti hembusan angin,
Pernahkah kau tau, mengapa setiap daun yang jatuh ke sungai mengikuti riak arus gelombang sungai.

Jika anda tak berpikir, tak merenung, tak memahami, tak mengerti, dan tak pernah tau mengapa, anda tak salah
Tak pernah salah, anda tak salah. Karna memang semuanya begitu adanya.
Tapi pernahkah kau tau ada apa di tengah kediamanku,
Ada apa di tengah kebisuanku,

Aku bukan terpaku, atau terhenyak,
Sering ku berpikir tuk memahami,
Memahami diriku sendiri,
Memahami semua yang terjadi,
Memahami setiap waktu yang bergulir,
Tapi sering ku tak menemukan jawabannya,

Semuanya misteri, Seperti halnya ilmuan yang tak pernah mengerti berapa jumlah bintang,
Seperti halnya awan, yang tak pernah mengerti apa arti hujan,
Seperti halnya bumi yang tak pernah mengerti apa arti angin
Seperti halnya api yang tak pernah mengerti apa arti asap.
Semuanya tak salah, tak ada yang salah,
Kecuali diri ini.

Tapi biarkanlah aku membuka jendela kamarku dan membiarkan sinar mentari menyapa ke setiap sudut ruangan.
Dan aku,
Disini hanya aku,

Memandang awan mengarungi angkasa bersama sang angin.

BISA


Berdiri di tengah kesunyian, hanya disoroti cahaya lampu jalan,
Atau di tengah gurun, diantara butiran-butiran pasir yang terhempas angin, di bawah teriknya panas matahari,
Kadang pula di tengah es, di kutub utara yang dinginnya menghujam menembus epidermis hingga ke tulang,
Apa yang anda rasakan ketika sendiri?
Haruskan berteriak sekeras mungkin di atas sebuah tebing?
Ataukah melempar batu sejauh mungkin ke lautan yang terbentang luas?
Tidak,
Bukan itu,
Tapi genggamlah tanganmu,
Genggamlah sekuat mungkin,
Bakarlah api semangat dalam dirimu,
Katakanlah bahwa kau BISA,
Bahwa kau bisa menaklukkan ketidakberdayaanmu yang menyelimuti tubuhmu saat ini,
Bangkitlah!
Melompatlah!

Dan teriaklah, BISAAAAAAAAAAAA. . . . . .!!!!!!

BAHTERA


Sejauh mata memandang yang terlihat hanya lautan biru yang amat luas, yang dibatasi langit yang juga biru dan amat luas.
Awan – awan membentuk barisan,
Mentari pun bersembunyi di balik awan,

Hanya sebuah bahtera yang bernakoda yang berharap menepi di sebuah pulau yang indah.
Namun tak mengerti kemana arah.
Tak ada kompas, bahkan tak ada layar, dan tak ada kemudi.
Mesin kapal pun seolah kebingunagan di tengah gemuruh ombak, di tengah tiupan angin laut.
Bahtera ini sungguh terombang ambing di elevasi permukaan air laut.

Apa yang kau tunggu?
Haruslah terdampar di pulau asing?
Ataukah menabrak batu karang yang kokoh ?
Atau bahkan haruskah tenggelam di tengah luasnya samudra dan menjadi rumah bagi ikan – ikan ?

Wahai bahtera, apakah akan terus begini hingga datangnya senja ?
Hingga mentari beranjak dan memindahkan sinarnya
Bergeraklah. . . melajulah. . . .
Walau ombak menghadangmu.

Dan turunkanlah jangkarmu di pulau terindah.

Aku Tak Suka Puisi

Aku tak suka puisi
Aku tak suka membaca puisi
Aku tak suka menulis puisi
Karena aku tau kamu tak suka puisi
Kamu tak suka membaca puisi
Kamu tak suka menulis puisi
Puisi hanyalah untaian kata tak bermakna
Puisi hanyalah suatu bentuk kebohongan
Ada penyair yang mengatakan :
“Aku merasa sepi di tengah keramaian”
“Aku merasa dingin di tengah gurun yang tandus”
“Engkau bagaikan awan  yang muncul dari balik mentari”
“Suaramu bagaikan kicauan burung di dalamnya lautan”
Semuanya penuh dengan kata yang konyol
Semuanya bohong
Aku tak suka puisi
Aku tak suka membaca puisi
Aku tak suka menulis puisi
Puisi hanyalah kata – kata gombal yang tiada berarti,
Puisi hanyalah expresi dari penulis yang tiada berarti,
Aku tak suka membaca puisi,
Aku tak suka menulis puisi,
………………………,
Ooops. . . apa yang sedang aku tulis
Rupanya ini yang kukatakan suatu kebohongan
Suatu kebohongan dari seorang penyair
Aku bilang aku tak suka membaca puisi
Aku bilang aku tak suka menulis puisi
Tapi apa yang aku tulis
Ternyata aku seperti ikan yang berkata tak suka berenang
Aku seperti singa yang berkata tak suka makan daging
Tapi aku tak jauh beda denganmu
Kamu bilang kamu tak suka membaca puisi
Tapi apa yang kau baca saat ini
Inikah yang dinamakan kebohongan
Kebohongan dari kata yang ku ucapkan
Dan kebohongan dari kata yang kau ucapkan
Atau justru inikah kejujuran
Kejujuran dari hati yang tak pernah bohong

Pria Ikal


Aku hanyalah pria ikal,
yang kadang tak terlalu punya akal,
Yang juga tak punya semangat yang kekal,
Mungkin semangatku hanya sejengkal,
Mungkin pikiranku terlalu dangkal,
Hanya sejengkal harapan tuk mengucap kata bakal,
Karna ku tak pernah berdiri tegak di atas tangkal,
Mungkin aku terjungkal,
Hingga ke pangkal,
Seperti laksana brangkal,
Tapi aku bukanlah anak yang nakal,
Dan aku juga bukanlah preman yang suka mangkal,
Aku juga bukan penjahat yang membuat orang takut terpingkal – pingkal,
Dan aku selalu berusaha, walau hanya selalu berusaha tuk menyangkal,

Tapi Yang kulakukan hanyalah bertawakal.

Selasa, 10 Oktober 2017

Seperti Pohon

 

Seperti sebuah pohon kaktus di tengah luasnya padang gurun
Tak ada tanaman lain di sekeliling, tak ada suara.
Yang ada hanyalah desahan angin di teriknya mentari yang menyengat.
Yang meretakkan tanah di sekitar pohon, bahkan hampir meretakkan pohon itu.
Yang ada hanyalah butiran – butiran pasir yang kadang menjadi debu  bersama hembusan angin
Yang ada hanyalah duri-duri yang menusuk tubuhnya sendiri
Bahkan unta – unta pun tak hendak menghampiri.

Ketika malam tiba, mentari pun pergi.
Panasnya terik matahari pun hilang.
Namun yang datang adalah dingin yang begitu menusuk
Di tengah kesunyian malam yang terlihat hanyalah gugusan bintang di angkasa yang tak bisa di gapai

Pohon kaktus adalah pohon kaktus
Yang takkan pernah bisa berjalan, karena pohon kaktus takkan pernah punya kaki.
Selalu ada di luasnya gurun yang tandus dan sepi
Bukan di perkebunan atau di hutan

Dan aku adalah aku, yang bisa berlari, yang bisa melompat, yang bisa berbicara.
Namun selalu ada hal yang belum seperti yang ku inginkan
Inginku seperti pohon kelapa yang kokoh dan selalu melambai – lambai
Inginku seperti pohon sakura di musim semi yang slalu memberikan keindahan
Inginku seperti padi yang selalu dibutuhkan orang
Dan aku akan selalu tumbuh, hingga dahanku mencapai langit dan akarku menghujam ke bumi.


Rabu, 04 Oktober 2017

Belajar Tuk Mengerti


Dari Mentari kita belajar memberi,
Dari Batu karang kita belajar ketegaran,
Dari laut kita belajar keluasan hati,
Dari Ombak kita belajar berlari,
Dari kupu – kupu kita belajar tuk berubah,
Dari langit kita belajar menggapai impian,
Dan dari masalah kita belajar tuk mengerti

Masalah ibarat sebuah batu di tengah jalan,
Yang bisa menjadi batu sandungan,
Namun juga bisa menjadi batu loncatan,

Kadang hidup tak semanis yang kita harapkan,
Kadang hidup tak seindah yang kita inginkan,
Namun seiring berjalannya waktu,

Kita kan menyadari bahwa kita tlah belajar tuk mengerti

Senin, 04 September 2017

Jika pujangga berujar, Abstrak...

Hidup ibarat roda yang mengalir...
Ada suara gemercik air yang berkicau...
Di kala burung-burung sedang berhembus...
Saat Matahari pun mengalir...
Dan air berkembang...
Serta bunga-bunga ikut bersinar....
Begitulah jika pujangga berujar,
Kadang ia berujar merasa sepi di tengah keramaian...
atau kadang ia Merasa menggigil kedinginan di tengah gurun pasir yang tandus.
Begitulah jika pujangga berujar,
Abstrak...

ANGIN yang MENERPA

Ketika berdiri di atas tebing di tepi lautan, kita akan melihat birunya langit yang berdiri tanpa tiang, namun seolah bertemu dengan lautan jauh di ujung sana. Kita akan melihat deburan ombak yang berlari berkejar-kejaran dan menghempas tebing, menimbulkan suara gemuruh. Walau tebing tetap bergeming.
.
Namun ada hal yang tak terlihat, namun terasa menerpa wajah. Itu adalah angin. Angin itu seperti hasrat, motivasi, harapan. Ia tak terlihat, namun tetap ada dan bergerak di dalam jiwa. Yang terkadang menerpa wajah, mengingatkan akan hal-hal yang belum tercapai.

Cukup pahami....

Mengapa semut yang makanannya gula terasa pedas ketika termakan?
.
Mengapa lautan terlihat membiru?
.
Butuh ilmu untuk memahami logika. 
.
Namun tak perlu tuk memahami semua logika.
.
Dan takkan pernah bisa.
.
Tak perlu tuk menghitung setiap langkah yang dilalui.
.
Tak perlu menghitung berapa kali hembusan nafas.
.
Cukup pahami....
.
Tentang apa-apa yang seharusnya diperjuangkan.

Rabu, 25 Februari 2009

Surat Dari Prestasi

SURAT DARI PRESTASI
karya : Rival Ardiles Sando
Hormat saya,

Prestasi

Apa itu prestasi?

Prestasi bukanlah materi

Prestasi bukanlah sebuah angka yang terurai di atas lembaran putih

Prestsasi juga bukanlah sesuatu yang bisa di foto copy

Juga bukan sesuatu yang bisa dicuri

Prestasi itu ibarat sebuah tanaman yang berbuah

“Apa yang kita tanam dan kita pupuk, itulah yang kita petik”

Prestasi itu berada di puncak gunung yang tinggi

Yang curam dan penuh halangan untuk mendakinya

Prestasi itu merupakan sebuah metamorfosis dari sejumlah proses

Prestasi itu adalah aku


Banyak orang yang mengejar aku

Banyak pula orang yang hanya bermimpi aku akan datang padanya

Namun aku hanya akan datang pada siapa saja yang bersungguh-sungguh

Wahai engkau yang membaca surat dariku ini

Kejarlah aku,

Undanglah aku,

Di semester ini, di tahun ini, di setiap harimu

Dan di setiap hidupmu



Sahabat orang rajin,


Prestasi