Tampilkan postingan dengan label cerita inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita inspirasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Kegigihan Air Mengalahkan Batu


Di suatu hutan yang lebat singa menyebut dirinya sebagai raja hutan.Singa merasa dirinya makhluk terkuat di hutan. Ia meraung begitu gagahnya dan semua makhluk hutan lainnya takut padanya. Namun ternyata ada yang menentang pengakuan tersebut. Ada yang merasa bahwa dirinya lebih kuat dari singa.

Mencengkram tanah tak terlepaskan, disana ia berada. Di tengah kebisuannya, di tengah kediamannya ternyata ia merasa sebagai yang terkuat di hutan itu, bahkan lebih kuat dari singa. Ialah batu, yang berda di samping pohon pinus dan telah berada di sana dari waktu yang lampau.

Si batu amat sombong, ia sering berkata pada rumput, pohon, ataupun hewan di sekitarnya bahwa ialah si raja hutan. Namun tentu  pasti banyak yang menentang. Kayu pun mencoba menentangnya, ia menjatuhkan sebagian dari dirinya dan membenturkannya pada si batu. Namun sayang, ternyata kayu patah oleh kerasnya batu. Batu pun semakin sombong.

Kesombongan si batu yang merasa dirinya paling kuat di hutan itu mulai tersiar di seluruh hutan dan sampai di telinga Sang Singa si raja hutan. Mendengar hal itu, bangsa singa geram. Mereka berencana untuk mengajak si batu bertarung dan membuktikan siapa yang kuat.
***

Keesokan harinya rombongan singa mulai menuju tempat batu besar itu berada. Mereka tak terima jika ada yang mengklaim sebagai raja hutan. Karena singalah raja hutan yang sebenarnya. Sesampainya di sana, salah satu singa menantang batu untuk beradu kekuatan. Si batu dengan sombongnya menyambut tantangan tersebut dengan tanpa rasa takut sama sekali. Sang batu hanya diam saja dan tak bergerak sedikitpun, sementara si singa mulai maju dan menunjukkan taring-taringnya yang begitu tajam. Singa itu pun mencoba tuk menggigit batu dengan taring-taring yang setajam pisau belati itu. Namun batu terlalu besar dan terlaru keras untuk digigit. Singa pun menyakar-nyakar batu tersebut, namun apa daya justru kukunya yang patah. Ia mencoba mundur sejenak, lalu lari secepat mungkin dan menyeruduk batu itu sekuat tenaga.

Malang, singa itu pun terjatuh, dari kepalanya meneteskan darah setelah membentur batu itu. Ia pun tewas. Singa yang lain pun tak ada yang berani melawan batu itu dan mereka mengakui si batulah yang terkuat. Si batulah raja hutan yang sebenarnya.
***

Bertahun-tahun berlalu dan sampai saat ini si batu masih diakui sebagai yang terkuat di hutan itu. Ia semakin sombong saja, siapa saja yang melewatinya selalu direndahkan, dihina dan ia selalu menyombongkan dirinya.

Itulah cerita yang kudengar tentang kesombongan si batu dari pohon, dan juga hewan-hewan di hutan. Tak ada yang berani menentang kesombongan si batu, karena ia amat keras dan siapa saja tak mampu menghancurkannya. Semuanya pasrah pada kesombongan si batu, kecuali,. . . .kecuali ayah.

“Kita harus bisa menghancurkan kesombongan si batu, kita harus bisa menghancurkan kerasnya batu ituuuu. . .!!!!” kata ayah di depan jutaan tetes air.

Ayah adalah pemimpin di kerajaan air. Aku salut pada semangatnya, walaupun kita ini bangsa air yang lembek, yang lemah, tapi ayah selalu menyemangati semua tetes air agar kita harus kuat dan jangan menyerah, bahkan pada si batu yang keras itu.

Semua memang tak percaya, tak yakin kalau bangsa air bisa menghancurkan si batu, tak terkecuali aku. Kami memang setetes air, kami memang jauh lebih lemah dari pada kerasnya si batu. Tapi ayah, ayah tak sedikitpun gentar. kulihat tangannya mengepal, dan ekspresinya begitu menggebu saat berdiri di hadapan jutaan tetes air dan meneriakkan semangat pada kami kalau kami mampu menghancurkan kesombongan si batu.

Kemudian ada setetes air yang bertanya pada ayah ,”rajaaa, bagaimana caranya kita bisa mengalahkan batu yang keras itu?”

Ayah pun hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia  menundukkan mukanya dan berbalik arah. Kasihan ayah, ia punya semangat yang menggebu namun hingga saat ini belum menemukan caranya untuk mengalahkan si batu. Aku tau ia tak mudah menyerah, aku tau ia selalu memikirkan hal itu, aku tau dia, oh ayah.
***

Hingga malam kian larut ia belum jua tidur. Aku tau ayah memikirkan dan terus memikirkan bagaimana caranya mengalahkan batu. kulihat ia berjalan ke luar di tengah gelapnya malam. Diam-diam aku mencoba mengikutinya dari belakang. Aku hanya ingin tau kemana ayah hendak pergi di tengah malam begini. Kulihat ayah melihat batu besar itu. Ia menatapnya, dan menghampirinya, sedangkan aku melihatnya di balik persembunyianku. Ayah begitu berani mendekati batu itu, entah apa yang hendak dilakukannya. Semakin dekat langkahnya dengan sang batu aku semakin cemas. kulihat ayah berbincang dengan batu itu, namun kutak tau apa yang sedang dibicarakannya. Dari kepalan tangannya dan raut wajahnya kulihat ayah memendam emosi pada batu itu, sementara si batu hanya tersenyum sinis padanya.

Benar saja, kulihat ayah semakin tak kuasa menahan emosi. Entah apa yang diucapkan batu hingga ayah begitu naik pitam. Kepalan tangannya semakin kuat, dan ia membenturkan dirinya pada si batu dengan begitu keras. Namun si Batu tak terusik sedikitpun. Aku tak tega melihat ayah seperti itu. Aku pun berteriak memanggilnya dan menghampirinya, “Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh, sudahlah ayah sudah. . .!!”

Aku mencoba menarik ayah, namun ia tetap berusaha melawan si batu itu, “Suahlah nak, biarkan ayah memberi pelajaran pada batu itu, ayah tidak bisa diam saja, ia telah merendahkan bangsa air,ucap ayah dengan penuh emosi.

Aku mencoba menenangkannya dan berusaha menariknya pulang. Ayah pun tak sadarkan diri karena kelelahan dan akibat benturan keras dengan batu. Kubawanya pulang dan kurebahkan badannya. Kasihan ayah. “Aku tak mau ayah begini, sudahlah ayah, batu itu memang tak mungkin kita kalahkan,” kuberucap padanya yang tengah terbaring lemah tak sadarkan diri.

Walaupun telah terluka ketika melawan si batu, ayah yang merupakan raja dari bangsa air tak menyerah begitu saja. Semangatnya tak mudah pudar. Namun aku masih tak mengerti mengapa ayah sebegitu dendamnya pasa si batu. Aku tak percaya jika ayah sedendam itu hanya karena si batu merasa paling kuat di hutan ini, merasa sebagai raja hutan. Aku tau ayah bukan ingin menjadi raja hutan, ia bukanlah orang yang angkuh. Aku yakin ayah menyembunyikan sesuatu tentang dendamnya pada si batu itu.

Kucoba tuk menghampiri ayah ketika ia sedang duduk sendiri. Aku bertanya padanya pelan-pelan,

“Ayah, kita ini cuma setetes air, mana mungkin kita bisa menghancurkan batu yang sekeras itu. Memang ada apa yah, kenapa ayah sampai senekat itu? Kenapa ayah sepertinya begitu dendam pada batu itu?”

Mendengar pertanyaan itu, ayah hanya terdiam seribu bahasa. Kulihat mulutnya menutup rapat-rapat, ia tak mau menjelaskan padaku tentang dendamnya pada batu. Ayah hanya bungkam, sama seperti dahulu kutanyakan tentang ibu, saat kutanyakan dimana ibu. Mungkinkah keduanya ada kaitannya? Yah, entahlah, aku tak tau. Mungkin suatu saat ayah akan bicara padaku.
***

Di depan seluruh rakyatnya ayah kembali berpidato. Kali ini semangatnya semakin kencang. Ayah sudah seperti pahlawan proklamasi yang menyulut rakyatnya tuk berjuang melawan penjajah. Ia berbicara begitu menggebu-gebu dan sesekali menjulurkan kepalan tangannya ke atas. Di depan jutaan tetes air ayah berucap bahwa kita bukanlah meteri yang lemah. Kita bisa mengalahkan batu jika tekad kita kuat.

Kini pidatonya tak terlalu sia-sia, ada Ali, Samsul, dan Mahmud yang juga ikut berteriak dan percaya kalau kita bisa mengalahkan batu. Kemudain satu per satu tetes air yang lain pun percaya dan meneriakkan semangatnya. Kulihat mata ayah berbinar, ia terharu dan ia semakin semangat meneruskan pidatonya.

Di pidatonya ayah bercerita tentang batu di Jepang. Walaupun batu bisa menghancurkan gunting, tapi pernah disana batu bisa dikalahkan kertas yang sepertinya lemah dan mudah sobek. Itu ujar ayah menyemangati rakyatnya. Ayah juga ingin membuktikan pada dunia kalau di Indonesia ada batu yang bisa dikalahkan air.
***

Setelah berpidato hari itu, kudekati ayah yang sedang mengusap keringat di dahinya. kulihat matanya berkaca-kaca dan senyum terukir di bibirnya. Ia nampak letih usai membakar semangat rakyatnya. Tapi ia merasa amat senang kini rakyatnya percaya dan yakin bisa mengalahkan batu. Tapi saat kuhampiri lebih dekat, kudengar ayah berucap sendiri, “Akan kubalasksan dendamku batu, aku akan menhancurkanmu yang telah membunuh istriku dan merendahkan bangsa air.” Samar-samar itu yang kudengar. Aku begitu terkejut mendengar itu.

“Ayah, apa benar ibu. . . . ibu dibunuh oleh batu itu?tanyaku pada ayah dengan suara yang bergetar.

Ayah pun terkejut melihat kehadiranku, namun ia masih enggan menceritakan padaku soal itu.

“Sudahlah nak, tak usah kita bahas,kata ayah sambil memalingkan wajahnya.

“Tapi ayah, ceritakan padaku ayah, aku berhak tau,aku terus mendesaknya untuk menceritakan hal itu padaku. Sampai akhirnya ia mau menceritakan padaku soal itu.

Waktu ayah masih jadi rakyat biasa, dan aku terlalu kecil tuk mengerti sesuatu, Ayah sedang berjalan-jalan dengan aku dan ibu. Lantas si batu menunjukkan kesombongannya dengan menghina kami bangsa air. Ia menyebut bangsa air sebagai bangsa yang lemah, tak seperti batu yang kuat. Lambat laun kesabaran ayah mulai terkikis. Ia pun menghampiri batu dan berkelahi dengannya. Namun ibu begitu sayang padaku dan ayah menghalau kami berdua hingga akhirnya ibu yang terlindas oleh batu itu. Itu yang ayah ceritakan padaku. Dan sejak saat itu ayah bertekad untuk menjadi raja, untuk membela bangsa air dan menghancurkan batu itu.
***

Saat kami sedang di rumah, salah seorang pengawal mengetuk pintu istana. Nafasnya terengah-engah, pengawal itu nampak tergesa-gesa. Keringatnya bercucuran dari keningnya.

“Raja. . .raja. . .raja gawat raja. . ,kata pengawal itu.

“Ada apa, gawat apanya?” kata ayah bertanya dan ikut cemas.

“Ratusan tetes air terbunuh saat melewati sekitar batu.

Mendengar berita itu ayah naik pitam. Hampir-hampir saja urat lehernya keluar. Ayah bergegas keluar dan menyuruh pengawal untuk mengumpulkan rakyat.

Dengan semangat menggebu ayah membakar semangat seluruh rakyat. Saat itu ayah mengatakan bahwa sejak dahulu kita telah berhasil mengalahkan api, dan saat ini pun kita pasti bisa mengalahkan batu.

“Ayo kita semua maju menuju batu ituuuu. . .. !!!!” ucap ayah memerintahkan seluruh rakyatnya dengan penuh semangat.

Kita semua beserta jutaan tetes air tiba di hadapan batu itu. Namun batu itu nampak tak gentar menghadapi kami. Ia malah menunjukkan kesombongannya dan menghina bangsa kami. Batu itu berucap bahwa keinginan air untuk mengalahkan batu hanyalah mimpi di siang bolong. Hal itu semakin menyulut kemarahan kami.

Ayah memerintahkan seorang prajurit untuk maju melawan batu. Prajurit yang gagah berani itu sama sekali tak gentar dan langsung maju mendekati si batu. Ia masuk melalui akar pohon yang ada di samping batu, lalu naik ke atas melalui batang pohon itu hingga tiba di ujung ranting. Kemudian di ujung ranting ia melompat ke bawah dan membenturkan dirinya ke batu sekeras mungkin. Prajurit itu pun tewas, dan si batu hanya merasa sedikit geli.

Lalu satu per satu pasukan yang lain pun melakukan hal yang sama, dan satu per satu di antara mereka tewas. Mereka mengorbankan nyawa mereka demi membela bangsa air.

“Ayah, sudahlah ayah ini sia-sia, ini pengorbanan yang sia-sia.” Aku memohon pada ayah tuk menghentikan semua ini.

Tetes demi tetes air tewas, nyawa demi nyawa melayang. Tapi ayah tak menggubris perkataanku. Kemudian ayah melangkahkan kakinya kedepan dan mendekati batu itu. Sempat terdengar perkataan terakhirnya, “Maafkan ayah nak.” Dan kemudian ayah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan prajuritnya, membenturkan dirinya pada batu dengan titik yang sama. Aku pun tak kuasa melihat ayah meluncur dari ujung ranting dan membenturkan dirinya pada batu yang keras. Akupun tak kuasa membendung air mata.

Namun pengorbanan ayah menyulut semangat seluruh rakyatnya. Seluruh rakyatnya satu per satu maju dan melakukan hal yang sama. Mereaka pun tewas satu per satu. Aku pun merasa tersulut dengan pengorbanan ayah, dan juga pengorbanan seluruh rakayat air. Dengan semangat, aku berkata pada diriku sendiri, “Ini giliranku.”

Dengan penuh keyakinan aku berjalan mendekati batu itu, kemudian masuk ke tanah dan menelusuri akar pohon, merasupi batang mealalui xilem, dan aku telah tiba di ujung ranting. kulihat batu di bawah sana, aku pun berteriak, “Ayahhhhhhhhhhhhh. . . . Ibuuuuuuu. . . .!!!!!!” Aku meneriakkan nama mereka berdua. Aku pun meluncur ke bawah dengan kecepatan gravitasi. Lalu berbenturan dengan batu yang keras itu. Sempat kudengar batu mulai berteriak kesakitan. Dan sampai disinilah aku bisa menceritakan perjuanganku, perjuangan ayah, dan semua bangsa air. Semoga perjuangan kami tak sia-sia.
***


Tahun demi tahun berlalu, puluhan tahun, dan ratusan tahun kemudian seluruh keturunan bangsa air meneruskan perjuangan meraka. Mereka pun melakukan hal yang sama dengan mengorabankan nyawa mereka. Dan setelah ratusan tahun berlalu, selama itu juga batu itu dijatuhi air pada titik yang sama. Akhirnya batu itu pun hancur, hancur bersama kesombongannya. Dan sejak saat itu tak ada lagi kesombongan di hutan itu. Namun bangsa air menolak dinobatkan sebagai raja hutan. Sehingga mahkota raja hutan kembali diberikan pada singa.

=======================================================
Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Selasa, 03 Oktober 2017

Cerpen: "Maafkan Ibu, Nak!"


Di sebuah malam, Lasmi masih belum tidur. Ia melihat anaknya yang baru masuk SD telah tertidur lelap di kamarnya. “Sabar ya nak,” ucapnya dalam hati seraya menangis meneteskan air mata.

Di depan pintu, ia menanti kedatangan suaminya dengan emosi yang bercampur aduk, antara ingin menangis dan ingin marah. Telah beberapa minggu ini, Bram suaminya, selalu pulang lewat tengah malam. Bahkan ia seringkali pulang dalam kondisi mabuk.  Bram memang selalu memberikan nafkah untuknya dan anaknya. Namun sikapnya yang hampir selalu pulang dalam kondisi mabuk dan selalu marah-marah ketika dinasehati membuat kesabarannya hampir habis. Mereka kerap kali bertengkar.

Bahkan puncaknya malam itu. Bercak merah berbentuk bibir di baju suaminya membuat Lasmi semakin naik pitam.

“Ini apa mas, mas dari mana aja mas. . . .!!!” teriak Lasmi dengan penuh emosi.

“Udah lah terserah, aku mau ngapain aja, kamu diem aja. . .!!!” ucap Bram yang tengah mabuk.

Malam itu lagi-lagi terjadi pertengkaran di antara mereka berdua. Bahkan Bram menampar istrinya yang tak terima dengan kelakuannya. Saat itu Bayu, anaknya yang masih SD terbangun dan mengintip dari balik pintu kamarnya. Ia amat sedih dan takut melihat pertengkaran kedua orang tuanya itu. Lasmi yang telah habis kesabarannya pun menuntut cerai. Dan mereka pun berpisah setelah sidang perceraian beberapa waktu kemudian.
***

Setelah perceraian itu tak sekalipun Bram menunjungi Lasmi dan anaknya. Bahkan tak sepeserpun ia memberikan uangnya untuk mantan istri dan anaknya bertahan hidup. Tapi Lasmi bertekad untuk berusaha menghidupi dirinya dan anaknya, apapun caranya.

“Bapak kemana bu?” tanya Bayu yang tak ingin mereka berpisah.

Lasmi tak kuasa menjawabnya. Ia hanya memeluk dan mengelus rambut anaknya sembari meneteskan air mata.

Keesokan harinya ia mencari pekerjaan di pabrik-pabrik. Namun ia tak mendapat pekerjaan. Ia hanya lulusan SMP. Itu pun ijasahnya entah kemana. Akhirnya ia bekerja sebagai buruh cuci. Ia keliling-keliling untuk menawarkan jasa cuci baju pada warga sekitar. Namun tak banyak yang ia dapatkan. Bahkan untuk makan sehari-hari saja sulit.  

Semua barang-barang berharganya ia jual untuk makan sehari-hari. Mulai dari mas kawin, dan peralatan rumah tangga. Namun beberapa bulan kemudian ia harus memutar otak lagi. Pekerjaan sebagai buruh cuci tak cukup untuk menghidupinya dan anaknya. Ia terpaksa harus berutang pada tetangga-tetangganya untuk kebutuhan sehari-hari.

Sudah tiga bulan ini Bayu tak membayar uang sekolah. Ia sudah diperingatkan dari pihak sekolah untuk membayar uang iuran sekolah. Jika tidak, maka Bayu akan dikeluarkan dari sekolah. Lasmi pun menghadap ke kepala sekolah untuk memberikannya waktu satu atau dua bulan lagi agar anaknya tak dikeluarkan dari sekolah. Baginya, pendidikan anaknya adalah yang terpenting. Kepala sekolah pun hanya memberikan batas hingga satu bulan ke depan, jika tidak, maka anaknya akan dikeluarkan dari sekolah.

Dalam kondisi tertekan, belum lagi tetangga-tetangganya managih hutang yang tak kunjung terbayar, ia bingung dan merasa amat depresi. Ia merasa menyesal menuntut cerai pada suaminya, walau kelakuan suaminya yang kerap mabuk dan bersenang-senang dengan wanita lain benar-benar membuatnya naik pitam.

Tekanan itu rupanya membuatnya gelap mata. Ia berjalan seorang diri di gelapnya malam. Di bawah temaram lampu-lampu jalan ia berjalan menuju sebuah gang tanpa membawa lentera hati yang telah padam oleh tekanan ekonomi. Gang Dodol namanya, gang yang sudah amat terkenal sebagai tempat lokalisasi terbesar di negeri ini. Ia mendatangi sebuah wisma dan bertemu dengan seorang ibu-ibu paruh baya. Dengan hati menangis ia mendaftar sebagai PSK di wisma tersebut. Ia tak ingin melakukan semua ini. Namun di satu sisi ia merasa terpaksa karena tekanan ekonomi yang mendera.

Di hari-hari berikutnya, ketika anaknya telah tertidur lelap. Ia berangkat ke luar tuk bekerja di gang tersebut. Dengan berpakaian ketat ia berdiri di pinggir jalan. Membawa lelaki-lelaki hidung belang tuk membeli tubuhnya. Awalnya ia takut, namun lambat laun ia mulai terbiasa dengan pekerjaan terkutuk itu. Hingga ia sama sekali tak merasa berdosa.

Setelah Lasmi melakukan pekerjaan itu, Bayu tak jadi dikeluarkan dari sekolahnya. Lasmi telah membayarkan uang sekolah anaknya. Ia juga telah membayar hutang-hutangnya pada tetangga-tetangganya. Secara perekonomian, hidupnya semakin meningkat. Walau Bayu sama sekali tak tau perbuatan ibunya.

“Ibu sekarang sudah punya uang, dari mana bu?” tanya Bayu yang masih polos penasaran.
Lasmi terdiam sejenak dan menunduk, “Ibu bekerja nak, untuk Bayu,” ucapnya menahan tangis.

Namun tentu cibiran dari tetangga-tetangganya yang melihatnya selalu keluar malam dan pulang menjelang subuh sudah mulai terdengar. Bahkan anaknya yang menjadi korban. Setiap kali pulang sekolah, tetangganya selalu menatap anak itu dengan tatapan yang aneh. Terkadang pula terdengar cibiran-cibiran tentang ibunya yang Bayu sendiri masih belum mengerti.

“Bu, mereka membicarakan ibu, memangnya ada apa bu?” tanya Bayu.

“Oh, ehmmm. Tidak tau nak. Sudah lah biarkan saja,” ucap ibunya.
***

Sudah beberapa bulan ini Lasmi bekerja sebagai PSK di gang Dodol. Kehidupanya mulai mapan lantaran ia wanita favorit para lelaki hidung belang disana. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam untuk meluangkan malam bersama Lasmi. Kini Lasmi bahkan sudah bisa membeli handphone, TV, bahkan perhiasan.

Cibiran dari tetangganya semakin terdengar. Namun Lasmi kini telah berubah. Ia bukan lagi melakukan hal itu hanya untuk kebutuhan ekonomi. Mata hatinya telah dibutakan. Bahkan tak peduli walau setiap malam Lasmi harus meninggalkan anaknya sendirian di rumah.

Malam itu, ketika berdiri di pinggir jalan tuk mencari lelaki hidung belang, tiba-tiba seorang lelaki hidung belang mendekatinya dari belakang.

“Hai. . . .” sapa lelaki itu.

Lasmi membalikkan wajahnya. Namun sontak Lasmi terkejut, begitupun lelaki itu. Rupanya itu adalah Bram, mantan suaminya yang memang adalah seorang lelaki hidung belang. Ia berlari sekuat tenaga menghindari lelaki itu.

“Lasmi. . . .Lasmi tunggu kau Lasmi. . .!!!” teriak Bram yang mengejarnya.

Malam itu rupanya bukan hanya bertemu dengan Bram yang membuatnya sontak terkejut. Malam itu sebuah cahaya terang dan asap mengepul terlihat di langit. Mobil pemadam kebakaran mengiung-ngiung mendekati sumber api. Lasmi berlari sekuat tenaga ke tempat itu dengan perasaan amat khawatir.
***

Enam bulan kemudian

Lasmi melihat sepasang suami istri yang sedang mengais sampah,

“Ayo semangat bu, kita harus nyari uang buat anak kita,” ucap pemulung itu.

Lasmi menitikkan air matanya yang menetes ke sebuah gundukan tanah. Bram merangkulnya tuk menenangkan hatinya.

“Harusnya saya nggak pernah bekerja seperti itu mas, nggak pernah. Seharusnya saya nggak pernah ninggalin Bayu sendiri malam hari mas, nggak pernah,” ucap Lasmi sembari menangis menyesali perbuatannya.

“Hmmm ya, saya juga seharusnya nggak bersikap seperti dulu. Saya juga seharusnya nggak pernah pulang malam hanya untuk mabuk-mabukan dan bersenang-senang,” ucap Bram yang juga amat menyesal.

Siang itu mereka menabur bunga di makam anaknya. Enam bulan yang lalu Bayu meninggal karena rumahnya kebakaran. Saat kejadian, Bayu sedang tertidur, seluruh pintu dan jendela rumahnya terkunci. Selain itu api cepat sekali menjalar. Tetangganya tak mampu menyelamatkannya.

Lasmi menyadari bahwa perbuatannya amatlah salah. Jika Bayu tau apa yang dilakukannya ia pasti kecewa sekali pada ibunya. Lasmi menyadari kalau setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Termasuk masalah ekonomi yang waktu itu menderanya. Ia seharusnya bekerja keras, bukannya menyerah dan pasrah pada nasib lalu berbuat sesuatu yang terkutuk hanya untuk uang. Ia seharusnya tak pernah mendatangi gang itu ketika ditekan masalah ekonomi, ia seharusnya datang pada Tuhannya dan bersujud di kala malam dan meminta kemudahan. Bram pun menyesal dengan perbuatannya. 

Kini Lasmi dan Bram kembali bersama lagi, walau tanpa Bayu anak mereka satu-satunya. Walaupun Bayu takkan pernah kembali. Tapi mereka ingin memulai lagi dari awal, bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Lasmi tak ingin ada Lasmi-Lasmi yang lain, yang mengatasnamakan untuk keluarga dengan mencari rejeki seperti itu. Padahal keluarga lah yang menjadi korban. Ia berharap lokalisasi itu segera ditutup oleh pemerintah setempat.

~***~

Sebuah Cerpen
Karya: Rival Ardiles

Senin, 02 Oktober 2017

Cerpen Tentang Impian 15 Tahun yang Lalu


Aku teringat dengan sahabat-sahabatku semasa kecil. Hari ini adalah hari kita berkumpul kembali. Aku ingat betul 15 tahun yang lalu Saat kita baru naik ke kelas 6 SD, kita berkumpul di sini, di tepi sungai di samping pohon kersen di belakang sekolah. Di sini Aku, Yadi, Setyo, Ranin, dan Hari pernah mengubur sebuah gambar yang kita simpan di toples kaca. Gambar itu adalah gambar diri kita masing-masing yang mengenakan pakaian sesuai profesi yang kita impikan. Itu adalah gambar yang kita buat bersama. 

Di gambar itu Yadi berpakaian polisi, pria berkulit sawo matang itu memang ingin sekali menjadi polisi. Sementara Setyo berpakaian seragam coklat seperti yang dikenakan guru-guru kami, ia memang ingin menjadi guru. Ranin yang merupakan perempuan satu-satunya di kelompok kami berpakaian dokter sesuai dengan cita-citanya. Sementara cita-citaku saat itu ingin jadi pemain bola. 

Lalu bagaimana dengan Hari? Akan ku ceritakan nanti kawan. Tak cukup hanya satu kalimat untuk menceritakan anak yang luar biasa itu. Yang pasti kini aku masih menunggu kedatangan mereka di tempat ini. Aku yakin mereka takkan lupa akan janji kita 15 tahun yang lalu. Saat itu kita berjanji akan berkumpul kembali pada tanggal yang kami tentukan, yaitu hari ini. Dan saat itu kita janji pada saat kita berkumpul nanti, kita sudah mencapai impian kita masing-masing dan akan mengenakan pakaian sesuai dengan impian yang telah kita capai.

Sesekali ku lihat jam tangan, sudah cukup lama ku menunggu disini. Tak ada satu pun dari mereka yang datang. “Apakah mereka lupa, apa lebih baik aku pulang saja?” tanyaku dalam hati.  Aku pun bergegas pulang karena janji itu memang telah begitu lama dan pastinya mereka lupa.

Baru keluar dari gerbang sekolah menuju jalan raya, motorku dicegat oleh seorang polisi. Aku tak tau apa salahku. Tapi terlihat polisi itu tersenyum dari balik helmnya yang kemudian ia buka.

“Rei. . . , apa kabar?” sahut polisi itu seraya tersenyum.

Aku bingung kenapa polisi itu mengenaliku. Kurapatkan kedua alisku, ku mencoba menerka wajahnya yang sepertinya aku kenal.

“Ohhh,, Yadiiii. . . .Kamu sudah jadi polisi sekarang ya, hahaha. . .!!” ucapku terkejut.

Ternyata itu Yadi yang sudah menjadi polisi. Ia datang, rupanya ia ingat akan janji kita 15 tahun yang lalu. Tak lama kemudian datang seorang berpakaian dokter, disusul kemudian seorang yang berpakaian guru. Mereka adalah Ranin dan juga Setyo yang ternyata juga masih ingat akan janji kita. Kita pun berkumpul di tempat itu, di tempat kita mengubur gambar impian kita dahulu. Kita saling berbincang tentang masa lalu dan tentang impian kita.

“Wah kalian hebat, ternyata kalian sekarang bisa mencapai impian masing-masing,” ucapku pada mereka yang mengenakan pakaian sesuai profesi masing-masing.

“Ah tapi kamu lebih hebat Rei. . .” ucapan Setyo terhenti.

Ia menatap pakaian yang ku kenakan. Mereka semua pun ikut menatap pakaian yang ku kenakan, kaos Barcelona.

“Rei, kamu sekarang jadi pemain Barcelona?” tanya Yadi terkaget-kaget.

“Hahaha kalian tuh ngeledek ya. Ya enggak lah, enggak mungkin. Eh, tapi ngomong-ngomong Hari mana yah?”

Kami semua terhenyak saling memandang dan mengingat anak itu, Hari, anak yang luar biasa.

Kami pun menggali kembali tempat dimana kami menguburkan gambar itu. Ternyata gambar itu masih ada, tersimpan di sebuah toples kaca yang sudah agak rusak. Kami memandangi gambar yang kami buat bersama 15 tahun yang lalu. Dan disana gambar Hari lah yang paling istimewa. Di gambar itu Hari mengenakan pakaian lab sedang memegang gelas ukur, di depan mejanya ada mickroskop dan berbagai peralatan lain yang secara detail ia gambar. Hari memang bercita-cita menjadi seorang ilmuan. Ia siswa yang paling pintar di kelas. Setiap kali Bu Heni mengajar, ia selalu aktif bertanya dan menjawab pertanyaannya. Sepanjang kami sekelas dengannya, ia selalu menjadi ranking satu. Tak pernah ada yang bisa mengalahkan prestasinya.

Tapi di sisi lain ia adalah anak yang sederhana dan tak pernah sombong. Ia selalu mengajari kami apabila ada pelajaran yang bagi kami sulit. Aku tak tau bagaimana ia bisa secerdas itu, karena ia adalah anak yang tak mampu membeli buku. Ayahnya yang hanya seorang buruh tani tak mampu membelikannya buku. Bahkan untuk menyekolahkannya saja sudah susah payah. Tapi ia anak yang tak kenal menyerah. Seringkali ku lihat usai pulang sekolah ia selalu ke perpustakaan, membaca buku-buku di sana sendiri.

Dan yang paling istimewa darinya adalah matematika. Nilai matematikanya hampir selalu sempurna. Hanya sesekali saja ia mendapat nilai 9, sisanya ia selalu mendapat nilai 10. Jika ia melihat soal matematika, ia hanya memejamkan mata tanpa membuat kotretan. Ia mencoba menghitung dalam pikirannya dan tak lama ia sudah bisa menyelesaikan soal-soal matematika yang bagi kami sulit. Ia juga anak yang amat riang dan tak pernah sekalipun bersedih hati.

Namun hari itu berbeda, wajah cerianya langsung berubah ketika mendengar kabar ayahnya meninggal. Ayahnya yang sejak seminggu sakit harus menghembuskan nafas terakhirnya. Kemiskinan yang menjerat keluarganya membuat ayahnya tak mampu tuk berobat. Hari pulang dengan wajah tertunduk penuh kesedihan.

Seminggu sejak kejadian itu tak pernah lagi kita lihat wajah cerianya. Ia lebih banyak tertunduk diam dan merenung. Aku mencoba memahami beratnya beban hidupnya. Dan saat itu kami takkan lupa kejadian yang membuat hati kami ibarat gunung es di kutub utara yang runtuh. Luluh lantah seolah tak percaya kalau anak itu, anak sepintar itu, anak sebaik itu, ia tiba-tiba pamit karena tak mampu lagi untuk bersekolah karena masalah biaya. Hati kami berbicara, ingin rasanya membantunya, namun apa daya, keluarga kami pun juga bukan keluarga yang berkecukupan.

Ketika dijemput ibunya waktu itu, ku lihat ibunya menguatkan hatinya. Ia berkata pada Hari kalau ia pasti bisa sukses walaupun saat itu ia harus putus sekolah.

Kami semua takkan lupa saat itu, takkan lupa pada anak yang luar biasa itu, hingga kini.

Hari ini kami pun masih menunggu kedatangan Hari. Namun hingga sore menjelang, Hari belum juga nampak. Kami sama sekali tak tau keberadaannya semenjak 15 tahun yang lalu.

“Rei gimana nih, apa kita masih nunggu disini?” tanya Ranin.

“Atau kita langsung ke rumah makan aja, kayanya si Hari nggak akan datang,” usul Setyo.

“Hmmm, aku nggak tau nin, Yo. Sekarang Hari dimana ya, gimana kalo kita cari facebooknya dulu, siapa tau ada.”

“Wah ide bagus tuh Rei. Namanya kan unik, Hari Cahaya Pagi, pasti gampang dicari,” sahut Yadi.

 Ternyata memang benar, tak sulit untuk menemukan nama itu. Dan ternyata Hari yang kala itu putus sekolah sekarang punya akun facebook. Tapi yang membuat kami benar-benar terkejut adalah pekerjaan ia saat ini yang tercantum di profil facebooknya. Saat ini ternyata ia bekerja di Nara Institute of Science and Technology di Jepang sebagai peneliti. Kami semua terbelalak melihatnya. Bagaimana mungkin anak yang putus sekolah 15 tahun yang lalu kini menjadi seorang peneliti di Jepang. Tak habis-habisnya kami membincangkan anak yang luar biasa itu.

Jika begitu, maka sudah pasti Hari tak akan datang. Kita pun berniat pergi ke warung makan di desa kami. Namun sebuah mobil menghadang jalan kami dan membunyikan klaksonnya tepat di depan gerbang sekolah. Jendela kaca depannya diturunkan secara perlahan dan semakin terkejutlah kami melihat orang yang mengendarai mobil itu. Senyumnya dan wajah cerianya kami masih ingat betul. Ya, ia pasti Hari anak jenius itu. Ia memakai jas laboratorium.

Ternyata benar itu memang Hari. Kami dibuat terkejut dengan kehadirannya. Kita berlima makan bersama di warung makan di desa kami dan saling berbincang.

“Ri, bukannya kamu di Jepang?” tanya Setyo.

“Ia yo aku baru balik ke Indonesia.”

“Liburan?”

“Bukan, aku nggak akan balik lagi ke sana. Aku mau buat sekolah gratis di desa ini. Aku mau buat laboratorium penelitian di desa ini. Aku yakin banyak anak-anak di desa kita yang sebenernya cerdas.”

Jawaban Hari membuat kita terperangah. Ia rela melepas pekerjaannya sebagai peneliti di Jepang yang sudah tentu dengan pendapatan yang amat tinggi untuk kembali ke desa kami. Untuk membangun sekolah dan laboratorium. Sungguh niat yang amat mulia.

“Terus gimana ceritanya kamu bisa jadi peneliti di Jepang Ri?”

“Oh, ini semua berkat ibuku yang selalu menyemagatiku. Dan aku pun yakin nggak ada yang nggak mungkin Rei. Thomas Alva Edison pun dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap dungu. Namun siapa sangka ia bisa jadi salah satu ilmuan paling hebat di dunia. Sementara Aku dan Ibuku sempat menggelandang di Jakarta tuk mengadu nasib. Aku sempat bekerja sebagai buruh. Karena melihat kegigihanku, bosku memberikan beasiswa padaku untuk melanjutkan sekolah. Hingga akhirnya aku bisa kuliah di Jepang dan menjadi peneliti di sana Rei.”

Kami semua semakin kagum dengan Hari. Dan itulah hari pertemuan kami menuntaskan janji kami 15 tahun yang lalu. Kami semakin percaya kalau impian bukan cuma sekedar uang. Hari yang telah bekerja dengan penghasilan tinggi di Jepang justru kembali ke Indonesia untuk membangun sekolah gratis dan mengembangkan laboratorium di desa kami. Ia tak mau lagi ada anak miskin yang cerdas namun harus putus sekolah. Sementara Ranin yang pernah bekerja di rumah sakit dengan gaji cukup tinggi, kini kembali ke desa kami tuk membuka praktek di desa kami. 

Setiap pasien yang ia tangani hanya membayar semampunya, bagi yang tak mampu tak usah bayar. Ranin tak mau kejadian seperti ayahnya Hari yang tak mampu berobat terulang kembali. Setyo pun pernah mengajar di sekolah elit di Jakarta dengan bayaran tinggi. Namun ia kembali ke desa kami untuk menjadi pengajar di sekolah kita dulu dengan bayaran yang jauh lebih kecil. Sementara Yadi selalu menjadi polisi yang melayani masyarakat. Tak sekali pun ia memanfaatkan profesinya untuk memungut uang dari masyarakat ataupun mencari uang di luar gajinya.

Itulah teman-temanku, sementara aku pun sejak setahun yang lalu telah kembali ke desa ini. Aku memang sempat bekerja di sebuah pertambangan dengan gaji sepuluh juta. Namun aku tak betah dan kembali ke desa ini tuk melatih anak-anak bermain sepakbola. Aku membuat sekolah sepak bola di desa kami. Walaupun impianku tuk menjadi pemain sepak bola telah kandas, namun aku yakin di desa ini suatu saat nanti bakal ada pemain sepak bola yang berbakat yang bisa mengharumkan nama Bangsa.


Bagi kami, cita-cita bukan cuma sekedar mengejar uang. Tapi kami hanya mendengarkan saat hati kami berbicara. Dan mengikuti apa yang diinginkan hati tuk menjalani hidup ini.

==========================================================
Sebuah cerpen
Karya: Rival Ardiles
Tahun: 2014

Senin, 04 September 2017

SEBUAH CERITA DI PENGHUJUNG TAHUN, TENTANG AKU ... DAN RESIGN


31 Desember 2013, di penghujung tahun, 2 tahun yang lalu. Aku melangkah menjauh. Dari pekerjaan yang selama itu kutekuni.

Ya, hari itu ... adalah hari terakhir sebagai karyawan. Aku resign. Bukan sebuah keputusan yang mudah, memang. Menelusuri hari demi hari berbalut keraguan.

Sampai suatu ketika ... sebuah perkataan yang kubaca begitu menghentakku,

“Anda harus menemukan apa yang anda sukai. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup anda, dan kepuasan sejati hanya bisa diraih dengan melakukan sesuatu yang hebat. Dan anda hanya bisa hebat dengan melakukan apa yang anda sukai.Hati anda akan mengatakannya jika anda telah menemukannya.
Waktu hidup terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan anda sehingga tidak mendengar kata hati anda, maka anda pun akan sampai pada apa yang anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomer dua.”
- Steve Jobs -
Yang kemudian kucantumkan dalam surat resignku.

Saat itu, bukan resign yang pertama. Tapi kali itu berbeda, sebuah keputusan yang mengubah jalan hidupku. Sebuah keputusan yang membuatku harus mengucapkan selamat tinggal pada dunia konstruksi, pada RAB, pada besi beton, pada bekisting, pada cut & fill, excavator, tiang pancang, pondasi, pedestal, plat baja, bowplank, bata ringan, atap zincalum, kusen alumunium, analisa harga satuan, ahhhh..... dan lain sebagainya.

Aku berjalan di hari yang baru, di jalan yang baru. Dan mulai menjalaninya.

Berjalan mengikuti ke mana hati ingin melangkah. Walau di tengah perjalannya tidaklah mudah. Yang terkadang seperti berjalan di antara labirin-labirin di ruang yang gelap.

Namun perlahan, seiring dengan bergulirnya waktu, secercah cahaya mulai terlihat. Seutas jalan mulai nampak. Walau mungkin juga memang tak mudah.