Minggu, 07 Agustus 2011

Secuil Cerita dari Ciwidey




Pasir nan putih,
Air yang hijau nan tenang,
Tebing yang berdiri kokoh di hadapannya,
Serta ranting – rannting pohon yang mati nan eksotis,
Indahnya sebuah pesona yang tebentuk akibat letusan gunung,
Entah berapa taun, atau ribu, atau juta taun yang lalu.
Yang pasti pemandangan ini begitu indah di pandang mata.
Walau bukan pantai yang bisa dipakai renang,
Tapi yang membuat semua ini lebih terasa indah adalah perjalanannya.
Yah, perjalanan tuk menuju kesini, ke kawah ini.
Biar aku ceritakan sedikit kawan mengenai hal ini.


Hari itu minggu 24 Juli 2011 tak seperti minggu biasanya. Biasanya selalu diliputi lelah sehingga memaksa tubuhku berkolaborasi dengan mataku tuk berbaring di balik selimut. Hari itu juga tak sama dengan hari biasanya. Hari itu aku jam 4 subuh dah ada di alam sadar seolah berhasil mengalahkan siluman mimpi. Kali ini mataku mau berkolaborasi dengan niatku. Tak seperti biasanya, walaupun jam 5 sudah masang alarm justru tanganku yang berkolaborasi dengan mataku. sadar gak sadar aku mematikan alarm tersebut dan mata menutup lagi seperti rolling door di toko - toko yang masih belum mau buka. Tapi hari ini tidak seperti itu walau tak memasang alarm.

Mungkin karena niat, hari itu kami berniat berolahraga pagi dengan berjalan pagi menelusuri perkebunan teh di ciwidey. Tak seperti hari biasanya yang harus berkutat di depan komputer dengan rutinitas yang sama. Waktu itu setelah sholat, makan dan memastikan seluruh perlengkapan terbawa, yang paling penting kamera, aku pun berangkat.

Aku tiba disana pukul 6 lebih. Rupanya belum banyak yang datang tapi satu per satu mulai datang. Para peserta pun berkumpul di depan kantor walau kendaraan tak sesuai planing semula, kita pun berangkat. Aku kebagean naek mobil minibus berwarna putih yang bertuliskan nama perusahaan tempat kami berkarya.

Mobil pun mulai melaju. Perlahan kantor kami yang nampak seperti warehouse itu pun mulai menjauh dan menghilang dari pandangan. Angin berhembus cukup kencang dari jendela mobil yang mengaga lebar. Jalan berkelok naik turun benar - benar mengocok perut. Tapi tetap saja bagi yang merasa ngantuk bisa melelapkan diri di mobil itu. Pagi itu jalanan cukup lancar dan kita pun tiba di ciwidey sekitar pukul 9 ditandai dengan tanaman – tanaman strowberi yang berbaris menyapa kami. Matahari yang sudah mulai panas tak menyurutkan semangat kami. Untungnya udara yang cukup segar menetralisir kalor yang ditimbulkan sinar matahari.

Diawali dengan pembagian perbekalan dan meeting, kami pun mulai melangkahkan kaki melewati portal pertama menuju hamparan kebun teh yang seperti selimut di atas gundukan tanah yang menjulang - julang. Tapi emang dasar nih orang - orang dengan kenarsisan tingkat tinggi, baru juga jalan beberapa meter udah jeprat - jepret masang wajah dan bergaya laksana poto modol. . .ups salah ketik poto model maksudnya. Jejak demi jejak pun terus kita buat seiring langkah kaki kita menelusuri perkebunan teh kala itu. tanjakan, turunan, belokan, tanah berbatu, rumput dan ilalang, tanah pasir, semuanya kita lalui. Bangunan terbuka dengan atap zincalum yang sudah berkarat dan dengan tiang - tiang pipa besi jadi persinggahan kita sementara pada perjalanan itu. Dari ketinggian ini ku bisa melihat rekan - rekan seolah mengecil laksana semut yang berbanjar mencari sumber makanan.




Semakin hari matahari semakin menunjukkan keperkasaannya. Kami yang saat itu terus berjalan walau sesekali berhenti terus disengat sinar matahari. Kebanyakan tak memakai topi ataupun apapun yang melindungi kulit karena kita mungkin lebih mementingkan tuk bergaya di depan kamera walaupun harus disengat sinar matahari yang cukup memabkar kulit. Emang kalo udah kena salah satu penyakit gila yang namanya narsis apapun udah nggak dipeduliin. Bahkan mungkin termasuk HP. . .hihi. Dari mulai senyum, manyun, berdiri seperti patung selamat datang, sampai melompat atau berambut jerami, semuanya dilakukan kalau sudah terkena penyakit narsis.

Penyakit narsis sendiri ada tingkatannya sama seperti tingkat stres yang juga ada tingkatannya. Penyakit narsis tingkat 1 atau tingkat yang paling tinggi biasanya orang yang mengalaminya selalu ingin dianggap paling hebat oleh orang lain di seluruh dunia. Contohnya adalah Fir’aun yang ingin dianggap sebagai tuhan dan Adolf Hitler yang dikenal sebagai pembunuh paling bengis di dunia ini. Penyakit narsis tingkat 2 atau setingkat dibawahnya biasanya orang yang mengalami ingin merasa dianggap, atau dipilih oleh orang - orang banyak. Orang ini akan mengerahkan segala cara agar keinginan itu terwujud. Di Indonesia banyak orang yang terkena penyakit narsis tingkat 2 ini, seperti para politikus yang memajang potonya disana – sini, menggunakan politik uang, dan mengumandangkan janji – janji palsu agar rakyat memilihnya. Nah penyakit narsis tingkat 3 mungkin yang dialami kebanyakan teman – temanku. Orang yang terkena penyakit narsis tingkat 3 biasanya lupa akan rasa malu, ditertawakan atau dianggap gila oleh orang lain pun tidak peduli, bahkan rela ninggalin HP demi menampakkan wujudnya di depan kamera.




Di tengah sorotan sinar matahari yang panas, aku pun mencoba tuk menggenggam mentari agar mereka tidak kepanasan.(ceritanya sih begitu). Ah enggak sih, cuma orang bodoh aja yang merasa bisa menyentuh matahari kecuali matahari supermarket. Tapi di ganasnya sinar mentari medan pun seolah berkolaborasi dengan mentari tuk melelahkan kami. Tanjakan yang cukup curam dan panjang harus kita lalui saat memotong jalur. Kelihatannya kemiringannya lebih miring dari kemiringan atap bangunan yang didesain anak - anak AE. Belum lagi tanaman dan lubang - lubang yang turut menyulitakn kami kala itu. Bukannya aku tak kuat, tapi bagaimana yang tenaganya telah terkuras termakan usia, bagaimana yang liveloadnya berat, bagaimana yang membawa anakanya, mungkin akan menyulitkan bagi mereka. Kalau bagiku sih medan seperti ini bukan masalah (kataku sedikit berkelit).

Tapi begitu sampai diatasnya aku pun terhenyak dan terdiam melihat pemandangan alam nan elok di bawah sana. Hamparan perkebunan teh yang menyelimuti pegunungan, birunya langit nan cerah, segarnya hembusan udara di tengah teriknya mentari tak ayal membuatku terpukau memandanginya sambil duduk di sebuah batu besar.




Dari ketinggian ini rasanya aku ingin melombat dan mencoba terbang bebas laksana elang di langit biru. Namun aku tak ingin segila itu, aku tak ingin segila beberapa orang yang melompat dari ketinggian mencoba terbang tanpa perhitungan yang pasti saat pesawat terbang belum ditemukan oleh Wright bersaudara. Rasanya dengan berteriak menerbangkan gelombang - gelombang suaraku hingga lapisan stratospher menyeruak ke angkasa melewati molekul - molekul udara, dan menggetarkan dedeaunan sudah cukup bagiku. Mungkin itu bisa mengurangi sedikit kepenatan atau mencairkan pikiran bawah sadar yang seringkali membeku. Tapi aku terlalu waras untuk melakukan hal itu, yah. ..terlalu waras. Kadang aku ingin sedikit gila , yah. . .sedikit saja tak perlu banyak - banyak. Ups bukan, maksudku "sedikit gila" pake tanda kutip.
Beberapa dari yg lain melanjutkan perjalanan kembali, sedangkan aku masih terpaku disini mengumpulkan kembali energi yang menguap entah kemana atau mungkin terkondensasi menjadi gumpalan awan cumullus.

Selang berapa lama kemudian aku dan beberapa kelompok melanjutkan perjalanan kembali, mencetak jejak - jejak langkah di atas jalan yang berliku dan berdebu. Hamparan kebun teh terus kita lalui walau mentari semakin tinggi di atas kita dan menjatuhi panas sinarnya. Di suatu saat kami pun memasuki area perhutanan. Dengan membawa tongkat sebagai penuntun laksana seorang pendekar kita terus berjalan walau rasanya kaki ini ingin memberontak.

Saat menembus hutan belantara nampaknya penyakit narsis mulai sedikit luntur seiring dengan rasa letih yang semakin sangat.
"Di balik hutan ini kawahnya." Kata salah seorang.
Namun ternyata setelah melewati hutan itu kita harus menghadapi anak tangga yang cukup banyak untuk menaiki puncak bukit lagi. Ingin sekali rasanya mengganti sendi lutut kakiku menjadi tumpuan jepit yang kuat akan gaya momen, ingin sekali rasanya mengganti otot - otot betisku dengan tenaga hidrolik seperti laksana escavator yang selalu kuat tuk menggusur rumah - rumah kumuh. Oh. . .anak tangga demi anak tangga yang banyak sekali. Seandainya saja ini adalah eskalator yang jika kita berdiri saja kita sudah bisa sampai ke atas. Namun jangankan eskalator, railing untuk kita berpegangan saja tak ada, bordes untuk kita sejenak mengatur ritme pun tak ada. Tapi kami terus melangkah.

"Kawah putih di balik gunung ini." ujar Pa Buyung.
Aku sih sebenernya gak teralu percaya. Tapi nampaknya beliau sudah mengetahui seluk beluk gunung di ciwidey secara dia mungkin juru kunci gunung ini terlihat dari penampilannya dan dibelakangnya ada makhluk yang mengikutinya. . .heheh becanda dikit . tapi nampaknya kami tak jua menemukan tanda - tanda keberadaan kawah itu. Bagi kami saat itu kawah yang bau belerang dan berasap serta airnya tak bisa diminum ibarat oase di gurun pasir yang diharapkan para pengelana di padang pasir. Namun kawah itu laksana fatamorgana yang tak jua menampakkan diri kecuali di dalam harapan.




Akhirnya kami pun beristirahat kembali di samping jalanan berbatu di atas semak belukar. Beberapa diantara rekan - rekan semua pada makan makanan yang dibagikan saat mulai perjalanan. Mereka makana makanan yang berbungkus daun itu dengan lahap karna rasa letih yang mengakibatkan lapar. Sedangkan aku hanya duduk - duduk saja tanpa menyantap makanan yang ku bawa. Nasi bakar yang berbungkus daun pisang masih kutenteng - tenteng tak kubuka. Yang baru ku makan hanya lontongnya yg beranjau saja. Bukan aku tak merasa lapar. Perutku sebenarnya sudah keroncongan sedari tadi. Tapi sedari awal makanan ini dibagikan aku sudah mencium bau makhluk perairan di bungkusan daun pisang itu. Dan rupanya benar, ternyata penciumanku tajam juga, cocok kalo kerja dikepolisian. Dalam bungkusan itu ternyata nasi bakar yang bertaburan ikan teri. Iyakkkk. . . . .aku tak suka makanan yang berasal dari makhluk yang berasal dari ekosistem perairan. Tapi aku tak terlalu merasa lapar yang teramat sangat juga sich saat itu.

Kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Mendaki gunung melewati lembah bak ninja Hatori. Gunung, lembah, gunung. . .gunung membuat kaki kita semakin pegal dan badan kita semakin letih. Ingin sekali rasanya meratakan elevasi pegunungan di area ciwidey kala itu. Tapi bagaimana caranya aku mengcut and fill lahan seluas ini. Harus berapa alat berat yang ku kerahkan. Dan dari mana dana yang harus ku keluarkan. Segera saja ku hapuskan ide gilaku itu dari benakku. Yang bisa kulakukan hanyalah terus berjalan sampai menemukan kawah nan eksotik itu. Setiap kali aku ingin menghentikan langkahku segeralah teringat cerita di buku Think and Grow Rich karya Napoleon Hill tentang seorang yang gagal menemukan emas setelah sekian lama menggali karena di suatu titik ia merasa putus asa. Padahal emas itu tinggal 3 kaki lagi dari kedalaman yang ia telah gali. Perjalanan ini juga tak seberat perjalanan anak – anak laskar pelangi dalam menempuh pendidikan. Perjalanan ini juga tak seberat pendidikan untuk menjadi seorang praja. Perjalanan ini juga tak seberat perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Perjalanan ini juga tak seberat perjalanan Columbus mengelilingi dunia tuk membuktikan teoremanya bahwa bumi ini bulat. Perjalaanan ini juga tak seberat perjalanan ikan salmon yang harus berenang melawan derasnya arus sungai dan menantang maut menghadapi beruang yang kelaparan.

Menurut seorang bapak disana kawah putih tinggal setengah jam perjalanan lagi jika berjalan kaki. Yah, itu pun kalau tidak banyak bernti dan poto - poto. Kali ini aku sempat terpisah dari beberapa rombongan. Rombongan yang ada di depan nampaknya sudah melesat dan menghilang dari pandanganku, sementara rombongan di belakangku pun masih terleha - leha di belakang. Aku pun sempat terhenti sejenak dari langkahku tuk menunggu rombongan di belakang sambil bersandar pada batang pohon kering nan eksotik. Tapi nampaknya rombongan di belakang tak jua muncul. Lantas aku langsung bergegas tancap gas melanjutkan perjalanan menyusul rombongan yang ada di depan. Karena jika tersasar disini bisa gaswat pasalnya tak ada satu sinyal pun yang terdeteksi.

Di satu tikungan aku melihat sebuah lahan berpasir yang nampaknya bekas sisa - sisa gunung meletus. Tapi tentu saja tak ada lean concrete di atas lapisan pasir itu. Lahan itu ditutupi portal dan kami pun melewati portal itu. Mungkinkah ini pertanda kawah itu kian dekat. Aku tak tau tapi yang pasti dihadapan kami masih ada hutan yang harus kita lalui. Atau mungkin kawah itu hanyalah fatamorgana yang hanya ada di pikiran kita. Hutan yang lebat ini masih ku telusuri di tengah rasa letih yang datang menerpa. Kali ini memang nampaknya sudah dekat. Kenapa saya tau?? Karena saat tulisan ini dibuat tentu peristiwanya sudah teralmpaui. . heheheh. . . .

Dan diujung hutan rindang itu yang dipenuhi pepohonan itu teman - teman yang lebih dahulu berjalan di depanku tadi tengah duduk - duduk istirahat. Ada yang merebahkan kaki, ada yang tiduran pula, ada pula yang menikmati makan siang kala itu. Di belakangnya di balik pepohonan nampak asap - asap tipis mengepul diiringi dengan pemandangan tebing yang terlihat dari balik peponan itu. Mungkin itukah kawah itu. . .yah. . .itukah kawah itu. Yah ternyata katanya kita telah sampai pada finish perjalanan panjang nan melelahkan ini. Disini kami semua beristirahat sejenak sembari menunggu rombongan yang belum sampai. Satu per satu peserta tiba di lokasi. Tapi nampaknya ada satu rombongan lagi yang belum tiba disana. Dimanakah mereka???? tanya dimana???.

Selang berapa lama kemudian ada sebuah mobil bak terbuka suzuki carry berwarna hitam. Aku pikir itu mobil yang membawa hasil panen ke pasar untuk dijual, tapi kan ini sudah siang menjelang sore, berarti nggak mungkin. Atau mungkin mobil itu mengangkut domba - domba yang akan dikurbankan. Tapi kan idul adha masih lama berarti bukan. Aku pun mendekati lagi mobil yang berhenti di hadapan kami itu. Dan ternyata aku melihat orang - orang yang turun berhamburan dari mobil bak terbuka berwarna hitam itu. Nampaknya aku mengenal mereka. . . . . .

Dan ternyata benar nampaknya mereka tak asing lagi rupanya merekalah rombongan yang terakhir datang kala itu. “Curaaaaaa. . . .. ng" kataku dalam hati.
Yang lain jalan sampai titik terakhir mereka tiba pakai mobil.
"ih deket kirain teh masih jauh." ujar mereka kala itu atau mungkin hanya berkelit.
Tak lama setelah semuanya tiba disitu dan semuanya selesai istirahat sejenak di tempat itu, kami pun bergegas menuju kawah yang telah lama kami nanti itu. Kami pun melewati jalan yang ditutup palang kayu. Berfoto sebentar disitu lalu berjalan kembali. Asap - asap tipis yang membungbung mulai terlihat lebih jelas. Tebing yang berdiri kokoh di seberang sana nampaknya mulai juga terlihat jelas. Dan kita pun berkumpul di sebuah area dekat kawah itu, berpoto bersama di atas paving blok. Seluruh kamera dikumpulkan dan Pa Asep kala itu yang memoto skuad tim MAU kala itu sampai beberapa kali dengan lokasi dan gaya yang hampir sama.




Setelah itu kami langsung mendekati kawah itu. Waktu kami dibatasi hanya sejam saja menikmati keindahan kawah nan eksotis itu. Kami pun menuruni anak tangga demi anak tangga yang terbuat dari batu laksana sedang berada di Beijing. Dari situ pun nampak keindahan kawah putih yang sedikit berwarna hijau muda, dibelakangnya berdiri kokoh sebuah tebing besar. Di sisi - sisi kawah tentu saja pasir yang berwarna putih laksana di pantai. Namun tentu saja disitu tak bisa dipakai renang, bukan karena saya tak bisa renang. Tapi itu kawah bung bukan laut. Dari tempat itu muncul bau yang cukup nggak enak enggak tau unsur kimianya H2S atau H2SO4 tapi yang pasti ini baunya mengandung sulfur atau dengan nama lain disebut belerang. Enggak tau juga tuch sulfur berikatan kovalen dengan atom apa.



Tapi apapun baunya toh kita menikmatinya seperti menikmati kentut sendiri. Ini adalah klimaks dari sebuah perjalanan panjang nan melelahkan. Naluri narsis yang sempat hilang karena kelelahan di tempat ini kembali muncul lagi seperti sebuah HP yang baterenya baru di charge, seperti bu, nga yang bermekaran saat musim semi setelah melewati musim kemarau. Ternyata ini bukanlah fatamorgana, bukanlah sesuatu yang hanya ada dalam pikiran kita saat kita kelelahan mendaki gunung yang tak kunjung menemukan tempat ini. Ini nyata Walau kita semua tak bisa berenang disitu tuk mengusik lelah yang ada kala itu. Tetapi yang kami rasakan seperti Colombus yang baru menemukan benua amerika setelah keliling dunia, seperti Edison yang baru menemukan bohlam lampu setelah ribuan kali percobaan. Seperti Abraham Lincoln yang berhasil menjadi presiden Amerika setelahmelewati sejumlah kegagalan dalam hidupnya. Atau mungkin itu terlalu berlebihan.




Inilah sebuah makna yang kami dapat, yang membuat hasil terasa berharga adalah perjuangan. Ya, perjuangan adalah proses yang akan kita rasakan betapa berharganya sesuatu yang kita temukan setelah kita melaluinya. Pada awalnya tak ada yang menyangka rutenya akan seberat ini. Namun setelah kita lalui langkah demi langkah akhirnya kita bisa sampai juga di lokasi akhir. Dalam hidup ini pun laksana sebuah perjalanan panjang yang tak selalu lurus, yang banyak tanjakan dan turunan, yang tak selalu mulus bahkan lebih sering berbatu dan terjal. Tapi ketika kita sampai pada satu titik tujuan kita akan merasakan betapa indahnya jalan hidup yang telah kita lalui itu.

2 komentar

aku sangat terharu mendengarnya..good posting bro


EmoticonEmoticon