Minggu, 14 Agustus 2011

Atom tak terdefinisikan


Tasik, Bekasi, Karawang, Sragen, Garut, Cirebon, Cimahi, dan tentu saja Bandung. Mungkin itu semua adalah nama – nama kota asal kita. Dan di sanalah akhir periode putih abu – abu. Dan dari sanalah kita melangkahkan kaki menelusuri perjalanan seperti anak sungai yang mengalir dan bermuara pada sebuah lautan. Air sungai mungkin tak tau kemana ia akan bermuara. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa lautan itu adalah kampus yang berlambang polygon segi enam dengan warna merah bitu. 2 warna yang tak bisa disatukan dalam persepakbolaan Indonesia namun bersatu dalam sebuah lambang heksagonal seperti struktur senyawa benzena.

Konstruksi gedung, sebuah prodi yang pasing grade-nya paling kecil saat itu ternyata mengandung gaya grafitasi begitu kuat sehingga menarik tubuhku dengan medan magnet yang kuat. Padahal otak ini untuk mengorbitnya pun tak terpikirkan, apalagi harus tertarik oleh medan magnetnya.

Ketika dikumpulkan di pendopo dengan kepala nyaris tanpa rambut, ketika menuntup telinga begitu lama sampai membuat tangan tak kuasa menahan bebannya sendiri, Ketika senat tiba, dan saat janji – janji mahasiswa dikumandangkan, serta ketika himne polban menggetarkan sanubari. Ketika gebrakan, hentakan, dan bentakan dari gerombolan merah menyeruak ke seluruh sekitar pendopo.

Gedung A seolah menjadi saksi bisu saat emosi, canda, tawa, , semuanya menjadi satu ibarat bumbu – bumbu yang menyatu dalam makanan nikmat. Termasuk di dalamnya segala hinaan yang sebenarnya ibarat semen yang mengikat butiran – butiran agregat hingga menjadi beton yang kokoh.

GA merupakan senyawa yang tersiri dari 2 atom yaitu G dan A. Entah atom apakah itu nampaknya tak ada dalam tebel periodic. Mungkin atom ini belum terdefinisikan oleh ilmuan manapun baik itu Bohr, Rutherford, atau J.J Thompson.


EmoticonEmoticon